RAJA RENCONG DARI UTARA


WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 011
Raja Rencong Dari Utara
===========================


DISAMPING bukit karang yang curam itu terletak sebuah bangunan batu yang dikelilingi tembok setinggi sepuluh tombak. Diluar tembok berderet-deret barisan
pohon kelapa yang daunnya melambai-lambai ditiup angin laut. Bangunan yang terletak didekat pantai ini terdiri dari sebuah rumah besar yang pada kedua
ujungnya terdapat sebuah bangunan bertingkat berbentuk menara. Bangunan ini adalah sebuah pesantren yang dipimpin oleh seorang Kyai bernama Suhudilah.
Karena itulah pesantren ini dinamakan Pesantren Suhudilah.
Disamping ilmu agama Kyai Suhudilah juga mengajarkan ilmu silat dan ilmu kesaktian kepada murid-muridnya. Karena Kyai Suhudilah lama sekali ber¬mukim di
Turki, maka jurus-jurus ilmu silatnya banyak dipengaruhi oleh jurus-jurus silat Turki. Dengan sendirinya ilmu silat tersebut disamping aneh juga hebat
sekali. Pada masa itu nama Pesantren Suhudilah telah terkenal di delapan penjuru angin Pulau Andalas bahkan juga sampai-sampai ketanah Jawa.
Saat itu telah rembang petang. Satu dua jam dimuka sang surya segera akan tenggelam, kembali masuk keperaduannya dan baru akan muncul lagi esok pagi. Dibawah
menara timur kelihatan dua orang berjubah. Keduanya sama-sama tua dan sama-sama berjanggut putih. Mereka sedang asyik bermain dam. Yang seorang menyodorkan
buah damnya kedepan membuat satu perangkap yang tak bisa dihindarkan oleh lawannya.
“Celaka!" kata laki-laki tua yang kena dijebak sambil menepuk keningnya. Buah dam yang disodorkan lawannya mau tak mau harus dimakannya dan akibatnya dia
akan kehilangan empat biji dam sekaligus! Lawannya tertawa mengekeh sambil mengelus-elus janggutnya yang putih.
"Mana bisa kau mau mengalahkan aku lagi", katanya, "Tadi kuberi kau menang hanya untuk memberi semangat saja. Ayo makanlah"
"Tak ada jalan lain" kata si janggut putih yang terjebak. Diulurkannya tangan kanannya. Jari telunjuk dan ibu jari hendak memindahkan buah dam. Tapi aneh!
Buah dam yang kecil dan terbuat dari kayu itu tak bergerak sedikitpun! Dicobanya sekali lagi mengangkat buah itu, tapi tak sanggup! Buah dam itu laksana
sebuah benda yang sangat berat!
"Heh, kenapa? Ayo jalan!"
"Buah dam ini ... tak bisa bergerak! Tak bisa kuangkat"
Kawan laki-laki itu menyangka dia berolok-olok. Dan mengulurkan tangan kanan menyentuh buah dam! Terkejutlah dia.! Memang betul! buah dam itu tak sanggup
digeser, apalagi diangkat. Diam! dia kerahkan setengah bagian tenaga dalam dan mencoba lagi mengangkat buah dam! Tetap seperti sedia kala ketika dicobanya
mengangkat bua-buah dam yang lain, benda-benda itupun ternyata tak bisa terangkat! laki-laki ini memandang berkeliling.
"Aneh desisnya. Dan dikerahkannya kini seluruh tenaga dalamnya. Tangannya tergetar hebat. Keringat dingin memercik dikeningnya dan dadanya terasa sakit!
"Agaknya ada seseorang berilmu tinggi tengah mempermainkan kita "
"Tapi siapa…?".
Keduanya memandang berkeliling. Suasana sunyi sepi, jangankan manusia, seekor lalatpun tak engkaukelihatan! laki-laki itu kerahkan lagi tenaga dalamnya.
Tiba-tiba papan dam mencelat mental ke udara! Buah-buahnya berhamburan! Kedua laki-laki tua berjanggut putih tersentak kaget dan berdiri cepat sewaktu
kesunyian dirobek oleh gelak tertawa yang hebat, menggetarkan liang telinga dan memukul-mukul dada serta menyendatkan jalan darah ditubuh mereka!
Sesaat kemudian entah dari mana datangnya tahu-tahu sesosok tubuh sudah berdiri dua tombak di¬hadapan mereka. Orang yang datang ini berpakaian ungu berdestar
tinggi dan juga berwarna ungu! Pada bagian muka destar ini terdapat lukisan dua buah rencong kuning yang saling bersilangan! Manusia ini bertampang ganas.
Dibawah hidungnya melintang kumis tebal. Bajunya tidak terkancing, mungkin di¬sengaja demikian untuk memperlihatkan dadanya yang bidang dan berbulu! Pada
kedua tangan dan kakinya terdapat gelang akar bahar. Dan dari mulutnya masih terdengar suara tertawanya yang hebat!
Meskipun rasa geram menyelimuti hati kedua orang tua itu namun mereka tak mau bertindak gega¬bah. Suara tertawa yang begitu hebat cukup menjadi peringatan
bagi keduanya bahwa manusia berbaju ungu berdestar tinggi itu memiliki ilmu kesaktian yang tinggi.
Salah seorang dari penghuni Pesantren Suhudilah ini menjura hormat dan melayangkan senyum. Lalu menegur:
"Tamu dari manakah yang datang ini, tanpa memberi tahu lebih dulu sehingga kami tidak me¬nyambut sepatutnya?"
Orang yang ditegur tak segera menjawab, melainkan tertawa dengan lebih hebat hingga tanah yang dipinjak oleh kedua orang tua berjanggut putih terasa bergetar!
Dan mereka mulai merasa tidak enak. Perbuatan sang tamu yang tadi secara diam-diam telah me¬ngerahkan tenaga dalam menahan bua-buah dam yang tengah mereka
mainkan sesungguhnya sudah sangat menyakitkan hati, apalagi setelah ditegur hormat begitu rupa sang tamu masih bersikap seenaknya dan penuh kecongkakan!
"Saudara, harap beritahukan siapa kau! Juga maksud kedatanganmu kemari ....!"
Sang tamu bertolak pinggang.
"Apakah ini Pesantren Suhudilah?" tanyanya dengan suara berat dan serak.
"Betul”
"Kalau begitu lekas panggil pemimpinmu dan bawa kehadapanku!" memerintahkan sang tamu.
“Ah, lebih dulu harap terangkan nama dan maksud kedatanganmu, baru kami bisa menjalani sebagaimana mestinya".
Sang tamu pelototkan mata.
"Benar-benar kalian berdua masih belum tahu berhadapan dengan siapa?!"
"Ya… ya kami belum tahu siapa sebenarnya saudara?".
laki-laki berpakaian ungu menyeringai.
"Aku adalah manusia yang bakal menguasai seluruh pulau besar ini, dari utara ke selatan, dari barat sampai ke timur! Apa kalian masih belum mendengar gelar
Raja Rencong dari Utara?!"
"Ah" kedua orang tua berpakaian putih sama-sama menjura mesti hati mereka terkejut dan tergetar hebat sewaktu sang tamu kenalkan gelarnya.
"Nama itu sudah seringkali kami dengar. Tapi karena kami orang pesantrenan jarang mengurus soal-soal diluaran harap dimaafkan kalau tadi kami tidak tahu
engkau tengah berhadapan dengan siapa."
Sementara itu yang seorang diam-diam memberi peringatan dengan ilmu menyusupkan suara: "Hati-hati dan waspadalah. Manusia ini adalah bangsa iblis terkutuk
yang kekejamannya tiada tara!"
"Raja Rencong Dari Utara, sekarang harap terangkan maksud kedatanganmu kemari"
"Kalian tidak layak bertanya!" sentak Raja Rencong Dari Utara.
"Lekas panggil pemimpin kalian!"
"Menyesal sekali! Sebelum kami tahu angin apa gerangan yang membawa Raja Rencong kemari, tak bisa kami memenuhi permintaanmu. Lagi pula pemimpin kami sedang
keluar ".
"Kurang ajar! Kau berani dusta?!"
"Kami orang agama mana berani berdusta? Kyai Suhudilah pergi sejak pagi tadi."
"Aku tidak percaya! Aku akan geledah seluruh pesantren ini!". Raja Rencong melangkahkan kaki menuju ke pintu di kaki menara tapi kedua orang tua berpakaian
putih menghalangi.
"Harap kau menghormati aturan kami. Tak seorangpun boleh masuk tanpa mendapat izin . . . !"
"Kurang ajar! Terhadap Raja Rencong Dari Utara tak berlaku segala macam aturan! Masakan untuk masuk kebangunan sarang tikus ini saja perlu minta izin?
Persetan!"
"Apakah ada dendam kesumat lama yang kau bawa datang kemari? Kyai Suhudilah tak ada disini! Aku wakilnya! Kalau ada keperluan katakan saja nanti kusampaikan!"
Raja Rencong Dari Utara menimang sejenak. Dia percaya kalau orang dihadapannya tidak berdusta bahwa Kyai Suhudilah tak ada di Pesantren saat itu.
"Sebagai wakil di Pesantren ini, disamping harus menyampaikan pesanku pada Kyai Suhudilah kurasa ada baiknya kau mengetahui maksud kedatanganku kemari!
Katakan pada Suhudilah bahwa pada tanggal satu bulan dimuka dia harus datang ke Bukit Toba membawa lima puluh keping uang emas sebagai tanda tunduk padaku
dan masuk ke dalam sebuah partai besar yaitu Partai Topan Utara yang bakal kudirikan dan kuresmikan! Katakan juga padanya kalau dia berani menolak, lebih
baik bunuh diri saja!"
Paras laki-laki berjubah putih itu tambah kelam membesi.
"Kalau aku boleh bertanya, hak apakah yang membuat kau memaksa orang untuk tunduk dan tanduk ke dalam partai yang hendak kau dirikan?!"
Raja Rencong Dari Utara tertawa tawar.
"Itu akan kuterangkan nanti pada hari peresmian berdirinya Partai Topan Utara! Dan jangan lupa, adalah juga menjadi kewajibanmu untuk mematuhi pesanku
tadi dan datang ke Bukit Toba!"
Kini si jubah putihlah yang tertawa rawan.
"Hendak mendirikan partai dengan main paksa? Hendak mendirikan partai dengan menempuh jalan berlumuran darah? Sungguh keji!"
"Jadi kau menolak untuk tunduk dan datang?!" tanya Raja Rencong. Nada suaranya membayangkan ancaman.
"Aku Kyai Hurajang sebagai wakil pemimpin pesantren Suhudilah berhak menolak permintaanmu yang secara memaksa itu, apalagi mengingat apa yang telah kau
lakukan disini! Pembicaraan tentang segala macam partai, tentang segala macam tanggal dan tahun, tentang segala macam peresmian kita tutup sampai disini!
Sekarang yang patut dibicarakan ialah tentang pertanggung jawabmu atas dua puluh korban yang berhamparan itu!"
Raja Rencong Dari Utara meneliti paras Kyai Hujarang sejenak lalu tertawa gelak-gelak.
"Kukira dengan melihat dua puluh mayat didekatmu Kukira hidungmu akan menjadi satu. Peringatan bagimu untuk tidak bicara apalagi bertindak gegabah! Tapi
dasar manusia tidak tahu tingginya Gunung Leuser tak tahu dalamnya danauToba! Dikasih anggur malah meminta racun".
Kyai Hujarang menghela nafas dalam
"Betapapun tingginya gunung lebih bagus tingginya budi. Betapapun dalamnya danau lebih baik dalamnya jalan pikiran dan kemanusiaan. Terserahlah kalau disitu
menganggap ini suatu penantangan. Bagaimanapun aku tak dapat menerima permintaanmu! Sekarang ulurkan tangan kananmu yang telah menebar maut disini!"
"Kalau kuulurkan tangan, kau mau berbuat apakah?!" tanya Raja Rencong Dari Utara ingin tahu.
"Siapa yang membunuh hukumannya harus dibunuh! Tapi aku masih memberi ampun padamu cukup hanya dengan memotong tangan kananmu sebatas siku!"
Kembali Raja Rencong Dari Utara tertawa gelak-gelak.
"Kyai tak tahu diuntung!" dampratnya, "Jika kau sanggup menahan seranganku sampai lima jurus aku bersumpah untuk bunuh diri dihadapanmu!"
"Ajaran agamaku mengatakan balaslah kebaikan dengan kebaikan, tapi balaslah kejahatan dengan keadilan! Akan kulaksanakan keadilan namun sengaja kau minta
hukuman yang lebih berat! Ah ... mungkin sudah takdir aku harus turun tangan menyelamatkan dunia dari angkara murka yang kau timbulkan!"
"Sudah jangan ngelantur! Terima jurus yang pertama ini!" bentak Raja Rencong Dari Utara. Tangan kanannya dipukulkan kemuka! Satu angin dahsyat menderu
dengan kekuatan setengah tenaga dalam! Melihat datangnya serangan ini Kyai Hurajang salurkan tiga perempat tenaga dalamnya ke lengan jubah lalu kebutkan
lengan jubah itu! Selarik angin putih menyambar. Tapi betapa terkejutnya Kyai Hurajang sewaktu tenaga dalam mereka saling bentrokan, tubuhnya terjajar
ke belakang samai dua tombak! Nyatalah tenaga dalam lawan jauh lebih hebat! Dan sang Kyai sama sekali tidak tahu kalau Raja Rencong baru cuma mengandalkan
setengah bagian saja dari tenaga dalamnya!
Melihat sekali hantam saja lawan sudah huyung begitu rupa dengan tertawa Raja Rencong lipat ganda¬kan tenaga dalamnya! Jika saja Kyai Hurajang tidak lekas
melompat pastilah tubuhnya akan kena disapu dan terlempar jauh!
Menyadari tenaga dalam lawan lebih hebat maka Kyai Hurajang begitu melompat diudara segera menyambar selendang berumbai-umbai yang terselempang dibahunya!
Dan serentak turun ke tanah kembali selendang itu dikebutkannya ke arah lawan! Raja Rencong terkejut sekali sewaktu merasakan bagaimana kebutan selendang
berumbai-umbai itu mendatangkan angin keras yang dingin menyembilu tulang-tulang sekujur badannya! Tubuhnya tergontai-gontai. Tapi cepat dia menguasai
diri dan membuka jurus kedua dengan satu serangan yang luar biasa cepatnya! Kyai Hurajang putar selendangnya sekeliling tubuh melindungi diri dari gempuran
dua tendangan dan dua jotosan lawan! Laksana disapu topan layaknya serangan Raja Rencong menemui kegagalan total!
Tergetar juga hati Raja Rencong. Tidak disang¬kanya selendang lawan mempunyai kehebatan demi¬kian rupa! Tidak menunggu lebih lama dia segera pen¬tang tangan
kanan dan kembangkan kelima jari.
"Aku mau lihat apakah kau sanggup menerima pukulan ilmu kuku api ini?" hardiknya. Kelima jari tangan dijentikkan kemuka. Dari kuku-kuku jari tangan itu
menderulah lima larik sinar merah!
Kyai Hurajang kerahkan seluruh tenaga dalam dan menangkis dengan selendangnya!
"Wuss!"
Kyai Hurajang berseru kaget dan lepaskan selendangnya yang dalam kejap itu telah berubah menjadi kepulan api dilanda pukulan kuku api yang dilepaskan Raja
Rencong! Muka Kyai ini berubah pucat laksana kertas! Raja Rencong Dari Utara tertawa mengekeh.
"Apakah cuma itu satu-satunya senjata yang kau andalkan hingga kau demikian pucatnya?!" ujar Raja Rencong mengejek!
"Aku masih belum kalah" kata Kyai Hurajang. "Dalam Dua jurus mendatang jangan harap kau bisa lepas dari tanganku!"
Kyai Hurajang rangkapkan kedua tangan dimuka dada, mata meram dan mulut komat kamit sesaat kemudian wajahnya berubah menjadi biru.
"Haha ... ilmu siluman apakah yang hendak kau keluarkan Kyai?!" ejek Raja Rencong Dari Utara.
Kyai Hurajang usapkan telapak tangannya ke muka. Warna biru diwajahnya lenyap dan sebagai gantinya kini kedua tangannya sampai pergelangan berubah menjadi
biru legam dan bersinar!
"Bersiaplah untuk menerima kematian!" desis Kyai Hurajang lalu tutup ucapannya dengan hantamkan kedua tangannya kemuka! Dua larik sinar biru menderu kearah
Raja Rencong Dari Utara! Inilah ilmu pukulan kelabang biru yang pernah dituntut Kyai Hurajang dari seorang sakti di Pulau Jawa! Jangankan manusia, batu
karang yang bagaimanapun atosnya akan hancur lebur dilanda dua larik sinar biru itu. Jika dipukulkan kepohon besar, maka pohon itu akan menciut mati detik
itu juga akibat racun dahsyat yang terkandung dalam larikan sinar biru itu!
Raja Rencong Dari Utara juga sudah pernah mendengar tentang ilmu pukulan kelabang biru dan sudah maklum akan kehebatannya. Karenanya begitu lawan lepaskan
pukulan tersebut tak ayal lagi dia segera gerakkan tangan kanan kepinggang! Sekejap kemudian sewaktu dua larik sinar biru itu akan melandanya, selarik
sinar kuning yang terang berkelebat ke depan dan terdengarlah satu letusan yang keras sekali sewaktu kedua sinar itu saling beradu diudara!
Kyai Hurajang terjajar kebelakang, tersandar ke kaki menara. Dadanya sakit, nafasnya sesak sedang parasnya pucat tiada berdarah. Dilain pihak kelihatan
kedua kaki Raja Rencong Dari Utara melesak ke tanah sedalam satu setengah dim. Tangan kanannya yang memegang sebilah Rencong Emas masih diacungkan ke udara!
Senjata inilah tadi yang telah mengeluarkan sinar kuning dan bertubrukan dengan sinar biru pukulan Kyai Hurajang! Perlahan-lahan Raja Rencong turunkan
tangan kanannya dan masukkan Rencong Emas itu kebalik baju ungunya. Dan memandang kemuka. Kyai Hurajang telah melosoh ketanah. Ketika kepalanya terkulai
kesamping, nyawanyapun lepaslah! Raja Rencong Dari Utara tertawa mengekeh. Dari dalam saku pakaiannya dikeluarkannya sebuah benda dan dilemparkannya kearah
kepala Kyai Hura¬jang! Benda itu menancap tepat dikening sang Kyai dan ternyata adalah sebuah bendera kecil berbentuk segitiga berwarna ungu, pada tengah-tengahnya
terdapat gambar dua buah rencong kuning saling bersilangan. Pada tiang bendera kecil terikat segulung kertas! Raja Rencong terus juga mengumbar tertawanya.
Setelah memandang berkeliling akhirnya ditinggalkannya tempat itu!
PADA MASA ITU di bagian utara Pulau Andalas terdapat satu gerombolan rampok yang sangat ganas dan ditakuti didelapan penjuru angin. Gerombolan rampok ini
terdiri dari lima orang yang dipimpin oleh seorang yang bergelar Setan Cambuk. Empat orang anak buahnya masing-masing Setan Pedang, Setan Pisau, Setan
Rencong dan Setan Gada. Kelimanya ahli dan lihay memainkan senjata yang sesuai dengan gelar yang mereka pakai! Di mana-mana mereka muncul pasti timbul
keonaran bahkan tak jarang pula mereka menculik perempuan-perempuan untuk dirusak kehormatannya lalu dibunuh! Kelima rampok-rampok ganas yang berkepandaian
tinggi itu menamakan kelompok mereka dengan nama "Gerombolan Setan Merah" :
Telah beberapa orang tokoh silat di utara Pulau Andalas turun tangan untuk membasmi Gerombolan Setan Merah! Tapi tokoh-tokoh silat yang bermaksud suci
itu terpaksa korbankan jiwa mereka sendiri karena tidak sanggup menghadapi kelima manusia jahat itu. Lagi pula untuk mencari sarang mereka bukan hal yang
mudah! Konon kabarnya Gerombolan Setan Merah itu bersarang disatu rimba belantara yang sangat rapat tak tertembus sinar matahari dan hampir tak pernah
dimasuki manusia, bahkan binatang buas¬pun ngeri diam di sana karena sekali masuk kedalam rimba itu sukar untuk dapat keluar lagi!
Dunia persilatan gempar ketika Gerombolan Setan Merah bentrokan dengan seorang anak murid kelas satu dari partai silat Bintang Utara. Hal ini terjadi belum
lama berselang. Anak murid Partai Bintang Utara yang berkepandaian tinggi itu mula-mula berhasil melukai salah seorang anggota Gerombolan Setan Merah yaitu
yang bergelar Setan Pisau, namun nasibnya sial. Gerombolan Setan Merah berhasil menawannya hidup-hidup. Kepalanya dipenggal dan dikirimkan kepada Ketua
Partai Bintang Utara. Pecahlah permusuhan dan ketika Gerombolan Setan Merah datang mengamuk ke pusat kediaman Partai Bintang Utara, tak satupun yang mereka
biarkan hidup! Ketua dan Wakil Ketua Partai terbunuh! Seluruh anak murid Partai menemui ajal dan tempat kediaman Partai Bintang Utara mereka musnahkan
sama rata dengan tanah! Sejak itu nama Gerombolan Setan Merah semakin ditakuti orang diseluruh pelosok utara Pulau Andalas. Jangankan berhadapan, mendengar
namanyapun orang sudah tercekat dan ngeri!
Pada suatu malam yang gelap gulita tiada berbulan dan tiada berbintang, dipuncak sebuah bukit kelihatanlah sesosok bayangan hitam berlari sangat cepatnya.
Demikian cepatnya hingga beberapa detik kemudian bayangan itu sudah lenyap dari puncak bukit dan kini kelihatan dengan sebatnya lari menuruni lereng bukit
sebelah tenggara menuju kesebuah lembah berbatu-batu. Dipertengahan lembah, diatas sebuah batu besar bayangan ini berhenti dan memandang berkeliling. Pandangannya
tertuju pada rimba belantara hitam pekat ditelan kegelapan yang terletak di ujung lembah. Ketika dia berniat hendak menggerakkan kedua kakinya melanjutkan
perjalanan menuju ke rimba belantara itu mendadak telinganya menangkap suara kaki-kaki manusia yang tengah berlari dikejauhan. Menurut taksirannya lebih
dari tiga orang. Dengan cepat orang ini menyelinap kebalik batu besar dan bersembunyi.
Hampir setengah peminum teh kemudian, dari arah timur kelihatan lima titik hitam yang lari dengan cepat memasuki lembah. Ternyata lima titik hitam ini
adalah lima sosok tubuh manusia yang berpakaian merah, berikat kepala merah, berambut gondrong merah bahkan muka merekapun dicat dengan warna merah! Dan
kelimanya bukan lain daripada Gerombolan Setan Merah yang saat ini tengah kembali kesarangnya di dalam rimba belantara. Dua orang diantara mereka membawa
sebuah buntalan. Dipertenganan lembah, tak berapa jauh dari batu besar dimana orang tadi bersembunyi, salah seorang dari kelimanya yaitu Setan Cambuk hentikan
lari dan memandang berkeliling.
"Ada apa?" tanya Setan Rencong. Dia dan kawan-kawannya memandang pula berkeliling. Sebagai pemimpin Setan Cambuk adalah paling tinggi ilmunya. Dia menjawab
: "Aku mendapat firasat ada seseorang yang tengah mengintai gerak-gerik kita saat ini!"
"Ah, itu hanya perasaanmu saja, Setan Cam¬buk!" kata Setan Gada sambil usut-usut dagunya. "Siapa manusianya yang berani berada ditempat ini? Bangsa iblis
jadi-jadianpun tak punya nyali berada di sekitar daerah kita ini!"
Setan Cambuk masih kurang enak perasaannya. Dia memandang lagi berkeliling sampai sepasang matanya membentur batu besar yang terletak tiga tombak jauhnya.
Tangan kanannya bergerak menge¬luarkan senjatanya yaitu sebuah cambuk berwarna merah! Sekali tangan itu menggerakkan hulu cambuk maka terdengarlah suara
menggelegar dan byurr! Batu besar ditengah lembah hancur lebur berkeping-keping!
"Nah kau lihat sendiri Setan Cambuk!" kata Setan Gada. "Jika ada bangsa manusia yang bersembunyi dan mengintai kita dibalik batu itu tentu sudah mencelat
hancur lebur tubuhnya! Ayo kita lanjutkan perjalanan!" Sewaktu Gerombolan Setan Merah itu lenyap di dalam rimba belantara, sesosok tubuh yang bertiarap
hampir sama rata didekat batu besar yang tadi dihancurkan oleh Setan Cambuk, dengan cepat bangkit!
Meskipun batu dimana dia bersembunyi itu dihancur¬leburkan oleh cambuk namun keadaan malam yang gelap gulita ditambah dengan rumput-rumput liar yang tinggi
masih sanggup menyembunyikannya hingga tidak terlihat oleh Setan Cambuk dan kawan-kawannya.
"Kurang ajar!" maki orang ini. "Sebentar lagi kalian akan rasakan hadiahku Setan-setan Merah!". Habis berkata begitu orang ini segera berkelebat ke arah
lenyapnya Gerombolan Setan Merah.
Kira-kira setengah jam memasuki rimba belantara yang gelap gulita itu dia menghentikan larinya dan berjalan dengan perlahan penuh waspada. Sepasang matanya
demikian tajamnya hingga meski disekitar¬nya berada dalam kepekatan gelap gulita tapi dia masih sanggup melihat jelas sejarak lima tombak ber¬keliling!
Kurang dari sepeminum teh orang ini menghentikan langkahnya. Di depannya berdiri sebuah pohon yang luar biasa besarnya laksana raksasa hitam yang berdiri
dengan megah dimalam buta! Ketika mendongak ke atas, tertahan oleh cabang-cabang pohon yang besar-besar kelihatanlah sebuah pondok diatas pohon itu. Mulai
dari lantai dan dinding sampai keatap pondok ini terbuat dari rotan yang sebesar-besar pergelangan kaki berwarna kuning mengkilap. Rotan-rotan itu dibuat
demikian licinnya hingga jangankan manusia biasa, seekor semutpun pasti akan terpeleset dan jatuh bila menginjaknya.
Pintu pondok diatas pohon besar itu kelihatan tertutup. Namun dari celah-celah dinding, atap dan lantai kelihatan menyeruak sinar lampu! Setelah meneliti
suasana sekitarnya orang yang berada dibawah pohon lalu melompat keatas pohon dan sesaat kemudian tanpa mengeluarkan sedikit suarapun tahu-tahu dia telah
berada diatap pondok rotan. Seperti telah dijelaskan rotan itu sangat licin sekali hingga jangankan manusia biasa, seekor semutpun akan terpeleset jika
merayap diatasnya. Tapi melihat kepada kenyataan bagaimana orang itu sanggup berdiri diatas atap pondok bahkan tanpa suara sama sekali maka jelaslah dia
seorang yang berilmu sangat tinggi!
Melalui celah-celah atap rotan orang itu mengintip kedalam pondok. Lima orang berpakaian merah, berambut merah dan berwajah merah duduk mengelilingi meja
bukan lain dari Gerombolan Setan Merah. Mereka sibuk menghitung kepingan-kepingan uang emas dan barang-barang perhiasan hasil rampokan mereka malam itu.
Tengah asyik menghitung-hitung itu tiba-tiba dengan ilmu menyusupkan suara Setan Cambuk berkata :
"Kalian bersiaplah! Ada seseorang diatas atap!" Keempat orang itu terkejut dan segera bersiap. Setan Cambuk mendongak keatas dan berseru lantang : "Tamu
lancang! Kau telah berani datang dan mengintai! Lekas turun serahkan diri!"
Dari atas atap terdengar suara tertawa mengekeh! Tiba-tiba beberapa buah rotan diatas atap menguit dan terbuka lebar. Sesosok tubuh berpakaian gelap melompat
turun. Serentak dengan itu Setan Cambuk kiblatkan senjatanya ke arah si pendatang! Setan Pisau tak ketinggalan. Sekali tangannya bergerak maka lima buah
pisau melesat terbang! Lima buah pisau menancap dipakaian orang yang turun dan disaat itu pula ujung cambuk melanda membuat sasarannya hancur lebur! Tapi
alangkah ter¬kejutnya kelima orang itu melihat apa yang terjadi! Ternyata yang mereka serang bukanlah sosok tubuh seseorang melainkan cuma sehelai pakaian
dan celana panjang yang saling dikaitkan satu sama lain!
"Kurang ajar! Siapa yang berani mempermainkan Gerombolan Setan Merah?!"
Terdengar lagi suara mengekeh diatas atap. Sebuah rotan terkuit dan sebuah benda melayang kebawah! Karena takut akan tertipu lagi, kelima manusia berwajah
merah itu tak mau menyerang! Tapi ketika benda yang melayang itu menancap diatas meja dihadapan mereka maka kembali kelimanya terkejut! Benda itu ternyata
adalah sebuah bendera kecil berbentuk segi tiga dengan gambar dua buah rencong bersilangan dibagian tengahnya!
"Raja Rencong Dari Utara!" seru Setan Pisau! Setan Cambuk meskipun berada disarang sendiri dan lengkap bersama kawan-kawannya namun melihat bendera kecil
itu dan mengetahui siapa adanya tamu diatas atap menjadi tercekat lalu lambaikan tangannya dan sekaligus pelita diempat sudut pondokpun padamlah! Suasana
gelap gulita kini dan diatas atap terdengar suara tawa bergelak.
"Gerombolan Setan Merah! Beginikah cara kalian menyambut kedatangan tamu?l"
Di dalam kegelapan Gerombolan Setan Merah sudah cabut senjata masing-masing. Juga dari dalam kegelapan itu terdengar suara jawaban Setan Cambuk.
"Raja Rencong! Angin apakah gerangan yang membawa kau datang ke tempat kami?! Jika angin baik dipersilahkan turun dengan hormat! Jika angin buruk yang
membawa penyakit sebaiknya lekas tinggalkan tempat ini!"
Terdengar suara tertawa gelak-gelak dari orang di atas atap yang memang Raja Rencong Dari Utara adanya. Dari celah-celah rotan atap kelihatan melesat empat
buah benda bercahaya seperti kunang-kunang yang masing-masing menuju keempat sudut pondok dimana terletak pelita. Sesaat kemudian keempat pelita itupun
menyalalah kembali! Lima manusia bermuka merah terkejut bukan main namun mereka menyembunyikan rasa kagum masing-masing.
"Lekas katakan maksud kedatanganmu!" seru Setan Cambuk pula.
"Ah, aku sudah masuk kedalam pondokmu, sungguh keterlaluan kalau kalian tuan rumah sama sekali tidak melihatnya!"
Gerombolan Setan Merah terkejut dan serempak berpaling kebelakang. Astaga! Mata mereka terbeliak besar. Tamu yang mereka sangkakan masih diatas atap tahu-tahu
sudah masuk kedalam pondok dan berada di belakang mereka!
SETAN PEDANG adalah yang paling lekas naik darah diantara kelima Setan Merah. Melihat orang berani mempermainkan dirinya dan kawan-kawan serta masuk ke
dalam pondok dengan petatang-peteteng begitu rupa marahlah dia dan segera menghunus pedang.
"Raja Rencong kau anggap kami ini apakah hingga tak memandang mata sedikitpun terhadap kami?!" bentak Setan Pedang. Setan Gada menepuk bahu kerabatnya
itu dan berbisik : "Jangan kesusu bertindak gegabah. Bangsat ini sangat lihay!". Sementara itu Setan Cambuk maju selangkah dan berkata : "Harap segera
beri tahu maksud ke¬datanganmu, Raja Rencong!".
Raja Rencong Dari Utara menyeringai dan rangkapkan tangan dimuka dada.
"Kedatanganku kesini adalah membawa angin baik dan juga angin buruk!"
Setan Cambuk kerenyitkan kening!
"Kami tak mengerti. Harap dijelaskan biar terang!" Kembali Raja Rencong menyeringai dan mem¬buka mulut : "Pertama jika kalian berlima sedia tunduk padaku
dan masuk ke dalam Partai Topan Utara yang bakal kuresmikan pada tanggal 1 bulan dimuka maka aku datang ke sini membawa angin baik. Untuk itu kalian harus
menyerahkan masing-masing lima puluh keping uang mas dan pada hari peresmian berdirinya Partai Topan Utara kalian harus datang ke Bukit Toba!" Kelima Setan
Merah saling berpandangan.
"Dan kalau kami menolak?" menyeletuk Setan Rencong.
"Berarti kalian sengaja menghendaki angin buruk!" jawab Raja Rencong Dari Utara. "Dan kalian terpaksa kumusnahkan dari atas bumi ini!". Kesunyian menyeling
beberapa saat lamanya.
"Bagaimana? Angin yang manakah yang kalian pilih?" terdengar Raja Rencong bertanya.
Setan Cambuk rangkapkan tangan dimuka dada dan menjawab : "Soal mendirikan partai adalah urusanmu. Mengapa kami yang tak ada sangkut pautnya hendak dilibatkan?!"
"Kau tak layak bertanya!" bentak Raja Rencong Dari Utara.
"Kalau begitu kau juga tidak layak memaksa!" balas membentak Setan Pedang penuh berangasan. Raja Rencong memandang lekat-lekat pada Setan Pedang lalu tertawa
sedingin salju dipuncak gunung.
"Memang maksudku mendirikan Partai Topan Utara itu banyak mendapat tantangan! Tapi semua yang menantang telah tinggal nama belaka. Agaknya hari ini aku
berhadapan pula dengan manusia-manusia keras kepala yang ingin tinggalkan nama percuma dimuka bumi ini!"
"Jangan mimpi disiang bolong sobat!" tukas Setan Pedang. "Kami bukan bangsa kacoak yang bisa dipaksa, kami bukan bangsa kroco yang bisa diperbu¬dak siapapun!
Sekalipun Raja Dari Akherat!". Meski hatinya sepanas bara dan mukanya kelam memerah namun Raja Rencong Dari Utara masih saja tertawa seenaknya.
"Setan Cambuk! Kau sebagai pemimpin dari Ge¬rombolan Setan Merah harap segera beri jawaban. Mau masuk partaiku atau musnah?!"
"Raja Rencong!" menyahuti Setan Cambuk.
"Didunia ini masing-masing manusia berhak hidup menempuh jalannya sendiri-sendiri! Mau malang, mau melintang itu adalah urusan dan kepentingannya sendiri!
Maksudmu untuk mendirikan Partai Topan Utara itu tentu saja baik. Tapi untuk masuk kedalamnya harap kau suka memberikan kelonggaran barang satu dua minggu
agar kami pertimbangkan dan pikirkan!"
"Aku datang malam ini dan harus dapat jawaban malam ini juga!" kata Raja Rencong tegas.
Mendidihlah amarah Setan Cambuk.
"Barangkali kau sudah jemu hidup Raja Rencong?!" "Kurasa demikian" menimpali Setan Pedang. "Dari Raja Rencong diatas dunia dia hendak minta jadi Raja Neraka
di alam akhirat!"
Raja Rencong Dari Utara menyeringai. Dia memandang tak berkesip pada Setan Cambuk dan berkata : "Sekali lagi aku minta jawabanmu yang tegas. Jika menolak
kalian tak akan melihat matahari besok hari!" Setan Cambuk buka kedua tangannya yang sejak tadi dirangkapkan dimuka dada. Dengan tertawa getir dia berkata
: "Meski namamu ditakuti di mana-mana tapi nama Setan Merah telah lebih dulu tersohor di delapan penjuru angin! Adalah tidak sepantasnya kalau Setan Merah
musti patuh pada Raja Rencong!"
"Jawabanmu sudah cukup jelas! Betul-betul kau dan kambrat-kambratmu sudah jemu hidup!"
"Kami berlima kau seorang diri! Sekalipun kau punya lima kepala sepuluh tangan dan kaki, mana mungkin bisa menang?!" ejek Setan Gada.
"Sebaliknya sekalipun kalian dua kali lebih banyak dan ini jangan harap akan lolos dari lobang jarum kematian!"
"Bangsat rendah! Minggatlah ke neraka!" bentak Setan Pedang. Tak terlihat kapan dia mencabut pedangnya dan tahu-tahu senjata itu sudah berkiblat di¬depan
hidung Raja Rencong Dari Utara!
"Keparat!" damprat Raja Rencong. Sesaat sebelum pedang menyambar mukanya lima jari tangannya menjentik! Lima sinar merah kekuningan menderu dan tubuh Setan
Pedang mencelat kedinding pondok dalam keadaan hangus, roboh kelantai tanpa bisa berkutik lagi! Bau daging terpanggang memenuhi pondok itu!
Kejut Setan Cambuk dan tiga Setan Merah lainnya bukan alang kepalang! Setan Pedang adalah jago nomer dua sesudah Setan Cambuk. Bagaimana dia bisa dibikin
konyol dalam satu gembrakan begitu saja?! Setan Cambuk tak menunggu lebih lama. Begitu juga tiga kawannya. Serentak mereka cabut senjata masing-masing
dan menerjang ke depan! Pertempuran hebat segera berkecamuk! Bertempur dalam jarak dekat begitu rupa menyukarkan bagi Setan Cambuk untuk mempergunakan
senjatanya. Setelah melipat tiga lebih, dulu cambuknya baru dia menerjang membantu kawan-kawannya.
Tiga jurus berlalu dengan cepat. Menyangka dalam tiga jurus itu dia dan kawan-kawannya segera akan dapat membereskan lawan sebaliknya Setan Cambuk mengeluh
dalam hati karena kenyataannya dia ber¬empatlah yang kena didesak!
Tiba-tiba Setan Cambuk bersuit memberi tanda. Setan Pisau, Setan Rencong dan Setan Gada melom¬pat pondok. Dan disaat itu terdengar suara menggele¬gar!
Cambuk ditangan Setan Cambuk melesat menghantam ke arah muka Raja Rencong. Dikejap yang sama lima buah pisau menderu dilemparkan Setan Pisau! Raja Rencong
membentak keras hingga pondok rotan itu tergetar hebat! Kelihatan sekilas tangannya yang sebelah kiri bergerak kemudian tubuhnya lenyap. Sekejap kemudian
terdengar suara bergedebuk yang disusul suara pekik setinggi langit dan yang terakhir suara seruan tertahan!
Apa yang terjadi demikian cepatnya hingga tak sempat seorangpun dari keempat Setan Merah itu dapat melihat dengan jelas. Ketika semua itu telah terjadi
barulah mereka sadar dan terkesiap!
Sewaktu diserang oleh cambuk dan lima buah pisau. Raja Rencong jatuhkan dirinya kelantai sambil mempergunakan tangan kiri menyambut bagian belakang dari
ujung cambuk! Bukan saja Raja Rencong berhasil menyambut dan menangkap ujung cambuk Setan Cambuk tapi sekaligus begitu jatuhkan diri dia melewatkan lima
pisau yang terbang kearahnya dan bergulingan ke tempat Setan Pisau yang telah melepaskan kelima pisau itu. Saking cepatnya gerakan itu Setan Pisau sendiri
tak tahu kalau dirinya diserang. Dan Tiba-tiba saja satu jotosan yang ratusan kati beratnya telah melanda dadanya! Tulang dadanya hancur! Darah membusah
dimulutnya. Tubuhnya rebah ke lantai! Dilain kejap Raja Rencong melompat kekiri dan membuat tiga kali putaran. Maka tahu-tahu Setan Cambuk merasakan sekujur
tubuhnya telah terikat erat oleh cambuknya sendiri hingga untuk beberapa saat lamanya dia tak bisa bergerak barang sedikitpun! Raja Rencong Dari Utara
tertawa mengekeh! Suara tawanya lenyap ditelan deru dua serangan dari samping yaitu serangan yang dilancarkan Setan Rencong dan Setan Gada! Serangan ini
hebat dan ganas sekali karena dilancarkan dengan penuh amarah serta segala kelihayan yang ada! Dan hasil dari serangan itu adalah lebih hebat lagi!
Sekejap senjata kedua Setan Merah itu akan me¬nemui sasarannya maka kelihatanlah kiblatan sinar kuning yang menyilaukan. Rencong dan gada dita¬ngan kedua
kawan Setan Cambuk itu terlepas mental. Keduanya terhuyung-huyung dengan memegangi dada yang berlumuran darah tertusuk Rencong Emas ditangan Raja Rencong
Dari Utara. Sesaat kemudian mereka merasa sekujur tubuh mereka panas dingin, jalan darah seperti terbalik dan kepala laksana mau pecah. Sewaktu lutut masing-masing
menjadi goyah keduanya bergelimpangan rebah, berkelojotan sejenak lalu tak bergerak lagi alias mati!
Raja Rencong Dari Utara tertawa mengekeh. Sekali dia meniup Rencong Emas maka lenyaplah noda darah pada ujung senjata itu. Sambil memasukkan senjata sakti
itu kesarungnya yang tersisip dipinggang Raja Rencong berpaling pada Setan Cambuk yang saat itu telah melupakan untuk membebaskan dirinya dari libatan
cambuk karena terkesiap melihat bagaimana ke empat anak buahnya satu demi satu menemui ajal ditangan Raja Rencong!
"Bagaimana?! Apakah kau masih punya nyali untuk menghadapiku?!" tanya Raja Rencong.
Paras Setan Cambuk yang tadi sepucat kertas kini menjadi kelam merah. Sekali dia berontak maka lepaslah ikatan cambuk disekujur tubuhnya!
"Masih mau melawan?!" bentak Raja Rencong seraya siapkan ilmu pukulan kuku api ditangan kanannya. Meski darahnya mendidih, meski amarah bergejolak membakar
hatinya namun pada dasarnya Setan Cambuk memang sudah tak punya nyali untuk menggempur Raja Rencong. Dia sudah saksikan sendiri kehebatan Raja Rencong!
Sudah saksikan pula kema¬tian kawan-kawannya. Berlima dia tak sanggup mengalahkan Raja Rencong, apalagi dengan seorang diri.
"Aku mengaku kalah", desis Setan Cambuk seraya melemparkan senjatanya.
"Mengaku kalah berarti tunduk kepadaku!" "Aku tunduk!" kata Setan Cambuk dengan hati penasaran.
"Dan harus bersumpah untuk masuk ke dalam Partai Topan Utara!"
"Aku bersumpah!" dan Setan Cambuk mengangkat tangan kanannya sebagaimana laku seorang yang tengah disumpah. Tapi Tiba-tiba tangannya itu secepat kilat
dipukulkan kemuka.
"Wutt!"
Selarik sinar hitam menderu ke arah Raja Rencong. Kejut dan amarah Raja Rencong bukan main!
"Keparat berani menipuku!" hardik Raja Rencong.
"Bangsat! Mampuslah!" teriak Setan Cambuk seraya hantamkan tangan kanannya sekali lagi! Tapi yang sekali ini Raja Rencong Dari Utara tidak memberi hati
lagi. Lima jari tangan kanannya menjentik. Lima sinar merah kekuningan menderu dan terdengarlah pekik pemimpin Gerombolan Setan Merah itu! Riwayatnya tamat!
Tubuhnya hangus kehitaman menghampar bau daging yang terpanggang!
PUNCAK BUKIT TOBA merupakan selimutan hutan belantara yang amat rapat karena jarang diinjak dan didatangi manusia. Delapan penjuru kaki bukit berhubungan
dengan pantai yang setiap saat disirami pecahan dan buih ombak sehingga dengan kata lain bukit besar itu adalah sebuah pulau yang terletak di tengah danau
yang sangat luas.
Dalam tiupan angin siang yang sepoi-sepoi basah, diatas air danau kelihatan meluncur sebuah perahu yang ditumpangi oleh tiga orang berjubah dan ber¬sorban
putih! Ketiganya tidak memegang sebuah pendayungpun, tapi hebatnya, dengan memperguna¬kan telapak-telapak tangan sebagai pengganti pendayung, ketiganya
membuat perahu itu meluncur laksana naga terbang diatas permukaan air danau hingga dalam tempo yang singkat perahu merekapun sudah men¬darat dibagian timur
pulau, dan mereka melompat dalam gerakan yang luar biasa ringannya! Sewaktu melangkah diatas pasir pantai yang basah, sama sekali kaki-kaki mereka tidak
meninggalkan jejak barang sedikitpun. Nyatalah ketiga orang ini manusia-manusia berkepandaian tinggi!
Salah seorang dari ketiganya yang agaknya men¬jadi pemimpin rombongan memandang berkeliling, lalu memberi isyarat pada kedua kawannya dan se¬bentar kemudian
ketiganya sudah berlari laksana terbang menuju kepuncak Bukit Toba. Semakin jauh ke atas bukit semakin susah perjalanan karena sangat rapatnya pohon-pohon
dan semak beluar. Ketiga orang ini tentu saja tidak mau rusak pakaian mereka terkait ujung ranting dan semak belukar. Karenanya merekapun melanjutkan perjalanan
dengan "berlari" diatas pohon, melompat dari satu cabang ke cabang lain dan tanpa mengeluarkan suara barang sedikitpun! Benar-benar amat mengagumkan!
Beberapa lama kemudian ketiganya sampai di puncak Bukit Toba. Yang terdepan berhenti di ca¬bang paling atas dari sebuah pohon yang besar dan luar biasa
tingginya. kawan-kawannya kemudian berdiri disisi kiri kanan dan mereka sama memandang ke ¬depan.
Di depan sana, dikelilingi oleh pohon-pohon besar tinggi terdapat sebuah bangunan berbentuk istana. Tapi bangunan ini sudah sangat tua sekali dan tidak
mendapat rawatan sebagaimana mustinya hingga ke¬adaannya amat menyeramkan!
Seluruh bangunan diselimuti debu tebal. Hampir disetiap sudut kelihatan jaring labah-labah bahkan juga tampak sarang-sarang burung dan kelelawar! Atap
bagian depan miring kekiri. Di atas genting tumbuh pohon-pohon kecil, lumut menyelimut dimana-mana.
"Inikah tempatnya?!" tanya salah seorang laki-laki tua diatas pohon.
"Kelihatannya seperti tak pernah didatangi manusia. Mungkin kau salah".
laki-laki yang berdiri ditengah memandang berkeliling sebentar lalu menjawab : "Kemanapun mata ditujukan hanya itu satu-satunya bangunan yang kelihat¬an
dipuncak bukit ini!"
"Tapi sungguh tak …".
"Diam! Ada orang datang!" kata orang tua yang di tengah. Sesaat kemudian baru dua orang tua lainnya mendengar suara bergemerisik. Ini sudah cukup men¬jadi
pertanda bagaimanapun tingginya ilmu kedua orang yang belakangan ini tapi masih berada dibawah orang tua yang pertama. Ketiganya cepat memandang berkeliling.
Baru saja memutar leher tiba-tiba mengumandang suara bentakan yang sangat keras!
"Tiga tua renta diatas pohon, apakah datang ada membawa kain kafan untuk pembungkus jenazah kalian masing-masing kelak?!"
Ketiga orang tua diatas pohon terkejut bukan alang kepalang. Terkejut bukan karena keras lantangnya suara bentakan itu yang hingga saat itu masih mengumandang
keseluruh pelosok bukit, juga bukan karena bentakan yang demikian menganggap rendah bahwa mereka akan menemui ajal! Yang mengejutkan mereka ialah karena
suara bentakan itu jelas sekali adalah suara perempuan! Dan belum habis keterkejutan ketiganya suara bentakan itu mengumandang kembali lebih keras dan
kali ini bernada memerintah:
"Manusia-manusia berjubah putih! Lekas turun!"
Pertama sekali suara bentakan itu terdengar da¬tangnya dari arah barat, diantara pohon-pohon besar yang rapat. Yang kedua kali tadi bentakan itu datangnya
dari arah bangunan tua! Maka ketiga orang tua ber¬jubah putih itupun tanpa melupakan kewaspadaan segera melompat turun ke pelataran batu yang ter¬dapat
didepan bangunan.
Namun tiada terkirakan kejut dan peranjat me¬reka sewaktu orang yang tadi membentak bukan muncul dari dalam bangunan tua melainkan dari balik pohon besar
diatas mana mereka tadi berdiri! Nyata¬lah betapa hebat dan lihaynya ilmu memindahkan suara orang itu! Dan yang lebih membuat ketiga orang tua bersorban
itu lebih-lebih kagum ialah orang yang muncul itu adalah seorang perempuan berpakaian ungu. Rambutnya panjang hitam tergerai sampai kepunggung. Parasnya
ditutup dengan sehelai kerudung yang juga berwarna ungu. Mendengar kepada suaranya yang tajam menyorot perempuan ini pastilah bersifat keras dan galak!
Ketiga orang tua tak dapat menduga berapa kira-kira usia perempuan berkerudung ini. Dan dalam berdiri terpisah sejauh beberapa tombak itu ketiganya dapat
mencium bau harum yang keluar dari tubuh dan pakaian perempuan berkerudung!
"Dengan siapakah kami berhadapan?!" tanya orang tua yang bertindak sebagai pemimpin rom¬bongan.
Dari balik kerudung ungu terdengar suara mendengus.
"Kalian pendatang-pendatang yang tidak tahu diri dan lancang berani datang kemari yang musti terangkan diri!"
Orang tua itu batuk-batuk dan sunggingkan senyum. "Jangan tertawa macam monyet kurang ingatan!" bentak perempuan berkerudung!
"Kalau sekiranya kau mau membuka kerudung, baru kami akan terangkan siapa kami dan juga maksud kedatangan kami bertiga kesini!"
Terdengar suara gigi-gigi berkeretakan!
"Tua bangka keparat! Sudah hampir mampus masih berhati kotor ingin melihat paras perempuan! Apakah itu sifat orang beragama macam kalian!" Merahlah wajah
ketiga orang berjubah putih, apalagi yang tadi bicara. Dia berkata begitu tadi de¬ngan maksud untuk mengetahui dengan siapa se¬sungguhnya dia berhadapan,
tapi si kerudung ungu salah, sangka dan mendampratnya!
"Kami orang-orang tua mana ada pikiran untuk tergoda pada keindahan dunia ini! Justru kedatangan kami kesini adalah untuk menyelamatkan dunia ini dari
segala macam kekotoran!"
Perempuan berkerudung tertawa. Suara tawanya cukup merdu tapi juga cukup menyeramkan!
"Hebat sekali kalau begitu!", katanya dengan nada mengejek. "Tapi kau kesasar datang kesini, orang-orang tua! Kau kesasar mengantarkan jiwa! Tahukah kau
bahwa setiap ada manusia luaran yang berani menginjakkan kakinya dipulau ini berarti mati?! Sekarang lekas beri tahu nama kalian agar setan-setan penghuni
pulau lebih cepat mengenal calon-calon kawannya!" Penghinaan perempuan berkerudung itu sudah melewati batas. Tapi ketiga orang tua berjubah putih tetap
berdiri dengan sabar malah yang seorang men¬jawab :
"Aku Kyai Suhudilah dan dua orang kawan¬ku ini Kyai Selawah dan Kyai Tanjung Laboh"
"Hem jadi kau Kyai Suhudilah! Aku tahu sudah apa maksud kedatanganmu bersama dua kambratmu itu ke sini. Pasti untuk membalas dendam karena ayahku telah
menghancurkan Pesantrenmu beberapa waktu yang lampau!".
"Jadi kami berhadapan dengan anak perempuan Raja Rencong Dari Utara?!" ujar Kyai Suhudilah. "Sudah tahu kenapa tidak Iekas-lekas berlutut?!". Kyai Suhudilah
tertawa dingin.
"Menurut ajaran agama kami, satu-satunya kepada siapa manusia berlutut ialah Tuhan bukan manusia, apalagi manusia macam kau, anak seorang durjana biang
penyebab malapetaka dan bencana didelapan penjuru angin!"
"Lekas panggil ayahmu!"
"Tua bangka sialan! Kau tidak layak memerintahku!" bentak perempuan berkerudung ungu.
"Jika demikian ", berkata Kyai Selawah,
"Harap dimaafkan kalau kami mungkin terpaksa memaksamu ".
Anak Raja Rencong Dari Utara berpaling kepada Kyai Selawah. "Mulutmu sombong, tapi kau bicara masih punya perasaan. Kelak kematianmu lebih men¬dingan dari
pada kawanmu yang satu ini!" dan dia menuding pada Kyai Suhudilah. Dan setelah meman¬dang Kyai Suhudilah dengan sorot matanya, perem¬puan itu berkata :
"Kedatanganmu kesini pasti untuk balas dendam pada ayahku! Sebelum ayahku muncul kunasihatkan agar kau cepat-cepat saja bunuh diri! Itu lebih baik bagimu,
orang tua!".
Air muka Kyai Suhudilah kelihatan merah. Bagaimanapun sabarnya seseorang, lambat laun kesabarannya akan luntur juga.
"Perempuan, kesombongan dan kecongkakan ayahmu rupanya sudah kau wariskan selagi dia masih hidup! Kuharap kesombongan dan kecongkakan itu segera kau buang
bila ayahmu meninggal!"
"Tua bangka bermulut besar! Kau berani meng¬hina aku dan ayah! Makan jariku ini!". Perempuan berkerudung jentikkan lima jari tangan kirinya sekaligus!
"Wuut!"
Lima sinar merah kekuningan menderu ke arah Kyai Suhudilah!
"Awas pukulan kuku api!" teriak Kyai Suhudilah
memperingatkan kedua kawannya. Dia sendiri sambil
menghindar kebutkan lengan jubahnya sebelah kanan!
"Wuus!"
Kyai Suhudilah pucat pasi parasnya! Meski kebutan lengan jubahnya berhasil membuyarkan serangan maut itu namun tak urung lengan jubahnya menjadi hangus
hitam dan hawa panas menjalar kekulit lengan! Dengan cepat sang Kyai sobek ujung lengan jubahnya. Gadis berkerudung ungu tertawa gelak-gelak.
"Kalau kepandaianmu cuma sedalam sungai yang dangkal, Betul-betul hanya mengantarkan jiwa datang kemari! Lebih baik kalian bertiga bunuh diri!" Kyai Suhudilah
mendekam dalam hati, dan berkata : "Kami bukan manusia-manusia bangsa pengecut yang bersedia melawan seorang perempuan! Lekas panggil ayahmu!"
"Benar-benar tidak tahu diri! Diberi kesempatan bunuh diri malah tambah menantang!". Bola-bola mata si gadis menyorot tajam dan sesaat kemudian tubuhnya
berkelebat dan tahu-tahu sudah membagi serangan pada ketiga Kyai dalam satu jurus bernama "tiga ekor naga menggempur sang surya"
Kembali ketiga Kyai dikejutkan oleh kehebatan serangan ini! Cepat-cepat mereka menghindar dan setelah saling memberi isyarat serentak maju untuk meringkus
anak gadis Raja Rencong itu hidup-hidup! Namun mereka tertipu! Tidak semudah itu untuk menangkap hidup-hidup gadis yang sudah menguasai lebih setengah
bagian dari ilmu silat ajaran ayahnya! Begitu ketiga Kyai serempak maju, tubuh si gadis berkelebat dan lenyap! Lalu terdengar suara lengkingan seperti
lengkingan burung raksasa. Lobang-lobang telinga ketiga Kyai terngiang sakit! Dan dalam pada itu satu tebasan tepi telapak tangan menderu sekaligus ke
arah kepala mereka! Kyai Suhudilah dan kawan-kawan terpaksa bersurut undur untuk selamatkan kepala masing-masing! Mereka mengeluh, jika anaknya demikian
hebatnya tentu ayahnya bukan lawan enteng meskipun mereka bertiga!
Kyai Suhudilah merenung cepat. Dia adalah seorang yang bermata tajam dan setiap bertempur selalu memperhatikan gerakan-akan yang dibuat lawan! Meski baru
satu gerakan namun dia telah dapat melihat sifat-sifat gerakan si gadis dan tahu dimana letak kelemahan ilmu silat lawan! Dengan cepat Kyai Suhu¬dilah
berkaca dengan ilmu menyusupkan suara pada kedua Kyai lainnya : "Kita serang dia dengan barisan tiga malaekat lenyap kelangit!"
Kyai Salawah dan Kyai Tanjung Laboh mengangguk tanda mengerti. Kyai Suhudilah mengedipkan matanya dan ketiganyapun kemudian menyerbu dari tiga jurusan.
Kyai Suhudilah dari depan, Kyai Selawah dari samping kanan dan Kyai Tanjung Laboh dari samping kiri!
"Ilmu silat picisan macam apa yang hendak kalian obral di hadapanku?!" ejek anak gadis Raja Rencong. Tubuhnya dibungkukkan sedikit dan dengan mengandalkan
tumit kaki kirinya, laksana sebuah titiran dia berputar dengan kaki kanan menderu ke arah ketiga penyerangnya! Yang sekali ini tidak mudah bagi gadis berkerudung
ungu ini untuk memusnahkan serangan ke tiga Kyai itu. Karena begitu tubuhnya berputar dan menghantamkan tendangan dalam bentuk lingkaran, ketiga lawannya
berkelebat cepat, lenyap dari pemandangannya dan tahu-tahu sudah menyerang lagi dari jurusan yang lain yaitu Kyai Suhudilah dari belakang, Kyai Selawah
dari depan sedang Kyai yang satu lagi dari samping kanan. Tiga buah totokan menderu ke arah tiga jalan darah si gadis! Gadis itu kertakkan geraham tanda
penasaran kedua kakinya menjejak tanah. Didahului oleh satu lengkingan keras dia melompat ke atas. Kaki kiri dihantamkan ke depan menendang lengan Kyai
Selawah. Kaki kanan ditendangkan saperti kuda menendang ke arah Kyai Suhudilah yang menyerang dari belakang sedang satu pukulan tangan kosong yang mendatangkan
angin keras dihantamkan ke batok kepala Kyai Tanjung Laboh yang menotok dari samping!
Karena tubuh si gadis berada di udara dan lebih tinggi dari ketiga lawannya maka meski bagaimanapun hebatnya serangan para Kyai, namun serangan balasan
dari si gadis tak dapat tidak akan berhasil mencelakakan mereka lebih dulu!
Anak gadis Raja Rencong menyeringai dibalik kerudungnya sewaktu melhat ketiga penyerangnya menarik pulang tangan masing-masing. Segera dia hendak susulkah
dengan tiga serangan berantai yang menurutnya tidak dapat tidak pasti akan mengirim mereka ke pintu kematian! Dengan gelak mengejek maka dia segera lancarkan
tiga serangan berantai itu!
Tapi hatinya menciut!
Parasnya yang tersembunyi di balik kerudung berubah total! Peluh dingin mengucur dikeningnya sewaktu entah bagaimana ketiga calon korbannya itu lenyap
dari pemandangan dan tahu-tahu tiga pusat jalan darahnya terasa dingin! Sadarlah si gadis bahwa ketiga lawannya sebelum sempat dia menyerang telah lebih
dulu mengirimkan totokan-totokan dari jurusan lain yang tak diduganya! Meski bagaimanapun kehebatan dan kecepatannya untuk mengelak atau menangkis tapi
kini sudah kasip! Yang bisa dilakukannya cumalah memaki dan merutuk dalam hati!!
Si gadis mengeluh tinggi sewaktu totokan yang pertama melanda jalan darah dipunggungnya. Kedua tangannya dengan serta merta lumpuh. Tubuhnya ter¬huyung-huyung
kemuka. Dalam sedetik lagi dua totokan segera pula akan mendarat susul menyusul di bagian lain tubuhnya!
Dalam keadaan yang demikian kritisnya bagi si gadis tiba-tiba mengumandanglah suara bentakan yang kerasnya laksana gelegar gunung meletus!
"Pandansuri! Siapa yang berani berlaku kurang ajar terhadapmu?!"
Satu gelombang angin yang luar biasa dahsyatnya menderu, membuat ketiga Kyai terhuyung lima langkah dari kalangan pertempuran sedang gelombang angin itu
sekaligus melepaskan totokan ditubuh si gadis yang ternyata bernama Pandansuri!
MENDENGAR suara bentakan itu dan merasa totokan pada punggungnya lepas Pandansuri menjadi lega. Sebaliknya ketiga Kyai terkejut bukan main! Mereka adalah
orang-orang cabang atas dalam ilmu silat, tapi sekali terpa saja ketiganya telah "dilemparkan" keluar sejauh lima langkah dari kalangan pertempuran! Mereka
sama palingkan kepala dengan cepat!
Seorang laki-laki berbadan tinggi tegap berdiri ber¬tolak pinggang dibawah atap bangunan tua! Pakaian¬nya dan juga destarnya yang tinggi berwarna ungu.
Tampangnya yang angker itu dihias dengan kumis hitam melintang. Bajunya yang sengaja tidak dikan¬cingkan memperlihatkan dada yang penuh otot dan berbulu!
"Apakah kami berhadapan dengan Raja Ren¬cong dari Utara?!" tanya Kyai Suhudilah.
Pelipis laki-laki itu menggembung. "Sialan! Ditanya malah menanya! Jawab! Apa kalian tidak malu mengeroyok seorang perempuan?!"
"Malu atau tidak malu bukan itu soalnya", ja¬wab Kyai Suhudilah. "Kami datang mencari Raja Rencong! Dan anak gadisnya hendak membunuh kami bertiga! Apakah
salah kalau kami tak bisa ber¬pangku tangan?!"
laki-laki berkumis melintang tertawa sambil usap-usap dadanya yang berbulu.
"Baru menghadapi anaknya kalian sudah kewalahan! Bagaimana kalian punya nyali untuk datang kemari dan mencariku ?!"
"Ayah! Perlu apa bicara panjang lebar dengan tua bungka ini! Dia telah menghina kita! Biar kau saksikan bagaimana daku memberi pelajaran caranya mati pada
mereka!". Pandansuri lantas cabut sebilah rencong perak dari balik pakaiannya. Senjata ini berkilauan ditimpa sinar matahari dan adalah sebuah senjata
mustika. Tanpa berbaling pada anaknya Raja Rencong berkata : "Pandan, kau masuklah! Siapkan Arena Topan Utara!".
Meskipun hatinya penasaran sekali diperintah demikian, dengan banting-banting kaki Pandansuri akhirnya masuk ke dalam bangunan tua yang berbentuk seperti
bangunan tempat kediaman hantu itu!
"Raja Rencong Dari Utara!" kata Kyai Suhudilah.
"Banyak hal pertanggungan jawab yang hendak kuminta padamu !".
"Begitu?! Silahkan masuk ketempatku! Kita bicara di Arena Topan Utara!".
"Cukup disini saja", sahut Kyai Suhudilah.
Raja Rencong menyeringai. "Walau bagaimanapun aku masih punya peradatan dalam menerima kunjungan tamu! Sekalipun tamu-tamu itu datang sengaja untuk mencari
mampus!". Habis berkata begitu Raja Rencong memutar tubuh dan masuk ke dalam bangunan tua. Mau tak mau ketiga Kyai terpaksa mengikuti dari belakang!
Bangunan itu ternyata panjang sekali. Ketiga Kyai melangkah dibelakang Raja Rencong terpisah sejauh sepuluh langkah. Mereka senantiasa berlaku waspada
karena kalau bangunan tua itu betul-betul men¬jadi sarang Raja Rencong Dari Utara bukan mustahil dilengkapi dengan segala macam alat rahasia yang ber¬bahaya.
Dan bukan tidak mustahil pula Raja Rencong tengah hendak menjebak mereka bertiga!
"kawan-kawan, bagaimana kalau kita serang dan ringkus dia hidup-hidup selagi membelakangi kita ini?!" bisik Kyai Selawah. Kyai Suhudilah merenung sejenak
lalu menggeleng pelahan. "Itu tindakan pengecut", katanya.
"Kalau kita menang tak akan terpuji, kalah malah memalukan!"
"Tapi terhadap manusia biang malapetaka macam yang satu ini kurasa tak perlu memakai segala macam ukuran baik dan buruk lagi!", bisik Kyai Tanjung Laboh.
"Walau bagaimanapun kita tak bisa bertindak begitu", menyahut Kyai Suhudilah.
Ketiganya melangkah terus mengikuti Raja Rencong. Mereka menuruni sebuah tangga batu. Tangga Itu sebenarnya terbuat dari batu marmer yang putih bersih.
Tapi karena tak pernah dirawat dan dibersih¬kan tangga itu telah menjadi hitam diselimuti lapisan debu setinggi beberapa mili! Raja Rencong menuruni anak
tangga dengan sikap acuh tak acuh. Ketika Kyai Suhudilah dan kawan-kawan memandang kebawah, pada lapisan debu yang menutupi anak-anak tangga tak ke¬lihatan
sedikit jejakpun! Sebaliknya ketika mereka memandang kebelakang, keanak-anak tangga yang tadi mereka lewati kentaralah jejak-jejak kaki mereka, meskipun
tidak membayang jelas! Dan ketiga Kyai ini sama-sama menggigit bibir.
"Kuatkan hati kalian!" bisik Kyai Suhudilah memberi semangat. "Betapapun kejahatan itu tak bisa bertahan lama! Kalaupun kita harus pasrahkan jiwa ditempat
ini, kita mati dalam berjuang! Mati syahid!" Di bagian bawah bangunan tua itu terdapat sebuah ruang batu yang amat luas yang kira-kira dapat menampung
lima ratus orang di keempat tepinya. Ruangan batu ini berbeda sekali dengan seluruh keadaan bangunan yang telah dilihat oleh ketiga Kyai. Keadaannya luar
biasa bersihnya hingga bayangan-bayangan tubuh orang yang berada di ruangan itu akan kelihatan samar-¬samar di lantai dan dinding serta atap. Ruangan itu
berbentuk empat persegi. Di bagian tengahnya terdapat pelataran yang agak tinggi, berbentuk lingkaran. Inilah Arena Topan Utara!
Di tengah Arena terdapat sebuah meja kayu jati yang indah berukir-ukir dikelilingi empat buah kursi. Satu dari keempat kursi ini lebih bagus dan besar
dari tiga lainnya. Di atas meja terdapat empat buah piala perak. Raja Rencong naik ke atas Arena dan duduk di kursi besar, memandang pada ketiga tamunya
dan berkata :
"Silahkan mengambil tempat duduk !"
Ketiga Kyai duduk di masing-masing kursi. kewaspadaan mereka semakin dipertebal. Tak seorang lainpun yang kelihatan.
"Sebelum kita bicara silahkan minum arak dalam piala!" Raja Rencong lalu mendahului meneguk arak dalam piala di hadapannya. Ketika dia meletakkan piala
yang kosong itu di atas meja kembali matanya membeliak :
"Kenapa kalian tidak mau minum?".
"Terima kasih! Agama kami tidak memper¬kenankan meneguk minuman keras macam begini", sahut Kyai Suhudilah.
"Agamamu-agamamu! Di sini kalian harus mengikuti aturanku dan menghormati diriku! Lekas minum!".
"Terima kasih. Lebih baik … ".
"Apakah kau kira aku hendak meracuni kalian?!" sentak Raja Rencong mulai beringasan.
"Kami datang ke sini bukan untuk minum-minum" membuka mulut Kyai Tanjung Laboh.
"Tapi untuk bicara! Untuk meminta pertanggungan jawabmu …"
Raja Rencong menyeringai. Lalu matanya yang garang menyapu paras ketiga Kyai di hadapannya. Dan dari mulutnya mendesis suara pertanyaan :
"Bicara hal apa dan pertanggungan jawab apa?!"
"Kurasa kau sudah cukup maklumi" jawab Kyai Suhudilah. "Tapi aku tak keberatan untuk mengatakannya blak-blakan padamu. Selama belasan tahun daerah utara
ini aman tenteram! Namun sejak kau muncul maka di mana-mana timbul malapetaka, di mana-mana timbul keonaran! Kalau cuma malapetaka dan keonaran biasa itu
bukan apa-apa tapi kau juga sekaligus mempunyai cita-cita untuk mendirikan sebuah Partai yang bertujuan jahat semata-mata!"
Sampai di situ Raja Rencong menukas.
"Apakah menjadi hak orang lain untuk tidak tenang dengan cita-cita seseorang ?!"
"Memang bukan hak orang lain! Tapi kalau cita-cita itu hendak dicapai dengan mengorbankan nyawa manusia yang tak mau tunduk dan ikut dalam Partaimu, dengan
jalan membunuh puluhan manusia tanpa kemanusiaan, maka itu adalah hak setiap orang untuk turun tangan! Di samping itu aku pribadi Ingin meminta pertanggungan
jawabmu atas kematian Wakil serta dua puluh orang penghuni Pesantren Suhudilah!"
Raja Rencong Dari Utara memuntir-muntir kumis- kumisnya. Dalam pada itu Kyai Tanjung Laboh berkata pula:
"Aku dan Kyai Selawah merasa mempunyai tanggung jawab untuk mengamankan dan menenteramkan daerah utara yang telah dilanda malapetaka besar itu! Karena
itulah kami berdua datang menyertai Kyai Suhudilah !".
"Jika begitu katakan saja cara bagaimana kalian bertiga hendak turun tangan terhadap Raja Rencong Dari Utara!", kata Raja Rencong.
"Atas apa yang kau telah buat di dunia luar dan di Pesantrenku, aku dan kawan-kawan berhak memisahkan batang lehermu dengan badan! Namun sebagai orang
beragama kami masih mau memberikan ampunan dengan jalan hanya memotong kedua tanganmu se¬batas siku !"'
Raja Rencong Dari Utara kerenyitkan kening, mendelikkan mata lalu tertawa gelak-gelak hingga keempat dinding ruangan itu bergetar! Tangan kirinya mengusap-usap
dadanya yang berbulu. Kyai Suhudilah keluarkan sebatang golok besar yang tajam luar biasa. Sehelai rambut yang dimelintangkan diatas mata golok lalu ditiup
pelahan pasti akan putus!
"Terima kasih... terima kasih! Sungguh kalian bertiga manusia-manusia agama yang baik budi dan punya pertimbangan yang adil!" kata Raja Rencong. Lalu sambungnya
:
"Karena kalian bertiga mau meng¬ampuni jiwaku, maka akupun rela pula untuk tidak mencabut nyawa kalian meskipun aku mempunyai aturan bahwa siapa yang berani
datang ke pulau ini pasti akan kubunuh! Karenanya kalian bertiga lekas-lekas saja bunuh diri! Bagaimana cara terserah masing-masing kalian! Tentang jenazah
kalian tak perlu dikhawatir¬kan! Danau yang mengitari pulau ini cukup layak menjadi kubur kalian!"
"Raja Rencong", ujar Kyai Suhudilah. "Keja¬hatanmu akan kami balas dengan keadilan! Itu sudah lebih dari layak! apakah kau masih hendak berkeras kepala
mengikuti kesesatannya setan?!"
Raja Rencong Dari Utara berdiri dari kursinya sambil tertawa sedingin es.
"Diberi kesempatan untuk bunuh diri, kalian tidak mau melakukan! Terpaksa tanganku yang bertindak. Perlahan lahan Raja Rencong angkat tangan kanannya.
Lima jari yang dikembang kukunya ke¬lihatan berubah merah kekuningan!
"Wuut!"
Lima larik sinar merah kekuningan yang panasnya bukan olah-olah menggempur ke arah tiga Kyai.
Baiknya para Kyai ini sudah bersiap sedia sehingga begitu serangan ilmu kuku api dilancarkan maka ketiganya sudah melewat dari kursi masing-masing! Yang
menjadi korban ialah tiga kursi bekas tempat mereka duduk. Ketiga kursi itu serta merta menjadi hitam hangus mengebul!
Meski hati tergetar hebat melihat kehebatan kesaktian lawan namun ketiga Kyai sudah bertekad bulat untuk berkorban jiwa demi kemusnahan manusia biang malapetaka!
Serentak turun ketiganya Ialu mencabut senjata dan menyerang dengan hebat! Kyai Suhudilah menyerang dengan sebuah tasbih Kumala Hijau, sedang tangan kiri
memutar golok datar yang tadi hendak dipakai untuk memotong kedua lengan Raja Recong. Kyai Selawah menggempur dengan sebilah pedang biru sedang Kyai yang
ketiga yakni Kyai Tandjung Laboh menghantam dengan sebuah kebutan yang berbentuk seperti sapu kecil!
Raja Rencong Dari Utara berdiri di tempatnya dengan sikap acuh tak acuh meski topan serangan melandanya. Yang hebat ialah jangankan tubuhnya, rambut atau
pakaiannyapun tidak berkibar dilanda angin serangan para Kyai! Sesaat tiga ujung senjata akan mencium dirinya, Raja Rencong Dari Utara gerakan tangan kanannya!
Pedang, Tasbih Kumala Hijau dan Kebutan Sakti terpental kembali laksana menghantam benda karet yang atos!
Berobahlan paras ketiga Kyai!
Raja Rencong Dari Utara tertawa mengejek. Tiba-tiba sekali tangan kanannya bergerak dan dari mulutnya yang tadi tertawa keluar seman :
"Makan jotosan selaksa palu godam ini !" Meski sebelumnya berseru demikian rupa yang sekaligus memberi peringatan pada calon korbannya namun ketiga Kyai
tak dapat melihat gerakan tangan lawan dan yang lebih hebat lagi mereka tak tahu siapa di antara mereka yang menjadi sasaran, demi¬kianlah saking cepatnya
gerakan serangan Raja Ren¬cong Dari Utara.
Lalu terdengarlah suara :
"Ngek!"
Tubuh Kyai Selawah tertekuk ke muka sebentar lalu mencelat mental keluar Arena, menggeletak di lantai batu dengan perut pecah!
Kyai Suhudilah dan Kyai Tanjung Lor tertegun terkesiap beberapa ketika lamanya!
"Kenapa termangu?! Kalian tokh akan menerima nasib macam dia pula ?!" ujar Raja Rencong pula. Kedua Kyai kertakan rahang. Pelipis-pelipis keduanya menggembung
tanda mereka tak dapat lagi mengendalikan amarah yang meluap! Kyai Suhudilah menyerang lebih dahulu dengan jurus silat Turki yang aneh gerakannya.
"Hemm silat picisan dari negeri orang yang ditontonkan di depanku!" ejek Raja Rencong.
"Sanggupkah ilmu silat Turki menerima pukulanku yang ini ?!"
Dengan jari-jari tangan mengembang, Raja Rencong Dari Utara dorongkan tangan kanannya ke arah Kyai Suhudilah! Bacokan golok besar dan hantaman Tasbih Kumala
Hijau tertahan dan mental. Bersamaan dengan itu satu gelombang angin yang luar biasa hebatnya menerpa tubuh Kyai Suhudilah! Kyai ini mengeluh dan mental
ke luar Arena. Begitu terhantar di lantai batu tak berkutik lagi karena meski di luar tubuhnya tak kelihatan rusak namun di dalam dua balas urat-urat yang
paling penting telah putus! Itulah kehebatan ilmu pukulan "topan pemutus urat"!
Semangat Kyai Tanjung Laboh seperti terbang menyaksikan kematian kedua, kawannya itu! Muka¬nya pucat tiada berdarah. Dan Tiba-tiba Raja Rencong berpaling
padanya dengan seringai maut bermain di bibir.
"Sesudah melihat tontonan ngeri itu apakah kau masih punya nyali? Bukankah lebih baik bunuh diri saja agar kau bisa mampus dengan enak?!"
"Demi Tuhan! Lebih baik mati dengan senjata ditangan dari pada melakukan kepengecutan!" jawab Kyai Tanjung Laboh. Seluruh tenaga dalamnya telah dialirkan
ke ujung kebutan dan sekali dia menggerakkan senjata itu maka sepuluh jalan darah di tubuh Raja Rencong diancam bahaya maut!
Anehnya Raja Rencong cuma ganda tertawa yang membuat darah Kyai Tanjung Laboh tambah meluap-luap! Sekejap lagi sambaran ujung kebutan akan melanda jalan-jalan
darah di tubuh lawannya Tiba-tiba tangannya terasa kesemutan dan kebutannya terpental lepas dari tangan!
Meski menyadari sepenuhnya bahwa Raja Rencong bukan lawannya namun dengan kalap Kyai Tanjung Laboh yang berhati jantan itu menyambar pedang Kyai Selawah
yang tadi terjatuh dan dengan senjata itu dia menggempur habis-habisan! Hujan serangan menelikung tubuh Raja Rencong yang sama sekali tidak bergerak di
tempatnya malah menanggapi serangan itu dengan tertawa-tawa!
Kyai Tanjung Laboh penasaran dan juga heran kenapa pedangnya sama sekali tak berhasil menyentuh bagian tubuh manapun dari lawannya! Tengah dia pergigih
serangan tiba-tiba Raja Rencong berseru :
"Tiga jurus kau mencak-mencak sudah keliwat cukup! Lihat jotosan, awas kepalamu!"
Meski sudah diperingatkan demikian rupa namun sewaktu pukulan "selaksa palu godam" menyerang kepalanya Kyai Tanjung Laboh tak sanggup berkelit. Dicobanya
membabat lengan lawan dengan pedang. Tapi sudah tidak keburu! Kyai yang terakhir ini terbadai di lantai dengan kepala pecah, darah muncrat dan otak berhamburan!
DI ATAS sebuah batu dalam sebuah goa seorang laki-laki tua berjanggut dan berambut putih duduk bersila meramkan mata tengah bersemedi. Sejak tengah malam
tadi dia bersemedi dan sampai matahari terbit di ufuk timur masih juga dia belum bergerak dari tempatnya. Menjelang tengah hari, jadi sesudah dua belas
jam lamanya duduk bersemedi perlahan-lahan baru dia membuka kedua matanya. Aneh dan juga menyeramkan! Ternyata kedua matanya berwarna putih keseluruhannya!
Tapi dia tidak buta!
Kakek ini menghela nafas dalam. Air mukanya keruh tanda ada sesuatu yang dipikirkannya dan apa yang dipikirkannya itu menimbulkan kesusahan dalam dirinya.
Di dunia persilatan orang tua ini berjuluk Datuk Mata Putih. Umurnya hampir mencapai tujuh puluh lima tahun. Tubuhnya kurus hanya tinggal kulit pembalut
tulang. Namun kekuatannya tidak kalah dengan orang-orang yang berumur se¬tengah abad dan menilik bagaimana batu tempat dia duduk bersemedi mencekung dalam,
nyatalah bahwa orang tua ini memiliki tenaga dalam yang sangat tinggi!.
Setelah menghela nafas dalam sekali lagi dia berdiri dan melangkah ke mulut goa. Di luar goa pemandangan indah sekali. Betapa bahagianya menikmati keindahan
alam ciptaan Yang Kuasa itu. Namun jauh di luar keindahan itu, hampir di segala penjuru jagat raya bertebaran noda-noda hitam yang merusak keindahan! Noda-noda
hitam itu ialah kejahatan, kecurangan, kekejian dan segala macam kemaksiatan! Dan yang membuat orang tua ini untuk ketiga kalinya menghela nafas panjang
dan dalam ialah karena seorang di antara manusia-manusia yang melakukan kejahatan dan kekejian itu adalah muridnya sendiri!
Telah tiga bulan ini didengarnya tentang perilaku muridnya itu di luaran. Dan ini membuat dia terkejut serta merasa menyesal telah mempunyai murid seperti
itu! Apakah yang bisa dibuatnya selain meninggalkan pertapaan, mencari murid yang sesat itu lalu menghukumnya. Diam-diam dia merasakan penyesalan tambah
mendalam bila dia ingat karena kepercayaan penuh terhadap sang murid, sebelum dilepas dari pertapaan dia telah menyerahkan Rencong Emas, sebuah senjata
sakti luar biasa yang merupakan satu dari beberapa buah senjata mustika dunia persilatan!
Beberapa saat kemudian orang tua itu pun berlalu meninggalkan pertapaan! Ilmu larinya hebat sekali hingga dalam waktu yang singkat sosok tubuh¬nya sudah
lenyap di kejauhan!
Bersamaan dengan lenyapnya sang surya di ufuk tenggelamnya, sesosok tubuh berkelebat dan berdiri di bawah atap bangunan tua yang terletak di Bukit Toba.
Tanpa memandang berkeliling, tanpa bimbang ragu sedikitpun, orang ini melangkah cepat memasuki bangunan tua. Dalam tempo yang singkat dia sudah berada
di Arena Topan Utara yang terletak di bagian bawah bangunan tua! Segala sesuatunya di ruangan luas itu berada dalam keadaan bersih. Namun orang yang memasuki
ruangan tersebut tahu bahwa baru seminggu yang lalu tiga orang Kyai telah menemui kematiannya ditempat itu!
Orang itu menggerakkan bibirnya sedikit. Maka menggemalah suaranya yang keras lantang menggetar¬kan seantero bangunan dan ruangan.
"Hang Kumbara aku datang!".
Belum habis kumandang gema suara itu, dari sebuah pintu di dinding kanan muncullah seorang berpakaian ungu. Begitu melihat si orang tua, laki-laki berpakaian
ungu ini berseru : "Guru!". Dia melang¬kah cepat kehadapan si orang tua dan menjura dalam penuh hormat.
"Sungguh satu kegembiraan bisa bertemu dengan guru. Mohon dimaafkan kalau-kalau murid sudah lama tak menyambangi guru hingga guru sendiri yang sampai berkunjung
ke sini!".
Orang tua itu atau bukan lain dari pada Datuk Mata Putih meneliti paras muridnya sejenak lalu tertawa rawan.
"Kudengar kau sudah mendapat nama besar di luaran", kata Datuk Mata Putih.
"Ah, hanya nama dan gelar yang tak berarti guru. Marilah kita bicara di kamarku", kata laki-laki berpakaian ungu yaitu Raja Rencong Dari Utara.
"Pandansuri ada disini?".
"Sudah sejak sepuluh hari dia meninggalkan Pulau ".
"Kalau begitu biar kita bicara disini saja".
"Baik guru. Tapi perkenankan murid menyuguhkan minuman lebih dahulu ".
"Tak usah", sahut Datuk Mata Putih.
"Agaknya ada sesuatu hal penting yang amat mendesak hendak guru bicarakan", kata Raja Rencong Dari Utara.
"Hang Kumbara", Datuk Mata Putih menyebut nama asli Raja Rencong, "kurasa kau sudah bisa menduga maksud kedatanganku".
"Ah, murid yang bodoh ini mana mungkin bisa menduga, guru".
"Kedatanganku sehubungan dengan apa-apa yang kudengar di luaran tentang kau. Apakah itu betul?!"
"Apakah yang guru dengar di luaran tentang diriku itu?"
Datuk Mata Putih merasa kurang senang bicara bersilat lidah begitu. Maka diapun berkata secara blak-blakan.
"Kulepas kau dari pertapaan beberapa waktu yang lalu hanya dengan dua maksud! Pertama untuk mencari pembunuh ayahmu dan kedua untuk berbuat kebaikan diatas
dunia ini! Tapi apa yang kau perbuat kemudiannya? Demi cita-cita besarmu kau membunuh belasan manusia, mendatangkan malapetaka dimana-mana. Nyatalah kau
telah sesat dan aku sangat menyesal akan hal ini. Kuharap kau menyerahkan kembali Rencong Emas yang dulu kuberikan dan ikut aku ke pertapaan untuk di kurung
dalam goa selama sepuluh tahun!"
Sepasang bola mata Raja Rencong Dari Utara membelalak.
"Guru apakah sesat namanya jika murid bercita-cita hendak mendirikan sebuah Partai di daerah Utara ini?".
"Tidak. Asal saja kau menempuh cara-cara yang wajar!"
"Murid telah mencobanya. Tapi tokoh-tokoh silat di daerah sini terlalu keras kepala dan tidak memandang sebelah matapun terhadap murid….”
"Kalau mereka tak mau masuk Partaimu, kau tidak layak memaksa, apalagi kalau sampai membunuh orang-orang yang tak berdosa itu!".
"Tapi harap guru maklum kenapa murid bertindak sampai demikian jauh".
"Terangkan alasanmu!" ujar Datuk Mata Putih pula. "Murid merasa mempunyai dendam terhadap orang-orang dunia persilatan. Karena kalau tidak ada orang-orang
pandai itu maka tak akan ayah menemui kematian dalam cara yang mengerikan! Dipenggal lehernya dan kepalanya ditancapkan di atas sebilah tombak di tengah-tengah
pasar!"
"Aku tahu hal itu. Dan kau telah berhasil mencari serta membunuh manusia yang telah menewaskan ayahmu! Lantas kenapa kau menjadi tersesat?!"
"Murid tidak merasa tersesat, guru! Orang-orang dunia persilatanlah yang telah sesat dan menyebabkan kebencian murid tiada batas lagi terhadap mereka!
Sesudah menamatkan riwayat pembunuh ayah, beberapa orang tokoh silat mencari murid hendak balas dendam! Dendam! Seakan-akan adalah dosa besar bagi murid
karena membunuh orang yang telah membunuh ayah! Mereka tak berhasil mencari murid! Dan guru tahu apa yang dibuat orang-orang berkepandaian tinggi itu?!
Ibu dibunuh, adik-adikku dipancung satu demi satu! Dua orang adik perempuanku diperkosa lalu ditinggalkan begitu saja sampai mereka bunuh diri! Dan orang-orang
pandai itu belum puas rupanya! Sampai-sampai calon istrikupun mereka rusak kehormatannya dan dibunuh! Ketika salah seorang dari mereka berhasil murid pecahkan
kepalanya, seluruh keluarga calon istriku ditumpas! Kekejaman dan kebiadaban manakah yang lebih terkutuk dari itu?! Kata mereka, mereka adalah orang-orang
pandai, tokoh-tokoh silat utama! Tapi kebejatan yang mereka lakukan! Salahkan kalau murid menanam rasa kebencian terhadap orang-orang pandai itu?! Sesatkah
kalau murid membunuh belasan manusia yang bertanggung jawab atas kema¬tian ibu, adik-adikku, calon istriku dan seluruh ke¬luarganya ?"
"Orang-orang yang bertanggung jawab atas semua itu jumlahnya hanya sepersepuluh saja dari jumlah manusia yang telah kau bunuh! Apa pertanggungan jawab
atau alasanmu atas yang sembilan persepuluh lainnya? Yang kau bunuh tanpa pangkal sebab atau kesalahan atau dosa apapun juga ?!"
"Sudah murid katakan bahwa murid bertekad untuk melenyapkan orang-.orang pandai di dunia ini! Karena justru merekalah yang menjadi pangkal sebab segala
kejahatan!"
"Sungguh picik jalan pikiranmu! Beberapa belas orang yang bersalah dan punya dosa tapi ratusan manusia yang kau jadikan korban! Aku tak dapat menerima
alasanmu! Lekas serahkan Rencong Emas dan kau ikut aku kembali ke pertapaan!".
Hang Kumbara atau Raja Rencong Dari Utara terkejut. Untuk beberapa ketika lamanya guru dan murid saling pandang memandang; Sekelumit senyum kemudian tersungging
di bibir Hang Kumbara.
"Apakah ini suatu perintah, guru?" tanyanya.
"Lebih dari perintah" jawab Datuk Mata Putih tegas. Senyum itu pun lenyaplah dari bibir Raja Rencong. "Mohon dimaafkan. Kali ini murid tak dapat mengabulkan
permintaan, tak dapat mematuhi perintah guru".
"Kau sudah tahu hukuman bagi seorang murid yang membangkang?!" tanya Datuk Mata Putih. Sepasang matanya yang putih memandang tajam¬-tajam menyorot ke mata
muridnya. Jika bukan Raja Rencong pastilah seseorang akan merasa ber¬gidik dipandang begitu rupa oleh Datuk Mata Putih.
"Guru, harap kau mengerti kedudukan murid saat ini. Dalam waktu singkat murid hendak meres¬mikan berdirinya Partai Topan Utara dimana murid menjadi Ketuanya".
"Aku tidak perduli apa urusanmu, apa kedudukanmu! Sekali aku bilang serahkan Rencong Emas dan Ikut ke pertapaan maka kau harus patuh!"
Air muka Raja Rencong Dari Utara berubah total. Perubahan ini segera dimengerti oleh Datuk Mata Putih? Dan tanya orang tua ini : "Kau hendak melawan terhadap
gurumu sendiri ?!".
"Sungguh aneh kehidupan ini!" kata Raja Rencong tanpa memandang pada gurunya. "Tiap-tiap manusia terlalu mengurus kepentingan dirinya sendiri tanpa mau
memperhatikan kepentingan orang barang sedikitpun! Karena kau memaksa sedang murid tak dapat mematuhi maka cukup pembicaraan sampai disini guru!". Raja
Rencong Dari Utara menjura dan hendak berlalu dari hadapan Datuk Mata Putih.
"Aku menyesal mempunyai murid sesat macammu ini Hang Kumbara!" ujar Datuk Mata Putih.
"Dan murid juga menyesal menghadapi kehidupan macam begini!", kata Raja Rencong pula, lalu sambungnya : "biarlah penyesalan itu sama-sama kita bawa mati
bila sudah tiba saatnya!".
"Mungkin memang begitu caranya memupus penyesalan" menyahuti Datuk Mata Putih. "Tapi bagiku penyesalan itu hanya bisa ditebus dengan men¬jatuhkan hukuman
tegas terhadapmu!"
Raja Rencong Dari Utara menghentikan langkahnya dan memutar tubuh. Pandangan matanya tak berkesip.
"Hukuman tegas macam apakah, guru?!"
"Mulai detik ini putus hubungan kita sebagai guru dan murid".
"Kalau begitu silahkan kau angkat kaki dari tempatku!" bentak Raja Rencong Dari Utara. Paras Datuk Mata Putih kelam kemerahan. Dadanya bergejolak dan darahnya
seperti men¬didih karena marah.
"Aku akan angkat kaki Hang Kumbara!" sahut Datuk Mata Putih. "Tapi setelah lebih dulu meme¬cahkan batok kepalamu!"
Raja Rencong Dari Utara rangkapkan kedua tangan dimuka dada lalu tertawa gelak-gelak. Arena Topan Utara bergetar dan diam-diam Datuk Mata Putih terkejut.
Suara tertawa yang hebat itu berarti hebatnya pula tenaga dalam Hang Kumbara. Rupanya Hang Kum¬bara sudah maju tenaga dalamnya dari sejak dia me¬ninggalkan
pertapaan tempo hari.
"Kalau seorang guru hendak membunuh murid sendiri ditutup dengan topeng alasan sebagai kewajib¬an! Tetapi kalau seorang murid membuat kesalahan dikatakan
murid sesat! Biarlah kau menamakan aku murid sesat karena dalam kesesatan itu kau sendiri sudah kesasar untuk mengantar nyawa ke sini Datuk Mata Putih!”
Datuk Mata Putih serasa mau pecah kepala dan dadanya dilanda amarah! Sekali tubuhnya berkelebat maka diapun lenyap dan dua jari tangannya tahu-tahu sudah
mendarat di dada Raja Rencong Dari Utara, melontarkan satu totokan yang luar biasa cepat dan lihay!
Tapi kejut Datuk Mata Putih bukan olah ketika melihat Hang Kumbara masih berdiri di tempatnya, cuma terhuyung-huyung sebentar dan sambil ter¬tawa mengejek!
Sama sekali tidak menjadi kaku tegang akibat totokan yang dilancarkan tadi! Kalau tidak manusia ini memiliki tenaga dalam yang tinggi mana mungkin dia
sanggup menutup jalan darahnya melawan tenaga totokan yang besar itu?!
Hanya dalam beberapa bulan saja turun dari per¬tapaan Hang Kumbara telah demikian jauh maju ilmu kepandaiannya! Tak mungkin hal ini terjadi kalau dia tidak
berguru pada seorang sakti lainnya! Maka sewaktu menyerang kedua kalinya, tak ayal lagi Datuk Mata Putih mengeluarkan jurus terhebat yang dimili¬kinya
yaitu yang bernama : "Dua ekor naga keluar dari goa".
Jurus ini sengaja dikeluarkannya karena dia ber¬maksud untuk meringkus Hang Kumbara detik itu juga. Kedua tangan terpentang lebar-lebar kemudian ber¬kelebat
dalam bentuk silang, satu memukul ke arah perut dan satu lagi menjambak ke arah rambut. Kaki kanan ditendangkan ke muka untuk menghantam tulang kering
lawan. Seseorang yang kena dipreteli oleh jurus yang hebat ini pasti tubuhnya bagian bawah akan terlontar ke belakang sedang rambut terjambak dan otot-otot
perut menderita sakit yang luar biasa. Dalam keadaan begitu akan mudah untuk me¬ringkus lawan!
Namun untuk kedua kalinya Datuk Mata Putih dibikin kaget. Kaget bukan saja karena Hang Kumbara sanggup mengelakkan serangannya itu tapi begitu mengelak
begitu Hang Kumbara menyerangnya dengan jurus yang sama, malah jurus "dua ekor naga keluar dari goa" yang dilancarkan oleh Hang Kumbara jauh lebih dahsyat
dan mendatangkan angin laksana topan prahara! Ini adalah satu hal yang tak pernah diduga oleh Datuk Mata Putih. Dengan segera sang Datuk keluarkan sehelai
selendang putih yang merupakan senjata yang diandalkannya. Sekali kebutkan selendang itu maka musnahlah serangan Raja Rencong Dari Utara!
Raja Rencong Dari Utara sudah tahu dan maklum akan kehebatan senjata ditangan bekas gurunya. Meski senjata itu tidak sehebat Rencong Emas namun tak bisa
dibuat main-main! Sekali kepala kena terpukul pasti akan rangkah! Karenanya Raja Rencong Dari Utarapun segera mencabut Rencong Emas dari pinggangnya. Sinar
kuning menerangi Arena Topan Utara!
"Datuk Mata Putih" kata Raja Rencong dengan seringai bermain dimulutnya. "Seandainya ini kau yang membuat! Hari ini kau sendiri akan menjadi korbannya!
Betapa kau akan mampus penuh penye¬salan karena telah membuat Rencong Emas ini!". Ucapan itu membuat Datuk Mata Putih tambah mendidih amarahnya. Dengan
cepat dan menyerang kembali. Selendang putih berkelebat ke arah dada Raja Rencong kemudian bergerak laksana mematuk ketenggorokan dan sewaktu Raja Rencong
mengelak, ujung selendang dengan cepat meliuk melibat Raja Rencong ditangan Raja Rencong Dari Utara!
Raja Rencong Dari Utara ganda tertawa. Bagaimanapun hebatnya selendang putih itu tak akan dapat menandingi Rencong Emas yang sakti. Karenanya begitu selendang
hendak melibat senjatanya. Raja Rencong babatkan senjata itu dengan cepat, siap untuk merobeknya!
Datuk Mata Putih juga sudah maklum apa yang terlintas dipikiran Hang Kumbara. Pada saat Rencong Emas membabat, saat itu pula dia menggerakkan lengan kanannya.
Ujung selendang laksana seekor ular menyelusup ke bawah lalu naik lagi ke atas dan menghantam Raja Rencong Dari Utara dengan amat kerasnya!
Raja Rencong terbanting ke belakang sampai lima langkah. Dadanya sakit bukan main. Nafasnya sesak, wajahnya merah karena menahan sakit dan amarah. Bagaimanapun
hebatnya akibat pukulan ujung selendang tapi tidaklah sehebat yang diduga Datuk Mata Putih. Jangankan tubuh manusia, batang pohon besarpun akan hancur
patah dilanda pukulan selendang itu! Tapi Hang Kumbara boleh dikatakan tidak mengalami sesuatu apapun! Tentu saja ini mem¬buat Datuk Mata Putih jadi penasaran.
Selagi Hang Kumbara mengatur jalan nafas serta darah dan me¬ngerahkan tenaga dalamnya kebagian dada yang sakit maka Datuk Mata Putih telah menyerangnya
dengan jurus yang mematikan!
Dengan mengandalkan kegesitan ilmu meng¬entengkan tubuh, Hang Kumbara berkelebat kian kemari dan dalam tempo yang singkat murid dan guru itu sudah bertempur
sepuluh jurus!
Sinar putih dari selendang ditangan Datuk Mata Putih bergulung-gulung sedang sinar kuning Rencong Emas ditangan Hang Kumbara mencurah laksana hujan dan
kedua senjata itu saling mengeluarkan angin yang teramat hebat!
Kalau dalam sepuluh jurus itu Hang Kumbara mengeluarkan jurus-jurus ilmu silat yang dipelajarinya dari Datuk Mata Putih dan dapat bertahan dengan gigih,
maka dalam jurus-jurus berikutnya didahului oleh satu bentakan menggelegar Hang Kumbara merobah per¬mainan silatnya yang jurus-jurusnya serba asing dan
aneh bagi Datuk Mata Putih. Demikian hebatnya jurus-jurus ini hingga dalam tempo yang singkat sang Datukpun sudah terdesak hebat! Bagaimanapun sebatnya
kebut¬an selendang saktinya, bagaimanapun rapatnya per¬tahanan namun Datuk Mata Putih tiada sanggup membebaskan diri dari telikungan senjata lawan, apa¬lagi
untuk balas menyerang!
Dalam jurus kedelapan belas terdengar keluhan Datuk Mata Putih! Ujung Rencong Emas merobek pakaiannya dan melukai jidatnya! Meski luka itu tidak berapa
dalam namun karena Rencong Emas bukan senjata sembarangan maka bekas luka men¬datangkan hawa panas yang mengalir ke sekujur tubuh dan mempengaruhi gerakan-gerakannya.
Dia mulai gugup dalam posisi bertahannya. Tusukan kedua menggores pelipisnya! Darah mengucur menutup mata kanan¬nya! Datuk Mata Putih semakin kepepet.
Dalam ke¬adaan putus asa orang tua itu menyerbu dengan kalap. Selendang menderu, tangan kiri menghantam¬kan pukulan tangan kosong yang mendatangkan angin
ratusan kali beratnya sedang kaki kanan bergerak dalam satu tendangan kearah selangkangan Raja Ren¬cong Dari Utara! Ini Betul-betul satu serangan yang
me¬matikan. Jika saja lawan yang diserang tingkat ke¬pandaiannya berada disebelah bawah pastilah dia akan konyol! Namun keadaan Datuk Mata Putih yang menyerang
dengan kalap itu adalah satu hal yang sia-sia! Meski tendangannya berhasil juga menghantamkan pinggul kiri Raja Rencong namun orang tua ini terpaksa menerima
satu tikaman yang keras di dada kirinya, tepat pada jantungnya! Tak ampun lagi begitu Rencong Emas dicabut begitu Datuk Mata Putih terkapar dilantai. Kedua
matanya yang putih berputar-putar sebentar, kakinya bergerak-gerak. Tapi kemudian tak satu bagian tubuhnyapun yang bisa berkutik lagi! Betapa mengenaskannya
seorang guru menemui kematian ditangan muridnya sendiri dan di¬tusuk dengan senjata ciptaannya sendiri!
DILERENG Gunung Sinabung ada sebuah bangunan kecil yang atapnya berbentuk puncak mesjid. Itulah tempat kediaman Panglima Sampono, seorang laki-laki berumur
enam puluh tahun yang dianggap gagah perkasa dan sakti oleh penduduk disebelah timur daratan Pulau Andalas. Adapun Panglima Sampono ini dulunya adalah
seorang pendatang dari selatan yang telah berjasa besar dalam mengusir pasukan asing yang mendarat di pantai Pulau Andalas sebelah timur, yang bermaksud
hendak merampas beberapa daerah subur dan kaya raya. Sampono kemudian diangkat oleh Sultan Deli menjadi kepala Balatentara dan diberikan pangkat Panglima.
Pada umur lima puluh tahun dia mengundurkan diri namun demikian sampai saat itu semua orang dan Sultan sendiri masih menyebutnya sebagai Panglima.
Sejak mengundurkan diri Panglima Sampono berdiam di lereng Gunung Sinabung, mempertekun diri dalam urusan akhirat serta memperdalam ilmu silat dan kesaktiannya.
Bila terjadi huru-hara di kesultanan Deli, Sultan mengirimkan utusan untuk minta bantuan Panglima Sampono menumpas huru hara itu Panglima Sampono tidak
jarang pula turun dari Gunung Sinabung secara diam-diam dan menghan¬curkan manusia-manusia jahat seperti perampok, bajak laut dan lain sebagainya.
Didalam bangunan kecil yang atapnya berbentuk puncak mesjid itu duduklah Panglima Sampono bersama tiga orang tamunya. Ketiganya datang dengan maksud yang
sama dan ketiganya adalah tokoh-tokoh dunia persilatan yang cukup terkenal, ditakuti oleh kaum hitam di bagian Utara Pulau Andalas. Yang pertama ialah
Datuk Nan Sabatang, seorang tokoh silat berbadan tinggi besar, berkumis melintang. Tamu kedua Lembu Ampel, tokoh silat berasal dari tanah Jawa tapi telah
sejak dua tahun menetap di Pulau Andalas. Antara Lembu Ampel dan Datuk Nan Saba¬tang terjalin hubungan erat karena adik kandung Datuk Nan Sabatang kawin
dengan Lembu Ampel. Kemudian orang yang ketiga berasal dari Malaka, ber¬nama Sebrang Lor. Seperti telah diterangkan diatas kedatangan ketiga orang itu
ke tempat Panglima Sam¬pono membawa maksud yang sama yaitu yang ada sangkut pautnya dengan merajalelanya perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan oleh
Raja Rencong Dari Utara.
Berkata Sebrang Lor : "Petualangan Raja Ren¬cong sudah sampai pula ke Malaka. Empat tokoh silat di Malaka dibunuh dengan kejam ketika mereka menolak untuk
tunduk dan masuk kedalam Partai Topan Utara. Entah berapa belas orang lainnya yang juga telah dibunuh oleh Raja Rencong, diantaranya enam orang adalah
teman-temanku sendiri. Juga Raja Ren¬cong pernah melarikan dua orang gadis dan kedua gadis itu tak diketahui nasibnya sampai sekarang, apa masih hidup
atau sudah mati !. Boleh dikatakan pertolongan Tuhanlah yang masih menyelamatkanku sewaktu aku dan beberapa orang kawan bertempur dengan Raja Rencong.
kawan-kawanku mati semua, aku sempat menyelamatkan diri. Tapi beberapa hari ke¬mudian kudengar keluargaku ditumpas oleh manusia laknat itu!".
Sebrang Lor menghentikan penuturannya sebentar untuk menghela nafas dalam dan menenangkan hati serta darahnya yang bergejolak, lalu baru ia meneruskan
:
"Meski mungkin ilmu silatku masih terlalu rendah untuk menghadap Raja Rencong, namun dendam kesumat tak bisa kupendam lebih lama. Itulah sebabnya aku menyeberang
ke sini mencari beberapa kawan untuk bersama-sama membalas dendam sakit hati. Ternyata kejahatan Raja Rencong di Pulau Andalas sebelah Utara ini lebih
hebat dan bejad lagi! Namun demikian aku bersyukur karena telah berhasil menemui Datuk Nan Sabatang serta Lembu Ampel. Dan hari ini berhadapan pula dengan
Panglima Sampono! Demi kebenaran dan demi ketenteraman hidup dunia persilatan kiranya Panglima Sampono tidak keberatan ikut bersama-sama-sama kami menumpas
biang malapetaka itu!".
Panglima Sampono merenung sejenak lalu men¬jawab : "Memang kejahatan dan kesewenang-wenangan Raja Rencong Dari Utara sudah sejak beberapa bulan ini kudengar
sudah melewati takaran. Tak bisa di diam¬kan lebih lama. Bahkan mungkin saudara Sebrang Lor tidak percaya kalau kuterangkan bahwa Raja Rencong Dari Utara
sudah demikian gilanya sehingga gurunya sendiripun dibunuh!'.

Sebrang Lor terkejut, demikian pula Datuk Nan Sabatang serta Lembu Ampel.
"Gurunya yang mana, Panglima?" tanya Lembu Ampel. "Kabarnya dia tidak cuma punya seorang guru!"
"Guru yang pertama. Yang bernama Datuk Mata Putih!", sahut Panglima Sampono pula.
Terbelalaklah mata Seberang Lor.
"Datuk Mata Putih ilmu silatnya tinggi dan sakti sekali!", kata Seberang Lor pula dan diam-diam dia membatin bahwa mungkin kalau berhadapan dengan orang
tua itu dia cuma sanggup bertahan sampai dua puluh jurus!
"Tapi kita jangan lupa" menyahut Lembu Ampel. "Disamping Datuk Mata Putih, Raja Rencong juga telah berguru dengan seorang sakti lainnya yang sampai saat
ini tidak diketahui siapa adanya".
Seberang Lor mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia memandang berkeliling lalu berkata : "Nyatalah manusia itu tinggi kesaktiannya. Disamping sakti juga berhati
luar biasa jahatnya. Namun aku yakin, berempat kita pasti dapat menyingkirkannya dari bumi Tuhan ini!"
"Bukan aku mematahkan semangat kalian", berkata Panglima Sampono, "bukan pula hendak me¬rendahkan ketinggian ilmu silat dan tenaga dalam saudara-saudara
bertiga. Kemudian bukan pula hendak ber¬pangku tangan, namun sekalipun kita berempat, belum tentu dapat dengan mudah menghadapi Raja Rencong Dari Utara.
Ketinggian ilmunya sukar di¬jajaki! Yang paling berbahaya ialah senjatanya sebilah Rencong Emas dan ilmu pukulan yang bernama ilmu pukulan kuku api!"
Semua orang berdiam diri beberapa lamanya.
"Lalu apa daya kita?" bertanya Datuk Nan Sabatang. Memang diantara mereka Panglima Sampono paling dihormati karena ilmunya yang tinggi dan pangkat yang
pernah dijabatnya. Ketiga orang itu mengharapkan jawaban sang Panglima.
"Untuk menghadapi Raja Rencong, tak bisa tidak harus mempergunakan akal. Menurut pengeta¬huanku Raja Rencong Dari Utara mempunyai seorang anak perempuan
yang sudah gadis remaja. Gadis ini senang mengelana seorang diri. Meski dia mendapat pelajaran ilmu silat dan ilmu kesaktian langsung dari Raja Rencong,
tapi ilmunya belum berapa tinggi. Kita cari gadis itu dan menawannya hidup-hidup. Lalu kirimkan seorang utusan atau surat pada Raja Rencong dan suruh dia
menyerah! Sementara itu kita berusaha pula menemui beberapa orang tokoh silat lainnya untuk menambah kekuatan. Meski anaknya kita tawan tapi manusia macam
Raja Rencong bukan mus¬tahil mau mengorbankan keselamatan anaknya agar dapat membasmi kita!"
Semua orang menyetujui akal Panglima Sam¬pono. Setelah dirundingkan lebih masak maka renca¬napun diaturlah. Satu hari kemudian keempat orang itu turun
dari lereng Gunung Sinabung.
Sinar matahari yang tadi panas terik kini memu¬dar kilauannya. Langit yang tadi cerah kini mendung tertutup awan hitam yang berarak dari jurusan utara
ditiup angin keras. Agaknya tak lama lagi akan segera turun hujan lebat. Di kaki bukit yang sebelumnya di¬selimuti kemendungan dan kesunyian itu Iapat-lapat
ter¬dengar suara derap kaki kuda datang dari jurusan timur. Makin lama makin keras. Dari pengkolan jalan kemudian munculah seorang penunggang kuda berwarna
coklat. Kuda ini agaknya bukan kuda biasa. Disamping tubuhnya yang besar tinggi, larinyapun laksana anak panah lepas dari busurnya. Dalam waktu yang singkat
binatang dan penunggangnya sudah meninggalkan pengkolan tadi sejauh dua puluh tombak!
Kini kuda dan penunggangnya siap memasuki lagi sebuah pengkolan tajam. Meski pengkolan itu demikian patahnya namun si penunggang tidak ber¬usaha untuk
memperlambat lari kuda coklat. Debu dan pasir beterbangan. Sesaat lagi kuda bersama pe¬nunggangnya itu hendak memasuki pengkolan tajam mendadak laksana
melihat setan, kuda coklat mering¬kik keras dan mengangkat kedua kaki depannya ke¬atas tinggi-tinggi! Sepasang kakinya yang sebelah belakang kaku tak bisa
bergerak laksana dua buah patok yang ditancapkan kedalam tanah.
Si penunggang yang hampir saja hendak dilem¬parkan dari punggung binatang itu terkejut bukan main dan cepat-cepat melompat turun. Dia memandang kedepan
lalu memandang berkeliling. Tak satu makh¬luk hidup pun yang tampak. Orang ini kemudian ber¬lutut untuk memeriksa kedua kaki kuda tunggangan¬nya. Untuk
kedua kalinya dia menjadi kaget sewaktu mendapati sepasang kaki kuda disebelah belakang itu berada dalam keadaan kaku tegang akibat totokan-totokan hebat!
Di tanah tak jauh dari kaki-kaki kuda kelihatan dua buah jambu klutuk. Pasti benda inilah yang telah dipakai untuk menotok kaki-kaki kuda tersebut. Dengan
lemas orang itu melepaskan kedua totokan itu lalu berdiri, memandang berkeliling dan membentak.
"Bangsat rendah yang berani kurang ajar lekas unjukkan diri!"
Suara bentakan itu melengking keras menggetarkan seantero kaki bukit dan itu adalah suara bentakan orang perempuan! Dan memang penunggang kuda coklat berpakaian
ungu itu, meski parasnya ditutup dengan sehelai kerudung, namun dari potongan tubuh serta rambut panjang yang menjenguk dikuduknya akan sangat mudah dikentarai
bahwa dia adalah seorang perempuan!
Tiba-tiba dari sebuah tebing yang terletak dipengkolan tajam yang tingginya kira-kira delapan tombak berkelebat dua sosok tubuh manusia. Belum lagi kedua
orang ini menjejakkan kaki masing-masing di tanah, dari jurusan lain berkelebat lagi dua bayangan manusia dan sesaat kemudian empat orang laki-laki telah
berada disitu dalam posisi mengurung si baju ungu ditengah-tengah! Si baju ungu mendengus marah dibalik kerudungnya.
"Siapa kalian?!" bentaknya.
Salah seorang dari keempat manusia itu maju selangkah dan berkata : "Jawab dulu apakah kau anaknya Raja Rencong Dari Utara itu atau bukan?!" Sepasang alis
dibalik kerudung mengerenyit dan dua bola mata yang tajam memandang meneliti ke¬empat laki-laki dihadapannya.
"Apa maksud apa kalian terhadap anak perempuan Raja Rencong?!"
"Jawab dulu pertanyaanku tadi!"
"Keparat!" Aku memang Pandansuri, anak Raja Rencong Dari Utara!" jawab perempuan itu dengan garang. Lalu bentaknya: "Kalian berempat mau apa?!".
"Ah kawan-kawan akhirnya berhasil juga kita menemui gadis ini", kata laki-laki tadi yang bukan lain Seberang Lor adanya. "Ketahuilah kami berempat sudah
sejak lama mencarimu untuk diculik! Sebenarnya mungkin kau tidak punya salah apa-apa. Tapi akibat dosa-dosa bapakmu, terpaksa kau kami culik!"
"Kalau begitu kalian adalah bangsat-bangsat pengecut yang tak berani berhadapan langsung dengan bapak¬ku!" tukas Pandansuri. "Kalian mau menculik aku silahkan!
Tidak semudah itu untuk menculik anak Raja Rencong Dari Utara!". Seberang Lor dan ketiga kawan-kawannya yaitu Panglima Sampono, Lembu Ampel dan Datuk Nan
Sabatang saling memberi tanda lalu menyerbu dari empat jurusan menyerang kesatu sasaran yaitu Pandansuri!"
Dengan keluarkan tertawa mengejek Pandansuri jejakkan sepasang kakinya ke tanah dan sekejap kemudian tubuhnya yang ramping itu melesat ke atas setinggi
lima tombak! Dari atas dia gerakan kesepu¬luh jari-jari tangannya sekaligus. Maka sepuluh larikan sinar kuning kemerahan mencurah kearah Panglima Sampono
dan kawan-kawan!.
"PUKULAN KUKU API!" Seru Panglima Sampono. "Lekas menyingkir!"
Keempat tokoh silat itu sebenarnya bisa balas menghantam langsung ke atas namun mereka belum mengetahui sampai dimana ketinggian tenaga dalam lawan. Hingga
kalau mereka tak menyingkir dan tenaga dalam lawan lebih tinggi sedikit saja dari me¬reka pastilah mereka akan celaka! Keempatnya me¬lompat ke belakang
sejauh tujuh langkah lalu sekaligus menghantamkan tangan kanan ke atas! Empat gelom¬bang angin keras laksana angin punting beliung me¬nerpa satu jengkal
diatas kepala Pandansuri. Panglima Sampono dan kawan-kawan sengaja menyerang bagian satu jengkal di atas kepala si gadis karena mereka hendak memaksa gadis
itu turun ke tanah kembali untuk ke¬mudian diringkus hidup-hidup!
Pandansuri memang tak ada jalan lain, terpaksa melayang turun ke bawah. Tapi dia tidak bodoh dan sudah maklum maksud ke empat lawannya. Maka begitu melayang
turun untuk kedua kalinya dia menebar pukulan Kuku Api yang dahsyat itu ke¬arah keempat lawannya! Kalau tadi Panglima Sampo¬no melompat ke belakang untuk
menghindari pukulan maut yang membuat tanah berlobang besar dan hangus itu, maka kini keempatnya melompat ke muka dan serentak dengan itu masing-masing
mereka lalu melom¬pat ke atas.
Datuk Nan Sabatang serta Seberang Lor melan¬carkan dua buah totokan sedang Panglima Sampono dan Lembu Ampel ulurkan sepasang tangan mereka untuk meringkus
Pandansuri hidup-hidup!
Pandansuri tidak menyangka kalau keempat lawan akan berani menyelusup ke muka dibawah deru sinar serangannya. Pada saat pukulan kuku api itu me¬landa tanah,
membuat tanah terbongkar dan hangus hitam maka dia lebih tak menduga lagi karena saat itu cepat sekali tahu-tahu keempat lawannya sudah berada dekat sekali
di sampingnya melancarkan dua totokan dan dua serangan meringkus! Padahal posisinya saat itu dalam keadaan yang tak menguntungkan!
Sebagai seorang yang menerima langsung pela¬jaran dari Raja Rencong tentu saja tingkat kepandai¬an Pandansuri meski tak bisa disejajarkan dengan ayahnya
tapi telah mencapai tingkat tinggi. Tahu diri¬nya sudah kepepet namun gadis ini tak kehilangan akal mengelak mungkin kasip dan mungkin salah satu dari
serangan lawan akan berhasil juga bersarang ditubuhnya. Kalaupun dia kena dihantam dia harus pula dapat balas menghantam sekurang-kurangnya seorang dari
keempat lawannya. Maka tak ayal lagi Pandansuri kembangkan kedua telapak tangannya lalu tubuhnya berputar laksana titiran, tangannya menyambar seperti
baling-baling dari angin laksana topan menderu menerpa keempat tokoh silat! Itulah pukul¬an "selaksa palu godam" yang dilancarkan dalam jurus yang bernama
"titiran dewa menjulang langit"! Panglima Sampono dan kawan-kawan tiada menduga kalau si gadis akan balas menyerang kalap begitu rupa. Lembu Ampel, Datuk
Nan Sabatang dan Seberang Lor yang ragu-ragu untuk mengadakan bentrokan pukulan segera menarik pulang serangan mereka. Sebaliknya Panglima Sampono yang
merasa sudah kepalang tanggung lipat gandakan tenaga dalamnya dan membabat lengan Pandansuri! Bentrokan lengan tak dapat dihindarkan lagi.
"Buk"!
Dua lengan beradu mengeluarkan suara keras. Panglima Sampono merasa tangannya sakit bukan main dan tubuhnya terjajar ke belakang sampai lima langkah. Sebaliknya
Pandansuri mengeluh dalam hati menahan sakit sedang tubuhnya mental sampai enam langkah! Kini maklumlah Panglima Sampono dan kawan-kawan. Tingkat tenaga
dalam si gadis nyatanya hanya sedikit saja berada dibawahnya! Karena ketiga orang lainnya itu hanya satu tingkat saja lebih ren¬dah tenaga dalamnya dari
Panglima Sampono maka ketiganya menjadi bernyali besar dan bersama-sama dengan sang panglima mereka kembali menggempur Pandansuri!
Pertempuran empat lawan satu berkecamuk dengan hebatnya. Berkali-kali Pandansuri merobah jurus-jurus ilmu silatnya. Setiap gerakannya cepat dan aneh serta
mempunyai lima sampai delapan pecahan yang hebat. Namun sampai jurus keduapuluh tetap saja gadis ini tak dapat menguasai jalannya pertem¬puran malah jurus
demi jurus selanjutnya dia mulai terdesak. Hanya kegesitan dan ilmu meringankan tubuhnya yang lebih tinggi tingkatnya dari keempat lawannya itulah yang
menyelamatkan Pandansuri dari dilanda hantaman pukulan lawan!
Namun sampai berapa lamakah Pandansuri akan dapat bertahan? Sampai berapa jurus dimuka dia bisa mengandalkan kegesitan dan ilmu meringankan tubuhnya? Satu
ketika, cepat atau lambat pasti salah satu lawannya kan berhasil menghajarnya dan celakalah dia.
Pada jurus ketiga puluh dua, gadis ini tak sanggup lagi bertahan. Dia segera terdesak total. Sebelum kasip Pandansuri menggerakkan tangannya ke pinggang
sesaat kemudian mencurahlah sinar putih yang mendatangkan angin dingin menggidikkan, membuat keempat tokoh silat tersuruk dan terkejut. Ketika memandang
kedepan ternyata si gadis telah mencabut sebilah rencong perak.
Saat itu udara semakin mendung. Awam hitam tebal menutupi hampir seluruh langit disekitar kaki bukit sedang angin bertiup makin besar. Hujan rintik-rintik
telah mulai turun.
"Manusia-manusia keparat! Batas kesabaranku sudah lewat! Mulai detik ini jangan harap kalian bisa lolos dari lobang jarum kematian!"
Ucapan Pandansuri itu disusul oleh gelegar guntur yang menggetarkan bumi! Dan dalam kejap itu maka turunlah hujan yang bukan alang kepalang lebatnya! Didahului
lengkingan yang tak kalah hebat¬nya oleh suara guntur. Pandansuri melompat ke muka, menebar empat serangan sekaligus dalam jurus yang dinamakan "empat
ekor naga menggempur sang surya"! Bagi Panglima Sampono dan kawan-kawan, jurus yang bernama "empat ekor naga menggempur sang surya" itu tidak mengkhawatirkan
mereka. Yang membuat mereka harus berhati-hati ialah senjata ditangan si gadis. Dari sinar dan hawa yang keluar dari rencong perak itu nyata bahwa senjata
itu adalah sebuah sen¬jata mustika yang tak bisa dibuat main. Maka Pang¬lima Sampono segera keluarkan pula senjatanya yaitu sebuah tombak pendek yang ujungnya
bercagak dua. Datuk Nan Sabatang menghunus sebilah keris berwarna biru. Seberang Lor mencabut pedang berkeluk sedang Lembu Ampel meloloskan sebuah rantai
berduri!
Dibawah hujan lebat yang sekali-sekali diseling oleh suara guntur dan sambungan kilat maka kelima orang itu bertempur dengan hebat! Panglima Sampono dan
kawan-kawan meski Serangan-serangan mereka kelihatan hebat namun keempatnya tidak berniat untuk mencelakai Pandansuri, sebaliknya mendesak sampai akhirnya
mereka punya kesempatan untuk meringkus si gadis hidup-hidup!
Dilain pihak Pandansuri yang diam-diam mengetahui maksud lawan-lawannya itu dan yang tadi bertempur dengan segala kehebatannya yang ada maka kini se¬makin
memperderas serangannya hingga cukup me¬nyukarkan juga bagi Panglima Sampono dan kawan-kawan untuk melaksanakan niat mereka. Tapi itu tidak ber¬jalan lama.
Setelah berulang kali dibawah hujan lebat itu terjadi bentrokan senjata maka dalam satu gerakan yang gesit lihay Panglima Sampono berhasil menyu¬supkan
tombak bercagaknya ke badan rencong yang ditangan Pandansuri. Gadis ini cepat-cepat menarik tangannya tapi terlambat. Cagak dari tombak besi di¬tangan
Panglima Sampono berputar lebih cepat dan terlepaslah rencong perak itu dari tangan Pandansuri.
Panglima Sampono menyabut senjata itu dengan tangan kiri!
Penuh kalap Pandansuri menyentikkan lima jari tangannya ke arah Panglima Sampono, melancarkan pukulan kuku api! Tapi dari samping menabas pedang berkeluk
Seberang Lor. Mau tak mau anak Raja Ren¬cong Dari Utara itu batalkan serangannya kecuali kalau dia, mau kehilangan lima jari tangan kanannya itu!
"Sebaiknya kau menyerah saja!" kata Seberang Lor "Niscaya kami akan perlakukan kau secara baik-baik!"
"Keparat! Lebih baik mampus dari pada menye¬rah!" bentak Pandansuri! Dia melompat ke arah se¬batang cabang sebesar lengan yang panjangnya kurang dari satu
meter dan terus menyerbu Panglima Sampono dan kawan-kawannya. Dengan cabang pohon yang penuh dengan ranting-ranting itu, Pandansuri menyerang dalam jurus
"raja naga mengamuk"!
"Dara tolol!" gerutu Panglima Sampono. Dia memberi isyarat pada ketiga kawan-kawannya dan serentak keempat orang itu menyerbu kembali. Dan di bawah hujan
lebih itu dilanjutkanlah pertempuran empat lawan satu yang hebat itu. Pada waktu langit disekitar bukit tertutup awan gelap dan udara menjadi mendung,
di kaki bukit sebelah timur seorang pemuda berjalan seenaknya. Tampaknya dia cuma lenggang kangkung biasa saja namun luar biasa dalam tempo yang singkat
dia sudah meninggalkan kaki bukit sebelah timur itu dan mencapai sebuah jalan buruk.
Angin bertiup keras melambai-lambaikan pakai¬an putih serta rambutnya yang gondrong. Mendongak keatas langit pemuda itu berkata dalam hati : "Cela¬ka!
Kalau hujan turun aku bisa basah kuyup!". Sambil "berjalan" cepat itu dia memandang kian ke¬mari mencari-cari tempat yang baik untuk kelak ber¬teduh bila
hujan turun.
Lapat-lapat jauh dimuka sana telinganya yang tajam mendengar suara ringkikan kuda. Cuma ringkikan kuda, pikir pemuda ini dan dia terus juga lenggang kangkung
seenaknya, debu dan pasir jalanan beter¬bangan di belakangnya. Semakin jauh menempuh jalan itu telinganya kembali menangkap suara di depan sana. Kali ini
bukan suara ringkikan kuda lagi tapi suara bentakan-bentakan. Si pemuda mempercepat "jalan¬nya". Hampir sepeminum teh jelas sudah baginya bahwa ditempat
atau di arah yang ditujunya itu tengah terjadi pertempuran karena telinganya me¬nangkap suara beradunya senjata. Ketika dia sampai dekat sebuah tikungan
tajam meskipun dia sudah menduga tadi bahwa di situ terjadi pertempuran, tapi adalah tidak disangkanya sama sekali kalau yang ber¬tempur itu adalah seorang
perempuan berpakaian dan berkerudung ungu melawan empat orang laki-laki! Melihat kepada potongan tubuh serta kegesitannya si pemuda segera bisa memastikan
bahwa perempuan itu masih muda. Meski muda tapi dengan gerakannya yang gesit serta ilmu meringankan tubuhnya yang tinggi si gadis masih dapat mengimbangi
serangan keempat lawannya!
Gadis berpakaian ungu itu memegang sebilah rencong perak sedang lawan-lawannya yang mengeroyok bersenjatakan tombak pendek bercagak dua, pedang, keris
dan rantai berduri. Sewaktu melihat pertempuran ini yang bukan saja tidak seimbang tapi juga karena empat laki-laki melawan seorang dara muda, maka memakilah
si pemuda berambut gondrong. Hati kesatrianya bergejolak untuk segera turun tangan membantu si gadis. Namun setelah memperhatikan sejenak dan melihat kenyataan
bahwa gadis berkerudung ungu itu dengan rencong mustikanya dapat mengimbangi kehebatan ilmu silat empat orang lawannya yang tangguh itu, maka si pemuda
membatalkan niatnya dan melompat ke sebuah tebing untuk menikmati jalannya pertempuran yang seru itu!
Jurus demi jurus berlalu penuh ketegangan. Si pemuda rambut gondrong di atas tebing melihat bagai¬mana dara berbaju ungu mulai terdesak oleh tekanan-tekanan
serangan keempat lawannya. Sementara itu hujan rintik-rintik mulai turun dan kemudian berganti dengan hujan lebat. Kilat sambar menyambar sedang guntur
gelegar-menggelegar! Si pemuda di atas tebing kalau tadi dia cemas akan kehujanan kali ini sama sekali tidak memperdulikan hujan yang mengguyurnya hingga
basah kuyup dari rambut sampai ke kepala! Si pemuda mengatupkan mulutnya rapat-rapat ketika dalam satu jurus yang berkecamuk hebat salah seorang pengeroyok
yaitu yang bersenjatakan tombak besi pendek bercagak dua berhasil menjepit dan me¬mutar senjata si gadis hingga rencong perak itu terlepas mental dan dirampas!
Si gadis agaknya marah sekali melihat senjatanya berhasil dirampas lawan lalu menjentikkan kelima jarinya ke muka. Lima sinar merah kekuningan men¬deru.
Tapi sang dara terpaksa menarik pulang tangan¬nya karena salah seorang lawan menebas dengan pedang!
"Ilmu pukulan gadis itu kelihatannya hebat sekali!" berkata si pemuda di atas tebing dalam hatinya. Di bawahnya sementara itu terdengar suara bentakan
salah seorang pengeroyok:
"Sebaiknya kau menyerah saja! Niscaya kami akan memperlakukan kau secara baik-baik!"
Si gadis terdengar memaki lalu laksana seekor burung walet melompat ke udara, mematahkan se¬buah cabang pohon dan melayang turun kembali menyerbu keempat
lawannya!
"Gadis hebat!" kata pemuda diatas tebing. "Nyali besar, kepandaian tinggi sayang parasnya ditutup!"
Di bawah hujan lebat itu pertempuran berkecamuk kembali. Namun bagaimanapun hebatnya si gadis memainkan cabang pohon itu sebagai senjatanya, lambat laun,
jurus demi jurus cabang kayu itu pun gundul daunnya dan semakin pendek akibat tebasan-tebasan senjata keempat lawannya! Disatu gebrakan yang tegang, laki-laki
yang memegang rantai berduri berhasil menghancurkan cabang pohon ditangan si gadis hingga untuk kedua kalinya kini sang dara bertangan kosong!
"Apakah kau masih belum mau menyerah cara baik-baik?!" si pemuda diatas tebing mendengar laki-laki yang bersenjatakan tombak pendek bertanya pada si gadis.
"Lebih baik mampus dari menyerah pada tikus-tikus macam kalian!" semprot si gadis lalu menggerakkan kedua tangannya. Sepuluh larik sinar merah keku¬ningan
menderu dibawah lebatnya hujan! Keempat pengeroyok melompat mundur lalu secepat kilat menyerbu kembali! Dan kali ini sang gadis tak punya daya lagi untuk
bertahan! Dalam satu jurus yang penuh ketegangan kaki sang dara terpeleset. Tubuh¬nya terbanting kekiri!
Pemuda rambut gondrong diatas tebing memencongkan hidungnya lalu garuk-garuk kepala. Laksana anak panah lepas dari busurnya dia melesat turun. Suara bentakannya
mengalahkan deru hujan lebat:
"Manusia-manusia edan! Masakan beraninya mengeroyok seorang perempuan! Sungguh tidak bermalu!" Keempat orang itu terkejut. Belum habis kejut mereka tahu-tahu
satu gelombang angin menerpa dan tubuh mereka terbanting ke belakang sampai lima enam langkah! Gadis baju ungu tak menyia-nyiakan kesempatan segera melompat
keluar dari kalangan pertempuran!
MARAH keempat orang itu bukan alang kepalang.
"Pemuda lancang!" maki Sebrang Lor. "Ada urusan apa kau berani mencampuri persoalan orang lain?!"
Si pemuda garuk-garuk kepalanya yang basah kuyup dan menjawab sambil senyum-senyum seenaknya :
"Empat orang laki-laki bersenjata mengeroyok se¬orang perempuan bertangan kosong, apakah itu bukan satu hal yang memalukan?!"
"Apakah itu menjadi hakmu untuk ikut campur?!"
"Lantas hak apakah yang membuat kalian me¬lakukan pengeroyokkan?!" balas bertanya si pemuda. Saking marahnya Sebrang Lor hendak buka suara mengatakan sesuatu
tapi Panglima Sampono memberi isyarat. Panglima Sampono kemudian berka¬ta dengan nada tenang :
"Orang muda, barangkali kau ada hubungan apa-apa dengan gadis ini?!".
Si pemuda menggeleng. "Aku menolongnya karena tidak suka melihat tindakan kalian yang ter¬lalu pengecut! Yang sama sekali tidak memegang aturan dunia persilatan!"
Panglima Sampono tersenyum.
"Kuhargai hati satriamu, kuhormati nyali jantanmu. Tapi apakah kau tahu siapa gerangan adanya gadis ini?!" ujar Panglima Sampono.
Si pemuda rambut gondrong angkat bahu. Panglima Sampono hendak berkata tapi dari samping datang sambaran sinar merah kekuningan yang sekaligus juga menyerang
pada ketiga kawan-kawannya. Dilain kejap terdengar suara dara baju ungu.
"Bergundal-bergundal keparat! Aku dan ayahku pasti akan datang mencari kalian! Kalau bertemu jangan harap kalian bakal hidup lebih lama!". Si gadis kemu¬dian
melompat keatas kuda coklat.
"Betina sialan! Kau kira bisa lari dari sini?!" teriak Sebrang Lor marah sekali. Dia melompat dan kiblatkan pedang berkeluknya. Pandansuri untuk ke¬sekian
kalinya melepaskan pukulan kuku api mem¬buat tokoh silat dari tanah Malaka itu terpaksa meng¬hindar ke samping. Dan sebelum yang Iain-lainnya bisa turun
tangan, Pandansuri telah melesat pergi bersama kudanya!
Dengan sendirinya kemarahan total kini tertuju pada pemuda tadi! Panglima Sampono yang sebelum¬nya masih berlaku lunak kini membentak garang :
"Pemuda sedeng! Kalau tidak karena kau gadis itu pasti tak akan lolos!". Sang panglima menutup kata-katanya dengan melemparkan rencong perak milik Pandansuri
dengan tangan kirinya. Lemparan itu bukan lemparan sembarangan! Senjata itu sampai mengeluarkan suara mendesing saking kencang dan kerasnya daya lemparan!
Dua jengkal dari ujung rencong akan men¬darat dikeningnya, tiba-tiba si pemuda menggerakkan tangan kanan dan tahu-tahu rencong perak itu sudah di jepit
di antara jari tengah dan jari telunjuknya! Kejut Panglima Sampono dan kawan-kawan bukan alang kepalang! Kepandaian menjepit senjata yang dilemparkannya
selihay itu bukan kepandaian sembarangan!
"Orang muda berilmu tinggi!" kata Panglima Sampono pula. "Pameran yang kau lakukan tadi cukup menarik! Biarlah aku main-main sebentar dengan kau!". Si
pemuda tertawa tawar.
"Apakah kau akan maju berempat dengan kawan-kawanmu itu?!".
Merahlah paras Panglima Sampono. Meski maklum betapa lihaynya pemuda itu, lebih lihay dari Pandansuri tapi untuk tidak kehilangan muka dia menjawab : "Untuk
meringkus tikus sombong ma¬cammu ini mengapa musti minta bantuan kawan-kawanku?!" Ucapannya itu ditutup dengan satu tusukan kilat tombak bercagak dua kearah
tenggorokan si pemuda!
Dengan gesit pemuda itu mengelak ke samping lalu memukul ke muka dari jarak tiga langkah! Pang¬lima Sampono terkejut sekali sewaktu begitu menge¬lak begitu
lawannya balas menyerang. Angin pukulan lawan terasa keras laksana sebuah batu besar yang dilemparkan kearahnya! Itulah ilmu pukulan "Kunyuk melempar buah".
Dan pendekar muda mana lagi yang memiliki pukulan itu kalau bukan Wiro Sableng Pendekar Kapak Maut Naga Seni 212! Dengan amat penasaran Panglima Sampono
membentak keras lalu kembali menyerang dengan jurus-jurus silatnya yang hebat dan mengandung tipu-tipu berbahaya! Tubuh Wiro Sableng yang berkelebat terkurung
oleh gulungan sinar senjata ditangan sang panglima. Lima jurus berlalu tanpa Panglima Sampono bisa berbuat sesuatu apapun! Memasuki jurus kesepuluh. Datuk
Nan Sabatang, Lembu Ampel dan Sebrang Lor tak dapat tinggal diam lebih lama. Ketiganya segera menyerbu kedalam kalangan per¬tempuran membantu Panglima
Sampono! Namun sebelum ketiga orang itu turun tangan melancarkan serangan. Pendekar 212 Wiro Sableng dengan meng¬andalkan ilmu meringankan tubuhnya yang
telah mencapai tingkat tinggi melompat ke atas, sekejap kemudian telah berdiri di cabang pohon yang ada di tepi jalan!
"Sebelum meneruskan pertempuran brengsek ini mari kita bicara baik-baik dulu sobat-sobat!" kata Wiro dari atas pohon.
"Pemuda lancang! Sesudah kau meloloskan perempuan itu kini kau hendak bicara baik-baik?! Makan ini!" damprat Sebrang Lor. Tangan kanannya dihantamkan keatas.
Selarik angin dahsyat menyambar.
"Kraak"!
Cabang pohon dimana Pendekar 212 berdiri patah pemuda itu sendiri sudah pindah meloncat ke cabang yang lain! Dengan sendirinya Sebrang Lor dan kawan-kawannya
tambah penasaran! Serentak mereka sama-sama menghantamkan tangan ke atas! Terdengar suara berisik! Beberapa cabang pohon patah dan ranting-ranting serta
daun-daun berhamburan kian kemari! Wiro memaki dalam hati, dan melompat ke tebing di tikungan jalan. Jarak antara pohon dan tikungan jalan hampir mencapai
sepuluh tombak tentu saja lompatan yang dibuat Wiro membikin kagum keempat orang yang berada dibawahnya Namun kekaguman itu segera sirna oleh rasa marah
yang menggejolak! Tanpa tunggu lebih lama Panglima Sampono segera melompat keatas tebing diikuti oleh ketiga kawan-kawannya. Diatas tebing Pendekar 212
pentangkan kedua telapak tangan dan memukul ke bawah.
Keempat orang yang telah melayang ke atas tebing amat terkejut ketika mendapatkan diri mereka merasa ditekan dari atas oleh satu tekanan dahsyat Bagaimanapun
mereka kerahkan tenaga dalam tetap saja tubuh mereka tak bisa melesat ke atas keempatnya terkatung-katung beberapa ketika lamanya.
"Kurang ajar! Dia lihay sekali!" gerutu Sebrang Lor. Tokoh silat dari tanah Malaka ini memberi isyarat pada kawan-kawannya. Tiba-tiba keempatnya sama membentak
keras dan sama menghantamkan kedua tangan masing-masing ke arah Pendekar 212. Delapan ge¬lombang angin menderu laksana topan prahara! Em¬pat buah serangan
yang luar biasa dan bukan alang kepalang hebatnya!
Diatas tebing Wiro Sableng kerahkan seluruh tenaga dalamnya ke tangan dan memukul ke bawah! Bagaimana hebatnya gelegar guntur, hampir seperti Itu pulalah
hebatnya benturan delapan angin pukulan dengan dua gelombang pukulan dinding angin ber¬hembus tindih menindih yang dilepaskan Wiro Sableng! Sebrang Lor,
Datuk Nan Sabatang, Panglima Sampono dan Lembu Ampel berpelantingan kebawah. Untung saja mereka sudah memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi serta
tenaga dalam yang sempurna hingga tidak mendapat celaka dan tak sampai jatuh tunggang langgang bergedebukan di tanah!
Sebaliknya diatas tebing Wiro Sableng merasakan pula hebatnya serangan ke empat tokoh-tokoh silat itu. Tubuhnya terdorong keras lalu terhuyung-huyung lima
langkah ke belakang. Tidak sampai disitu tiba-tiba lututnya terasa goyah dan ujung tebing yang dipijaknya hancur berantakan. Tubuhnya mencelat sampai dua
tombak dari atas tebing!
"Gendeng betul!" gerutu Wiro Sableng dalam hati Setelah memeriksa dan mengetahui tubuhnya di bagian dalam maupun bagian luar tak ada yang terluka maka
Pendekar ini bersuit nyaring. Tubuhnya melayang kebawah berkelebat dan lenyap dari pemandangan Panglima Sampono dan kawan-kawan! Dilain kejap terdengar
dua keluhan tertahan! Sebrang Lor dan Lembu Ampel merasakan tubuh mereka kejang kaku tak bisa bergerak. Betapa¬pun mereka mengerahkan tenaga dalam namun
tak sanggup membuka jalan darah yang telah ditotok oleh Pendekar 212 Wiro Sableng. Kedua tokoh silat ini memaki habis-habisan!
Wiro Sableng malah tertawa cengar-cengir.
"Pemuda kurang ajar!" teriak Panglima Sam¬pono marah sekali, "tadi aku cuma berniat untuk me¬ringkusmu hidup-hidup! Tapi mulai detik ini terpaksa ke¬palamu
kupecahkan!"
Habis berkata begitu Panglima Sampono memukulkan tangan kiri ke depan lalu menyusul serangan ini dengan satu tusukan tajam tombak bercagak dua yang saat
itu sudah berada kembali dalam tangan kanannya! Dikejap yang sama Datuk Nan Sabatang menggembor dan berkelebat kirimkan serangan dari samping kiri dengan
keris birunya!
Wiro Sableng ingat pada rencong perak milik gadis baju ungu yang tadi diselipkan dipinggang. Segera pendekar ini mencabut senjata itu. Maka :
"Traang trang"!
Terdengar dua kali berturut-turut suara beradunya senjata. Bunga api memercik! Datuk Nan Sabatang dan Panglima Sampono terkejut besar, dengan muka pucat
sama-sama melompat ke belakang dan memar dengan mata membeliak pada tangan kanan mereka yang kini kosong karena tangkisan Wiro Sableng tadi telah memukul
lepas senjata masing-masing. Jelas bahwa pemuda berambut gondrong itu memiliki tenaga dalam yang luar biasa tingginya dan bukan tandingan mereka! Namun
sebagai tokoh-tokoh silat yang sudah mendapat nama besar dan memegang teguh jiwa kesatria, mana mereka mau menyerah begitu saja?! Lebih baik mati dari
pada menerima hinaan demikian rupa. Apalagi ketika melihat bagaimana Wiro Sableng tertawa gelak-gelak dan mengejek! Dengan tangan kosong Datuk Nan Sabatang
serta Panglima Sampono memasuki kalangan pertempuran kembali! Serangan mereka hebat sekali hingga air hujan yang bergenangan dilobang-lobang jalanan muncrat
berhamburan!
"Sobat-sobat! Kalian keliwat menurutkan darah kemarahan!" seru Wiro. "Orang mau ajak bicara baik-baik malah menyerang terus-terusan!"
"Tutup mulutmu pemuda keparat!" bentak Datuk Nan Sabatang.
"Jaga batok kepalamu!', teriak Panglima Sam¬pono. Tinjunya menderu ke kepala Pendekar 212. Lalu terdengarlah suara keluhan!
Tubuh Panglima Sampono terbanting ke samping sewaktu angin dahsyat menyambar dadanya. Selagi dia berusaha mengimbangi tubuh tahu-tahu satu totokan mendarat
dibahunya dekat leher dan kejap itu juga sang panglima berdiri dengan kaki mengangkang di tanah tanpa bisa bergerak sedikitpun!
Datuk Nan Sabatang juga bernasib sial. Baru saja serangannya bergerak setengah jalan tahu-tahu jari lawan sudah menyelusup dibawah ketiaknya!
"Kurang ajar!" maki Datuk Nan Sabatang. Tangan kirinya memukul ke muka. Tapi tak ada artinya karena totokan yang dijatuhkan Wiro tadi telah membuat sebagian
tubuhnya sebelah kanan menjadi kaku. Lucu sekali keadaan Datuk ini. Tangan kirinya mencak-mencak dan kaki kiri dibanting-bantingkan ke tanah sedang mulut
memaki-maki habis-habisan tapi seluruh tubuhnya bagian kanan tak dapat digerakkan sama sekali, laksana menjadi batu!
"Sekarang mungkin kita bisa bicara baik-baik", kata Wiro sambil tertawa dan memasukkan rencong perak ke balik pinggang pakaiannya. Setelah me¬nyapu paras
keempat orang itu satu demi satu dengan sepasang matanya maka Wiro melangkah kehadapan Panglima Sampono dan berkata : "Bapak, tadi kau bertanya apakah
aku tahu siapa adanya perempuan berkerudung itu ... ".
Panglima Sampono diam saja. Hatinya kesal bukan main dan dadanya bergejolak menahan amarah. Kalau saja tubuhnya tidak ditotok pasti pemuda itu sudah diserangnya
kembali!
Sebaliknya sambil masih tertawa-tawa Wiro berkata : "Aku memang tidak tahu siapa dia adanya ..."
"Kalau tidak kenal mengapa kau ikut campur urusan orang?! Gadis itu lolos karena kelancanganmu pemuda sialan!"
Wiro Sableng senyum-senyum saja dimaki pemuda sialan.
"Meski aku tidak tahu siapa dia, tapi melihat kalian mengeroyoknya tentu saja aku tak bisa ber¬diam diri. Apalagi dia bertangan kosong sedang kalian berempat
pakai senjata, mendesak gadis itu! Bukan¬kah sayang sekali kalau gadis itu terpaksa mati muda?!"
Hampir saja Panglima Sampono hendak meludahi muka pemuda itu saking gemasnya. Dibukanya mulutnya : "Memang hati satriamu hendak menolong gadis itu patut
dihargakan! Tadinya kukira dia gen¬dakmu hingga kau begitu kesusu turun tangan tanpa menyelidik lebih dulu! Sekarang dia telah lolos. Dunia persilatan
akan sukar untuk diselamatkan!" Wiro Sableng kerenyitkan kening.
"Harap kau suka menerangkan siapa adanya gadis itu!" kata Wiro pula.
Panglima Sampono mendengus. "Kalau kau mau tahu, gadis itu adalah Pandansuri! Anak Raja Rencong Dari Utara!"
Sepasang mata Pendekar 212 terpentang lebar dan memandang pada keempat orang dihadapannya itu satu persatu.
"Anak gadisnya Raja Rencong Dari Utara?" desis Wiro seraya garuk-garuk rambutnya yang basah kuyup oleh air hujan yang sampai saat itu masih juga turun
meskipun tidak selebat semula. "Aku sendiri sebenarnya memang tengah mencari-cari si Raja Ren¬cong itu!"
Keempat tokoh silat sama-sama mendengus. "Pemuda edan! Kami muak melihat lagakmu! Lekas lepaskan totokan kami dan berlalu dari sini!"
Yang bicara adalah Sebrang Lor, Wiro memandang pada Sebrang Lor sejenak sam¬bil berpikir-pikir. Kemudian katanya : "Memang aku turun tangan keliwat kesusu.
Tidak menyelidik lebih dulu! Kalau saja aku tahu bahwa gadis itu adalah anaknya Raja Rencong Dari Utara aku akan membantu kalian meringkusnya hidup-hidup
".
"Tak perlu bicara ngelantur!" tukas Sebrang Lor gemas. "Semuanya sudah kasip! Gadis itu sudah lo¬los! Kau telah menghancurkan rencana yang kami susun selama
satu bulan! Benar-benar kau kurang ajar dan sialan sekali!".
"Dengar", kata Wiro, "kalau aku bertemu gadis itu aku akan tawan dia dan menyerahkan pada kalian. Tapi katakan dulu apa rencana kalian"
"Kau tak ada sangkut paut dengan kami! Karenanya tak perlu bertanya!" sahut Panglima Sampono.
"Kalau begitu baiklah! Kuharap saja kalian bisa melupakan kelancanganku tadi ".
Wiro membalikkan badannya hendak pergi.
"Hai tunggu dulu! Lepaskan dulu totokan kami!" teriak Sebrang Lor dan Lembu Ampel hampir bersamaan.
Wiro tertawa.
"Sebenarnya aku memang bermaksud hendak melepaskan totokan di tubuh kalian! Tapi karena kalian memakiku terus-terusan seenaknya, biarlah kalian jadi patung-patung
hidup sampai beberapa jam di muka!".
"Keparat!"
"Setan Alas!"
“…bedebah!"
"Edan kau!"
Begitulah maki-makian yang dilontarkan keempat orang itu. Wiro tertawa gelak-gelak. Sekali dia berkelebat, tubuhnya sudah melesat sejauh sepuluh tombak.
Di bawah hujan rintik-rintik akhirnya Pendekar 212 lenyap dari pemandangan keempat orang itu.
* * *
KEDAI NASI itu adalah kedai nasi yang paling besar di seluruh daerah selatan. Sebenarnya kurang pantas kalau disebut kedai nasi; lebih tepat agaknya jika
dikatakan rumah makan. Karena di samping besar, juga rumah makan itu terkenal kemana-mana. Pemiliknya seorang laki-laki berbadan gemuk pendek persis macam
babi buntak. Kata setengah orang konon kabarnya pemilik kedai yang bernama Dang Lariku itu ada memasukkan sejenis bumbu ke dalam masakannya hingga apa
saja yang dijualnya di rumah makan itu terasa enak sekali. Bumbu apa yang dimaksudkan Dang Lariku itu tak seorangpun yang mengetahuinya. Tentu saja Dang
Lariku sendiri merahasiakannya agar tidak ditiru oleh lain orang.
Saat itu hari sudah petang, matahari hampir tenggelam. Sore berebut dengan senja. Keadaan di rumah makan Dang Lariku agak sepi. Hanya ada satu dua orang
yang duduk bercengkrama sambil menikmati kopi pahit.
Dang Lariku baru saja menyalakan sebuah lampu besar di ruangan tengah rumah makan sewaktu didengarnya suara derap kaki kuda yang kemu¬dian berhenti tepat
di hadapan rumah makannya. Dang lariku merasa gembira. Karena suara derap kaki kuda yang berhenti di depan rumah makannya Itu berarti datangnya seorang
tamu dan berarti uang dalam kasnya akan bertambah pula. Dia memandang ke pintu dan tersenyum hendak menyambut tamunya! Namun begitu sang tamu masuk maka
berubahlah paras Dang Lariku dari gembira menjadi pucat seperti kertas! Tamu yang masuk seorang perempuan berpakaian ungu. Parasnya tak bisa dilihat karena
tertutup dengan kerudung biru! Gerakannya melangkah menggetarkan lantai rumah makan! Beberapa orang yang tengah asyik mengisi perutnya dalam rumah makan
segera berdiri dan dengan ketakutan cepat-cepat angkat kaki lewat pintu belakang!
Siapakah sesungguhnya tamu yang datang ini? Tentu pembaca sudah dapat menduga. Dia bukan lain Pandansuri, anak Raja Rencong Dari Utara. Dan siapakah di
daerah selatan yang tidak kenal dengan gadis itu?! Pandansuri sudah terkenal keke¬jamannya! Menghajar seseorang yang terlalu berani memandang kepadanya
sampai setengah mati bukan apa-apa bagi gadis itu! Membunuh orang-orang yang berlaku kurang ajar sudah menjadi kebiasaan¬nya! Bahkan belakangan ini dia
laksana seekor harimau lapar yang sengaja mencari mangsanya!
Meski hatinya kecut berdebar dan parasnya sepucat kertas namun dengan semanis dan seramah mungkin Dang Lariku menyabut tamunya, memper¬silahkan duduk lalu
berteriak pada pelayan agar segera menyediakan hidangan yang paling lezat serta tuak yang paling harum! Sementara itu Pandansuri duduk di sudut rumah makan,
memandang berkeliling dan tersenyum kecil sewaktu menyaksikan bagaimana rumah makan itu menjadi sunyi akibat kedatangannya! Tak lama kemudian Dang Lariku
sendiri yang muncul membawakan hidangan dan minuman ke meja Pandansuri. Seorang pelayan membawakan sepiring besar buah-buahan.
"Sungguh satu kehormatan besar lagi bagiku karena puteri Raja Rencong Dari Utara kembali berkenan mampir di rumah makanku yang buruk ini ", kata Dang Lariku
pula.
Pandansuri tak menjawab. Diputarnya kerudung mukanya sedikit hingga mulutnya bisa menyantap hidangan dengan leluasa. Gadis ini baru menghabis¬kan setengah
bagian dari hidangannya sewaktu se¬buah kereta berhenti dan tak lama kemudian dua orang pemuda memasuki rumah makan. Melihat kepada pakaiannya yang serba
bagus dapat diduga bahwa kedua pemuda ini adalah anak bangsawan. Sedang melihat kepada paras masing-masing jelas mereka bersaudara, adik dan kakak.
Karena dalam rumah makan itu hanya Pandansuri yang ada maka dengan sendirinya gadis ini men¬jadi perhatian kedua pemuda. Sambil mencari tempat duduk, mereka
tiada berhenti memandang Pandan¬suri.
"Aneh", kata pemuda yang seorang. Namanya Djebat Seloka. "Baru kali ini kulihat ada orang ber¬kerudung begini. Bahkan tengah makanpun dia tak mau membuka
kain penutup wajahnya itu ".
"Bukan aneh ", menyahuti pemuda yang seorang Namanya Gandra Seloka dan dia adalah adik Djebat Seloka. "Bukan aneh", mengulang lagi Gandra Seloka, "tapi
lucu!". Kedua pemuda itu tertawa-tawa. Dang Lariku yang sudah berada di dekat meja kedua bangsawan menjadi cemas sekali! Siapa yang berani mengganggu apalagi
menghina pasti akan dihajar babak belur bahkan tidak jarang dibunuh oleh Pandansuri. Tapi agaknya si gadis kali ini tidak mengambil perduli. Mungkin juga
tidak mendengar ucapan-ucapan kedua orang itu karena dia terus saja menyantap makanannya.
"Mungkin juga dia bangsa perampok", berkata lagi Djebat Seloka kawannya tertawa. "Kurasa kurang tepat!" dia menyahuti. "Kalau perampok seperti ini tentu
semua orang akan mau menyerahkan barang-barangnya, bahkan dirinya sekaligus!".
Kembali kedua pemuda bangsawan itu tertawa gelak-gelak. Tawa mereka masih belum berakhir tiba-¬tiba gadis berkerudung menggebrak meja dan tahu¬-tahu dua
buah piring melesat ke arah kepala Gandra dan Djebat Seloka!
Kedua pemuda ini kaget bukan main! Dengan cepat mereka melesat dari kursi masing-masing! Dua buah piring menghantam dinding rumah makan hingga pecah berantakan
sedang isinya berhamburan di lantai! Dang Lariku meramkan mata melihat hancurnya kedua piring itu. Dan dia tahu bahwa sebentar lagi bukan hanya kedua buah
piring itu saja yang menjadi kerugian baginya!
"Bagus! Kalian tikus-tikus busuk rupanya punya ilmu juga huh?!" bentak Pandansuri. Dia sudah berdiri di depan meja dengan kedua tangan di pinggang sedang
matanya menyorot penuh amarah!
"Saudari kau galak sekali!" kata Gandra Seloka dan kembali dia mulai cengar-cengir. Saudaranya menimpali. "Bukalah kerudungmu itu agar kami bisa melihat,
betapa cantiknya parasmu kalau sedang marah!".
"Keparat! Kalian minta mampus!" bentak Pandansuri. Kursi di depannya ditendang hingga hancur berantakan dan hancuran kursi itu melesat ke arah dua bersaudara
Seloka. Tapi lagi-lagi keduanya bisa mengelak! Ini membuat Pandansuri semakin meluap amarahnya.
"Anjing-anjing bermuka manusia! Kalian tahu dengan siapa berhadapan? Aku Pandansuri anak Raja Rencong Dari Utara!"
Kini rasa terkejut kedua pemuda itu bukan rasa terkejut main-main lagi. Lutut mereka menggigil sedang mata mereka membeliak, mulut menganga. Meski mereka
menguasai ilmu silat yang dapat diandalkan, tapi berhadapan dengan anak Raja Rencong Dari Utara benar-benar mereka tidak punya nyali, bukan tandingan mereka!.
"Celaka kakak", bisik Djebat Seloka, "baiknya kita segera saja angkat kaki dari sini!"
Gandra Seloka menganggukkan kepala. Lalu kedua pemuda ini cepat melompat ke pintu.
"Bedebah, mau kabur kemana?!" teriak Pandansuri. Tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu dia sudah menghadang di ambang pintu! Kedua pemuda laksana kain kafan
pucat paras mereka. Djebat seloka bicara tergagau-gagau:
"Saudara! ha... harap kau mau me… memaafkan. Ka... kami tidak mengira kalau kau.. .. adalah anaknya Raja Rencong …!".
Di balik kerudungnya Pandansuri mendengus. Dia melompat ke muka. Kedua tangan terpentang lebar dan tahu-tahu kedua pemuda bangsawan itu merasakan rambut
mereka diiambak lalu: praak! Kedua kepala pemuda bersaudara itu diadu satu sama lain oleh Pandansuri, hingga mengeluarkan suara keras! Batok kepala Djebat
dan Gandra Seloka pecah. Darah dan otak bermuncratan.
"Itu hadiah yang paling bagus buat kalian" Kata Pandansuri seraya melepaskan jambakannya. Tubuh Djebat dan Gandra Seloka melingkar di lantai!. Dang Lariku
si pemilik rumah makan ketika menyaksikan bagaimana kepala kedua pemuda itu pecah lantas saja roboh pingsan! Para pelayan tak ada seorangpun yang berani
menjengukkan muka!
Seperti tak ada kejadian apa-apa Pandansuri kembali ke mejanya lalu berteriak memanggil pelayan. Pelayan datang dengan tubuh menggigil muka pucat.
"Hidangkan makanan baru buatku!" kata Pandansuri.
"Ba .... baik yang mulya kata pelayan. Sesaat kemudian Pandansuri sudah duduk pula menyantap hidangannya.
Belum lagi waktu berjalan sampai lima menit tiba-tiba di luar terdengar derap kaki kuda banyak sekali dan suara seseorang memberi aba-aba berhenti. Pandansuri
tidak mengambil perduli suara berisik di luar rumah makan. Juga tidak menoleh ketika seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, berkumis melintang serta
membawa sepasang pedang di ping¬gang, diiringi oleh lima orang yang juga rata-rata berbadan tegap memasuki rumah makan!
"Hai!"
Keenam orang itu sama-sama mengeluarkan seruan dan menghentikan langkah diambang pintu sewaktu mata mereka membentur dua sosok tubuh yang menggeletak di
lantai rumah makan dengan kepala-kepala pecah!
"Apa yang terjadi di sini?!" ujar laki-laki paling depan lalu dia memandang seputar ruangan dan sewaktu matanya melihat Pandansuri yang duduk di sudut
kanan enak-enak menyantap hidangan kembali laki-laki ini berseru terkejut: "Hai! Dia adalah anaknya Raja Rancong! Musuh besar yang kita cari-cari! Kurung
seluruh rumah makan ini!". Kelima orang di samping laki-laki itu segera memencar dan memberikan perintah beruntun hingga dalam sekejap saja seluruh rumah
makan itu telah dikurung lebih oleh dua puluh orang.
Siapakah laki-laki berkumis melintang serta pengiring-pengiringnya itu? Dia adalah Dipa Warsyah seorang perwira tinggi balatentara Kesultanan Deli, yang
tengah menjalankan tugas Sultan Deli yaitu mencari dan menangkap Raja Rencong Dari Utara baik hidup atau mati! Karena Raja Rencong sudah dikenal kehebatan
dan kesaktiannya, meski¬pun Dipa Warsyah bukan seorang yang berkepandaian rendah namun perwira ini tidak mau ambil risiko. Dalam menjalankan tugas Sultan
itu maka Dipa Warsyah membawa serta lima orang tangan kanannya dan dua puluh orang prajurit-prajurit yang terlatih baik! Mendengar seruan Dipa Warsyah
tadi, Pandansuri berpaling sebentar lalu meneruskan makannya dengan sikap yang kelihatannya tetap acuh tak acuh, tapi diam-diam gadis ini mempertinggi
kewaspadaan¬nya karena dia tahu siapa adanya orang-orang itu! Melihat sikap si gadis demikian rupa, sang perwira merasa dongkol dan dianggap sepele.
"Anak Raja Rencong! Kau berhadapan dengan perwira Kesultanan Deli!".
Sebelum Dipa Warsyah meneruskan bicaranya, Pandansuri sudah berpaling dan memotong: "Apa urusanmu, perwira? Apa mau mengemis ketika orang sedang makan?
Hanya pengemis-pengemislah yang suka mengusik orang makan!"
Merahlah paras Dipa Warsyah.
Dia berpaling pada kelima bawahannya yang berkepandaian tinggi dan memerintah: "Atas nama Sultan Deli tangkap gadis itu!".
Kelima orang yang diperintah segera bergerak.
"Tunggu dulu!" seru Pandansuri dengan suara keras dan sambil mencampakkan tulang ayam yang di tangan kanannya ke lantai papan hingga tulang ayam itu menancap
di lantai!.
"Atas alasan apa Sultan kalian menyuruh tang¬kap aku?!" bentak Pandansuri lantang.
Dipa Warsyah menjawab: "Sebenarnya ayahmu yang kami cari! Tapi menangkap anaknyapun cukup berharga!".
"Pandansuri tertawa gelak-gelak. Suara tertawa itu merdu sekali namun kemerduan itu dibayangi oleh sesuatu yang mengerikan. Dia memandang pada ke¬lima
bawahan Dipa Warsyah. "Kalian mau menang¬kap aku? Majulah!".
Mengandalkan jumlah yang banyak serta ke¬pandaian mereka yang tinggi maka tanpa cabut sen¬jata kelima anak buah Dipa Warsyah melompat ke muka. Lima pukulan
dan lima totokan menderu bersirebut cepat! Sekejap kemudian menguman¬danglah lima pekikan di dalam rumah makan itu!
KEDUA mata Dipa Warsyah membelalak besar seperti mau melompat dari rongganya sewaktu menyaksikan bagaimana kelima bawahannya jatuh bergedebukan di lantai
dalam keadaan tubuh hangus dihantam pukulan kuku api yang dilancarkan oleh Pandansuri.
"Gadis jahanam ! Jaga batang lehermu!"
Tubuhnya melompat ke muka dan hampir tak kelihatan kapan dia mencabut sepasang pedangnya, tahu-tahu dua sinar putih telah menyambar pinggang dan leher
Pandansuri dari kanan dan kiri!
Pandansuri terkejut melihat datangnya serangan hebat dan cepat ini. Lekas-lekas dia menyingkir ke samping lalu menyusupkan satu tendangan ke arah perut
sang perwira. Permainan pedang Dipa Warsyah hebat sekali karena begitu serangannya mengenai tempat kosong, sepasang pedang itu laksana kilat menderu ke
bawah membuat Pandansuri terpaksa tarik pulang kaki kanannya dan sewaktu dia melancarkan dua jotosan ganas ke dada dan ke kepala lawan, kembali sepasang
pedang membabat ke atas menggagalkan serangannya!
Panaslah hati si gadis. Dia bersuit nyaring dan sekali tubuhnya berkelebat lenyaplah dia dalam jurus¬-jurus serangan yang ganas! Kedua orang itu berkecamuk
dalam pertempuran yang luar biasa hebatnya! Meski sang perwira dalam hal tenaga dalam masih kalah satu tingkat dari Pandansuri namun dengan permainan sepasang
pedangnya yang hebat luar biasa dia berhasil memberikan tekanan-tekanan yang berbahaya pada lawannya! Kalau saja ilmu meringankan tubuh Pandansuri belum
mencapai tingkat yang lebih tinggi dari sang perwira, niscaya gadis ini sudah sejak tadi kena celaka tersambar ujung pedang!
Melihat lawan begitu tangguh dengan hati memaki Pandansuri mulai keluarkan jurus-jurus simpanannya yang terlihay. Dipa Warsyah terkesiap melihat bagaimana
permainan silat si gadis berubah total dan sukar diduga sasaran yang ditujunya. Dengan serta merta perwira ini percepat permainan pedangnya hingga rumah
makan itu terbenam dalam deru sepasang pedang!
"Perwira edan! Makan pukulan selaksa palu godam ini!" teriak Pandansuri. Tubuhnya berkelebat dan tahu-¬tahu tangan kanannya menyusup di bawah pedang sebelah
kiri Dipa Warsyah, menderu ke atas mengarah muka sang perwira!
Meski kagetnya bukan alang kepalang, tapi perwira ini tidak kehilangan akal. Dengan sebat pedang di tangan kanannya digerakkan ke atas! Pandansuri terkejut
dan tak menyangka lawannya akan bergerak sekalap dan secepat itu. Namun demi¬kian meskipun pedang datang menyambar gadis ini tidak takut. Sedikit saja
dia merubah gerakan pukulannya tadi maka lengannya telah menghantam badan pedang. Pedang itu bukan saja mental dari tangan kanan Dipa Warsyah tapi juga
patah dua! Sambil mengirimkan satu tusukan sang perwira melompat ke samping kiri dan ke luar dari kalangan pertempuran. Justru ini adalah kesalahan besar.
De¬ngan memisah jarak sejauh itu dia memberi kesempat¬an pada Pandansuri untuk melepaskan pukulan kuku api yang ganas! Perwira ini berusaha mengelak sambil
menangkis tapi sia-sia saja. Tubuhnya sebatas dada ke atas hangus dilanda lima larik sinar merah kekuningan yang melesat dari lima kuku jari tangan kanan
Pandansuri!
"Perempuan iblis!" teriak seorang kepala prajurit yang mengurung rumah makan. Sekali dia berteriak maka dua puluh prajurit-prajurit lainnya menyerbu! Rumah
makan itupun hiruk pikuklah!
Tapi hanya sebentar karena setiap kali Pandansuri berkelebat, setiap kali dia menjentikkan kelima jari tangannya maka sekelompok demi sekelompok prajurit¬prajurit
itu rebah ke lantai tanpa nyawa dan dalam keadaan tubuh hangus! Akhirnya enam orang sisa-sisa yang masih hidup segera ambil langkah seribu! Rumah makan
itu kini penuh dengan gelimpangan mayat. Suasana yang mengerikan itu ditambah pula bergidiknya oleh beberapa orang prajurit yang masih hidup megap-megap
merintih menjelang ajal sampai! Kursi dan meja centang perenang tak karuan. Piring-piring dan gelas berhamburan di¬mana-mana. Makanan berhamparan! Satu-satunya
meja dan kursi yang tidak berpindah dari tempatnya ialah yang tadi diduduki oleh Pandansuri!
Gadis ini melangkah ke kursi, duduk di situ dan meneguk tuak harum di dalam piala perak beberapa kali. Di tengah-tengah suasana yang mengerikan itu dia
meneruskan menyantap hidangannya kembali! Pandansuri sudah menyelesaikan makannya dan tengah meneguk tuak sewaktu dari pintu terdengar suara keras menggetarkan
Seantero ruangan:
"Buset ! Ini rumah makan apa tempat pembantaian manusia? !..Anak gadis Raja Rencong Dari Utara terkejut dan cepat berpaling.
"Ah, dia ", kata Pandansuri. Kedua bola matanya bersinar. Dia merasa geli dan juga merasa aneh melihat sikap orang diambang pintu menyaksikan mayat yang
malang melintang dalam rumah makan dengan mata membeliak, mulut ternganga dan sambil garuk-garuk kepala! Tiba-tiba orang itu berpaling kepadanya dan,
"Hai kau!" seru pemuda rambut gondrong. Dia melangkah melompati mayat-mayat yang ber¬gelimpangan mendadak dia menghentikan lang¬kahnya ketika salah seorang
dari mayat mayat itu dikenalnya.
"Ini Dipa Warsyah, perwira pasukan Kesultanan Deli!" katanya setengah berseru dan kembali memalingkan kepala pada Pandansuri. Sambil melangkah ke meja
gadis itu dia bertanya: "Apa yang terjadi di sini?"
"Siapa tanya siapa?!..
"Eh …"!., si pemuda tertegun. Dua alis matanya yang tebal naik ke atas lalu sekelumit senyum ter¬sungging di mulutnya. "Tentu saja aku bertanya dengan
kau saudari, kecuali kalau mayat-mayat itu masih sanggup diajak bicara!"
Pandasuri pelototkan matanya. Si pemuda juga beliakkan sepasang matanya meski senyum tadi masih belum pupus dari mulutnya.
"Berlalu dari hadapanku sebelum aku jadi muak!" bentak Pandansuri.
"Saudari, kau galak sekali! Tidak percuma kau jadi anaknya Raja Rencong Dari Utara... ?!"
Pandansuri terkejut.
"Dari mana kau tahu aku anak Raja Rencong?!"
"Ah kehebatan ayahmu dan kehebatanmu disampaikan orang dari mulut ke mulut. Dihembuskan angin ke pelbagai penjuru ..."
Pemuda itu kemudian menyeret sebuah kursi yang terbalik lalu duduk di hadapan Pandansuri dengan sikap seenaknya.
"Pemuda lancang! Kalau kau sudah tahu siapa aku mengapa tidak lekas angkat kaki dari rumah makan ini?!"
Si pemuda tertawa pelahan.
"Kau tak punya hak mengusirku! Rumah ma¬kan ini bukan milikmu!"
Si gadis mendengus.
"Ka|au begitu berarti akan bertambah satu mayat lagi di tempat ini!"
Si pemuda yang bukan lain Wiro Sableng si Pendekar 212 adanya tertawa perlahan.
"Jadi kau rupanya yang telah membunuhi semua manusia ini!", Wiro gelengkan kepala dan leletkan lidah. "Dan aku yakin mereka bukan manu¬sia-manusia berdosa!
Sekalipun punya salah tapi sangat tak berperikemanusiaan menjagal mereka seperti ini !".
"Punya dosa atau tidak, salah atau tidak itu bukan urusanmu! Lekas menyingkir dari hadapan¬ku!" bentak Pandansuri. "Kecuali kalau mau segera mampus!".
Kembali Pendekar 212 tertawa. Dia memandang ke luar lewat pintu rumah makan lalu berkata:
"Seekor binatang jika dilepaskan dari bahaya besar, mungkin masih bisa menyatakan terima kasih! Tapi seorang manusia malah sebaliknya!"
"Keparat! Kalau tidak mengingat pertolonganmu tadi siang-siang aku sudah bunuh kau!", bentak Pandansuri. "Soal pertolongan yang tak seberapa itu jangan
diungkap-ungkap! Lagi pula siapa yang minta tolong padamu sewaktu aku bertempur me¬lawan empat manusia hina dina itu?!"
"Aku sama sekali bukan bermaksud meng¬ungkap-ungkap pertolongan kecil itu" sahut Wiro, "tapi cuma sekedar membandingkan seorang manusia dengan seekor binatang
…!".
Ejekan ini membuat Pandansuri menjadi marah sekali.
"Keparat! Kau betul-betul mau mampus cepat-cepat!". Pandansuri mengangkat tangan kanan¬nya. Lima jari tangannya siap dijentikkan ke arah Pendekar 212 Wiro
Sableng. Yang hendak diserang sebaliknya tenang-tenang saja malah tersenyum-¬senyum. Ketenangan ini membuat Pandansuri menjadi ragu.
"Eh, kenapa maksudmu tidak diteruskan? Bukankah kau mau membunuh aku?!" kata Wiro ketika dilihatnya Pandansuri berada dalam kebim¬bangan.
"Setan alas!" maki Pandansuri geram. Sekali tangan kirinya digerakkan maka meja makan yang dihadapannya melesat ke arah Wiro Sableng. Piring mangkuk dan
gelas menyambar lebih dahulu!
"Benar-benar manusia yang tak tahu budi orang!" damprat Wiro Sableng. Laksana panah lepas dari busurnya tubuhnya mencelat ke atas. Piring mangkuk dan gelas
lewat di sampingnya. Begitu meja makan menyusul datang, tanpa tedeng aling-aling Wiro Sableng tendangkan kaki kanannya. Meja itu hancur berantakan. Pecahan-pecahan
papan dan kaki-¬kaki meja yang keseluruhannya berjumlah delapan belas keping langsung menyerang ke tubuh Pandansuri! Dengan cekatan gadis ini melompat
ke atas seraya memukulkan tangan kiri ke muka. Kepingan¬kepingan meja yang menyerangnya berpelantingan kian ke mari. Wiro kemudian susulkan dengan satu
jotosan ke arah perut si gadis. Dengan gerakan gesit Pandansuri berhasil mengelakkan malah di lain kejap dia berhasil menyambar patahan kaki meja dan menyerang
Wiro Sableng dengan benda itu.
“Wut…!"
Wiro membuang diri ke samping kanan. Terlambat sedikit saja pasti pipinya kena disambar ujung kaki meja itu! Melihat serangan untuk kesekian kali luput
lagi maka Pandansuri berkelebat cepat dan serangan dahsyatpun bertubi-tubi melanda Pendekar 212 wiro Sableng!
Diam-diam Wiro Sableng memuji kehebatan ilmu sifat dan kegesitan Pandansuri. Sebelum dirinya kena didesak, Wiro segera berkelebat cepat untuk mengimbangi
kegesitan lawan. Lima jurus pertempuran berkecamuk dengan hebat kaki meja di tangan Pandansuri merupakan senjata yang ampuh, men¬deru kian ke mari laksana
belasan buah banyaknya dan menyerang dalam gerakan-gerakan yang sukar diduga. Penasaran sekali, wiro Sableng keluarkan se¬buah jurus silat tangan kosong
yang dipelajarinya dari Tua Gila (Mengenai siapa adanya Tua Gila ha¬rap baca serial Wiro Sableng yang berjudul: Banjir Darah di Tambun Tulang). Jurus ini
bernama: "ular gila membelit pohon menarik gendewa"!
Jurus ini sepenuhnya mempergunakan kecepatan gerakan tangan. Bagi Pandansuri yang tak bisa melihat kecepatan tangan lawannya, dan hanya melihat tubuh lawan
berada dalam keadaan tak terlindung segera hantamkan kaki meja di tangan kanannya secepat kilat ke arah dada Wiro Sableng!
"Wuutt!"
Kaki kursi itu menderu dan diantara dahsyatnya deru tersebut Pandansuri mendengar suara tertawa lawan yang menjengkelkan hatinya. Tenaga dalamnya dilipat
gandakan hingga dalam satu kejapan mata lagi akan hancur remuklah dada Pendekar 212 dilanda kaki meja! Namun betapa terkejutnya Pandansuri sewaktu merasakan
gerakan tangan kanannya itu tertahan oleh satu kekuatan yang tak kelihatan, dan tahu¬-tahu kaki meja terlepas dari genggamannya!. Bila dia menyurut mundur
dan memandang ke depan dilihatnya Wiro Sableng berdiri tertawa¬-tawa sambil membolang-balingkan kaki meja itu!
"Saudari, kurasa cukup sudah kita main-main! Sekarang kau dengarlah baik-baik! Sewaktu melihat kau bertempur melawan empat orang tokoh silat itu dan berada
dalam keadaan terdesak aku telah membantumu! Tapi setelah kau lolos dan tahu siapa kau adanya, nyatalah bahwa aku telah membuat kesalahan besar! Aku berjanji
pada keempat orang itu untuk menangkap dan menyerahkanmu kepada me¬reka. Nah bagaimana tanggapanmu! Menyerah baik-¬baik atau terpaksa kita musti main-main
lagi barang beberapa jurus?!"
"Menyerah diri pada manusia macammu lebih baik bunuh diri!".
"Ah jangan! Jangan bunuh diri!" tukas Wiro sambil senyum-senyum. "Kalau kau bunuh diri ke¬kasihmu tentu akan sedih dan menangis, lalu mengamuk macam orang
gila! Aku kawatir manusia-¬manusia tak berdosa akan jadi korban amukannya!"
"Pemuda sombong kurang ajar! Aku meng adu jiwa sampai seribu jurus!" teriak Pandansuri Didahului oleh satu pekikan yang dahsyat maka gadis ini menyerang
hebat sekali. Gerakannya jauh berbeda dari jurus-jurus serangan sebelumnya. Sebelum serangan itu sampai anginnya sudah menyambar keras!
Wiro tetap berdiri di tempatnya sambil bolang-balingkan kaki meja di tangan kanannya. Dia terke¬jut sewaktu merasakan angin serangan yang tajam menyelusup
ke arah barisan tulang-tulang iga di sisi kanannya! Wiro Sableng sabatkan kaki meja dengan sigap.
"Buuk"!
Wiro Sableng mengeluh! Kaki meja terlepas dari tangan kanan sedang tubuhnya terjajar ke belakang sampai tiga langkah! Ketika memandang kelengannya sebelah
kanan lengan itu kelihatan bengkak dan merah. Ternyata tumit kiri Pandansuri telah berhasil menghantam lengan itu!
"Itu baru lenganmu! Sebentar lagi kepalamu yang bakal pecah!"
Wiro keluarkan suara bersiul.
"Rupanya kau memang tak boleh dibuat main! Baik, kau mulailah!" kata Pendekar 212 Wiro Sa¬bleng dan memasang kuda-kuda untuk menyerang. Namun sebelum dia
bergerak tubuh si gadis sudah berkelebat dan lenyap! Angin serangan yang dahsyat menelikung sekujur tubuh Wiro. Untuk mengimbangi gerakan lawan mau tak
mau pemuda ini kerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan sesaat kemudian tubuhnya itu hanya merupakan bayang-bayang putih saja!
Diam-diam Wiro Sableng merasa kagum juga dengan permainan silat Pandansuri. Saat itu mereka sudah bertempur sepuluh jurus lebih. Meski Pandansuri tak berhasil
menjatuhkan serangan kepadanya namun dia sendiri dipaksa untuk bertahan terus-terusan, sama sekali tak punya kesempatan untuk balas menyerang! Ini membuat
Wiro Sableng menjadi penasaran. Beberapa kali totokannya tak mengenai sasarannya. Kalau saja dia tidak bermaksud untuk meringkus gadis itu hidup-hidup,
itu lain perkara, dia bisa turun tangan dengan ganas!
Dalam telikungan serangan yang dahsyat itu mendadak Wiro Sableng menyaksikan berkelebatnya sinar merah kekuningan! Melihat lawan menyerang dengan ilmu
pukulan sakti yang berarti menginginkan jiwanya maka Wiro Sableng tentu saja tak mau tinggal diam lagi. Tenaga dalamnya yang sejak tadi sudah disiapkan
secepat kilat dialirkan ke tangan kanannya. Sesaat kemudian tangan itupun didorongkan ke depan. Gerakan Wiro Sableng ini sekaligus merupakan campuran dari
pukulan "ben¬teng topan melanda samudra" dan "tameng sakti menerpa hujan".
Terdengar suara letusan yang dahsyat. Langit langit rumah makan hancur hangus berantakan. Tubuh Pandansuri mencelat sepuluh langkah, terbanting ke dinding!
Wiro Sableng sendiri terhuyung gontai. Kejutannya bukan olah-olah sewaktu menyaksikan bagaimana ujung lengan bajunya mengepul hangus terasa panas dan perih!
Buru-buru pemuda ini mero¬bek ujung lengan baju itu. Ketika dia memandang ke jurusan dinding dimana tubuh Pandansuri tadi terbanding keras, astaga! Gadis
itu sudah lenyap! Wiro melompat ke pintu depan! Kasip sudah! Si gadis tak kelihatan lagi! Wiro memaki dalam hati. Segera pula dia meninggalkan rumah makan
itu.
HARI ITU tanggal satu, saat peresmian berdirinya Partai Topan Utara. Puluhan perahu kelihatan menyeberangi Danau Toba menuju ke pulau besar yang terletak
di tengah- tengah danau. Penumpang-penumpang perahu-perahu itu ialah tokoh-tokoh silat dari pelbagai penjuru yang sengaja datang untuk menghadiri peresmian
berdirinya Partai Topan Utara. Semua mereka ini tiada menduga bahwa kedatangan mereka itu ke sana hanya untuk mengantar nyawa karena Raja Rencong yang
berhati sejahat iblis itu telah berniat untuk menamatkan riwayat semua tokoh-tokoh silat, tak perduli dari golongan manapun mereka adanya!
Di Arena Topan Utara yang terletak di bawah bangunan tua di bukit Toba suasana penuh sesak oleh para tetamu. Kelihatannya para tamu itu sudah tak sabar
lagi menunggu kemunculan Raja Rencong Dari Utara. Namun sampai sedemikian lama sang tuan rumah masih juga belum muncul. Ini menim¬bulkan kegelisahan di
kalangan para tamu.
Sementara itu di lereng bukit kelihatan sekelebatan sosok tubuh manusia. Paras dan perawakannya tidak dapat diteliti dengan jelas karena luar biasa cepat
larinya. Dalam tempo yang singkat dia sudah lenyap ke dalam rimba belantara, meneruskan larinya dengan melompat dari atas cabang pohon yang satu ke cabang
pohon lainnya hingga akhirnya dia sampai di hadapan bangunan tua, satu-satunya bangunan yang terdapat di Bukit Toba itu. Suasana kelihatan sepi tapi matanya
yang tajam dapat mengetahui bahwa sebelumnya belasan orang telah memasuki bangunan itu. Apalagi sebelumnya dia telah melihat perahu banyak sekali di tepi
pantai. Setelah memandang berkeliling, orang di atas pohon ini melompat ke bawah dan tanpa menimbulkan suara dia bergerak ke bagian belakang bangunan.
Berlindung di balik sebuah runtuhan dinding tembok dia meneliti bagian belakang bangunan itu dengan cepat hingga akhirnya pandangannya membentur serumpun
semak belukar lebat di hadapan sebatang pohon kelapa. Jika saja dia tidak mendapat penjelasan dari gurunya Si Tua Gila pasti dia tidak mengetahui bahwa
di bawah rerumpunan semak belukar itu terdapat sebuah lobang yang merupakan jalan rahasia menuju ke bagian bawah bangunan tua!
Segera orang ini melompat tanpa suara ke arah semak belukar, menarik semak belukar itu ke atas hingga kini kelihatan sebuah lobang yang sangat kotor dan
besarnya hanya untuk tempat masuk se¬sosok tubuh manusia. Tanpa ragu-ragu orang ini masuk ke dalam lobang itu dan menyeret rumpunan semak-semak hingga
lobang kembali tertutup seperti sedia kala. Lobang itu ternyata hampir lima belas tombak dalamnya. Setengah bagian sebelah atas dari tanah sedang setengah
bagian sebelah bawah dilapisi dengan batu. Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, orang yang masuk ke lobang ini menyerosot turun tanpa mengeluarkan
sedikit suarapun! Dia sampai di satu lorong sempit dan gelap. Lantai, dinding dan atap lorong yang terbuat dari batu itu penuh dengan debu tebal. Agaknya
lorong tersebut tak pernah dilalui orang selama bertahun¬-tahun. Ditempuhnya lorong itu hingga dia mencapai sebuah pengkolan. Tepat di pengkolan ini terdapat
dua buah pintu pengkolan itu sendiri buntu.
Orang itu menggaruk rambutnya yang gondrong. Rambut gondrong dan kebiasaan menggaruk kepala yang tidak gatal bukan lain dua ciri-ciri khas dari Pendekar
Kapak Maut Naga Geni 212! Dan memang orang yang menyelinap masuk ini adalah Wiro Sableng! Dengan penuh hati-hati Wiro mendekati pintu sebelah kiri. Ternyata
pintu itu tidak dikunci. Dan ketika dibuka, kelihatanlah sebuah ruangan empat persegi. Di dalam ruangan ini terdapat sebuah roda besi yang amat besar.
Bagian pusat dari roda besi ini berhubungan dengan dua puluh helai kawat-kawat halus. Selanjutnya kawat-kawat halus ini menyelusup ke bagian atas ruangan
tak diketahui Wiro kemana seterusnya.
"Mungkin sekali ini adalah senjata rahasia" pikir Wiro Sableng. Ditutupnya pintu itu kembali lalu bergerak ke pintu yang satu lagi. Begitu dibuka maka
kelihatanlah sebuah tangga batu pualam yang menuju ke atas. Tak membuang-buang waktu Wiro segera melompat dan sampai di sebuah lorong yang sangat bagus.
Dinding-dindingnya penuh dengan lukisan-lukisan sedang sebagian dari gang itu tertutup permadani berbunga-bunga. Pada sisi kiri kanan lo¬rong terdapat
masing-masing sebuah pintu. Pintu yang ketiga terletak di ujung gang.
Perlahan-lahan dan hati-hati sekali Wiro Sa¬bleng bergerak mendekati kedua pintu di kiri kanan lorong. Tiba-tiba dia menghentikan langkahnya. Dari pintu
sebelah kanan terdengar suara orang bercakap-¬cakap. Seorang laki-laki dan seorang perempuan. Suara yang perempuan ini rasa-rasa pernah didengar Wiro Sableng.
Cepat pendekar ini tempelkan telinganya ke daun pintu untuk mendengarkan pembicaraan kedua orang di dalam kamar.
Sementara itu di dalam kamar Raja Rencong Dari Utara duduk di sebuah kursi besar. Dia mengenakan pakaian ungu yang baru bertaburkan mutiara. Di tangan
kirinya ada sebuah piala berisi anggur harum. Setelah meraba sebentar kumisnya yang tebal hitam melintang, laki-laki ini bertanya: "Apakah semua tamu sudah
datang?".
Pertanyaannya itu diajukan pada gadis berbaju ungu yang berdiri di hadapannya, parasnya cantik jelita dan dia bukan lain Pandansuri anak Raja Rencong sendiri.
"Sudah", menjawab Pandansuri. "Agaknya sudah waktunya bagi ayah untuk keluar".
"Ya sudah waktunya", kata Raja Rencong pula dengan tersenyum. Diteguknya anggur dalam piala. Tangannya yang memegang piala tiba-tiba diturunkan dan dia
memandang lagi pada anaknya: "Pemuda rambut gondrong yang bertempur denganmu di rumah makan Dang Lariku apa juga kelihatan?".
"Sampai saat terakhir saya mengintai dari jendela rahasia di Arena Topan Utara dia tidak kelihatan".
"Panglima Sampono dan ketiga kawannya itu juga hadir?".
Pandansuri mengangguk.
Raja Rencong Dari Utara meletakkan piala anggur ke atas meja lalu berdiri.
"Segera aku meninggalkan kamar ini, kau cepat menuju ke kamar pesawat rahasia itu. Di mimbar telah kupasang sebuah tombol. Kelak bila tombol itu kutekan
pesawat rahasia itu akan berbunyi dan detik itu juga kau harus mencabut dua puluh helai kawat-kawat halus pada pusat pesawat secara sekaligus! Kau mengerti
tugasmu, Pandansuri?!"
"Mengerti ayah", jawab Si gadis.
Raja Rencong Dari Utara tertawa lalu berkata:
"Sekali kawat-kawat itu terlepas dari pusat pesawat, lantai Arena Topan Utara akan ambruk, atau akan runtuh! Semua keparat-keparat yang ada di situ akan
tertimbun hidup-hidup! Akan mampus!"
"Dan kita ayah dan anak akan menguasai dunia persilatan di seluruh Pulau Andalas ini!"
"Benar! Benar sekali!" kata Raja Rencong dengan tertawa gelak-gelak. "Namun demikian, meski keparat- keparat di Arena Topan Utara itu sudah berada dalam
perangkap kita, segala hal yang tak terduga mungkin saja terjadi. Agar kau dapat menjalankan tugas dengan aman, kau bawalah pedang ini". Raja Rencong Dari
Utara menyerahkan sebilah pedang ke tangan anaknya. "Senjata ini tidak kalah hebatnya dengan Rencong Perakmu yang hilang itu. Pandansuri …".
Pandansuri menerima senjata itu. Kemudian dilihatnya ayahnya mengeluarkan sehelai lipatan kertas.
"Sekali lagi kukatakan", ujar Raja Rencong pula, "segala kemungkinan yang tak diingini bisa terjadi. Surat ini kuberikan padamu, anakku. Kelak kau baru
boleh membukanya jika aku menemui ajal secara tak terduga di Arena Topan Utara nanti. Jika segala sesuatunya berjalan beres, surat itu musti kau kembalikan
padaku ".
"Ayah, apakah artinya ini?" tanya Pandansuri. Kata-kata dan surat yang diserahkan ayahnya itu membuat hatinya tidak enak.
Raja Rencong Dari Utara tertawa perlahan, ditepuknya bahu Pandansuri. Dibukanya mulutnya hendak mengatakan sesuatu tapi mendadak kepalanya dipaling ke
pintu kamar.
"Seperti ada seseorang yang tengah mencuri dengar pembicaraan kita. Pandan "
Pandansuri menoleh ke pintu lalu berkata:
"Ah itu cuma perasaan ayah saja. Siapa orangnya yang berani menyusup ke sini dari Arena Topan Utara? Sekali dia memasuki lorong pertama pasti tubuhnya
akan tertambus senjata-senjata rahasia meski bagaimana pun tinggi ilmunya!"
Raja Rencong membenarkan hal itu. Namun kekawatiran belum lenyap dari hatinya, menyusup dari Arena Topan Utara memang tidak mungkin. Tapi yang aku kawatirkan
ialah penyusupan lewat lobang rahasia di bagian belakang bangunan tua. Dari lobang sampai ke lorong dan sampai ke sini sama sekali tidak dirintangi oleh
satu senjata rahasiapun!"
"Ayah", kata Pandansuri tertawa. "Menurut keteranganmu satu-satunya manusia yang menge¬tahui seluk beluk dan jalan rahasia masuk ke tempat ini ialah Tua
Gila, Dan orang itu sudah mati belasan tahun yang silam. Apakah dia mungkin hidup kembali dan menggerayang ke sini?!"
Raja Rencong Dari Utara merasa malu pada dirinya sendiri. Namun telinganya yang tajam itu tadi telah mendengar suara hembusan nafas tepat. di belakang
daun pintu kamar dimana dia beradal melihat ayahnya masih berada dalam kebimbangan, Pandansuri berkata lagi: "Kalaupun ada seseorang yang berhasil masuk
ke sini, masakan telinga ayah tak sanggup mendengar gerakan langkahnya?!"
"Aku belum puas kalau belum menyelidikinya sendiri" kata Raja Rencong pula. Lalu dengan cepat melompat ke pintu!
* * *
DI LUAR KAMAR sewaktu mendengar ucapan Raja Rencong bahwa dia merasa ada seseorang yang mendengarkan pembi¬caraannya maka Wiro segera maklum cepat atau
lambat laki-laki itu akan segera ke luar untuk menye¬lidik. Untuk lari ke ujung lorong yang tadi dilewatinya terlalu besar risikonya karena ujung lorong
itu jauh sekali. Untuk baku hantam menempur Raja Rencong dan Pandansuri baginya bukan halangan. Sekalipun dia harus pasrahkan nyawa dia bisa mati dengan
rela. Tapi yang paling penting ialah menye¬lamatkan jiwa puluhan tokoh-tokoh sakti yang ada di Arena Topan Utara, terutama mereka yang dari golongan putih!
Wiro Sableng melangkah cepat ke pintu di samping kiri. Didorongnya pintu itu tapi ternyata dikunci. Mendobrak pintu itu akan menimbulkan suara berisik
dan sama saja dengan memberi tahu terang-terang kehadirannya di situ pada Raja Rencong!
Wiro berkelebat ke pintu di ujung depan lorong. Baru saja dia berdiri di depan pintu itu mendadak terdengar suara macam nyamuk mengiang di telinganya.
"Cepatlah masuk anakku".
Wiro terkejut bukan main. Meski tidak tahu apakah yang bakal ditemui di dalam sana perangkap yang sangat berbahaya namun tanpa pikir panjang dalam keadaan
kepepet begitu rupa Wiro Sableng segera mendorong daun pintu. Pintu itu ternyata tak dikunci. Wiro cepat masuk ke dalam. Ketika daun pintu itu tertutup
kembali maka daun pintu dilorong sebelan kanan terbuka. Raja Rencong Dari Utara ke luar. Matanya meneliti setiap sudut lorong.
Tak seorangpun yang kelihatan. Namun Raja Rencong tak yakin bahwa perasaan dan telinganya telah menipunya. Sekali dia melompat maka dia sudah sampai di
pintu kamar di ujung lorong dan sekaligus membuka pintu itu!
Sewaktu Wiro masuk ke dalam kamar itu satu pemandangan yang luar biasa membuat dia sangat terkejut hingga sepasang kakinya laksana dipakukan ke lantai!
Kamar itu tak seberapa besar. Meski bagian luarnya kelihatan bagus tapi di dalamnya hanya merupakan dinding lantai dan atap batu yang kasar. Seluruh kamar
diselimuti debu. Di beberapa sudut labah-labah telah membuat sarangnya. Di tengah-tengah kamar inilah kelihatan duduk seorang laki-laki tua bermuka biru,
berpipi sangat cekung. Tubuhnya yang kurus tertutup sehelai jubah biru yang luar biasa besarnya hingga bagian bawahnya menutupi hampir seluruh lantai kamar!
Kedua tangan orang tua ini buntung sebatas siku, salah satu telinganya sum¬plung. Pada lehernya terikat sebuah rantai baja yang ujungnya dipantek dengan
sebuah paku besar ke dinding batu di belakangnya. Sikap orang tua ini yang memeramkan matanya tak ubahnya seperti orang yang tengah bersemedi,
"Orang tua, kau siapa?!" tanya Wiro.
Orang tua itu membuka kedua matanya.
Astaga! Wiro merasa tengkuknya dingin. Kedua mata itu hanya merupakan sepasang rongga yang dalam dan mengerikan!
"Anak tolol! Lekas sembunyi dalam jubah di belakang punggungku!" kata si orang tua. Wiro Sableng yang sadar akan keadaannya segera mengikuti perintah si
orang tua. Namun demikian karena dia tiada mengenal siapa adanya orang tua ini dan bukan mustahil seorang musuh yang hendak menjebak maka sambil menyusup
ke dalam jubah biru yang lebar diam-diam Wiro siapkan pukulan sinar matahari di tangan kiri sedang tangan kanan memegang gagang Kapak Naga Geni 212!
"Anak, aku bukan musuhmu! Kenapa musti meraba senjata segala?!", tiba-tiba terdengar suar mengiang di telinga Wiro Sableng. Suara orang tua itu! Orang
ini hebat sekali, tentu sakti luar biasa, pikir Wiro. Tapi mengapa kedua tangannya buntung dan matanya buta sedang lehernya dirantai begitu rupa?
Tiba-tiba pintu terbuka dan terdengar bentakan Raja Rencong Dari Utara:
"Tua renta buta! Siapa yang masuk ke sini?!"
Si orang tua menghela nafas dalam lalu menjawab. Suaranya kecil sekali seperti suara anak perempuan. "Jika aku sampai tidak mengetahui ada seorang yang
masuk ke sini itu bukan karena ketololanku tapi karena mataku memang tak melihat. Tapi jika kau yang punya mata dan telinga tajam sampai tidak mengetahuinya
dan malah bertanya padaku itu adalah satu ketololan yang tak ada taranya! Apakah kau lihat ada orang lain di kamar ini?!"
Ejekan itu membuat Raja Rencong Dari Utara memaki habis-habisan. Memang selain orang tua itu tak ada siapapun di situ.
"Apakah kau sudah memeriksa, Hang Kumbara?" bertanya si orang tua.
"Tutup mulutmu setan tua!"
Dimaki begitu rupa malah si orang tua tertawa dan menyahuti: "Hari ini hari peresmian berdirinya Partai Topan Utara bukan?!"
"Kunyuk peot! Kau tahu apa tentang Partai Topan Utara!" semprot Raja Rencong.
"Aku memang tidak tahu-tahu apa-apa. Tapi di balik ketidak tahuan itu aku mendapat firasat bahwa Partaimu itu akan runtuh sebelum saat diresmikannya. Dan
kau sendiri akan mampus. Hang Kumbara . . .!
"Ya, aku akan mampus!" jawab Hang Kumbara alias Raja Rencong Dari Utara. "Tapi sebelum mampus, untuk yang keseratus kalinya terima dulu tamparanku ini!".
"Plaak"!
Tamparan yang dilayangkan Raja Rencong keras luar biasa. Tubuh si orang tua terhuyung-huyung dirasakan oleh Wiro tapi tidak roboh. Mulutnya mengucurkan
darah! Wiro Sableng marah sekali melihat orang tua yang telah tolong menyembunyikan dirinya diperlakukan begitu rupa. Segera saja dia hendak melompat ke
luar dari balik jubah. Tapi ditelinganya terdengar suara seperti ngiangan nyamuk: "Jangan tolol anak!". Terpaksa Wiro Sableng mendekam terus di belakang
punggung orang tua itu. Kemudian terdengar pintu kamar ditutupkan, Raja Rencong telah ke luar.
"Sekarang kau keluarlah!" kata orang tua itu.
Wiro keluar dari balik jubah lalu menjura hormat: "Terima kasih atas budi pertolonganmu, orang tua. Harap kau sudi menerangkan namamu. Kelak di kemudian
hari aku harap bisa membalas budi besarmu ini . . .!
Orang tua itu tertawa.
"Sewaktu mendengar langkahmu di bagian belakang bangunan tua, sewaktu kudengar kau mengangkat rerumpunan semak-semak lalu menyusup turun ke dalam lorong
hatiku gembira. Kukira kau adalah Tua Gila. Tapi dari suara langkahmu kuketahui kemudian bahwa kau bukanlah si Tua Gila. Namun demikian aku yakin kau ada
sangkut paut dengan orang tua itu. Mungkin sekali kau muridnya. Betul?!"
Wiro Sableng melengak.
"Aku hanya menerima beberapa jurus ilmu silat dari Tua Gila. Bagaimana kau bisa tahu semua gerak-gerikku?" tanya Wiro heran.
"Ilmu yang tinggi adalah seribu mata dgn seribu telinga bagi seseorang", jawab si orang tua. "Tapi semuanya itu berakhir dalam kesia-siaan! Buktinya diriku
ini!"
"Kenapa kau sampai dirantai begini rupa?" tanya Wiro.
"Muridku sendiri yang melakukannya" jawab si orang tua penuh rawan dan penyesalan.
"Muridmu?!" kejut Wiro.
"Kau terkejut?! Tak perlu terkejut atau heran orang muda. Di dunia ini sekarang penuh dengan orang-orang sesat dan murtad!".
"Kalau aku boleh bertanya, siapa muridmu itu?" "Masakan kau tidak bisa menerka. Hang Kumbara!"
"Maksudmu Raja Rencong Dari Utara?"
"Itu gelarnya".
“Benar-benar terkutuk manusia itu!" geram Wiro. Sekali digerakkannya tangan kanannya membetot maka tanggallah paku di dinding batu. Dengan cepat Wiro lalu
melepaskan rantai yang mengikat leher orang tua itu.
"Terima kasih anak. Tenaga dalammu luar biasa sekali..."
"Aku cuma punya waktu sedikit, orang tua. Harap kau sudi memberikan sedikit keterangan tentang dirimu. Kelak kalau tugasku selesai aku akan membawamu dari
tempat terkutuk ini!"
"Terima kasih terima kasih! Tak perlu kau bawa diriku yang sudah pikun cacat dan tak berharga ini. Dengar anak, namaku adalah Nyanyuk Amber. Dulu aku diam
di Gunung Singgalang sampai kedatangannya Hang Kumbara manusia laknat itu Dia datang mengemis ilmu padaku. Karena kulihat sifatnya baik dan lagi pula dia
adalah murid kenalan baikku si Datuk Mata Putih maka aku tak keberatan mewariskan beberapa ilmu yang hebat kepadanya! Tapi siapa nyana kalau manusia itu
sesungguhnya sudah sejak lama mendekam maksud jahat hendak menimbulkan bencana di atas jagat ini! Maksudnya mendirikan Topan Utara dan memaksa orang-orang
untuk menghadirinya adalah bohong belaka! Sebenarnya dia sengaja untuk menghimpun seluruh orang-orang pandai di sini lalu dibunuh secara masal! Gurunya
sendiripun, gurunya yang pertama sebelum aku yaitu Datuk Mata Putih dia juga yang mem¬bunuhnya! Benar-benar manusia iblis yang haus darah", si orang tua
yang bernama Nyanyuk Amber menghela nafas panjang lalu berkata: "Meski bagai¬manapun dibandingkan dengan Datuk Mata Putih aku masih bernasib lumayan, tidak
dibunuh! Tapi apakah artinya hidup cacat begini rupa?!".
"Apakah Hang Kumbara juga yang telah memutus kedua lenganmu?" tanya Wiro.
"Bukan hanya lenganku anak. Bukan hanya lenganku! Coba kau singkap jubah ini di bagian kakiku". Wiro menyingkapkan jubah biru Nyanyuk Amber. Astaga, ternyata
kedua kaki orang tua itu sebatas lutut juga telah buntung!
"Hang Kumbara yang melakukannya", desis Nyanyuk Amber. "Juga kedua mataku ini dia yang mengorek!"
"Benar-benar laknat terkutuk yang kejam luar biasa!" kata Wiro geram. "Orang tua, aku berjanji untuk memecahkan kepalanya demi membalaskan sakit hatimu.
Tapi orang tua mengapa dia sampai melakukan kekejaman begini rupa terhadapmu…?!"
Nyanyuk Amber menghela nafas dalam lalu menjawab: "Seperti Datuk Mata Putih akupun datang ke sini untuk menginsyafkan Hang Kumbara dari kesesatannya! Tapi
dengan ilmu yang kuajarkan kepadanya Hang Kumbara menyerangku. Tubuhku berhasil ditotoknya. Kedua tangan dan kakiku di¬potong, kedua mataku dicongkel.
Dalam keadaan tubuh masih tertotok aku diseret ke sini dan leherku dirantai!"
"Keparat betul manusia itu! Belum pernah aku menemui manusia sejahat dia. Tapi apa pula sebab¬nya dia mempunyai niat jahat untuk melenyapkan seluruh orang-orang
pandai yang kini berada di Arena Topan Utara itu?!"
"Panjang kisahnya anak, panjang sekali! Kelak jika sama-sama ada umur akan kututurkan padamu. Sekarang lakukanlah apa yang bisa kau lakukan untuk menyelamatkan
jiwa orang-orang yang berada di Arena Topan Utara!".
Wiro mengangguk. Sebelum pergi dilepaskannya totokan di tubuh Nyanyuk Amber. Si orang tua itu mengucapkan terima kasih. Tiba-tiba ingat sesuatu. "Orang
tua, kalau sekiranya tak dapat dicegah penghancuran Arena Topan Utara oleh Raja Ren¬cong, mungkin tempat ini turut musnah. Sebaiknya kuselamatkan dulu
kau ke tempat yang aman!" "Ah, kau terlalu memikirkan diriku, anak. Tempat ini cukup jauh dari Arena Topan Utara, tak akan sampai ambruk. Kau pergilah
cepat sebelum terlambat".
Mendengar ucapan itu maka Wiropun meninggalkan kamar itu dengan cepat.
ARENA TOPAN UTARA.
Ruangan ini penuh sesak oleh manusia. Di Tengah-tengah terletak sebuah mimbar dan berdiri di belakang mimbar itu ialah Raja Rencong Dari Utara!
Matanya yang menyorot memandang ke arah tamu-tamu yang hadir. Pada dasarnya semua tamu itu terbagi atas dua golongan yaitu golongan putih dan golongan
hitam. Namun golongan putih telah ter¬pecah menjadi dua hingga dengan demikian semua orang pandai di situ terbagi menjadi tiga golongan. Golongan pertama
ialah golongan hitam yang secara mutlak tunduk dan berada di pihak Raja Rencong Dari Utara. Golongan kedua ialah golongan putih yang telah ditaklukkan
oleh Raja Rencong dan dipaksa untuk masuk serta menghadiri peres¬mian berdirinya Partai Topan Utara. Baik golongan hitam maupun golongan putih yang tersebut
di atas semuanya telah masuk perangkap Raja Rencong, dicekok dengan pil-pil kematian yang disuruh telan secara paksa oleh Raja Rencong pada saat mereka
menyatakan diri bersedia masuk ke dalam Partai Topan Utara.
Golongan putih yang kedua ialah mereka yang sengaja datang ke Bukit Toba bukan untuk meng¬hadiri peresmian Partai tapi untuk membalas dendam, untuk membalaskan
sakit hati kawan-kawan mereka yang telah menemui kematian di tangan Raja Rencong Dari Utara atau di tangan anaknya!
Raja Rencong sendiri sudah mengetahui jelas akan golongan-golongan para tamunya. Dalam hati dia tertawa. Tertawa karena dia tak perduli siapapun adanya
para tamu itu, apakah dari golongan putih ataupun hitam, yang jelas mereka semua sudah berada di tempat itu yang berarti sudah masuk ke dalam perangkap
mautnya! Raja Rencong melirik ke sebuah tombol merah yang terletak di kayu mimbar dekat tangan kanannya! Sekali dia menekan tombol ini maka tubuhnya akan
melesat ke atas, ke luar dari ruangan tersebut lewat sebuah celah yang terbuka secara otomatis sedang pada detik itu pula lantai Arena Topan Utara akan
longsor ke bawah, atap runtuh! Begitu semua orang tertimbun hidup-hidup maka seluruh Arena Topan Utara akan meledak hingga jangan diharapkan satu nyawapun
bisa selamat dari tempat itu!
Setelah memandang berkeliling. maka Raja Rencong Dari Utarapun membuka suara:
"Saudara-saudara sekalian, pertama sekali aku Raja Rencong Dari Utara, mengucapkan banyak terima kasih atas kedatangan saudara-saudara. Beserta dengan
ucapan terima Kasih itu aku sampaikan pula permohonan maaf karena mungkin penyambutan dan layanan terhadap saudara-saudara kurang me¬muaskan dan juga maaf
karena peresmian berdirinya Partai Topan Utara ini tidak disertai upacara dan pesta besar-besaran !
Saudara-saudara sekalian, dalam mendirikan Partai Topan Utara ini aku sama sekali tidak melihat kepada asal usul saudara-saudara atau menilai go¬longan
mana adanya saudara. Bagiku, jika saudara¬-saudara sudah mau datang dan hadir di sini maka berarti saudara-saudara semua sudah masuk menjadi anggota Partai
Topan Utara!"
Ucapan ini membuat tokoh-tokoh silat golongan putih yang datang untuk menuntut balas kematian kawan-¬kawan mereka menjadi gelisah. Dan di antara kegelisahan
itu maka melesatlah ke atas Arena empat sosok tubuh. Mereka adalah panglima Sampono, Datuk Nan Sabatang, Lembu Ampel dan Sebrang Lor. Sementara tiga orang
kawannya berdiri berjejer maka Panglima Sampono maju ke hadapan mimbar. Suasana di Arena menjadi sesunyi di pekuburan!
"Manusia-manusia tak tahu aturan !" bentak Raja Rencong marah sekali. "Perbuatanmu naik ke depan mimbar merupakan penghinaan besar bagi semua anggota Partai
yang hadir di sinil".
"Raja Rencong!" menyahut Panglima Sampono.
"Kami berempat ke sini bukan untuk masuk Partai¬mu tapi untuk minta pertanggungan jawab atas kema¬tian sobat-sobat kami tokoh-tokoh silat golongan putih!"
"Kalau begitu berarti kalian ingin segera menyusul mereka!" tukas Raja Rencong. Dia berpaling ke Arena sebelah timur dan berseru: "Empat Tombak Sakti!
Lenyapkan pengacau-pengacau ini!" Baru saja seruan Raja Rencong berakhir maka melompatlah empat orang berpakaian ringkas hitam. Tampang-tampang mereka
galak buas dan mengerikan! Dalam kejap itu pula empat buah tombak menderu ke arah kepala Panglima Sampono dan ketiga kawannya!
Pertempuran antara Empat Tombak Sakti melawan Panglima Sampono, Datuk Nan Sabatang, Sebrang Lor dan Lembu Ampel berjalan seru sekali. Kedua belah pihak
agaknya berimbangan. Serangan-¬serangan datang silih berganti! Namun walau bagai¬manapun seimbangnya satu pertempuran, pada suatu saat tertentu pasti salah
satu pihak akan menjadi pecundang!
Setelah bertempur hebat selama lima belas jurus maka korban pertamapun robohlah. Korban pertama ini orang ketiga dari Empat Tombak Sakti, meregang nyawa
di ujung pedang Sebrang Lor! Panglima Sampono kemudian berhasil pula merobohkan orang kedua dari Empat tombak Sakti hingga dengan bertempur kini adalah
Datuk Nan Sabatang dan Lembu Ampel melawan orang ke satu dan ke empat! Tingkat kepandaian Datuk Nan Sa¬batang dan Lembu Ampel hanya sedikit lebih rendah
dari Panglima Sampono maka setelah lima jurus lagi berlalu kedua orang terakhir dari Empat Tombak Sakti itupun menemui ajalnya pula. Raja Rencong Dari
Utara marah luar biasa.
"Tongkat Baja Hijau! Majulah untuk menghan¬curkan empat bangsat-bangsat rendah ini!"
Sekelebat sosok tubuh berpakaian hijau melesat ke atas Arena. Orang ini berbadan tinggi langsing.
Tubuhnya agak bungkuk dan usianya sudah lanjut.
Di tangan kanannya ada sebuah tongkat yang hampir sebetis besarnya. Tongkat ini terbuat dari baja asli dan dilapisi racun hijau yang dahsyat!
"Lekas lenyapkan mereka Tongkat Baja Hijau!" kata Raja Rencong.
Tongkat Baja Hijau tertawa mengekeh. Tongkat bajanya diketuk-ketukkan ke lantai Arena. Hebat sekali, semua orang merasa bagaimana lantai yang mereka injak
jadi bergetar! Panglima Sampono dan kawan-kawan segera maklum bahwa manusia ber¬jubah hijau ini tinggi sekali ilmunya dan senjata di tangannya sangat berbahaya.
"Tak usah kawatir Raja Rencong", kata Tongkat Baja Hijau. "Manusia-manusia macam kunyuk-kunyuk ini mudah saja dibereskan!". Lalu dia menyapu paras keempat
orang di hadapannya dan bertanya: "Hai, kalian mau maju satu-satu atau berempat sekaligus? Bagusnya berempat saja biar cepat kubereskan!" Merah paras keempat
tokoh itu. Panglima Sampono bergerak tapi Sebrang Lor mendahuluinya melompat ke hadapan Tongkat Baja Hijau.
"Tongkat Baja Hijau! Setahuku dulu kau adalah seorang tokoh golongan putih! Sungguh disayangkan di samping sesat kau juga mau-mauan masuk men¬jadi bergundalnya
Raja Rencong, murid murtad si pembunuh guru itu! Kau mulailah Mari kita ber¬tempur sampai ratusan jurus!"
Tongkat Baja Hijau mengekeh.
"Jika aku tak salah lihat, kau adalah manusia yang bernama Sebrang Lor. Tempatmu jauh di tanah Malaka. Aneh juga kalau kau sampai nyasar ke sini! Orang
Malaka jangan jual lagak di sini, kau tahu hanya namamu saja yang kembali ke negerimu!" Habis berkata begitu Tongkat Baja Hijau menyerbu ke muka. Sinar
hijau menderu dari tongkat mustikanya. Sebrang Lor segera pula kiblatkan pedang berkeluknya.
Maka pecahlan pertempuran yang hebat! Tapi kehebatan itu segera berubah menjadi satu pertempuran yang tidak seimbang! Serangan-serangan tongkat hijau datang
mencurah laksana hujan. Dalam jurus keempat senjata itu menderu ke bahu Sebrang Lor tanpa bisa ditangkis dan dikelit! Sebrang Lor menjerit! Tubuhnya terguling-guling
ke luar Arena, nyawanya lepas!
"Keparat, aku lawanmu!" teriak Datuk Nan Sabatang menggeledek! Tubuhnya berkelebat dan keris biru meluncur dahsyat ke arah tenggorokan Tongkat Baja Hijau!
"Jangan omong besar Datuk!" ejek Tongkat Baja Hijau. Sekali tongkatnya disapukan Datuk Nan Sabatang tersurut sampai lima langkah! "Ha…ha! Aku muak bertempur
satu lawan satu! Ayo Panglima dan Lembu Ampel, kalian berdua majulah!" Sambil menyerang Datuk Nan Sabatang,
Tongkat Baja Hijau sekaligus melancarkan serangan pada Panglima Sampono dan Lembu Ampel! Mula¬-mula kedua orang ini tak mau ikut turun ke dalam kalangan
pertempuran. Tapi karena diserang terus terusan mau tak mau akhirnya kedua orang ini turun juga ke gelanggang!
Bagi orang-orang yang ada di situ nama Panglima Sampono dan kawan-kawannya adalah nama-nama besar. Namun sewaktu melihat bagaimana dengan seorang diri
Si Tongkat Baja Hijau berhasil mendesak ketiga lawannya maka diam-diam semua orang me¬muji kehebatan Si Tongkat Baja Hijau!
Dalam jurus ke sepuluh terdengar pekik Datuk Nan Sabatang! Tubuhnya mencelat mental. Kepala¬ pecah karena tongkat lawan bersarang tepat di ke¬palanya!
"Tongkat Baja Hijau, yang dua lainnya segera saja dibereskan cepat-cepat!" berseru Raja Rencong.
"Jangan kawatir Raja Rencong jawab Tongkat Baja Hijau. Didahului oleh satu bentakan yang menggelegar Si Tongkat Baja Hijau mengeluarkan satu jurus yang
lihay luar biasa! Tokoh-tokoh silat golongan putih yang hadir di situ terkesiap dan cemas. Serangan lawan yang hebat tak mungkin dikelit atau ditangkis
karena tongkat baja yang dahsyat itu hanya tinggal sejengkal saja lagi dari kepala Panglima Sampono dan Lembu Ampel!
Dalam detik yang tegang itu tiba-tiba berkelebat satu bayangan putih! Satu gelombang angin yang bukan kira-kira dahsyatnya menderu laksana topan menggila!
Beberapa tokoh silat yang berada di tepi Arena merasa tubuh mereka tergetar oleh sambaran angin itu dan tahu-tahu terdengar pekik Si Tongkat Hijau! Orang
dan tongkatnya mencelat sampai meng¬hantam dinding Arena. Begitu jatuh nyawanya sudah lepas dengan muka hancur memar. Di tengah Arena semua mata menyaksikan
berdirinya seorang pemuda berambut gondrong dengan senyum di bibirnya!
"Pemuda gondrong! Kau siapa?!" bentak Raja Rencong.
"Siapa aku bukan urusanmu. Terlebih dulu perkenankan aku bicara!".
"Keparat! Kau terlalu berani mampus!" damprat Raja Rencong. Dia berpaling ke kanan dan berseru: "Sepasang Pengemis Gila bunuh pemuda ini!" lalu sambil
berpaling ke kiri: "Datuk Arak Sakti musnahkan Panglima Sampono dan Lembu Ampel!"
Dari Arena sebelah kanan melesat dua orang berambut acak-acakan dan berpakaian kotor ber¬tambal-tambal. Mereka inilah Sepasang Pengemis Gila. Keduanya
sambil berteriak-teriak tak karuan langsung menyerang Pendekar 212 Wiro Sableng! Dikejap yang sama dari samping kiri melompat pula seorang berpakaian merah,
dari mulutnya menyem¬bur arak yang menyerang ke seluruh jalan darah di tubuh Panglima Sampono dan Lembu Ampel! Kedua orang ini terkejut dan cepat-cepat
memukul ke depan. Namun di saat itu terjadilah satu peristiwa yang membuat semua orang kaget dan kagum luar biasa! Tiga jeritan terdengar susul menyusul!
Tiga tubuh mencelat mental dan terbanting ke dinding lalu roboh di antara orang banyak!
Apakah yang telah terjadi?!
Sewaktu Sepasang Pengemis Gila dengan berteriak¬teriak melompat menyerang Wiro dan sewaktu Datuk Arak Sakti menggempur Panglima Sampono dan Lembu Ampel,
Pendekar 212 Wiro Sableng mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah orang-orang yang menyerang itu. Dua pukulan yang dilancarkannya bukan lain pukulan
"dewa topan menggusur gunung" yang dipelajari Wiro Sableng dari Tua Gila. Pukulan yang luar biasa hebatnya itu ,mana sanggup diterima oleh Sepasang Pengemis
Gila dan Datuk Arak Sakti tak ampun lagi ketiganya terlempar dan mati!
Baik tokoh-tokoh golongan hitam maupun golongan putih sama-sama leletkan lidah melihat kehebatan si pemuda. Di lain pihak mata Raja Rencong terbeliak besar-besar.
Dua pukulan yang dilepaskan pemuda rambut gondrong itu adalah pukulan "dewa topan menggusur gunung". Dan setahunya hanya satu orang yang memiliki ilmu
pukulan dahsyat itu yakni Tua Gila! Tapi si pemuda telah melancarkan ilmu pukulan itu tadi yang berarti dia punya sangkut paut dengan Tua Gila! Rasa kecut
membuat dingin tengkuk Si Raja Rencong, Inilah untuk pertama kalinya dia merasa ngeri! Tua Gila sudah lama di dengarnya meninggal, dan seumur hayatnya
tak pernah punya murid. Tapi bagaimana sekarang ada seorang pemuda memiliki ilmu pukulan Tua Gila? Apakah Tua Gila masih hidup dan telah mengambil seorang
murid? Dan yang lebih mengawatirkannya lagi apakah Tua Gila juga berada di dalam ruangan itu? Dan untuk pertama kalinya Raja Rencong ingat akan kecurigaannya
sewaktu berada di kamar bersama Pandansuri tadi. Jika betul pemuda rambut gondrong itu murid Tua Gila, pastilah dia telah menyelusup lewat jalan rahasia
di bagian belakang bangunan tua. Tapi dimana dia bersembunyi sewaktu seluruh tempat diselidikinya tadi?
Raja Rencong Dari Utara tak mau berpikir berpanjang-panjang. Saat itu sudah tiba waktunya untuk menekan tombol merah di atas mimbar! Sambil tertawa mengekeh
Raja Rencong meng¬gerakkan jari telunjuknya ke tombol merah dan berseru; "Manusia-manusia tolol, kalian semua pergilan ke neraka!". Dan jari telunjuk itupun
ditekan sekuat-kuatnya pada tombol merah!
Mata Raja Rencong membeliak seperti mau tanggal dari sarangnya. Parasnya berobah total terkejut amat sangat! Sewaktu tombol ditekan, atap di atas tidak
membuka, lantai Arena Topan Utara tidak ambruk! Seperti tak percaya akan dirinya sendiri Raja Rencong menekan lagi tombol merah itu. Lagi, lagi dan lagi
sampai berulang kali! Tetap saja tak satu pun yang terjadi!
Tiba-tiba didengarnya suara tertawa bergelak. Ketika dia mengangkat kepala yang tertawa itu bukan lain si pemuda berambut gondrong Wiro Sableng!
"Kau heran dan terkejut melihat ruangan ini tidak amblas, tidak hancur lebur?" Wiro tertawa lagi gelak-gelak. "Ha… ha…! Pesawat rahasia terkutukmu yang
hendak membunuh semua orang yang hadir di sini tidak bisa berjalan, Raja Rencong!"
Bukan main marahnya Raja Rencong Dari Utara. Tanpa menunggu lebih lama lagi segera sepuluh jari tangannya dijentikkan!
Sepuluh larik sinar merah kekuningan menderu menyambar Pendekar 212! Wiro sudah pernah menyaksikan keganasan ilmu pukulan kuku api yang dimainkan oleh
Pandansuri! Kalau Raja Rencong yang mengeluarkannya tentu lebih dahsyat lagi! Karenanya pemuda ini cepat-cepat melompat ke atas seraya lepaskan pukulan
sinar matahari! Ruangan itu laksana mau pecah sewaktu pukulan sinar matahari beradu dengan dahsyatnya dengan pukulan kuku api! Karena tenaga dalam Wiro
dan Raja Rencong berada dalam tingkat yang sama maka setelah saling berbentur kedua sinar pukulan sakti itu melesat ke kiri dan buyar keempat penjuru!
Jerit kematian terdengar di bagian itu. Sembilan orang tokoh golongan hitam roboh hangus! Delapan tokoh golongan putih meregang nyawa! Dengan serta merta
kacau balaulah suasana!
Di antara kekacau balauan itu Wiro berteriak keras: "Semua tokoh silat yang ada di sini mari ber¬sama-sama mencincang manusia biang malapetaka ini. Sebelumnya
dia telah punya rencana untuk me¬ngubur kalian hidup-hidup di bawah ruangan ini!"
Mendengar teriakan itu tak perduli tokoh silat golongan manapun laksana air bah serentak me¬nyerbu Raja Rencong! Raja Rencong adalah tokoh silat sakti
luar biasa. Namun melihat lebih dari dua puluh jago-jago ternama menyerbunya ditambah dengan kegugupan, nyalinya jadi meleleh! Dia segera berkelebat melarikan
diri. Namun lebih cepat dari itu Wiro Sableng sudah menghadangnya dengan Kapak Naga Geni 212 siap di tangan!
"Keparat kau kubunuh lebih dulu!" teriak Raja Rencong.
"Sreet!"
Raja Rencong cabut Rencong Emas maka sinar kuningpun bertaburlah. Di lain kejap puluhan senjata berkelebat menggempur Raja Rencong dan di depan sekali
Kapak Naga Geni 212 menderu laksana seribu tawon mengamuk!
"Trang"!
Rencong Emas dan Kapak Naga Geni 212 beradu. Bunga api berpercikan! Raja Rencong terkejut bukan main. Senjata di tangannya hampir saja ter¬lepas dilanda
senjata lawan! Dan rasa terkejut ini masih belum habis sewaktu laksana kilat kapak lawan kembali menderu di depan hidungnya semen¬tara dari sekelilingnya
menggempur puluhan senjata tajam! Raja Rencong Dari Utara keluarkan jurus yang hebat yang dinamakan jurus "sepasang kincir sakti menghadang bumi". Kedua
tangannya kiri kanan bergerak cepat. Jurus ini bukan saja merupakan jurus pertahanan yang paling tangguh dari ilmu silatnya namun sekaligus juga merupakan
jurus serangan yang hebat luar biasa. Sinar kuning Ren¬cong Emas bergulung gulung sedang lima jari tangan kiri tak henti-hentinya dijentikkan melancarkan
ilmu pukulan kuku api! Beberapa orang tokoh silat tergelimpang disambar pukulan jahat itu!
Namun betapapun hebatnya Raja Rencong mana mungkin baginya menghadapi tokoh-tokoh klas wahid yang berjumlah lebih dari dua puluh orang itu. Apalagi sambaran
Kapak Naga Geni 212 saat itu sudah menelikung mendesaknya. Angin senjata itu menyakitkan mata dan memerihkan kulitnya.
Sesaat kemudian terdengar jeritan Raja Rencong! Kuping kanannya putus dibabat Kapak Naga Geni 212. Racun yang hebat dari senjata itu mulai mempengaruhi
dirinya. Raja Rencong cepat menutup jalan darah penting dibeberapa Bagian tubuh lalu dengan sisa kekuatan mengamuk membabat ke arah salah seorang tokoh
putih diantaranya Lembu Ampel yang kena sambaran Rencong Emas. Akan tetapi itu tidak lama karena begitu Pendekar 212 Wiro Sableng menyusup dibalik serangan
Raja Rencong, Kapak Naga Geni 212 berhasil membabat putus lengan kiri tokoh silat durjana itu ! Tidak sampai disitu saja, sewaktu jerit kesakitan Raja
Rencong belum sirna Kapak Naga Geni 212 mengaung dahsyat dan ”crass”! Darah muncrat membasahi pakaian beberapa orang tokoh silat. Raja Rencong dari Utara
terhuyung huyung dengan kepala hampir tebelah. Dalam keadaan begitu rupa dia harus menerima tusukan dan sabetan senjata tajam lainnya sehingga tubuhnya
tak beda dengan daging yang dicincang cincang.
Sewaktu tubuh yang hancur dari Raja Rencong menggeletak di Arena Topan Utara, Pendekar 212 Wiro Sableng sudah melompat pergi dari ruangan itu.
Sesungguhnya apakah yang telah terjadi sehingga ketika Raja Rencong menekan tombol merah, Arena Topan Utara tidak amblas ke bawah?
Seperti telah dituturkan di atas, sehabis meninggalkan Nyanyuk Amber, Wiro Sableng segera pergi ke kamar di mana senjata rahasia penghancur itu berada.
Karena di sini sudah berada Pandansuri maka dengan sendirinya pecahlah pertempuran. Kalau sewaktu di rumah makan Dang Lariku, Wiro Sableng masih bisa main-main
melayani gadis ini maka kini menghadapi keselamatan puluhan jiwa tokoh-tokoh sakti yang berada di Arena Topan Utara, Wiro tidak bisa main-main lagi. Meski
senyum cengar-cengir tetap tersungging di mulutnya namun Wiro menempur habis-habisan. Pandansuri hingga dalam tempo tiga jurus akhirnya dia berhasil menotok
jalan darah di tubuh si gadis. Dari sini Wiro langsung menuju Arena Topan Utara dan terjadilah kelanjutan sebagaimana yang dituturkan di atas. Kini Pendekar
212 Wiro Sableng kembali ke kamar pesawat rahasia itu. Pandansuri duduk tersandar ke dinding dekat pintu masih dalam tubuh tertotok.
"Saudari, hukuman yang setimpal telah jatuh atas diri ayahmu ".
"Maksudmu kau telah membunuh ayahku?!" "Aku dan tokoh-tokoh silat yang ada di Arena Topan Utara!" sahut Wiro Sableng.
"Keparat! Lepaskan totokanku! Mari kita ber¬tempur sampai seribu jurus!"
Wiro Sableng tertawa.
"Apakah kau masih belum melihat jalan terang menuju kehidupan yang baik? Atau mungkin kau mau menerima nasib seperti ayahmu? Sekali aku beritahu pada orang-orang
itu bahwa kau berada di sini, pasti kau akan mati secara mengenaskan!".
"Silahkan kau beri tahu! Aku tidak takut!" jawab Pandansuri ketus. Wiro tertawa.
"Kau keras kepala tapi kuhargai nyalimu sau¬dari. Dan aku tidak sepengecut yang kau duga untuk memberitahukan kau pada orang-orang itu!". Pemuda ini melangkah
mendekat. "Sebelum pergi aku ingin melihat wajahmu dulu, saudari."
"Keparat kalau kau berani …". Tapi tangan Wiro Sableng sudah bergerak menarik kerudung ungu yang menutupi wajah Pandansuri. Begitu kerudung terbuka terkejutlah
Wiro Sableng.
"Ah, kiranya parasmu cantik sekali saudari." memuji Wiro sejujurnya. "Tapi sayang aku tak bisa lama-lama menikmati kecantikan parasmu. Aku harus pergi
dari sini bersama Nyanyuk Amber. Selamat tinggal ".
"Saudara tunggu dulu!" seru Pandansuri. "Lepaskan dulu totokanku ".
"Dan setelah bebas kau akan menyerangku?" ejek Wiro.
"Aku berjanji untuk tidak melakukan apa-apa kecuali hanya untuk membaca sepucuk surat. Selesai membaca kau boleh menotok aku kembali! Membunuhpun aku tak
keberatan!"
"Heh, surat katamu? Surat apa? Surat dari pacarmu?"
Wiro melihat kesungguhan di paras si gadis.
"Baik aku percaya ucapanmu", kata Wiro pula lalu melepaskan totokan di tubuh Pandansuri dan berdiri di ambang pintu kamar pesawat rahasia menjaga segala
kemungkinan yang ada sementara Pandansuri mengeluarkan sehelai surat dari balik pakaiannya. Surat ini adalah surat yang diberikan Raja Rencong kepadanya.
Dibukanya lipatan surat lalu dibacanya:
Pandansuri,
Kalau aku sudah mati maka itulah saatnya
aku memberitahukan rahasia besar tentang dirimu melalui surat ini. Sebenarnya kau bukan anak kandungku tapi seorang anak angkat . Jelasnya kau
kuculik dari orang tuamu sejak kau masih kecil. Ayahmu Kepala kampong Pasirputih. Kembalilah Padanya dan tempuhlah jalan hidup yang baik.
Raja Rencong
Wiro Sableng terkejut sewaktu melihat tetesan-tetesan air mata membasahi pipi Pandansuri.
Sedang surat yang dibacanya terlepas dan jatuh ke lantai. Wiro mengambil surat itu dan membacanya. Dilipatnya surat itu kembali seraya menghela napas Panjang.
”Sekarang jelas bagimu bahwa kau berasal dari orang baik-baik. Karenanya musti kembali ke jalan baik-baik”, kata Wiro Sableng. Dikembalikannya surat yang
dipegangnya pada Pandansuri dan berkata lagi. ” Aku tak akan menotok tubuhmu Kembali. Apa yang kau lakukan terserah padamu. Selamat tinggal ”
”Saudara, kau hendak meninggalkan Danau Toba ini ?”
"Ya, menyeberang bersama-sama Nyanyuk Amber".
"Keberatan kalau aku ikut bersama kalian?".
"Ah justru itulah yang aku harapkan" jawab Pendekar 212 seraya senyum dan mengedipkan mata kirinya. Dan Pandansuri tidak membantah sama sekali sewaktu
Wiro Sableng memegang tangannya dan melangkah bersama-sama menuju kamar Nyanyuk Amber.

TAMAT