Wiro Sableng

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212

Fanfiction By : Ardy Yusva Setya Putra 


Dalam Kisah : PETA RAHASIA

( PESERTA LOMBA CERPEN WIRO SABLENG )


SATU


*

Keadaan tanah yang licin dan banyaknya semak belukar dihutan itu tak sedikitpun mengurangi kecepatan lari orang itu. Begitu cepatnya lari hingga yang terlihat hanya bayangan hitam saja. Ini menunjukkan betapa ilmu meringankan tubuh orang tersebut telah mencapai pada taraf mendekati sempurna. Ketika sampai pada tempat yang sedikit lenggang dengan pohon yang berjarak berjauhan dengan pohon lainnya, orang tersebut menghentikan larinya. Ternyata dia adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tahun, berwajah tampan meski kulit berwarna sawo matang.


"Keluarlah, aku tau kau bersembunyi disuatu tempat".


Hening sejenak tanpa ada suara, hanya suara gesekan daun tertiup angin yang terdengar ditempat itu.


"Jika kau tak mau keluar, jangan menyesal kalau dirimu celaka".


Sesaat tak terdengar adanya jawaban dan pergerakan apapun, orang tersebut menggerakkan tangan kanannya ke pohon besar yang berjarak sepuluh tombak dari tempatnya berdiri.


Wuutt...


Wuuuuusssshhh...


Braakk...


Pohon sebesar dua pemelukan orang langsung tumbang. Sebelum tumbang nampak bayangan putih berkelebat dan menampakkan diri di samping orang yang telah melakukannya tadi.


"Siapa kau dan apa tujuanmu mengikutiku dari tadi?" Tanyanya dengan keras kepada sosok yang telah berdiri lima langkah disampingnya.


Ternyata sosok tersebut juga seorang pemuda berambut gondrong, berwajah keren, dan berpakaian serta ikat kepala putih. Tanpa menjawab pertanyaan tadi, pemuda gondrong itu berkata, "kembalikan gulungan yang kau curi dari Ki Wardasana".


Pemuda yang bertanya mengerutkan dahi. " Apa maksudmu dengan gulungan? Dan siapa Ki Wardasana itu??"


"Tak perlu kau berkura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. Melihat dari pakaianmu yang serba hitam, pastilah kau adalah anak buah Warok Dadung Keling"


"Jangan menuduh sembarangan!! Aku bukan anak buah Warok Dadung Keling. Aku malah sedang mengejarnya. Gara-gara kaulah aku harus berhenti dan kehilangan jejaknya".


Si gondrong berpakaian putih tertawa setelah sebelumnya menggaruk kepalanya. "Mana ada maling mengaku?? Jika ada maling mengaku tentu penjara Kotaraja penuh dengan manusia sepertimu".


"Jaga mulutmu!! Kau menuduh tanpa bukti", geram pemuda berpakaian hitam.


"Hahahahahaha...". Tawa pemuda berpakaian putih.


"Apa maumu??"


"Kembalikan gulungan itu, maka kau kubiarkan pergi"


"Kau berkata seolah kaulah yang berkuasa atas tanah yang kupijak ini", senyum sinis pemuda baju hitam. "Aku tak ada waktu meladeni orang sinting macammu", lanjutnya.


"Rupanya kau ingin aku menggebukmu dulu baru kau mau menyerahkan gulungan itu."


Tanpa mengacuhkan ucapan orang didepannya, pemuda baju hitam memutar tubuh hendak pergi. Namun belum sempat kakinya melangkah, tiba-tiba dari arah kanan sebuah tendangan mengarah ke kepalanya. Kaget karena mendapat serangan yang tiba-tiba, pemuda tersebut langsung membungkukkan badannya. Begitu tendangan pemuda baju putih lewat diatas kepalanya, dia mengangkat tangan kirinya memberi jotosan kearah tulang iga si penendang. Namun pemuda yang akan dijotos tidak tinggal diam. Begitu merasakan adanya angin pukulan menyasar ke tulang iganya sebelah kanan, dia segera maklum bahwa pukulan tersebut diisi dengan tenaga dalam. Sebelum mengenai sasaran, si baju putih segera menggerakkan tangan kanannya kebawah untuk menangkis.


Bukk...

"Uh.."

"Uh..."


Keduanya mengeluh setelah lengan mereka saling beradu. Mereka sama-sama melompat mundur.


**

"Hebat juga tenaga dalam manusia satu ini". Batin si baju putih sembari mengelus lengannya yang tampak bengkak biru.


Tak lama mereka saling maju untuk menyerang. Dengan jari-jari tangan membentuk seperti cakar, si baju hitam menyerang dengan sangat cepat. Yang disasar adalah bagian-bagian mematikan lawannya. Sang lawan pun tidak tinggal diam. Dia menghindari serangan dengan begitu gesit dan lincah. Namun serangan si baju hitam mengejar dengan ganasnya. Inilah yang dinamakan dengan jurus Cakar Elang Merobek Dirgantara. Jurus yang memusatkan tenaga dalam pada kedua tangannya. Jual beli serangan memecah keheningan hutan dipagi itu. Si baju putih lebih banyak menangkis daripada menyerang karena sempitnya pergerakannya akibat dari kurungan jurus si baju hitam.

Dua puluh jurus pun berlalu. Tanpa mereka sadari, sepasang mata menyaksikan pertarungan mereka dari balik kelebatan daun di pohon yang agak jauh dari mereka.


"Dua pemuda saling bertarung. Hal apa yang mereka ributkan hingga berkelahi begitu hebatnya?? Apakah mereka memperebutkan seorang perempuan? Hehehehe... Tidak heran jika mereka memperebutkan seorang perempuan. Mereka sama-sama masih muda dan gagah serta sama-sama memiliki wajah yang cakap, tentu banyak wanita yang menginginkan mereka dan mereka bertarung untuk memperebutkan salah satunya, hehehe. Wanita seperti apakah yang mereka perebutkan hingga bertarung demikian rupa??" Kata seorang lelaki tua yang bersembunyi dibalik rimbunnya dedaunan di pohon sebelah sana.


Sambil memperhatikan jalannya pertarungan dua pemuda itu, si orang tua bergumam, "jurus yang dimainkan oleh pemuda baju putih itu tidak asing. Itu adalah jurus milik nenek sakti yang berada di puncak Gunung Gede. Siapa lagi jika bukan Sinto Gendeng. Rupanya dia adalah murid dari nenek sinting tersebut, hehehe..."

"Tapi siapakah pemuda baju hitam satunya itu?? Jurus-jurus silatnya begitu terisi dan dimainkan dengan lincah. Sepertinya dia benar-benar menguasai gerakannya tersebut. Tentu butuh waktu yang tidak sebentar untuk bisa menguasai gerakan silat dengan sempurna. Rupanya sepuluh tahun mengundurkan diri dari dunia persilatan membuatku buta akan perkembangan yang ada pada rimba persilatan saat ini". Selesai dia berbicara seperti pada dirinya sendiri, tiba-tiba...


Buk. Buk.

"Akh..."

"Ukh..."


Tampak pemuda berbaju putih mengeluh dan terjajar mundur beberapa langkah setelah dadanya menerima jotosan dari lawannya. Begitupun pemuda baju hitam, dia mengeluh setelah mendapatkan tendangan pada perut sebelah kiri. Dia juga melangkah mundur setelah mendapatkan tendangan tersebut.

"Gila!! Ternyata manusia satu ini memiliki kepandaian yang tidak rendah. Jika begini terus, maka tidak akan selesai urusan. Sepertinya aku harus benar-benar menurunkan tangan keras untuk bisa mengambil kembali gulungan rahasia milik Ki Wardasana". Setelah berkata demikian, pemuda baju putih merapal suatu ajian. Tampak tangan kanannya sebatas siku hingga telapak tangan berwarna putih keperakan. Setelah itu dia mendorongnya ke depan. Cahaya perak menyilaukan dan menghantar hawa sangat panas berkiblat. Inilah pukulan maut Sinar Matahari yang menggegerkan rimba persilatan. Dan yang melepaskannya adalah Wiro Sableng murid nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede.


Pemuda baju hitam begitu melihat lengan kanan Wiro berwarna putih keperakan, firasatnya mengatakan tidak baik. Maka dia pun menyiapkan pukulan maut dengan tenaga dalam tinggi ditangan kanannya. Tampak telapak pemuda itu mengeluarkan asap putih tipis.

Begitu pukulan Sinar Matahari berkiblat, pemuda tersebut melepaskan pukulannya. Sinar biru panas berbentuk ujung tombak keluar dari telapak tangannya.


"Pukulan Tombak Dewa Menembus Jagad!!". Seru kaget orang tua yang mengintip pertarungan tersebut.

Kedua sinar pukulan sakti itu bertemu dipertengahan jarak. Lalu...

Blaaarrrr...


***

Sebuah ledakan besar terjadi. Tanah berguncang. Tiga pohon besar tumbang, debu mumbul menutupi pandangan. Bumi seolah dilanda gempa dahsyat. Setelah debu yang berterbangan itu luruh, tampak sebuah lubang besar di tanah dengan kedalaman selutut orang dewasa. Rupanya kedua pukulan tersebut dikerahkan dengan tenaga dalam penuh hingga mengakibatkan semua kerusakan itu.


Pohon tempat orang tua itu mengintip berguncang keras. Hampir saja orang tua itu jatuh kalau saja dia tidak berpegangan erat dan menerapkan ilmu meringankan tubuh. Setelah keadaan kembali tenang dia berkata, "Jagad Dewa Batara. Bukankah ilmu pukulan yang mengeluarkan sinar biru tadi itu adalah milik Pendekar Rajawali Hitam?? Dan... Oh... Aku baru ingat. Semua jurus-jurus silat milik pemuda itu juga milik Pendekar Rajawali Hitam. Kenapa aku baru menyadarinya?? Hampir dua puluh lima tahun tak kudengar berita tentang dirinya. Kabar angin mengatakan bahwa dia sudah mati. Namun masih belum diketahui kebenarannya. Lantas siapakah pemuda yang memiliki jurus silat dan pukulan mautnya itu? Apakah dia anaknya?? Gila. Bagaimana mungkin anaknya masih semuda itu? Atau jangan-jangan dia adalah muridnya?? Tak pernah kudengar dia pernah memiliki murid meski seorang. Pedang yang tergantung di pinggangnya aku yakin itu adalah pedang mustika milik Baladika. Apa hubungan pemuda itu dengan Baladika??"


Setelah sama-sama saling memulihkan diri dan mengatur jalan nafas, keduanya kembali berdiri. Wiro yang merasa dirinya sedang mengahapi lawan yang benar-benar kuat, untuk segera mengakhiri pertarungan akhirnya dia keluarkan senjata mustika Kapak Maut Naga Geni 212. Sinar putih menyilaukan dan suara gaungan ribuan tawon menggema ditempat itu. Setelah memutarnya beberapa kali, dengan ganas Wiro menerjang lawannya. Tidak tinggal diam, pemuda baju hitam juga mengeluarkan senjatanya.


Sreet...


Dia tarik pedang yang tergantung di pinggang kirinya. Pedang itu terbuat dari emas dan memancarkan sinar kuning. Sedikit aneh karena pada bilahnya berlubang memanjang dibagian tengahnya. Memiliki ukuran indah pada pangkal dan hulu pedang serta kepala burung Rajawali pada ujungnya.

Sesaat ketika kedua senjata itu akan bentrok...


"Hentikan!!!"


DUA


Kedua pemuda itu menghentikan serangannya dan menoleh pada sumber suara.


"Ratih...", Ucap Wiro. "Apa yang kau lakukan disini??"


Dari atas pohon turun seorang gadis cantik berpakaian hijau muda ringkas ketat dan sedikit rendah pada bagian dadanya, sehingga dadanya yang montok itu sedikit menyembul.

Melihat ada gadis cantik melompat turun dari atas pohon, orang tua yang dari tadi mengintip dari atas pohon bergumam, "walaahh... Siapa gadis cantik dan montok itu?? Diakah yang jadi rebutan para pemuda itu?? Tak salah mereka bertarung mati-matian demi mendapatkan cintanya, hehehehe... Tapi sejak kapan dia ada di atas pohon itu?? Kenapa aku tak melihatnya?? Dilihat dari dandanannya, sepertinya gadis itu juga merupakan orang dari rimba persilatan. Apa yang mereka bicarakan?? Siapa diantara dua pemuda itu yang akan dipilihnya?? Sayang aku tak bisa mendengar pembicaraan mereka".


"Hentikan pertarungan ini Wiro", ucap gadis itu.


"Dialah anak buah Warok Dadung Keling yang telah mencuri gulungan rahasia milik kakekmu Ratih".


"Jangan bicara sembarangan!! Aku tak mencuri gulungan apapun dan aku tak kenal dengan kakekmu". Pemuda berbaju hitam menyahut dan berpaling pada Ratih. "Aku juga bukan anak buah Warok Dadung Keling", lanjutnya.


"Aku tahu. Aku tahu kau bukan anak buah Warok Dadung Keling dan bukan kau yang mencuri gulungan milik kakekku"


"Ratih...", Sergah Wiro.


"Tenang Wiro". Lalu Ratih memalingkan wajahnya pada pemuda baju hitam dan berkata, "Melihat dari warna pakaianmu dan rajah bergambar kepala Rajawali Hitam bermata merah di lengan kirimu, bukankah kaulah orangnya yang dipanggil dengan sebutan Ksatria Kelana Jagad??"


Pemuda itu tak menjawab, pandangannya tak lepas dari sosok Wiro. Dia berjaga-jaga jika Wiro menyerangnya saat dia lengah.


"Ratih, kenapa kau membela orang itu??", Tanya Wiro.


"Dia bukan orang yang kita cari Wiro. Aku pernah bertemu dengan anak buah Warok Dadung Keling. Mereka memang sama-sama mengenakan pakaian serba hitam, tapi mereka tidak ada yang membawa pedang. Mereka semua bersenjatakan golok". Ratih memberi penjelasan pada Wiro. Tadinya Wiro sempat ragu dengan penjelasan Ratih, namun setelah gadis cantik itu berusaha meyakinkannya, Wiro pun akhirnya mau mempercayainya. Dia simpan kembali kapak mustikanya di balik pakaiannya.


****


"Maafkan kesalahpahamanku ini sobat", ucap Wiro kepada lawannya tadi.

Setelah menyarungkan pedangnya kembali, pemuda baju hitam membalas singkat, "iya".


"Aku Wiro. Siapa namamu sobat??", Wiro memperkenalkan diri sembari tangannya maju ke depan mengajak salaman.


"Aku Ajiwira", ucap pemuda baju hitam sambil menerima jabat tangan Wiro.


"Dan gadis cantik ini bernama Ratih", lanjut Wiro.


Pemuda berbaju hitam yang ternyata bernama Ajiwira itu hanya melirik sebentar kearah Ratih.


"Ratih, bagaimana kau ada ditempat ini??"

Ratih pun menerangkan, saat dia melintasi jalan setapak hutan itu dalam rangka untuk mengejar anak buah Warok Dadung Keling, dia mendengar ledakan dahsyat disebelah Selatan. Dia tau jika ledakan itu disebabkan oleh pertarungan. Dengan penuh rasa penasaran dan ingin tau siapa yang sedang bertarung, Ratih mendatangi sumber suara dengan melompat dari satu pohon ke pohon yang lain agar tidak diketahui. Dia tiba ditempat pertarungan saat keduanya jatuh terduduk dan debu masih mumbul menutupi mata. Itulah kenapa Wiro dan Ajiwira bahkan lelaki tua yang mengintip dari pohon lain tidak menyadari kedatangannya.


Ajiwira tidak terlalu tertarik dengan cerita Ratih. Dia sesekali masih memandangi Wiro. "Orang ini tingkahnya aneh. Sebentar-sebentar menggaruk kepalanya. Sudah berapa purnama dia tidak mandi?? Selain itu dia kadang juga cengengesan seperti orang yang tidak waras. Namun dia bukan orang sembarangan, tenaga dalamnya sangat tinggi", batin pemuda itu.


"Kurasa urusan kita sudah selesai. Aku akan melanjutkan perjalanan". Berkata Ajiwira sambil hendak memutar tubuh.


"Tunggu dulu sobat". Kata Wiro sambil menahan bahu Ajiwira.


"Apalagi yang kau inginkan??"


"Bukankah tadi kau berkata sedang mengejar anak buah Warok Dadung Keling??"


"Lantas kenapa??"


" Kita mempunyai tujuan yang sama. Bagaimana jika kita melakukan pengejaran sama-sama??", Tawar Wiro.


"Aku terbiasa melakukan perjalanan seorang diri", Jawab Ajiwira.


"Jangan begitu sobat. Apakah kau tau dimana sarang Warok Dadung Keling??"


Ajiwira hanya diam sambil berfikir.


"Dilihat dari raut wajahmu, sepertinya kau juga kebingungan hendak mengejar kemana karena kurasa kau pun tidak tau dimana sarang Warok Dadung Keling bersama komplotannya. Dan kau sekarang bertemu dengan orang yang tepat untuk mengatasi kebingunganmu", imbuh Wiro.


"Kau tau dimana sarangnya??"


"Tidak juga", jawab Wiro.


"Sialan!!" Maki Ajiwira.


"Sabar dulu sobat. Apa kau tau berapa banyak anak buah Warok Dadung Keling?? Kudengar dia mempunyai anak buah yang banyak. Selain itu meski kau tau dimana sarang mereka, kau juga tidak tau jebakan apa saja yang telah menanti disana. Dengan berangkatnya kita bertiga kesana, kita bisa mengatur siasat dan membagi tugas. Aku yakin meski musuh kita sama, tapi tujuan kita berbeda. Selain itu bukankah sekarang ini kita sudah bersahabat?? Kita bisa mengenal dan mengakrabkan diri". Wiro berkata sambil sesekali menggaruk kepalanya yang tampak seperti banyak kutunya.


Setelah merenung sebentar, Ajiwira pun menanggapi usul Wiro. "Baik, aku setuju".


Wiro tersenyum lalu menoleh kepada Ratih yang tampak sedang melihat ke arah Ajiwira seolah mengagumi ketampanannya. "Bagaimana Ratih, apa kau setuju jika kita mengejar bersama??"


Ratih yang dikagetkan dengan pertanyaan Wiro dengan cepat menjawab untuk menutupi kekagetannya, "Aku setuju Wiro".


"Kalau begitu mari kita melanjutkan perjalanan"


Mereka bertiga pun melanjutkan pengejaran bersama. Meski tidak tau kemana mereka harus menuju, namun Ajiwira mengatakan bahwa sebelumnya dia mengejar anak buah Warok Dadung Keling yang lari ke arah Barat hingga akhirnya berhenti karena merasa ada yang mengikuti.


Dalam perjalanan, Wiro bertanya kepada Ratih bagaimana dia bisa tau dan meyakini jika Ajiwira bukanlah orang yang mereka kejar. Ratih pun mengatakan dia sering mendengar dari masyarakat dan beberapa tokoh silat bahwa di Jawa sebelah Timur ada pendekar muda golongan putih yang bergelar Ksatria Kelana Jagad. Dan ciri"nya sama dengan yang ada pada Ajiwira. Wiro kagum dengan cerita Ratih dan memuji Ajiwira.


"Aku tak sehebat itu Wiro. Julukan itu terlalu berlebih-lebihan untukku", ucap Ajiwira.


"Ah... Kau terlalu merendah sobat", sahut Wiro.


TIGA


*****


Rembang petang mulai hilang. Malam mulai datang. Ditengah hutan di lereng Gunung Mahendra, sebuah bangunan tua tampak terang oleh sinar-sinar lampu minyak. Bangunan seperti pendopo dan dikelilingi pagar tembok yang sudah banyak yang rubuh itu dijaga oleh dua orang di pintu gerbangnya. Tampak puluhan orang lainnya sedang bersenang-senang sembari meminum arak dan tuak ditengah-tengah pendopo. seorang lelaki sedikit gemuk dengan perawakan tinggi besar memiliki kumis lebat serta cambang bawuk yang meranggas tak terawat sedang berbicara dan tertawa terbahak-bahak sambil meminum arak yang dituang oleh perempuan mudah cantik yang duduk di pangkuannya.


"Untung aku bisa merebut gulungan rahasia itu dari tua Bangka itu Warok", kata seseorang berbadan kurus tinggi dan berkumis coklat kepada orang tinggi besar itu.


"Aku tau kau pasti bisa melakukannya Sutenan. Ilmumu paling tinggi diantara semua anak buahku". Seseorang yang dipanggil dengan sebutan Warok itu membalas perkataan anak buahnya. Dialah orangnya yang bernama Warok Dadung Keling.


"Kapan kita bisa segera mengambil harta yang disimpan itu??"


"Kita tak perlu tergesa-gesa mengambilnya. Peta harta Karun itu sudah ada padaku. Kita bisa mengambilnya sewaktu-waktu ".


"Bukan begitu Warok, aku khawatir jika peta itu hilang atau diambil oleh orang lain. Tadi pagi saat aku dalam perjalanan kesini, aku merasa seperti ada orang yang mengikutiku. Namun saat aku bersembunyi disuatu tempat untuk melihat siapa adanya, tak lagi kulihat orang itu".


"Begitu?? Bisa kau meraba-raba siapa kiranya yang mengikutimu??"


"Tak bisa ku tebak Warok. Mungkin dia tertinggal jauh dibelakangku karena tak bisa mengejar".


Warok Dadung Keling diam sesaat, lalu, "tak apa Sutenan. Jika dia mengincar gulungan ini, itu sama saja dia menyerahkan nyawanya, hahahahaha... Hei Duratmo, apa wanita yang kau culik kemarin dalam keadaan baik-baik saja??


"Dia pingsan Warok setelah sebelumnya ku totok tubuhnya. Saat ini dia bersama wanita lainnya diruang bawah tanah", jawab anak buah Warok Dadung Keling lainnya yang bernama Duratmo.


"Bagus. Bagus. Begitu dia sadar besok, bawa padaku".


"Baik Warok ".


Sutenan diam saja. Dia seperti sedang berfikir. Warok Dadung yang melihat kegelisahan anak buahnya itu mencoba menenangkannya. "Tak usah kau cemaskan hal itu Sutenan. Apa kau lupa siapa aku ini?? Belum pernah ada satu tokoh silat pun yang mampu mengalahkanku. Yang ada mereka lepas nyawa di tanganku. Sekarang mari kita lanjutkan pesta. Kita habiskan malam ini untuk bersenang-senang, hahaha..."


Dengan sedikit was-was, Sutenan mengikuti ajakan pimpinannya itu untuk melanjutkan minum.


******


Tengah malam tiga orang yang mengejar anak buah Warok Dadung Keling tiba di kaki Gunung Mahendra. Berbekal petunjuk dari Ajiwira dan bertanya pada penduduk setempat, mereka telah mengetahui dimana sarang Warok Dadung Keling bersama anak buahnya. Dalam perjalanan itu Ajiwira juga mengatakan alasannya mengejar anak buah Warok Dadung Keling. 


Saat dia lewat disebuah desa yang berada disebelah Timur, dia melihat kerumunan penduduk di satu rumah. Rasa penasarannya membawa kakinya untuk menuju rumah itu guna mencari tau. Ternyata ada wanita sedikit tua yang adalah pemilik rumah itu menangis tersedu-sedu. Dia telah kehilangan anak perempuannya yang merupakan anak satu-satunya. Dia menyadari suatu keanehan saat pagi hari anaknya yang biasa membantunya memasak tak kunjung keluar kamar. 


Berulang kali dia mengetuk kamar anaknya itu namun tak ada jawaban. Saat dia mencoba mengetuk jendela kamar dari luar, dia melihat jendela tersebut telah terbuka dan ada bekas congkelan pada satu sisinya. Hatinya merasa cemas. Segera dia menengok kedalam kamar. Dia terkejut, tak dilihatnya anak semata wayangnya itu ada di dalamnya. Jerit tangis segera menggema dihalaman rumahnya. Para tetangga yang mendengar tangisan itu segera berlarian mendatangi rumah wanita itu. Dengan sesenggukan si wanita sedikit tua menceritakan kejadian ini kepada tetangganya.


Beberapa tetangganya menebak bahwa ini semua akibat dari perbuatan perampok yang dipimpin oleh orang yang bernama Warok Dadung Keling. Dia sering memerintahkan anak buahnya untuk menculik wanita atau gadis cantik di desa. Banyak orang yang mencoba melawannya, namun tak pernah lagi diketahui keadaannya sekarang.


Mendengar penjelasan dan mengingat bagaimana ciri-ciri komplotan penjahat itu dari para warga, jiwa satria Ajiwira tergugah. "Jika hal ini dibiarkan maka akan lebih banyak lagi korban dari kejahatan itu", pikirnya. Dia segera mengejar penculik itu dengan mengikuti jejak kaki yang ada di tanah. Meski dia sendiri tidak tau siapa pemilik jejak kaki itu, namun hatinya kuat mengatakan agar tetap mengejarnya.


Hingga akhirnya dia melihat sesorang dengan pakaian sama seperti yang dikatakan penduduk desa. Padahal orang yang dilihatnya itu bukanlah penculik anak wanita tadi, tapi ciri-cirinya sama persis dengan komplotan Warok Dadung Keling.


Wiro dan Ratih yang mendengarkan cerita Ajiwira mengangguk paham. Saat ini ketiganya telah sampai di depan bangunan tua yang merupakan markas dari gerombolan Warok Dadung Keling. Mereka bertiga bersembunyi merunduk di pagar bata yang tidak lagi utuh. Wiro mencoba mengintip keadaan sekitar bangunan, namun pandangannya terhalang pohon jamblang yang ada di dekatnya bersembunyi.


"Sobat, bisa kau intai keadaan didalam sana??" Kata Wiro


"Kenapa harus aku?? Bukankah kau sendiri juga bisa??" Menyahut Ajiwira


"Aku terhalang pohon sialan ini", tunjuk Wiro.


" Ratih, coba kau lihat keadaan sana", suruh Ajiwira


"Baik"


"Tunggu!" Cegah Wiro. "Jangan kau lakukan itu Ratih. Intip mengintip adalah tugas seorang lelaki. Sobat, kau sajalah yang mengintip keadaan di dalam sana. Apa kau tega menyuruh hal itu kepada seorang gadis cantik??" Lanjut Wiro.


"Apa hubungannya seorang gadis tidak boleh melakukan itu??"

"Sudahlah kau saja. Jika kita saling lempar begini, kita akan segera diketahui oleh dua orang penjaga disana", tunjuk Wiro kearah dua orang yang berdiri di gerbang pagar.


"Sialan". Dengan dongkol Ajiwira melakukan apa yang diminta Wiro. Dia segera berdiri menghadap kedalam dan dengan cepat merunduk kembali.


"Bagaimana situasinya??" Tanya Wiro


"Tak bisa kulihat", jawab Ajiwira.


Wiro terkejut. "Bagaimana bisa kau tak melihatnya??"


"Terlalu cepat"


"Ulangi lagi dan amati situasinya dengan benar, jangan cepat-merunduk", ucap Wiro sedikit jengkel kepada sahabat barunya itu.


"Mungkin kita bisa mengamati keadaan di balik semak belukar sana Wiro. Pagar disebelah sana rubuh dan keadaan sekitarnya gelap serta jauh dari dua penjaga itu. Kita tidak akan terlihat meski kita berdiri". Ratih berkata kepada Wiro sambil menunjuk suatu tempat.


*******


Wiro dan Ajiwira menyetujuinya. Ketiganya segera berpindah tempat. Tempat itu memang sedikit gelap, namun masih bisa untuk melihat lima tombak di depannya. Ajiwira pun mengamati keadaan di dalam sana dari tempat itu.


"Disana banyak orang. Sepertinya mereka sedang bersenang-senang. Ada orang tinggi besar brewokan tampak sedang dilayani oleh seorang wanita", terang Ajiwira.


"Sepertinya dia adalah pimpinan komplotan itu", kata Wiro.


"Itu berarti dialah yang bernama Warok Dadung Keling", timpal Ratih.


"Apa kau melihat para wanita yang diculik??" Tanya Wiro.


"Aku tak melihat para wanita yang diculik. Bisa jadi mereka ikut berpesta sebagai pelayan, bisa juga mereka disembunyikan di suatu tempat"


"Jika begitu kita harus menghajar mereka semua untuk merebut gulungan rahasia dan masuk kedalam untuk menyelamatkan para wanita itu"


"Itu berarti kita semua harus terang-terangan mengahadapi mereka Wiro??, Tanya Ratih. "Bagaimana jika para wanita itu dijadikan tawanan supaya kita tak melawan?? Sama saja kita menyerahkan diri Wiro", lanjut Ratih.


"Terus bagaimana??" Tanya Wiro sambil menggaruk kepalanya.


"Kita harus diam-diam menuju kebelakang bangunan. Kemungkinan dibelakang sana ada pintu juga, kita masuk dan membebaskan mereka dulu. Namun disebelah mana mereka disembunyikan aku tak tahu".


"Aku tahu"


"Dimana??"

"Dimana?"

Tanya Wiro dan Ajiwira bersamaan. Sesaat mereka bertiga menyadari sesuatu. Dengan cepat mereka melompat kebelakang dan bersiap menyerang.


"Siapa kau??" Hardik Wiro saat menyadari bahwa orang yang mengatakan "aku tahu" bukanlah salah satu dari mereka.


Terdengar suara tawa mengekeh lirih dibarengi dengan berdirinya sesorang dari rimbunan semak disamping tempat mereka bersembunyi. Orang itu tetap tertawa tanpa menjawab pertanyaan Wiro.


"Kalian mengenalnya??" Tanya Wiro


"Tidak"

"Tidak"

Sahut Ajiwira dan Ratih hampir bersamaan.


"Pakaiannya seperti seorang Rsi". Kata Ratih.


"Wajahnya seperti tengkorak". Ajiwira menimpali.


"Jangan-jangan..." Wiro tak melanjutkan kata-katanya. "Dia adalah seorang Rsi yang gagal moksa untuk menghadap Dewata", Sambung Wiro.


"Kurang ajar kalian!!" Maki orang itu yang ternyata sudah sangat tua.


------------------- B E R S A M B U N G ------------------------


KETERANGAN :


( CERITA TERHENTI DI BAGIAN KE TIGA )


 *

* *


WARNING : 

Cerita ini Hanya untuk hiburan semata.

Dipersembahkan Khusus untuk seluruh pengemar serial wiro sableng pendekar kapak maut naga geni 212. Karya Bastian Tito.


0 comments:

Post a Comment