HANCURNYA ISTANA DARAH


WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 016
Hancurnya Istana Darah
===========================


DEBUR OMBAK memecah di pantai dan memukul
lamping batu-batu karang terdengar abadi di udara pagi
yang segar cerah. Kira-kira lima ratus tombak dari pantai
tampaklah berdiri sebuah bangunan besar dikelilingi
tembok tinggi sepuluh tombak. Baik-bangunan maupun
temboknya seluruhnya berwarna merah.

Di daerah pantai seperti itu biasanya hampir tak pernah
ditumbuhi pohon-pohon lain selain pohon kelapa. Namun
adalah satu kenyataan aneh karena di Iuar tembok yang
mengelilingi bangunan besar tadi tumbuh berkeliling dua
puluh satu pohon beringir raksasa. Bila angin bertiup dari
laut, daun-daun pohon beringin bergemerisik keras, akarakar
gantungnya bergoyang-goyang deras. Semua ini
menimbulkan suasana yang menyeramkan. Di samping itu,
setiap angin bertiup maka menebarlah bau busuk dan anyir
dari jurusan bangunan berwarna merah itu.

Bila seseorang mendekati tembok dan bangunan di tepi pantai sunyi itu, pastilah dia akan terkejut dan
berdiri bulu tengkuknya. Akan goyah lututnya lalu akan lekas-lekas mengambil langkah seribu. Betapakan
tidak! Warna merah pada atap, tembok dan setiap sudut bangunan besar bukanlah warna cat atau kapur, tetapi
darah! Lapisan darah inilah yang menjadi sumber bau busuk dan amis menjijikkan serta mengerikan,
menebar di sekitar situ sampai puluhan bahkan ratusan tombak jauhnya!

Matahari pagi mulai naik. Air laut kelihatan berkilau-kilau. Darah merah di tembok dan di bangunan
besar di tepi pantai berkilat-kiiat sedang bau busuk amis semaki menjadi-jadi. Kira-kira sepenanakan nasi
berlalu, dari arah timur, berpapasan dengan tiupan angin laut, terdengarlah suara derap kaki-kaki kuda. Tak
selang berapa lama di sebuah liku-liku jalan kecil yang terletak di antara bukit-bukit karang tinggi dan
runcing tampaklah dua penunggang kuda memacu binatang tunggangan masing masing ke jurusan tembok
bangunan merah.Baik bulu kuda maupun pakaian kedua penunggangnya, keseluruhannya berwarna merah
basah agak bermninyak-minyak. Sengaja dibasahi ... dengan darah.

Mereka mengenakan topi berkuncir seperti tarbus, yang juga dibacahi dengan darah. Dan di bawah topitopi
itu paras masing-masing teramat mengerikan untuk dipandang karena telah dipupuri dengan darah yang
telah membeku!

Salah seorang dari kedua penunggang kuda itu membawa sesosok tubuh berpakaian hitam yang dimelintangkan
di punqqung kuda dalam keadaan pingsan dan siapa pula orang yang menggeletak tak berdaya
berpakaian hitam ini!

Kuda-kuda merah lewat di antara dua pohon beringin raksasa dan akhirnya sampai di hadapan sebuah
pintu besar di tembok bangunan. Pada bagian atas pintu merah ini terdapat tiga deretan huruf-huruf yang
terbuat dari tulang-tulang manusia yang telah dicat merah dan berbunyi. "Pintu Gerbang Darah"

Salah seorang dari penunggang kuda yang berhenti di hadapan pintu gerbang mengangkat tangan
kanannya tinggi-tinggi lalu dari mulutnya terdengar situ pekik aneh yang disusul dengan suara lantang,

"Atas nama Raja Darah, bukalah pintu gerbang!"
Untuk beberapa lamanya suara pekik serta seruan marwsia itu masih mengiang-ngiang di udara pantai
yang mengandung garam tanda bahwa orang itu telah mengeluarkan suara dengan disertai tenaga dalam yang
tinggi.

Sesaat kemudian dari belakang "Tembok Darah" demikian nama tembok merah yang mengelilingi
bangunan besar itu terdengar suara pekik balasan dan disusul oleh satu pertanyaan yang membentak keras,

"Siapa yang datang!"

"Hulubalang Keempat dan Kelima!"

"Kalian habis dari mana?"

"Menjalankan tugas Raja!"

Tak lama kemudian terdengar suara berkereketan. Pintu Gerbang Darah terbuka. Bersamaan dengan itu
dari bagian bawah pintu menjorok keluar sebuah jambatan kayu besi yang juga penuh dengan darah dan
bertuliskan "Jembatan Darah."

Ternyata antara Pintu Gerbang Darah dan bangunan besar di seberangnya dipisahkan oleh sebuah parit
selebar lima belas tombak dan dalamnya lebih dari sepuluh tombak. Parit ini dibuat sedemikian rupa
mengelilingi bangunan besar, dialiri dengan air yang telah menjadi merah karena bercampur darah dan di
dalamnya berenanglah ratusan ular berbisa dari berbagai jenis yang panjangnya mulai dari satu jengkal
sampai lima meter! Semua orang di situ mengenal parit itu dengan sebutan "Parit Kematian."

Kedua orang yang mengaku Hulubalang tadi melewati Jembatan Darah dengan cepat dan sampai di
tangga bangunan besar. Di belakang mereka Jembatan Darah masuk kembali ke tempatnya sedang Pintu

Gerbang Darah menutup dengan sendirinya.

Dengan memanggul tubuh manusia berpakaian hitam itu, Hulubalang Keempat diikuti Hulubalang

Kelima menaiki anak tangga bangunan besar yang pada sebelah atasnya terdapat tulisan, "ISTANA
DARAH." Huruf-huruf tulisan inipun dibuat dari tulang belulang manusia yang diberi warna merah dengan
darah!

Setelah melewati beberapa ruangan, kedua Hulubalang sampai di satu ruangan besar yang pada bagian
tengahnya terdapat sebuah kolam yang airnya berwarna merah dan busuk. Di tengah-tengah kolam berdirilah
sebuah patung raksesi dalam keadaan telanjang bulat dan dari bagian di antara kedua pangkal pahanya
senantiasa memancur cairan warna merah.

Di depan sana terdapat sebuah gordeng besar yang basah oleh darah. Tetesan-tetesan darah jelas kelihatan
berjatuhan ke lantai ruangan. Ruangan itu bukan saja busuk luar biasa hawanya tetapi juga pengap membuat
seseorang yang tak biasa akan sesak bernafas. Namun anehnya kedua Hulubalang Darah itu tenang-tenang
saja seolah-olah udara macam begitu tidak mengganggu jalan pernafasan mereka barang sedikitpun.

Di hadapan "Tirai Darah" mereka berdiri dengan sikap keren, lalu membuka topi masing-masing dan
menjura.

"Paduka Yang Mulia Raja Darah," kata Hulubalang Keempat. "Kami berdua Hulubalang Keempat dan
Kelima, datang menghadap guna melaporkan hasil tugas yang telah dibebankan kepada kami!"

Sunyi sesaat.
Lalu dari ruangan di belakang Tirai Darah terdengar satu suara laki-laki yang parau sember dan perlahan
namun hebatnya suara yang parau serta perlahan ini sanggup membuat dinding-dinding ruangan berwarna
merah jadi bergetar. Tirai Darah bergoyang-goyang sedang cairan merah di dalam Kolam Darah tampak
bergelombang-gelombang. Nyatalah bahwa siapapun adanya manusia di belakang Tirai Darah itu memiliki
tenaga dalam yang luar biasa hebatnya!

"Beri tahu hasil tugas kalian!" tiba-tiba terdengar satu suara.

Mendengar ini Hulubalang Darah Keempat membuka mulut memberi jawaban.

"Kami berdua telah berhasil menangkap hidup-hidup tokoh silat gotongan hitam daerah timur yang
bergelar Sepuluh Jari Maut! Sekarang dia berada dalam keadaan pingsan dan ditotok!"

"Bagus!" memuji orang di balik Tirai Darah lalu terdengar suara kekehannya. "Jebloskan dia dalam
tahanan. Gantung kaki ke atas kepala ke bawah dan nyalakan api di bawah batok kepalanya! Biar dia tahu
rasa!" Ucapan itu ditutup dengan suara tertawa mengekeh seperti tadi lalu menyusul caci maki kutuk serapah
aneh. "Keparat… sialan! Laknat …. haram jadah! Terkutuk ... ! Mampuslah semua! Semua…!"

Ucapan kotor itu masih terus terdengar sampai kira-kira sepeminuman teh. Bila kutuk serapah itu
berhenti maka Hulubalang Darah Kelima cepat-cepat membuka mulut.
"Perintah Paduka Yang Mulia segera kami laksanakan!"
Setelah menjura hormat, kedua Hulubalang tadi beserta tawanannya segera meninggalkan tempat
tersebut!

***

2

HULUBALANG Darah Keempat dan Kelima memasuki sebuah lorong menurun. Di kiri kanan lorong ini
banyak sekali cabang cabang lorong yang kesemuanya diterangi dehgan lampu minyak. Dimana-mana
kelihatan warna merah darah dan di sini udara jauh lebih pengap dan lebih busuk dari ruangan ruangan lain
dalam Istana Darah.

Mereka sampai di hadapan sebuah pintu merah terbuat dari besi dan dijaga oleh dua orang Hulubalang
Darah yang memiliki tampang seram bengis. Betapapun bengis gelaknya kedua pengawal pintu besi itu,
namun melihat siapa yang datang keduanya segera memberi hormat.

"Atas nama Raja Darah harap kalian buka pintu Penjara Darah!" kata Hutubalang Kelima.

Kedua Hulubalang pengawal meneliti orang berbaju hitam yang dipangqil Hulubalang Keempat. Salah
salah seorang dari mereka bertanya.

"Siapa dia?"

"Sepuluh Jari Maut," jawab Hulubalang Keempat dan pengawal yang bertanya ladi lalu memperhatikan
sepuluh jari orang yang dipanggul. Kesepuluh jari itu berkuku panjang dan berwarna hitam legam. Sementara
itu pengawal yang satu lagi dari dalam sabuknya mengeluarkan seuntai anak anak kunci. Dengan salah satu
anak kunci dibukanya pintu besi lalu masuk lebih dulu sedang Hulubalang Keempat dan Kelima menyusul
mengikutinya.

"Dia adalah tahanan yang keempat sampai." kata pengawal penjara sambil berjalan. Ruangan yang
rnereka lewati merupakan sebuah gang selebar tiga tombak dari batu karang atos yang dicat dengan darah.

Pada dinding kiri kanan terdapat deretan pintu-pintu besi merah. Deretan-deretan pintu sebelah kiri diberi
berangka ganjil sedang deretan sebelah kanan berangka genap. Inilah ruangan Penjara Darah yang terletak di
bawah tanah dan memiliki enam puluh buah kamar tahanan.

Di depan pintu yang bertuliskan angka 24 pengawal itu berhenti dan mengeluarkan untaian anak kunci
lalu membuka pintu besi. Begitu pintu terbuka dari dalam ruangan menyambarlah hawa dingin lembab yaag
busuk luar biasa. Lantai dan dinding serta langit-langit ruangan tahanan merah oleh darah, sebagian masih
merupakan cairan sebagian lagi telah kering membeku.

"Nyalakan lampu!" perintah Hulubalang Darah Kelima.

Pengawal segera menyalakan lampu minyak dan kamar tahanan itu kini menjadi cukup terang. Pada
dinding sebelah kiri terdapat sebuah rak batu. Di atas rak ini terletak berbagai macam benda penyiksa.
Pada langit-langit ruangan tampak sebuah kerekan lengkap dengan tali kawat yang besarnya dua kali ibu
jari. Dengan tali kawat ini sepasang kaki tawanan diikat erat-erat lalu tubuhnya dikerek hingga kini jadi
tergantung kaki ke atas kepala ke bawah.

Dari rak batu Hulubalang Kelima mengambil sebuah benda berbentuk pendupaan besi yang berisi
potongan-potongan benda hitam sebentuk batu bara. Ketika disulut dengan api benda hitam ini langsung
terbakar menyala.

"Kita tunggu sampai dia siuman," berkata Hulubalang Darah Keempat.

Tak berapa lama kemudian tawanan yang bergelar Sepuluh Jari Maut itu kelihatan membuka sepasang
matanya perlahan-lahan. Mata itu terbuka semakin lebar sewaktu keterkejutan menguasai dirinya. Sepuluh
Jari Maut melihat dunia ini terbalik. Kepalanya seperti mau karena jalan darahnya menyungsang sedang di
sekelilingnya tampak tiga orang berpakaian serba merah bertampang bengis. Rongga hidungnya sementara
itu disambar oleh bau busuk luar biasa.

"Di mana aku ...?" desis Sepuluh Jari Maut. Dicobanya menggerakkan anggota-anggota tubuhnya tapi tak
bisa. Sekujuar tubuhnya kaku tegang, sedikitpun tak dapat digerarkkan. Sadarlah Sepuluh Jari Maut bahwa
dirinya berada di bawah pengaruh totokan. Dicobanya mengalirkan tenaga dalam untuk memusnahkan
totokan tersebut namun sia-sisa. Totokan yang menguasai dirinya bukan totokan sembarangan.

Sepuluh Jari Maut memandang ke atas dilihatnya sebuah roda kerekan besi yang tergantung di langitlangit
ruangan, diganduli kawat besar. Ujung kawat itulah yang telah mengikat kedua kakinya dan sakitnya
bukan main. Dia memandang kembali pada tiga manusia berpakaian merah basah dan bau itu. Akhirnya dia
ingat. Sebelumnya dia telah bertempur dengan dua di antara tiga manusia tersebut. Dalam jurus kedua puluh
tiga dia terpaksa harus menerima satu jotosan keras dari lawan yang tepat mengenai pelipisnya. Selagi dia
berdiri nanar dengan pandanyan berbinar-binar, musuhnya yang lain telah menotoknya hingga dia tidak
berdaya. Lalu kepalanva dipukul hingga akhirnya dalam keadaan tertotok begitu rupa dia jatuh pirgsan.

Nyatalah bahwa kedua musuh tak dikenalnya itu telah membawanya ke tempat tersebut dan menawannya.
Dendam dan marah memuncak dalam diri Sepuluh Jari Maut. Rahang-rahangnya menonjol bergemeletukan.

"Tempat celaka apa ini namanya….?!" Sentak Sepuluh Jeri Maut.

Hulubalang Darah Kelima dan Keempat datang mendekat. Di tampang masing-masing menyungging
seringai bengis.

"Celaka bagimu, bukan bagi kami!" ujar Hulubalang Darah Kelima.

"Jahanam! Kalian mau bikin apa terhadapku? Aku tidak punya permusuhan apa-apa dengan kalian!"

Plaak!

Satu hantaman tamparan yang keras mendarat di pipi Sepuluh Jari Maut. Untuk beberapa lamanya dia
terbuai-buai dan berputar-putar sedang pemandangannya mulai gelap.

"Tak tahu diri. Sudah hampir mampus masih berani bicara memaki!" sentak Hulubalang Darah Keempat.

"Puaah!" Sepuluh Jari Maut meludahi muka Hulubalang Darah Keempat. "Beraninya terhadap musuh
yang tidak berdaya!"

"Setan alas!" teriak Hulubalang Darah Keempat. Tinju kiri kanannya menghujani muka tokah silat ber-
baju hitam itu. Darah mengucur dari hidung, mulut dan matanya. "Seret pendupaan itu kemari!"

Hulubalang pengawal menyeret pendupaan yang dikobari api lalu melekkannya tepat di bawah kepala
Sepuluh Jari Maut.

"Tadi kau bertanya di mana kau berada," ujar Hulubalang Darah Kelima, ''Ketahuilah bahwa saat ini kau
telah dijebloskan ke dalam neraka dunia bernama Penjara Darah!"
Sepuluh Jari Maut kertakkan rahang. Mulutnya dikatupkan rapat-rapat menahan panasnya kobaran api
yang menjilat-jilat di bawah kepalanya. Hanya seketika saja dia dapat menahan rasa sakit. Sesaat kemudian
dari mulutnya mulai keluar raungan kesakitan yang menggidikkan. Di lain pihak tiga orang Hulubalang yang
ada di situ tertawa gelak-gelak.

"Manusia-manusia bejat!" teriak Sepuluh Jari Maut. "Jika aku mati di tangan kalian, kelak aku akan
menjelma menjadi setan dan mencekik kalian semua!"

"Kalau begitu biar kupercepat niatmu untuk jadi setan itu!" kata Hulubalang Darah Keempat. Lalu kawat
kerekan diulurkannya ke bawah hingga kepala tawanan itu semakin dekat dengan kobaran api dalam
pendupaan besi. Rambutnya yang menjulai mulai terbakar dan menebar bau sangit di ruangan itu. Dari mulut
Sepuluh Jari Maut tiada hentinya terdengar jeritan yang mengerikan hingga suaranya menjadi parau. Saat itu
dirasakannya kulit kepala dan tulang tengkoraknya seperti meleleh! Kemudian nafas laki-laki ini mulai
megap-megap. Darah yang keluar dari hidung, mulut, mata dan telinganya menetes-netes di atas api dalam
pendupaan besi, menimbulkan suara "cees" yang tiada hentinya.

"Sudah tiba seatnya memanggil tukang-tukang darah itu," kata Hulubalang Darah Keempat pada
kawannya Hulubalang Darah Kelima.

Hulubalang Darah Kelima mengangguk lalu melangkah ke pintu. Pada sanding pintu sebelah atas
terdapat sebuah tombol merah. Tombol ini selalu terdapat dalam setiap kamar tahanan yang sekaligus
merangkap ruang penyiksaan.

Tak lama setelah Hulubalang Darah Kelima menekan tombol itu maka masuklah dua laki-laki yang
membawa ember-ember besar, masing-masing mengenakan jubah merah. Salah seorang dari mereka, yang
barusan mengeluarkan sebuah pisau kecil tajam berpaling pada Hulubalang Darah Keempat dan Kelima.

"Laksanakan tugas kalian cepat!" Kata Hulubalang Darah Keempat. Lalu bersama Hulubalang Darah

Kelima dia meninggalkan ruangan tersebut.

Yang tinggal di dalam ruangan tahanan itu kini adalah Hulubalang pengawal dan kedua laki-laki berjubah
merah. Ember diletakkan di lantai. Orang berjubah di sisi kiri keluarkan segulung pipa karat warna merah.

Dia menggoyangkan kepalanya pada kawannya yang memegang pisau. Si pemegang pisau ini segera
mendekati Sepuluh Jari Maut, lalu craass …! Dengan pisau kecil itu diputusnya urat nadi di leher Sepuluh
Jari Maut. Darah menyembur. Pipa karet cepat dihubungkan dengan nadi yang putus. Darah dari tubuh

Sepuluh Jari Maut mengalir melewati pipa karet terus masuk ke ember sedang Sepuluh Jari Maut sendiri saat
itu megap-megap dan akhirnya meregang nyawa dengan cara mengenaskan.

3

LAKSANA anak-anak panah yang lepas dari busurnya, dua ekor kuda coklat itu berlari
kencang membawa penunggangnya masing-masing. Penunggang kuda yang pertama adalah seorang pemuda
berusia dua puluh tahunan, berpakaian biru sedang kawannya seorang dara berkulit hitam manis dan
mengenakan pakaian ringkas kuning muda.

"Bisakah kita sampai sebelum malam ke tempat guru?" bertanya sang dara tanpa memalingkan
kepalanya.

"Kurasa bisa. Tapi agaknya kita bakal mendapat kesiangan di tengah jalan, adikku," menjawab si
pemuda.

"Halangan apa maksudmu?"

"Lihatlah ke langit ... "

Gadis itu mendongak ke atas. Seat itu baru disadarinya bahwa iangit di atas sana telah gelap oleh
gumpalan-gumpaian awan hitam. Kemendungan meliputi hampir seluruh tempat.

"Kalau hanya hujan itu tidak menjadi halangan bukan?" ujar sang dara.

"Memang bukan halangan. Tapi jalan yang bakal kita tempuh, yang mendaki dan berbatu licin berlumut,
serta diapit oleh jurang-jurang terjal ... Itulah halangan yang kumaksudkan."

"Mudah-mudahan saja hujan tidak turun dalam waktu cepat," kata si gadis lalu menyentakkan tali kekang
kudanya. Binatang itu mendongakc ke depan dan mempercepat larinya. Pohon-pohon yang dilalui laksana
terbang ke belakang.

Kira-kira sepenanakan nasi berlalu ternyata hujan belum juga turun walau angin bertiup keras menderuderu.

Sewaktu si gadis mendongak lagi ke atas dilihatnya gumpalan-gumpalan awan hitam mulai pupus
sekelompok demi sekelompok. Udara yang tadi mendung kini berangsur cerah.

"Nah, apa kataku! Kita beruntung. Hujan tak jadi turun," kata gadis itu pula.
Si pemuda hanya tersenyum mendengar ucapan adik seperguruannya itu, lalu berkata, "Kalau begitu kita
memang bisa sampai sebelum malam turun. Berarti kau bakal bertemu dengan orang yang kau kasihi lebih
cepat. Bukankah itu yang kau inginkan?"

Sang dara cemberut. Kedua pipinya kelihatan menjadi merah. Pemuda yang berkuda disampingnya
tersenyum. Namun laksana direnggutkan setan demikianlah pupusnya senyuman si pemuda sewaktu di
hadapan mereka tiba-tiba berkelebat dua bayangan merah dan dua sosok tubuh manusia aneh sesaat
kemudian sudah berdiri menghadang di tengah jalan.

Kedua saudara seperguruan itu sama-sama terkejut bukan main dan serta merta menghentikan kuda
masing-masing. Bau busuk menyambar dari tubuh para penghadang yang mengenakan pakaian merah basah
sedang wajah masing-masing ditutupi oleh cairan yang setengah membeku.
Salah seorang penghadang bertolak pinggang dan maju mendekati.

"Supaya tidak banyak susah, lekas kalian serahkan diri dan jangan melawan!" katanya.

"Kalian siapa dan punya maksud apa?" bertanya pemuda baju biru dengan nada tinggi dan sikap gagah.

"Kami adalah Hulubalany-Hulubalang Istana Darah!" jaweb orang yang bertolak pinggang.

"Istana Darah?!" mengulang si pemuda dengan terkejut.

Kedua Hulubalang Darah tertawa mengekeh. "Kalau sudah tahu kenapa tidak lekas turut perintah?"

"Turut perintahmu? Siapa yang sudi. Lekas minggir. Kami mau meneruskan perjalanan!" membentak
gadis berbaju kuning.

"Ohoo ... galaknya!" jawab Hulubalang Darah yang menghadang dengan bertolak pinggang.

"Kami tidak punya waktu banyak untuk bicara segala pepesan kosong. Beri jalan. Kalau tidak kalian akan
menyesal!" Kini pemuda baju biru berikan perlingatan.

"Pemuda sombong tekebur! Kau tak akan kuberi hidup lebih lama!" Hulubalang Darah yang tegak di
sebelah kanan menerjang ke depan dengan gerakan cepat sekali.

Tak ayal si pemuda segera cabut pedang di pinggangnya. Sinar putih mencuat memapas serangan
Hulubalang Darah. Tapi percuma. Di lain kejap terdengar jerit pemuda baju biru itu. Tubuhnya mencelat
mental dari atas punggung kuda yang ditungganginya, sedang pedangnya ikut terlepas mental.

"Manusia rendah! Matilah!"

Satu bentakan datang dari samping yang disusul dangan sembaran pedang ke arah batang leher
Hulubalang Darah. Yang diserang cukup dibikin kaget namun tidak menjadi gugup. Di Istana Darah dia
adalah Hulubaiang Darah Ketujuh yang mempunyai kepandaian tidak rendah. Sekali berkelit dia berhasil
mengelakkan sambaran pedang, kemudian dengan satu gerakan kilat dia berhasil memukul mental pedang di
tangan lawan. Si gadis mengeluh kesakitan sambil pegangi lengannya yang menjadi merah bengkak.

Hulubalang Darah Ketujuh menyeringai mengejek.

"Gadis manis sepertimu ini tidak seharusnya berlaku begitu galak terhadapku. Nah sekarang kalian mau
menyerah baik-baik atau bagaimana?"

"Baik, aku akan menyerah," jawab si gadis, "tapi…" digerakkannya tangannya.

"Tapi apa?" tanya Hulubalang Darah Ketujuh.

"Makan dulu jarumku ini!" seru sang dara baju kuning dan sesaat kemudian begitu dia gerakkan tangan
kanan puluhan jarum berwarna kuning melesat tanpa suara ke arah dua belas jalan darah di tubuh Hulubalang

Darah Ketujuh!

"Gadis binal!" hardik Hulubalang Darah Ketujuh marah. Dikebutkannya lengan pakaiannya. Puluhan
jarum yang menyerang serja merta mental dilanda angin dahsyat yang keluar dari ujung lengan pakaian itu!

Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, pemuda baju biru berseru. "Mia! Larilah! Lari lekas! Biar
aku yang menghadapi begundal-begundal jahat ini." Dari pertempuran yang baru berjalan beberapa gebrakan
itu si pemuda sudah menyadari bahwa walau bagaimanapun tidak mungkin bagi mereka untuk menghadapi
kedua lawan yang memiliki kepandaian begitu tinggi. Karenanya demi keselamatan adik seperguruannya dia
bersedia korbankan nyawa.

"Tidak kangmas! Mati bersama di tempat ini adalah lebih baik daripada lari!" jawab Miani yang
membuat kakak seperguruannya menjadi kaget. Gadis ini rupanya juga sudah menyadari nasib apa yang
bakal dihadangnya namun sedikitpun tidak merasa gentar. Dengan sepasang tangan kosong terpentang Miani
maju ke hadapan Hulubalang Darah Ketujuh,

Yang ditantang ganda tertawa dan berpaling pada temannya. "Hulubalang Sebelas, kau bereskan pemuda
itu. Aku akan tangkap hidup-hidup perawan galak ini dan membawanya ke Istana!"
Hulubalang Darah Kesebelas maju ke hadapan pemuda baju biru. Pemuda ini berada dalam keadaan
terluka parah di sebelah dalam akibat jotosan Hulubalang Ketujuh tadi. Namun demikian dengan sisa
kekuatan yang ada dan penuh keberanian si pemuda melangkah ke hadapan Hulubalang Kesebelas. Tangan
kirinya tiba-tiba melepaskan dua puluh jarum biru sedang tangan kanan diayunkan ke batok kepala lawan.
Serangan ini disertai dengan satu loncatan cepat sehingga Hulubalang Kesebelas tidak berani bertindak
sembrono.

Dengan berkelit ke samping dan seraya melepaskan satu pukulan tangan kosong ke udara, seranganserangan
jarum biru berhasil dilewatkan oleh Hulubalang Darah Kesebelas. Untuk menghadapi serangan
lawan yang kedua yaitu jotosan keras pada batok kepalanya, Hulubalang Darah Kesebelas memukulkan
tangannya ke atas dengan mengandalkan setengah bagian tenaga dalamnya.

Dalam keadaan terluka begitu rupa bentrokan lengan adalah sangat berbahaya bagi pemuda baju biru.

Walaupun tenaga dalamnya lebih tinggi sekalipun belum tentu keselamatan dirinya akan terjamin. Karenanya
begitu lawan memukulkan lengannya ke atas, pemuda baju biru menjejak tanah dan melompat satu tombak.

Bersamaan dengan itu kaki kanannya menderu ke dada lawan!

Hulubalang Darah Kesebelas tidak menyangka kalau bakal mendapat serangan hebat begitu rupa. Saat itu
dia tengah memusatkan perhatian dan sebagian tenaga dalamnya untuk melakukan bentrokan lengan.

Tubuhnya telah mendongak ke atas dan dalam kedudukan seperti itu cukup sulit untuk menyelamatkan
dadanya dari tendangan si pemuda. Namun adalah percuma dia menjabat kedudukan Hulubalang di Istana

Darah kalau serangan begitu saja dia tidak sanggup menghadapinya.
Dengan berteriak keras dahsyat Hulubalang Darah Kesebelas berkelebat. Tubuhnya hanya merupakan
bayangan merah dan sebelum pemuda baju biru dapat memastikan di sebelah mana lawannya berada, tahutahu
satu pukulan menghantam dadanya, tepat di bekas jotosan Hulubalang Ketujuh sebelumnya. Tak ampun
lagi pemuda itu muntah darah dan tersungkur ke tanah!

"Kangmas Widura!" pekik Miani.

"Mia! Lari! Selamatkan dirimu!" seru pemuda baju biru yang bernama Widura sementara nafasnya mulai
megap-megap.

Bukannya lari sebaliknya Miani malah menubruk kakak seperguruannya. Namun sebelum dia sempat
berbuat suatu apa, satu totokan telah bersarang di punggungnya membuat gadis ini melosoh tak berkutik lagi.

Hanya mulutnya saja yang masih bisa mengeluarkan suara memaki dan mengutuki kedua manusia berbaju
merah itu.

Hulubalang Darah Ketujuh membungkuk merangkul tubuh Miani lalu memanggulnya di bahu kiri. Dia
berpaling pada kawannya dan menggoyangkan kepala. "Lekas selesaikan pekerjaanmu."

Dari balik pakaiannya Hulubalang Darah Kesebeias mengeluarkan sebuah kantong karet yang pada salah
satu ujungnya terdapat pipa sepanjang tiga jengkal. Setelah mengeluarkan pula sebilah pisau kecil yang amat
tajam dan berkilat-kilat ditimpa sinar matahari maka diapun melangkah mendekati tubuh Widura yang saat
itu tidak berkutik dan menggeletak di tanah tengah meregang nyawa.

Hulubalang Darah Kesebelas membungkuk. Tangannya yang memegang pisau bergerak ke pangkal leher
Widura.

"Manusia biadab! Laknat terkutuk! Apa yang kau lakukan itu?!" teriak Miani sewaktu menyaksikan
bagaimana Hulubalang Darah Kesebelas memutus urat nadi di leher Widura dengan pisau kecil lalu
menghubungkan ujung pipa karet dengan urat nadi yang menyemburkan darah. Sesaat kemudian kantong
karet itu kelihatan mulai menggembung tanda darah korban telah mengalir masuk.
Hulubalang Darah Ketujuh menepuk-nepuk pinggul Miani sambil tertawa gelak-gelak.

"Gadis molek. Kau tenang sajalah. Bagusnya berhenti berteriak agar suaramu yang merdu tidak menjadi
parau!"

"Kalian manusia-manusia terkutuk! Lebih kejam dan lebih buas dari binatang!" teriak Miani lalu berulang
kali diludahinya muka Hulubalang Darah Ketujuh.

"Sialan! Kalau kau bukan gadis manis sudah tadi-tadi kuremas hancur mulutmu!" hardik Hulubalang

Darah Ketujuh marah. Ditdriknya pakaian kuning si gadis dan disekanya mukanya yang penuh ludah.

"Seharusnya kau merasa gembira dan bangga karena darah kawanmu itu mendapat kehormatan untuk dipakai
sebagai cat istana Darah!"

Tiga perempat kantong karet telah penuh dengan darah Widura. Ketika tak ada lagi darah yang mengalir
masuk ke dalam kantong itu Hulubalang Darah Kesebelas mencabut pipa lalu membuhulnya. Dia berdiri dan
memanggul kantong berisi darah itu.

"Atas semua hasil ini kita pasti mendapat pahala besar dari Raja," kata Hulubalang Darah Kesebelas
dengan tertawa lebar.

"Yang jelas," menyahuti Hulubalang Darah Ketujuh. "Gadis manis ini akan dihadiahkan padaku. Dia
menelentang di tempat tidurku sebelum keputusan Raja datang untuk mencabut nyawanya!"
Merinding bulu roma Miani mendengar ucapan ;tu. Dia berteriak keras. "Lepaskan aku! Jangan bawa ke
Istana Darah! Kalian jahanam! Lepaskan aku!"

Hulubalang Darah Ketujuh cuma tersenyum. Diciumnya tengkuk gadis itu penuh nafsu lalu bersama

kawannya meninggalkan tempat itu dengan cepat.

***

4

PAGI ITU udara sejuk nyaman dan cerah. Sekelompok awan berarak dihembus angin melewati puncak
gunung Raung. Dari kawah gunung berapi itu mengepul asap putih kelabu yang kemudian menjadi satu
dengan awan yang bergerak.

Di salah satu lereng gunung itu terdapatlah sebuah pertapaan. Pertapaan ini merupakan sebuah goa yang
bagian dalamnya dipakai sebagai tempat kediaman. Saat itu di mulut goa, di atas sebuah batu besar berwarna
hitam legam dan berbentuk setengah lingkaran, duduklah seorang Brahmana berselempang kain putih. Kedua
tangannya diletakkan di atas paha sedang sepasang matanya terpejam.
Nyatalah Brahmana ini tengah mengheningkan ciptarasa atau tengah bersemedi. Rambutnya yang putih
menyeka bahu melambai-lambai ditiup angin pagi. Semakin naik matahari, semakin khusus Brahmana ini
bersemedi.

Di lain bagian dari lereng gunung, di bawah sebuah air terjun kecil kelihatan seorang pemuda bertubuh
tinggi langsing dan hanya mengenakan sehelai cawat tengah berkelebat kian kemari. Di tangan kanannya ada
sepotong bambu hijau yang digerakkan demikian rupa ke berbagai jurusan hingga menimbulkan suasana
menderu-deru. Demikian cepatnya gerakan itu hingga bentuk bambu itu hanya merupakan sambaran sinar
hijau belaka.

Sambil melompat gesit di atas batu-batu air yang licin berlumut pemuda itu bergerak mendekati air
terjun. Bambu hijau di tangan kanannya disabatkan sejarak setengah tombak dari air terjun dan brass! Air
terjun muncrat jauh lalu baru mengalir lagi seperti sebelumnya! Beberapa kaii hal ini dilakukan si pemuda
dan hatinya baru merasa puas.

Kemudian dia berdiri di atas ujung sebuah batu licin hanya mengandalkan sebelah kaki kiri yang
dijingkatkan. Bambu hijau disabatkan pulang balik beberapa kali memapas air terjun. Ketika ditelitinya
bambu itu, tak setetespun air melekat di situ. Si pemuda tersenyum gembira. Bukan saja bambu tidak basah
tetapi daya dorong tenaga raksasa air terjun tak sanggup menggoyahkan kakinya yang berpijak di batu licin!

"Kepandaianku telah maju pesat!" kata pemuda ini dalam hati.
Dia hendak mencoba kembali. Namun saat itu tiba-tiba di telinganya mengiang nasehat gurunya.

"Ketinggian ilmu itu tidak ada batasnya. Karenanya seseorang tak boleh berlaku lekas puas, apalagi
sombong." Pemuda bercawat itu kemudian melompat-lompat lagi di atas bebatuan dan tangannya tiada henti
memainkan bambu hijau itu dalam gerakan-gerakan ilmu pedang yang mengagumkan.
Kira-kira sepeminuman teh berlatih dia hentikan semua gerakannya dan duduk berjuntai di cabang
sebuah pohon. Dia berlaku demikian bukan karena letih tapi karena saat itu satu pemikiran muncul di
kepalanya.

"Heran, seharusnya mereka sudah tiba di pertapaan selambat-lambatnya siang kemarin. Kenapa sampai
pagi ini masih belum muncul?"

Selagi dia berpikir-pikir seperti itu tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara memanggil laksana ditiupkan
oleh angin dan bergema di sekitar tempat itu, apapun adanya yang bicara nyatalah dia memiliki sejenis ilmu
mengirimkan suara dari jarak jauh yang hebat sekali.

"Panji kemarilah!"

Seraya melompat enteng dari cabang pohon pemuda bercawat itu membuka mulutnya dan berseru
menjawab. "Saya datang Eyang!"

Laksana seekor burung terbang Panji Kenanga berlari melompati lereng berbatu-batu dan akhirnya
sampai di satu jalan kecil yang menuju ke pertapaan.

Begitu sampai di hadapan Brahmana tua si pemuda menjura hormat lalu duduk bersila dan bertanya.

"Ada apa Eyang memanggil saya?"

"Kau habis berlatih ... ?"

"Betul sekali Eyang."

"Bagaimana, apakahada kemajuan kau rasakan?"

"Berkat petunjuk Eyang mudah-mudahan ada," jawab Panji Kenanga. La!u dia berdiam diri menunggu
penjelasan dari gurunya mengapa dia dipanggil.

"Aku barusan selesai bersemedi, muridku," kata Brahmana tua tersebut. "Dalam semediku aku mendapat
firasat bahwa sesuatu telah terjadi atas diri Widura dan Miani. Kalau tidak mustahil sampai saat ini mereka
masih belum sampai di sini."
itu memang ada terpikir oleh saya, Eyang," jawab Panji Kenanga. "Karenanya mohon petunjuk Eyang
lebih lanjut."

"Mereka berdua masih hijau dalam rimba persilatan, Untuk sekedar mencari pengalaman mereka ku lepas
selama satu bulan. Dan nyatanya kini telah lebih waktu tersebut dan mereka belum juga kembali. Cobalah
kau turun gunung dan menyelidiki keadaan sekitarnya. Kuharap saja tidak terjadi apa-apa dengan mereka."

"Perintah Eyang akan saya laksanakan," kata Panji Kenanga. "Izinkan saya bersalin pakaian dulu."

Pemuda ini hendak berdiri tapi tak jadi karena gurunya dilihatnya menggerakkan tangan memberi isyarat.

"Satu hal penting kau ketahui, Panji," kata sang Brahmana. "Dalam dunia persilatan kini tengah
mengamuk satu angkara murka. Angkara murka itu didalangi oleh manusia-rnanusia berkepandaian tinggi
yang menyebut dirinya Hulubalang Istana Darah. Mereka berjumlah banyak namun tidak diketahui siapa
yang memimpin mereka."

"Kejahatan apakah yang telah mereka lakukan Eyang?"

"Menculik dan membunuh setiap manusia berilmu."

"Alasan mereka berbuat begitu?" tanya Panji Kenanga lebih jauh.

"Sebegitu jauh belum diketahui. Namun dari apa yang kudengar setiap korban yang mereka bunuh tidak
berdarah lagi dalam tubuhnya. Aku kawatir kalau-kalau kedua saudaramu telah menjadi korban manusiamanusia
penghisap darah itu."

"Saya akan selidiki Eyang dan tak kembali sebelum menemukan keduanya. Mudah-mudahan tidak terjadi
suatu apa dengan mereka."

Sang guru mengangguk.

Panji Kenanga berdiri dan meninggalkan tempat itu. Tak lama kemudian dia muncul kembali sudah
berpakaian rapi.

"Bawalah Angin Salju dan juga kau boleh bawa tenjata ini," kata si Brahmana seraya mengeluarkan
sebilah pedang bergagang gading.

Terkejutlah Panji Kenanga don buru-buru berlutut, "Eyang, apakah Eyang mempercayakan saya
membawa pedang Gajah Biru ini?" tanya Panji Kenanga sewaktu melihat gurunya mengangsurkan pedang
mustika itu.

"Kalau tidak percaya masakan kuserahkan," jawab sang guru kepada muridnya. "Pergunakan sebaikbaiknya,
terutama dalam keadaan dirimu diancam bahaya."

"Terima kasih atas kepercayaanmu Eyang."

Dengan membungkukkan tubuh Panji kenanga menerima senjata tersebut lalu memasukkannya ke balik
punggung pakaiannya.

"Sekarang saya minta diri, Eyang dan mohon doa restumu," kata Panji Kenanga. Dia menjura sampai tiga
kali lalu membalikkan tubuh.

Seat itu dihadapannya telah berdiri seekor kuda putih tinggi den tegap. Karena larinya yang cepat laksana
angin den bulunya yang mulus putih laksana salju, oleh Brahmana binatang ini diberi nama Angin Salju.

Panji Kenanga melompat ke punggung Angin Salju. Sebelum berlalu binatang yang jinak dan cerdik ini
enggoyangkan kepalanya beberapa kali pada sang Brahmana, lalu meringkik tiga kali seolah-olah
mengucapkan selamat tinggal mohoi diri.

***

Hujan lebat mendera bumi sewaktu Panji Kenanga bersama angin Salju berada setengah hari perjalanan dari
kaki gunung Raung.

"Kita harus mencari tempat berteduh sobatku." ata si pemuda pada kuda tunggangannya.
Angin Salju bukanlah seekor kuda biasa. Binatang ini tajam penca inderanya dan cerdik serta memahami
apa-apa kata dan maksud majikannya. Dengan cepat dia memutar tubuh dan laksana anak panah melesat
menuju segerombolan pohon-pohon yang berdaun sangat lebat. Demikian lebatnya dedaunan pohon-pohon
ini hingga tak setetespun air hujan dapat menembus tanah di bawahnya.

"Matamu tajam den cepat mencari tempat berteduh yang baik," kata Panji Kenanga saraya mengelus
tengkuk Angin Salju.

Binatang itu menggerak-gerakkan kedua daun telinganya tanda gembira atas pujian itu. Sementara itu
hujan turun semakin lebat. Di antara deru air hujan yang laksana dicurahkan dari langit, tiba-tiba Panji

Kenanga mendengar suara berdering-dering tiada hentinya. Dia memandang berkeliling. Tak seorang pun
manusia yang kelihatan. Tak sesuatu benda hiduppun yang tampak. Tapi anehnya suara berdering-dering itu
terdengar semakin keras.

"Apakah ada iblis atau setan yang menghuni tempat ini dan hendak menakut-nakutiku?" pikir Panji

Kenanya dalam hati. Lalu turun dari kudanya.

Sebagai orang yang menguasai ilmu silat tingkat tinggi serta kesaktian dengan sendirinya Panji Kenanga
memiliki pendengaran tajam. Namun sekali ini dia terpaksa berjalan hilir mudik seketika, baru dapat
mengetahui sumber datangnya suara berdering-dering itu. Dan sewaktu sampai di tempat tersebut
melengaklah Panji Kenanga.

Di bawah sebatang pohon berdaun lebat, duduk bersandar seorang lelaki berkepala botak bercelana tipis
dan kurus hingga tulang-tulangnya kelihatan jelas bertonjolan. Setiap saat orang berkepala botak ini
menggerak-gerakkan kedua tangannya melemparkan sepuluh mata uang emas ke udara, lalu menyambutnya
kembali, melemparkannya lagi dan menyambutnya kembali, demikian terus menerus tiada henti.

Untuk sesaat lamanya Panji Kenanga menjadi takjub. Sepuluh mata uang emas bukan satu jumlah yang
sedikit. Hanya hartawan kaya raya yang punya uang sebegitu. Kemudian sepuluh mata itu dilemparkan ke
udara dan bertebar demikian rupa bukan suatu hal yang mudah untuk ditangkap kembali kesepuluhsepuluhnya
dengan kedua tangan tanpa ada satupun yang jatuh. Dan hal ini dilakukan berulang-ulang oleh si
botak itu dengan sikap acuh tak acuh!

"Siapakah si botak ini?" pikir Panji Kenanga. Pemuda ini melangkah lebih dekat. Astaga! Terkejutlah
Panji Kenanga. Betapakan tidak. Ternyata si botak bercelana komprang ini buta kedua matanya! Bagaimana
dia memiliki kepandaian melempar dan menyambut sepuluh mata uang seperti itu? Benar-benar aneh. Panji

Kenanga melangkah lebih dekat

***

5

"BAPAK, siapakah kau?" tanya Panji Kenanga menegur.
Si botak tak menjawab. Menggerakkan kepalanyapun tidak. Malah terus asyik melempar-lemparkan
sepuluh mata uang emas itu ke udara.

Panji Kenanga mengulang kembali pertanyaannya. Si botak tetap tak menjawab. Terus saja asyik
bermain-main dengan mata uang emasnya. Memikir mungkin manusia tak dikenal ini tuli maka dia kemudian
menegur lebih keras.

Aneh. Si botak tiba-tiba tertawa mengekeh:

"Hup!" seru si botak tiba-tiba. Sepuluh uang emas dilemparkannya tinggi-tinggi ke udara. Seperti daundaun
kering yang dihembus angin uang-uang emas itu melayang turun perlahan-lahan, kemudian satu dcmi
satu jatuh menempel di atas kepala botak si orang aneh, tersusun rapi.

Hampir saja Panji Kenanga berseru kagum melihat hal ini. Seorang yang tidak memiliki tenaga dalam
tinggi luar biasa pasti tak bakal sanggup melakukan hal itu. Bahkan dia meragu apakah gurunya bisa berbuat
begitu. Si botak yang kini "bertopikan" uang emas kembali tertawa mengekeh.

Tawanya tiba-tiba lenyap. Sebagai gantinya dari mulutnya kini terdengar suara nyanyian aneh:

“Sejak lahir menderita buta
Sekeliling serba gelap gulita
Banyak berjalan banyak didengar
Datang bertanya seorang sahabat
Sungguh sayang belum bisa kujawab”

Dan sehabis menyanyi ini, orang itu kembali tertawa mengekeh sedang sepuluh keping uang emas masih
terus menempel di kepalanya yang botak!

"Kalau kau tak mau menerangkan nama tak menjadi apa. Aku tak bakal mengganggu lebih lama," kata

Panji Kenanga. Lalu pemuda ini memutar tubuh meskipun hatinya penuh diliputi rasa ingin tahu siapa
gerangan adanya si botak aneh bermata buta ini.

"Hai! Tunggu dulu!" si botak tiba-tiba berseru. "Sebelum pergi kau dengarlah satu lagi nyanyianku."

Panji Kenanga hentikan langkah.

Si buta goyangkan kepala botaknya. Sepuluh keping uang emas yang ada di atas kepalanya melayang ke
atas, disambutnya lalu dilemparkannya kembali seperti tadi sehingga mengeluarkan suara berdering. Dan
suara berdering ini dengan teratur menimpali suara nyanyian yang dibawakannya.

“Seorang muda datang menunggang Angin Salju
Bertanya tapi tak terjawab
Entah ke mana gerangan menuju
Tapi apakah sudi mendengar nasihat?
Berjalan terus ke utara
Akan ditemui kejahatan berdarah
Pembalasan memang sudah wajar
Tapi terlalu banyak musuh harus dihajar
Kalau ditemui keadaan yang mengharukan
Jangan sampai nafsu dendam memperdayakan
Pembalasan harus memakai akal pikiran
Agar selamat nyawa di badan”

Sepuluh keping uang emas dilemparkan tinggi-tinggi ke udara lalu seperti tadi melayang turun perlahanlahan
laksana ditarik oleh suatu kekuatan gaib yang tak kelihatan, mata-mata uang tersebut mendarat satu
demi satu di kepala botak si orang tua.

Di lain pihak Panji Kenanga heran dan kaget bukan main. Bagaimana manusia botak buta tak dikenal ini
tahu kalau dia menunggang Angin Salju. Apa arti kalau ditemui keadaan yang mengharukan? Mengapa dia
disuruh berjalan ke arah utara?

Setelah meragu sejenak Panji akhirnya bertanya. "Bapak yang pandai, bagaimana kau tahu nama kudaku
dan sesungguhnya apa maksudmu dengan nyanyian tadi?"

Si botak mata buta menguap lebar-lebar. Disandarkannya pungung dan kepalanya ke batang pohan di
belakangnya lalu tidur dengan mendengkur. Bagaimanapun Panji Kenanga berseru keras memanggil, tetap
saja dia terus ngorok.

Panji Kenanga geleng-gelengkan kepala. "Manusia aneh," katanya dalam hati.

Karena saat itu hujan telah berhenti, setelah memikirkan makna nyanyian si botak tadi maka akhirnya

Panji Kenanga naik ke punggung kudanya, langsung menuju ke utara.
Setelah merancah jalan yang becek akibat air hujan, Panji Kenanga menemui sebuah lereng pendek
berbatu-batu. Di seberang lereng tersebut, diantara pepohonan yang bertumbuhan di sana sini dilihatnya
sebuah jalan kecil berliku-liku. Apa yang menarik perhatian pemuda ini adalah kekeringan yang menyelimuti
daerah di seberang lereng berbatu-batu itu. Rupanya hujan tidak turun di daerah itu.

Panji Kenanga menyentakkan tali kekang. Angin Salju kembali menggerakkan keempat kakinya. Tak
lama kemudian kedua makhluk itu telah menempuh jalan kecil vang sebelumnya terlihat dari atas lereng. Ada
kira kira setengah peminuman teh melintasi jalan itu tiba-tiba Angin Salju tanpa diperintahkan menghentikan
larinya, mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi lalu meringkik dahsyat!
"Kalau bukannya ada bahaya atau sesuatu yang luar biasa di depan sana, tentu binatang ini tak akan
meringkik begini rupa," membatin Panji Kenanga, Dia melompat dari punggung Angin Salju. Diusapnya
tengkuk binatang ini beberapa kali seraya berkata, "Tenang sobatku, tenang …" Si pemuda kemudian
melangkah mengikuti Angin Salju yang telah lebih dulu bergerak ke depan.
Belum lagi dua puluh langkah berjalan, Panji Kenanga mulai melihat bekas-bekas perkelahian di jalan
sempit itu. Semak belukar banyak yang rambas sedang di tanah ada noda-noda hitam membeku. Pemuda ini
melangkah terus. Tepat pada langkah yang keempat puluh, kedua kakinya laksana di pantek ke tanah.

Mukanya berubah. Untuk seketika dia tidak dapat bergerak seperti patung.

"Widura!" serunya sesaat kemudian lalu menghambur ke muka.

Di tepi jalan tergelimpang sesosok tubuh berpakaian biru. Muka dan bagian tubuhnya yang tidak tertutup
pakaian kelihatan pucat sekali laksana kain kafan. Di sampingnya, diatas tanah tampak noda-noda hitam. Ini
adalah darah yang telah membeku. Dan sosok tubuh itu adalah Widura yang telah jadi mayat.

Panji Kenanga berlutut di samping jenazah adik seperguruannya. Tubuhnya bergetar. Rahangnya terkatup
rapat-rapat menahan geram. Dia duduk di tanah memangku kepala Widura yang pucat tiada berdarah. Saat
itulah dilihatnya urat nadi yang putus di bagian leher! Ini adaiah aneh. Luka yang terlihat di leher itu jelas
bukan luka bukan luka akibat perkelahian. Lalu paras dan sekujur tubuh yang pucat pasi seperti tidak
berdarah itu, apakah yang menyebabkannya?

Panji Kenanga lantas ingat pada keterangan gurunya. Yaitu bahwa dunia persilatan tengah dilanda
malapetaka yang disebabkan oleh orang dari Istana Darah. Bukan mustahil manusia-manusia terkutuk itulah
yang telah membunuh Widura. Tetapi tubuh yang seolah-olah kempes tanpa berdarah? Apakah mungkin
disedot? Geraham Panji Kenanga bergemeletakan. Dia teringat Miani. Bagaimana dan di mana gadis itu
sekarang?

Panji Kenanya memandang berkeliling dengan hati perih. Hatinya bergetar ketika pandangannya
membentur gurat garet di tanah yang merupakan tulisan yang hampir pupus oleh udara. Tulisan itu tidak
begitu jelas namun sedikit demi sedikit, dengan susah payah berhasil juga disambung-sambung oleh si
pemuda dan ternyata berbunyi.

“Kalau terjadi apa-apa dengan diriku,
yang menyebabkannya adalah manusia-
manusia terkutuk dari Istana Darah.
Mereka juga bertanggung jawab
atas keselamatan jiwa dan kehormatan Miani.
Widura”

Panji Kenanga kerenyitkan kening. Dia berpikir. Bagaimana Widura bisa meninggalkan pesan begitu?

Dan kapan dibuatnya? Atau mungkin dia sudah menduga ada bahaya terlebih dahulu hingga siang-siang telah
membuat tulisan begitu rupa? Tentu saja semua pertanyaan itu tak bisa dijawab oleh Panji Kenanga. Dia
hanya bisa menduga-duga.

Sebenarnya bagaimana dan kapankah Widura membuat tulisan di tanah yang berupa pesan itu?
Pada waktu dia pertama kali dihajar oleh Hulubalang Darah Ketujuh sehingga mental dari atas kuda dan
terguling di tanah, Widura yang berotak cerdik segera memaklumi bahwa lawan-lawannya bukanlah orang
sembarangan. Apalagi sesudah diketahuinya bahwa manusia berpakaian serba merah itu adalah Hulubalang-hulubalang

Istana Darah yang rata-rata berkepandaian sangat tinggi dan bukan tandingannya. Yakin kalau
dirinya tak bisa lolos dari bahaya maut sedang untuk menyerah atau lari dia tak mau melakukannya, di
samping itu menyadari pula bahwa kedua hulubalang Darah itu pasti akan menangkap Miani hidup-hidup,
maka selagi tertelungkup di tanah dengan cepat diguratnya tulisan yang merupakan pesan itu dengan ujung
jarinya yang dialiri tenaga dalam.

Apa yang dikerjakan oleh Widura sama sekali tidak terlihat oleh Hulubalang Darah Ketujuh karena saat
itu Hulubalang Darah Ketujuh tengah sibuk menghadapi serangan pedang Miani.

"Tepat seperti apa yang diduga oleh guru," kata Panji Kenanga dalam hati. "Walau bagaimanapun aku tak
akan berpangku tangan. Sekalipun menyabung nyawa ke lautan api, hutang nyawa ini harus kubalaskan.

Apalagi Miani pasti berada di tangan keparat-keparat durjana itu!"

Panji Kenanga berdiri. Didukungnya jenazah adik seperguruannya dan diletakkannya di bawah satu
pohon yang rindang. Di bagian lain dari pohon dengan sebisa-bisanya dia mulai menggali sebuah lobang.
Lalu jenazah Widura dikuburkannya ke dalam lobang itu. Setelah ditimbun dengan tanah, makam itu
ditutupnya dengan batu-batu agar tidak dikorek oleh binatang buas.
Setelah merenung sejenak di hadapan makam adik seperguruannya itu, Panji Kenanga lalu melangkah ke
tempat Angin Salju tegak menunggu. Saat itu juga dia memutuskan untuk mencari di mana letak Istana

Darah. Namun mendadak dia ingat kembali pada si botak bermata buta yang sebelumnya telah ditemuinya.

"Manusia itu aneh," kata Panji dalam hati. "Dia sama sekali tidak mau mernberi tahu siapa dirinya.

Bukan mustahil dia adalah salah seorang bergundal Istana Darah. Aku harus meyakinkan dulu siapa dia
sebenarnya." Berpikir sampai di situ Panji lantas memutar kudanya.

Ketika dia kembali ke tempat dimana sebelumnya dia bertemu dengan orang aneh berkepala botak itu,
didapatinya manusia ini masih duduk di bawah pohon dan tidur mendengkur. Kepingan sepuluh uang emas
masih bertempelan rapi di kepalanya.

"Bapak banguniah!" kata Panji dengan suara keras. Dia berseru sampai beberapa kali tapi orang itu masih
saja terus tidur lelap. Panji jadi penasaran. Tapi apa yang harus dilakukannya? Jika nyata-nyata dia tahu si
botak ini benar-benar kaki tangan Istana Darah tentu dia tak perlu repot-repot pakai membangunkan segala,
langsung menghajarnya. Namun karena dia belum punya bukti-bukti maka dia tak mau kesalahan turun
tangan.

Akhirnya dengan mengkal Panji Kenanga duduk di bawah sebatang pohon yang berhadap-hadapan
dengan si botak.

Ketika matahari sudah jauh condong ke barat si botak masih juga belum bangun. Bahkan ketika matahari
masuk ke ufuk tenggelamnya di sebelah barat dan hari mulai gelap, si botak masih saja terus ngorok.

"Tak mungkin kutunggu lebih lama!" kata Panji Kenanga. "Dia harus dibangunkan dengan tangan atau
dengan kaki!"

Si Pemuda melangkah mendekati si botak yang mendengkur di bawah pohon. Tangannya diulurkan untuk
menepuk bahu orang itu. Namun sebelum tangannya menyentuh tubuh si botak satu bentakan menggeledek di
seantero tempat itu.

"Ini dia bangsatnya yang kucari-cari!"

Bentakan itu disusul dengan berkelebatnya satu bayangan tubuh manusia. Panji Kenanga kaget bukan
main dan cepat berpaling.

***

6

DI HADAPAN Panji Kenanga saat itu berdiri seorang lelaki berbadan gemuk seperti bola. Rambut dan
wajahnya dicat dengan cairan berwarna biru. Kedua tangannya sebatas sikut juga berwaena biru. Manusia ini
memandang buas pada si botak yang saat itu masih asyik tertidur pulas. Lalu dia memalingkan kepala pada

Panji Kenanga. Dari mulutnya terdengar suara macam harimau menggereng.

"Kau tentu kambratnya Si Botak Mata Buta ini!" damprat orang bermuka biru seraya melangkah
mendekati Panji Kenanga dengan kedua tangan terpentang.

"Aku tidak ada sangkut paut apa-apa dengan dia. Kenalpun tidak. Kau sendiri siapa?" bertanya Panji
Kenanga.

Si gendut tidak perdulikan pertanyaan Panji malah menjawa. "Puah, kebenaran ucapanmu akan kuselidiki
kemudian. Jika ternyata kau masih punya hubungan dengan bangsat gundul itu, kelak kau juga bakal
menerima bagian. Sekarang minggirlah!"

Panji Kenanga melihat orang berbadan gemuk bermuka biru itu mengangkat kedua tangannya setinggi
kepala. Sesaat kemudian lengannya yang berwarna biru itu tampak mengeluarkan sinar biru gelap
menggidikkan.

"Minggir!" teriak si muka biru keras menggeledek dan marah karena si pemuda masih menghalang di
depannya.

"Eh, kau mau bikin apa?" bertanya Panji.

"Tidak usah tanya! Lihat saja nasib yang bakal diterima si Botak. Dan kelak kau pun menerima
bagianmu!"

Panji Kenanga tidak mau bergeser dari tempatnya malah berkacak pinggang. "Menyerang lawan yang
sedang tidur adalah tindakan pengecut!" katanya. "Kalau mau buat perhitungan bangunkan dia lebih dulu!"

"Anak setan! Kalau begitu biarlah kau mampus bersama-sama dia kejap ini juga!"
Selesai berkata begitu si muka biru memukulkan kedua tangannya. Satu ke arah kepala si botak yang
masih tidur lelap, satunya lagi ke arah Panji Kenanga.

Dua sinar biru menderu dahsyat. Mengeluarkan hawa teramat panas. Meskipun saat itu Panji Kenanga
masih merasa si Botak Mata Buta adalah kaki tangan Istana Darah, namun melihat orang diserang dengan
cara pengecut begitu rupa adalah bertentangan dengan jiwa kesatrianya. Pemuda ini berseru nyaring lalu
berkelebat cepat ke arah pohon di mana Si Botak Mata Buta berada. Maksudnya hendak menyelamatkan
orang ini. Namun dia hanya menemui tempat kosong karena lebih cepat dari gerakannya, hampir tidak
kelihatan, si botak itu telah berkelebat lenyap dari pohon dimana dia tidur!

Sinar pukulan melesat di atas punggung Panji Kenanga. Pemuda ini jatuhkan diri lalu bergulingan di
tanah. Di belakangnya terdengar suara braak! Pohan besar tempat si botak tadi tidur patah dan tumbang
dengan mengeluarkan suara gaduh akibat dihantam pukulan si gendut bermuka biru. Hebatnya lagi baik
batang pohon yang masih menancap di tanah maupun yang terlepas tumbang keseluruhannya kini kelihatan
berwarna biru!

Nyatalah manusia bermuka biru itu betul-betul menginginkan kematian Panji Kenanga dan Si Botak

Mata Buta. Karena begitu menyerang pertama kali dia sudah lancarkan pukulan maut yang mengandung
racun mematikan!

Ketika Panji Kenanga berdiri kembali, pemuda ini melihat Si Botak Mata Buta telah berada di bawah
pohon yang lain, duduk bersandar dan mengorok persis seperti sebelumnya. Bahkan sepuluh uang emaspun
masih tetap ada di kepalanya yang botak!

Di lain pihak si gendut muka biru menjadi gemas bukan main melihat kedua orang itu berhasil
mengelakkan pukulan saktinya yang bernama "kelabang biru". Lebih-lebih Si Botak Mata Buta dianggapnya
sengaja telah mempermainkannya.

"Kupecahkan kepala kalian!" teriak si muka biru garang lalu kembali menyerbu dengan dua kepalan
diayunkan. Yang satu menyerang Si Botak Mats Buta, yang lainnya menghantam ke arah dada Panji
Kenanga.

Murid Brahmana dari gunung Raung itu menggeser kakinya kesamping, menepis lengan lawan dengan
lengan kirinya. Sewaktu masing-masing lengan saling beradu, Panji Kenanga mengigit bibir karena
merasakan lengannya pedas bukan main.

Di lain pihak si muka biru tak kurang kagetnya karena ternyata tenaga dorong lengan lawan sanggup
menepis demikian rupa hingga bukan saja serangannya terhadap si pemuda gagal, tapi serangan yang ditujukan
pada Si Botak Mats Buta pun meleset akibat tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang hampir sejauh
dua langkah!

Semua itu membuat amarah si gendut ini semakin memuncak. Tiga perempat tenaga dalamnya kini
disalurkan ke tangan kanan. Lengan kanannya kembali memancarkan sinar biru. Kali ini lebih biru dan gelap
dari yang tadi. Panji Kenanga maklum kalau lawan kini siap-siap akan melancarkan pukulan saktinya disertai
tenaga dalam yang jauh lebih besar dari sebelumnya. Maka diapun tidak menunggu lebih lama dan segera
menyalurkan tiga perempat tenaga dalamnya ke tangan kanan. Begitu lawan melancarkan pukulan "kelabang
biru" yang mengandung racun mematikan itu, Panji Kenanga segera menyambut dengan satu pukulan yang
tak kalah hebatnya, yang menebar selarik sinar putih ke abu-abuan.

Dua pukulan sakti saling bentrokan. Karena masing-masing dialiri tenaga dalam yang tinggi maka
pertemua dua tenaga tersebut menimbulkan suara seperti letusan. Pohon-pohon bergoyang, tanah bergetar.

Sepasang kaki si muka biru melesak sampai tiga senti ke tanah sedang kedua kaki Panji Kenanga masuk ke
dalam tanah hampir setengah jengkal!
Dari sini nyatalah meski masing-masing pihak sama-sama mengandalkan tenaga dalam sebanyak tiga
perempat bagian namun tingkat atau mutu kekuatan tenaga dalam yang dimiliki si muka biru lebih sempurna
dari yang dikuasai Panji Kenanga. Hai ini adalah wajar karena Panji Kenanga masih terlalu muda, kurang
pengalaman dan masih banyak harus berlatih sementara lawannya sudah belasan tahun malang melintang di
dunia persilatan dan terus menerus melatih diri.

Panji Kenanga yang memaklumi sepenuhnya hal itu bukannya menjadi takut malah sebaliknya sudah
siap-siap untuk maju kembali dengan segala keberanian yang ada meskipun saat itu dadanya terasa
berdeenyut-denyut.

Si gendut muka biru diam-diam dalam hatinya terheran-heran. Pukulan sakti yang tadi dilepaskan
pemuda itu beberapa tahun lewat pernah disaksikannya namun dia tak ingat lagi siapa yang memiliki ilmu
pukulan tersebut. Disamping itu dia jugs tidak menyangka kalau tingkat tenaga dalam lawan akan sanggup
mengimbangi tenaga dalamnya yang sudah tinggi itu.

Manusia ini tak sempat untuk berpikir panjangpanjang karena saat itu si pemuda dilihatnya sudah
menerjang ke hadapannya. Maka terjadilah perkelahian tangan kosong yang seru. Si muka biru senantiasa
berusaha mengadakan bentrokan lengan. Sebaliknya Panji Kenanga yangg maklum kehebatan sepasang
lengan lawan dengan cerdik selalu menghindarkan terjadinya bentrokan. Dia bergerak gesit kian kemari
melancarkan serangan-serangan kilat yang selalu berubah-ubah sehingga membuat si muka biru
kebingungan.

Memang dalam hal meringankan tubuh dan kegesitan, si muka biru yang gemuk seperti bola itu agak
sulit menandingi lawannya yang masih muda. Selama bertahun-tahun Panji Kenanga telah dididik dan
melatih diri melompat-lompat di ujung batu-batu sungai yang runcing dan licin berlumut. Dan kini di tanah
datar dengan sendirinya bukan satu hal yang sukar baginya untuk bergerak lebih cepat dan gesit.

Sambil terus bertempur si muka biru senantiasa memperhatikan gerakan-gerakan ilmu silat lawannya.

Lambat laun dia mulai dapat menduga-duga. Untuk meyakinkan dugaannya ini maka diapun membentak.

"Anak setan! Ada sangkut paut apa kau dengan si tua bangka Lokapala dari gunung Raung?!"
Panji Kenanga kaget. Namun cepat-cepat menyahuti, "Selesaikan dulu pertempuran ini, baru nanti
bertanya jawab sambil minum-minum kopi!"

"Setan alas!" maki si muka biru geram sekali. Dia berteriak nyaring dan tubuhnya berkelebat lebih cepat
tapi jaraknya sengaja diperjauh dari lawan hingga dia dapat melancarkan pukulan-pukulan "kelabang biru"
dengan leluasa.

Menghadapi ilmu pukulan lawan yang ampuh ini membuat serangan Panji Kenanga mengendur dan
beberapa jurus kemudian pemuda ini terpaksa berada di bawah angin. Si muka biru melipat gandakan
kecepatan gerakannya, begitu juga tenaga dalamnya sehingga Panji Kenanga semakin terdesak.

Meskipun Panji telah mengeluarkan pula pukulan-pukulan saktinya seperti yang bernama "mega putih"
namun tidak ada gunanya. Dirinya tambah lama tambah kepepet. Dan pemuda ini mulai berpikir-pikir untuk
mengeluarkan pedang Gajah Biru yang diberikan gurunya. Tapi karena lawan ma'sih bertempur dengan
tangan kosong, hatinya merasa bimbang untuk mengeluarkan senjata tersebut. Dalam pada itu keadaannya
semakin kritis juga.

"Muka biru! Keluarkan senjatamu!" seru Panji Kenanga memancing agar lawan mengeluarkan senjata
dan dengan demikian dia tidak akan merasa sungkan untuk mencabut pedangnya.
Si muka biro tertawa mengejek.

"Untuk melenyapkan bocah setan macammu ini kenapa pakai senjata segala? Lihat ini jurus kematianmu!"

Ucapan itu ditutup oleh si muka biru dengan satu kelebatan tubuh yang luar biasa cepatnya. Tubuhnya
lenyap dan tahu-tahu sudah berada di atas lawannya sambil mengayunkan tiriju yung laksana palu godam ke
kepala Panji Kenanga, Pemuda ini menunduk seraya menghantamkan pukulan "mega putih" ke perut lawan.

Tapi dia terpedaya.
Begitu Panji Kenanga bergerak memukul, si muka biru bergeser cepat ke samping. Pukulan "mega putih"
mengenai tempat kosong. Di kejap yang sama si muka biru menyorongkan satu tendangan kilat ke bawah
ketiak kanan Panji Kenanga.

Dalam keadaan tubuh masih terdorong ke muka karena dalam kuda-kuda memukul, Panji Kenanga sulit
sekali untuk mengelakkan serangan berbahaya itu. Masih diusahakannya untuk mencegah hantaman kaki
lawan dengan coba menekuk sikut memukul tulang kering si muka biru. Tetapi itupun terlambat karena saat
itu ujung kaki kanan lawan sudah menyelinap di bawah lengannya!

"Celaka!" keluh Panji Kenanga dalam hati.
***
7

DI SAAT itu, tiba-tiba terdengar suara bergelak. Satu gelombang angin yang amat deras menderu, membuat
kedua orang yang tengah berkelahi terpelanting sejauh setengah tombak!

"Tapak Biru! Kau memang terlalu banyak mencari urusan dengan orang lain!"

Panji Kenanga dan si muka biru yang ternyata bernama Tapak Biru sama-sama memalingkan kepala ke
arah datangnya suara. Yang bicara ternyata adalah Si Botak Mata Buta yang saat itu telah bangun dari
tidurnya tapi masih duduk di bawah pohon sambil mengucak-ucak sepasang matanya yang tidak melihat.

"Botak buta sialan! Memang kalau tidak kubunuh kau sekarang tidak tenteram rasa hatiku! Ini
mampuslah!" Tapak Biru lalu memukulkan tangan kirinya ke arah pohon. Untuk kesekian kalinya pukulan
kelabang biru berkelebat di situ.

"Mentang-mentang memiliki pukulan baru yang diandalkan sikapmu sombong selangit," ejek Si Botak

Mata Buta. "Cuhh!" dia meludah ke tanah dan mengangkat tangan kirinya. Satu gelombang dingin bersiuran
keluar dari telapak tangan orang ini dan sekaligus memusnahkan serangan yang amat diandalkan Tapak Biru!

Tapak Biru sampai menyurut beberapa langkah melihat bagaimana ilmu pukulannya dibikin musnah
semudah itu.

"Sialan! Tidak kusangka bangsat buta ini sudah maju kesaktiannya begitu jauh!" maki Tapak Biru dalam
hati. Lalu dia berteriak, "Botak! Berdirilah. Mari kita bertempur sampai seribu jurus!"

"Baik orang gendut," jawab Si Botak Mata Buto seraya berdiri dengan sikap acuh tak acuh dan sambil
tepuk-tepuk pantat celana komprangnya.

Justru di saat itu Tapak Biru sudah menerjang menyerangnya dengan satu tendangan kilat. Si Botak
tertawa. "Kelicikanmu masih seperti dulu saja, gendut!" Lalu dia cepat-cepat menyingkir dan akibatnya
tendangan Tapak Biru mengenai batang pohon di sampingnya hingga patah dan tumbang dan menjadi biru
akibat racun kelabang biru.

Penasaran Tapak Biru membalikkan tubuhnya dan kembali lepaskan pukulan kelabang biru ke depan.

Di belakangnya terdengar gelak tertawa mengejek.

"Kau toh tidak buta sepertiku, Tapak Biru. Kenapa menyerang tempat kosong?"

Secepat kilat Tapak Biru memutar tubuh dan sekali lagi lepaskan pukulan saktinya. Namun lagi-lagi dia
mendengar suara tawa dari arah belakang. Si Botak Mata Buta ternyata telah mempermainkannya.

Sebenarnya si buta ini tidak berada di belakangnya. Namun karena dia memiliki semacam ilmu memindahkan
suara maka suaranya terdengar seperti datang dari belakang, padahal dia berada di tempat lain tak jauh dari
situ!

Menyaksikan bagaimana si buta mempermainkan Tapak Biru mau tak mau Panji Kenanga merasa kagum
sekali.

"Botak mata buta mengapa kau hanya berani berkelahi dengan cara pengecut begitu?!" damprat Tapak

Biru marah sekali. Rahanqnya bertonjolan dan dari balik pakaiannya dia mengeluarkan sebuah benda bulat
sepanjang dua jengkal. Ternyata adalah sebuah seruling yang terbuat dari perak.

Sementara itu keadaan di tempat itu telah berubaah menjadi gelap. Apalagi di situ penuh ditumbuhi
pohon-pohon berdaun rapat sekali.

"Cara berkelahi bagaimana yang kau inginkan Tapak Biru?" bertanya si buta.

"Mari kita berhadap-hadapan mengadu kekuatan batin!"

"Oh, begitu? Mengadu kekuatan batin berarti tidak mempergunakan senjata bukan heh?!"

Terkejutlah Tapak Biru sedang Panji Kenanga melengak terpaku di tempatnya. Keduanya tak habis pikir.

Bagaimana orang buta ini mengetahui kalau lawannya mengeluarkan dan memegang senjata?

Meskipun buta namun saat itu tidaklah terlalu sulit bagi Si Botak Mata Buta untuk mengetahui bahwa

Tapak Biru telah mengeluarkan senjata. Sinar terakhir matahari yang merambas dari barat telah menimpa
seruling yang terbuat dari perak. Sinarnya memantul dan memijar ke muka si botak. Sekalipun buta tapi
pijaran sinar itu masih dapat dirasakan oleh urat-urat syarap di belakang matanya. Cuma tentu saja dia tidak
jelas senjata apa yang ada di tangan lawan saat itu.

Tanpa perdulikan ejekan lawan Tapak Biru mementang kedua kakinya, mengalirkari tenaga dalam ke
perut dan mendekatkan ujung seruling ke bibirnya. Terdengar suara seruling mengalun. Mula-mula perlahan
lalu makin keras dan makin merdu. Si botak bergerak-gerak sepasang matanya yang buta. Baik dia maupun
Panji Kenanga sama-sama tercekat dengan alunan suara seruling itu. Namun tanpa disadari oleh Panji

Kenanga, lambat laun kepalanya menjadi pusing dan berat sedang pemandangannya mulai berbinar-binar.

Lututnya goyah dan tubuhnya perlahan-lahan jatuh duduk di tanah!
Sebaliknya Si Botak Mata Buta masih juga berdiri tak bergerak di tempatnya. Keningnya mengerenyit.

Ada kelainan dirasakannya pada denyutan nadinya serta aliran darahnya. Namun di mulutnya tersungging
satu senyuman. Setelah menutup jalan pendengarannya diapun membuka mulut,

"Tapak Biru, sejak kapan kau memiliki suling itu? Pasti itu senjata curian heh? Bagusnya kau mengamen
masuk kampung keluar kampung, pasti kau bakal mengantongi banyak uang!"

Tapak Biru tidak perdulikan ejekan lawannya. Tiupan serulingnya semakin keras dan tambah merdu.

"Ah, nyanyianmu dari itu ke itu juga Tapak Biru. Bosan telingaku mendengarnya!" kata Si Botak Mata

Buta. Lalu diputarnya tangannya di udara tujuh kali berturut-turut. Pada akhir putaran tangan yang ketujuh
maka terdengarlah suara menderu seperti suara angin punting beliung. Mula-mula perlahan, makin lamamakin
keras hingga menelan suara tiupan seruling Tapak Biru.

Betapapun Tapak Biru memperkeras tiupan serulingnya tetap saja tak terdengar dalam bisingnya suara
angin yang diciptakan Si Botak Mata Buta. Malah kini kelihatan si muka biru tubuhnya bergetar dan pakaian
serta rambutnya melambai-lambai sedang Panji Kenanga yang tadi terduduk di tanah, begitu suara seruling
lenyap baru dia kembali sadar diri dan cepat bangkit. Namun begitu berdiri angin punting beliung itu membuatnya
terhuyung-huyung.

Pemuda ini mengerahkan tenaga dalamnya. Tetap saja tubuhnya bergetar dan lututnya sampat goyah.

Cepat-cepat dia mendekati sebuah pohon dan bersandar di situ.

Putus asa dan jengkel Tapak Biru hentikan tiupan seruling peraknya.

"Bangsat botak ini terlalu lihay bagiku. Di lain hari saja kelak aku bakal menyelesaikan urusan dengan
dia," gerutu Tapak Biru dalam hati.

"Hai gendut pendek! Kenapa kau berhenti main suling?" tanya Si Botak Mata Buta.

"Sayang aku tak punya waktu banyak untuk melayanimu," sahut Tapak Biru berdalih. "Hari ini masih
kuberi kesempatan padamu untuk bernafas beberapa lama lagi. Kelak walau bagaimana nyawa anjingmu
akan kutagih untuk melunasi hutang jiwa kematian adikku!"

Si botak tertawa gelak-gelak. Patut diketahui sampai saat itu sepuluh keping uang emas masih menempel
di atas batok kepalanya yang plontos.

"Kau memang pandai bersilat lidah. Tak apalah. Kau boleh pergi. Tapi berikan dulu, suling curianmu itu
padaku!"

"Jangan temahak jadi manusia!" damprat Tapak Biru. "Suling ini akan kuberikan padamu jika kau sudah
kubunuh. Sebagai temanmu dalam liang kubur!"

Si botak usap-usap dagunya dan berkata, "Kalau begitu kau boleh pilih Tapak Biru. Tinggalkan suling itu
atau tinggalkan nyawamu!"

"Botak, jangan melantur! Hari sudah mau malam. Tak banyak waktu untuk mendengarkan celotehanmu!"

"Selesai berkata begitu Tapak Biru cepat-cepat memutar tubuh hendak berlalu. Di belakangnya terdengar
si botak berseru.

"Suling atau nyawamu, gendut!"

Di kejap itu juga si botak sudah berada di hadapan Tapak Biru, menghadang larinya. Tapak Biru
berkelebat ke jurusan lain. Namun lebih cepat dari itu si botak sudah menghadang pula di depannya. Sekali
lagi dia melesat ke samping, sekali lagi pula si botak muncul menghadang di hadapannya.

Dihalangi begitu rupa Tapak Biru jadi marah sekali tapi juga bingung melihat kehebatan lawan. Dia
menerjang dengan menghujamkan suling perak ke arah kening lawan.

Yang diserang begitu merasakan datangnya angin serangan ke arah kepalanya, cepat menunduk lalu
menggerakkan kedua tangannya serentak. Yang kiri memukul dada Tapak Biru sedang yang kanan
menyantakkan seruling perak.

Tapak Biru terpekik kesakitan. Disamping itu dia juas terkejut karena suling perak di tangan kanannya
tiada lagi sedang di depannya Si Botak Mata Buta tertawa gelak-gelak.

"Masih inginkan suling ini! Ambillah!" kata si botak seraya bolang-balingkan suling perak yang kini
berada dalam genggamannya.

Tapak Biru mendengus dan membantingkan kaki ke tanah lalu meninggalkan tempat itu diantar suara
tertawa mengekeh si botak. Selagi Panji Kenanga menyaksikan hal itu dengan menahan tawa tiba-tiba si
botak berkelebat dan tahu-tahu Panji Kenanga merasakan satu pukulan keras menghantam belakang
kepalanya. Tak ampun lagi murid Brahmana Lokapala dari gunung Raung ini roboh dan pingsan!

***

8

KETIKA Panji Kenanga sadarkan diri didapatinya hari telah malam. Keadaan sekitarnya gelap gulita. Tiupan
angin dingin sekali menusuk tulang-tulangnya. Di kejauhan sesekali terdenger suara burung hantu mambuat
auasana serasa mengerikan. Perlahan-lahan pemuda ini berdiri. Dirabanya bagian belakang kepalanya yang
terasa mendenyut sakit. Dia terkejut sewaktu satu bayangan putih besar bergerak di sampingnya. Ketika dia
berpaling tarnyata adalah kuda kesayangannya Angin Salju. Panji tersenyum dan menarik nafas lega.

Dijentikkannya tangannya memberi tanda. Binatang itu datang mendekat.

Panji Kenanga langsung naik ke punggung Angin Salju. Sambil mengusap leher kuda ini dia berkata,

"Bawa aku keluar dari tempat celaka ini, sobat."

Seakan mengerti akan maksud tuannya Angin Salju melompat dan lari meninggalkan tempat itu. Tak
lama kemudian binatang ini sudah menempuh sebuah jalan kecil yang menuju ke sebuah bukit. Dalam
kencangnya lari Angin Salju, Panji Kananga merasakan sesuatu menggandul di leher serta memukul-mukul
dadanya. Sebenamya hal itu terasa sejak tadi namun karena pemuda ini hanya memikirkan peristiwa yang
barusan dialami maka hal itu tak terperhatikan olehnya.

Panji Kenanga menunduk memperhatikan dadanya. Terkejutlah pemuda ini. Tangan kanannya
menyentak tali kekang kuda hingga Angin Salju dengan serta merta hentikan larinya.
Pada sehelai benang yang terkalung dilehernya menggandul sebuah benda putih panjang yang bukan lain
adalah seruling perak yang telah dirampas Si Botak Mata Buta dari tangan Tapak Biru.

"Bagaimana benda ini bisa tergantung pada leherku?" tanya Panji Kenanga pada diri sendiri.

Digerakkannya tangannya. Sekali renggut putuslah benang penggantung seruling. Panji menimang-nimang
benda itu beberapa lama dan berpikir-pikir. Tak dapat disangsikan lagi tentu Si Botak Mate Buta yang punya
kerja. Mula-mula orang aneh itu memukul kepalanya hingga pingsan. Dalam keadaan pingaan lalu dia menggantungkan
seruling perak di lehernya.

"Tapi mengapa hal itu dilakukannya?" muncul lagi pertanyaan baru dalam hati si pemuda. Dan
pertanyaan ini tak kunjung dapat dijawabnya.

Panji memandang ke langit. Bintang-bintang bertaburan berkelap-kelip. Bulan sabit muncul di balik
sekelompok awan. Si pemuda meneliti suling perak di tangan kanannya itu. Pada waktu itulah dilihatnya
segulung kertas pada ujung sebelah bawah. Segera gulungan kertas ini dicabutnya. Ketika dibuka di dalamnya
ternyata ada beberapa baris tulisan yang berbunyi.:

“Pembalasan harus dilakukan
Tapi akal pikiran harus diutamakan
Kutitipkan Suling Perak padamu
Bertemu pemiliknya harap serahkan.”

Walaupun di bawah tulisan itu tidak tertera tanda atau nama pembuat surat namun Panji Kenanga sudah
bisa menduga bahwa surat itu dibuat oleh orang botak yang lihay itu.

Dua kali orang itu memberi nasihat agar mempergunakan akal pikiran bila dia hendak melakukan
pembalasan. Pertama dalam nyanyian pada pertemuan waktu hujan lebat dan kedua dalam surat tersebut
"Kalau begitu besar kemungkinan dugaanku meleset," kata Panji dalam hati. "Agaknya dia bukan kaki
tangan atau bergundal Istana Darah." Kembali Panji menimang-nimang suiing perak itu. Siapakah gerangan
pemilik sebenarnya benda itu? Mengapa justru Si Botak Mata Buta menitinpkannya padanya? Akhirnya Panji
menyelipkan suling tersebut di balik pinggang pakaiannya lalu melanjutkan perjalanan tanpa memperdulikan
lagi kemana Angin Salju membawanya.

Tak selang berapa lama di kejauhant kelihatan kelap-kelip nyala api.
"Sobatku, larilah ke arah nyala api itu. Di sana pasti ada sebuah desa atau kampung. Kita bisa istirahat di
sana malam ini," bisik Panji Kenranga.

Angin Salju mengeluarkan suara reperti melenguh tanda dia mengerti betul apa yang dimaksudkan
tuannya. Dan binatang ini lebih mempercepat larinya.

***

Kampung Warnasari sebenarnya tak tepat lagi disebut sebagai kampung karena jumlah rumah yang ada di
situ banyak sekali. Di samping itu terdapat pula tiga buah jalan besar serta jalan-jalan kecil. Lebih tepat
kiranya bilamana Warnasari dikatakan sebagai sebuah kota kecil.

Malam itu Warnasari diliputi kesunyian. Namun kesunyian sekali ini jauh berbeda denqan kesunyian
seperti biasanya. Kesunyian kali ini adalah kesunyian yang dipaksakan oleh keadaan. Dan keadaan itu dibuat
oleh sekelompok orang-orang yang saat itu berada di kedai paling besar di Warnasari.

Dalam kedai itu suasana biasanya ramai. Suara orang-orang yang asyik mengobrol sesekali dipecahkan
oleh gelak tawa berderai. Tiga orang laki-laki berpakaian serba hitam dan bertampang bengis duduk di tengah
kedai. Mereka inilah yang membuat suasana tidak seperti biasanya lagi. Tak ada yang berani bicara keras
apalagi tertawa.

Di atas meja di hadapan mereka terhidang segala macam makanan yang enak-enak serta minuman yang
lezat-lezat. Demikian banyaknya makanan dan minuman itu hingga dua buah meja terpaksa digabung
menjadi satu.

Pemilik kedai seorang laki-laki tua bemama Ki Sepuh Bawean, berdiri di sudut kedai dengan muka
seputih kertas, lutut gemetar. Tiga orang pelayan berdiri disampingnya. Seperti pemilik kedai para pelayan
inipun berada dalam ketakutan yang amat sangat. Sebelumnya kedai itu dipenuhi oleh selusin tamu. Namun
begitu tiga manusia ini masuk, para tamu yang ada di situ cepat-cepat membayar makanan dan minuman
masing-masing lalu keluar dari kedai. Bahkan ada di antara mereka yang belum sempat mencicipi makanan
ataupun minuman namun karena kawatir cepat-cepat saja berlalu.

Tiga tamu berpakaian serba hitam melahap makanan di atas meja laksana singa-singa buas yang telah
berhari-hari tidak makan. Di pintu belakang kedai tiga orang berseragam hitam lagi tampak berdiri sedang di
pintu depan lima orang dengan pakaian yang sama tampak berjaga-jaga sambil bertolak pinggang dan menghisap rokok.

"Hai Bawean!" sentak salah seorang dari tiga laki-laki yang tengah makan dalam kedai. "Bawa ke sini
satu kendi tuak baru untukku!"

Dengan tergopoh-gopoh pemilik kedai meninggalkan tempatnya kemudian muncul kembali membawa
sebuah kendi berisi tuak. Minuman ini di letakkannya dengan sangat hati-hati di atas meja lalu kembali ke
tempatnya semula di sudut kedai menunggu perintah selanjutnya.

"Lama juga anak-anak pergi memanggil kepala kampung itu," kata salah seorang yang duduk melahap
makanan. Namanya Ronggokarapan. Dia adalah kepala dari semua orang yang berpakaian serba hitam itu.

Pimpinan gerombolan rampok yang paling ditakuti di daarah sekitar hulu Kali Bedadung. Dua orang yang
ikut makan bersamanya adalah orang-orang kepercayaannya alias tangan kanannya yang masing-masing
bernama Randuwongso dan Taliwongso. Keduanya kakak beradik.

Dulunya Randuwongso dan Taliwongso merupakan pimpinan rampok yang malang melintang sepanjang

Kali Bedadung. Dalam masa yang sama di daratan Ronggokarapan bersama beberapa anak buahnya
melakukan kejahatan yang serupa. Pada suatu kali terjadilah pertemuan yang tidak disangka-sangka antara
dua kelompok penjahat itu. Pertempuran tak dapat dihindarkan. Namun Ronggokarapan memiliki ilmu silat
yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua bersaudara itu. Taliwongso dan Randuwongso berhasil
dikalahkannya dan sejak itu Ronggokarapan menjadi pimpinan dari gabungan dua kelompok penjahat itu.

Meskipun dua bersaudara Wongso itu pada dasarnya menanam dendam kesumat terhadap
Ronggokarapan namun mereka menyadari adalah mencari mati jika mereka berani melakukan sesuatu selagi
ilmu kepandaian mereka jauh di bawah Ronggokarapan.

Di kejauhan terdengar derap kaki kuda.

"Itu pasti anak-anak," kata Randuwongso.

Ronggokarapan menyeringai.

"Kali ini kepala kampung itu harus dihajar habis-habisan. Biar dia tahu rasa!" kata pamimpin rampok itu
lalu memandang ke pintu.

Saat itu di luar kedai suara rentak kaki kuda terdengar semakin dekat. Lima anak buah rampok yang
tegak di ambang pintu memandang ke ujung jalan.

Tak selang berapa lama dari tikungan di ujung jalan muncullah seekor kuda putih berikut penunggangnya.

Mendekati kedai itu si penunggang memperlambat lari kudanya. Di depan kedai dilihatnya hampir
seluruh kuda tertambat sedang di ambang pintu lima orang berpakaian serba hitam dan rata-rata bertampang
buas tegak berjejer membuat hatinya kurang enak dan curiga.

Si penunggang kuda yang bukan lain adalah Panji Kenanga berpikir sejenak. Lalu menghentikan Angin

Salju di depan kedai dan melompat turun. Perutnya sangat lapar dan memang dia musti berhenti di situ
karena malam buta begini di mana pula akan mencari kedai lain yang masih buka. Dia tengah melangkah ke
pintu kedai ketika salah seorang dari lima manusia yang tegak menghadang di pintu masuk menegurnya.

"Orang muda, putar langkahmu. Tak satu orangpun boleh masuk ke dalam!"

Panji Kenanga berpaling don memandang muka orang itu.

"Memangnya ads apa?" tanya si pemuda.

"Tak usah banyak bacot!" sentak kawan rampok yang satu lagi. "Masih untung kau disuruh pergi baikbaik.

Kalau cuma roh busukmu yang disuruh minggat sedang tubuh anjingmu tinggal di sini, baru kau tahu
rasa!"

"Oh, kalau begitu itu lain ceritanya sobat," Mata Panji Kenanga seraya tersenyum. Dia sudah maklum
kini dengan manusia-manusia macam apa sebenarnya dia sedang berhadapan. Acuh tak acuh dia meneruskan
langkahnya menuju pintu kedai.

"Kurang ajar! Dikiranya kita ini siapa!"

Rampok yang membentak melompat ke hadapan Panji Kenanga seraya bacokkan goloknya ke kepala
pemuda ini. Si pemuda cepat manyingkir. Golok yang menderu menembus udara kosong terus menghantam
dinding kedai!

***
.
9

"HAI! Ada apa ribut-ribut di luar sana?!" terdengar bentakan Ronggokarapan dari dalam kedai. Kedua
pembantunya segera berdiri dan melangkah ke pintu.

"Ada apa disini?!" tanya Randuwongso.

"Pemuda kurang ajar ini hendak memaksa masuk ke dalam kedai!'' jawab salah seorang perampok.

"Bah, kukira ada apa. Hanya seekor monyet kesasar kalian ribut-ribut macam orang keblinger!" kata

Taliwongso lalu kembali masuk ke dalam. Sementara itu sambil bertolak pinggang Randuwongso menatap si
pemuda asing dan bertanya dengan kasar.

"Pemuda hina dina, kau siapa?!"

"Namaku Panji Kenanga. Aku tidak mengerti mengapa aku tidak boleh masuk ke dalam kedai. Toh kedai
ini bukan punya nenek moyangnya!"

"Hem…" Randuwdngso tersenyum buruk lalu berkata, "Kau tidak mengerti. Jadi mau kubikin mengerti?"

Dia berpaling pada lima orang anak buahnya yang ada di halaman kedai. "Hajar monyet alas ini sampai dia
mengerti!"

Serempak dengan itu kelima orang perampok tersebut menerjang menyerang Panji Kenanga. Namun
gerakan mereka terhenti karena saat itu dari dalam kedai terdengar seruan Ronggokarapan.

"Randu! Biarkan monyet alas kesasar itu masuk! Aku mau lihat tampangnya!"

Melihat orang-orang disitu tak jadi turunkan tangan jahat mengeroyoknya karena ada yang berteriak dari
dalam. Panji Kenanga segera dapat menduga. Siapapun adanya orang yang barusan berseru dia pastilah
pemimpin dari keseluruhan manusia-manusia jahat yang ada di tempat itu.

Panji Kenanga tersenyum pada orang-orang yang ada di sekelilingnya dan berkata, "Nah, apa kataku.

Kedai ini bukan milik nenek moyang kalian, kan? Buktinya pemimpin kalian sendiri yang mengundangku
masuk!" Habis berkata begitu dengan lenggang kangkung Panji Kenanga melangkah masuk ke dalam kedai.

Satu hal yang tak terduga terjadi sewaktu pemuda ini baru saja masuk dua langkah ke dalam kedai.

Sebuah benda melayang pesat ke arah kepalanya!

Saking cepatnya benda itu melesat Panji Kenanga tak sempat mengenali benda apa adanya namun dengan
cekatan dia menundukkan kepala dan berhasil mengelakkan hantaman benda tersebut. Seseat kemudian di
belakangnya terdengar suara benda tadi pecah berantakan. Pemuda ini melirik. Ternyata sebuah gelas besar
yang telah dilemparkan ke kepalanya. Yang melempar adalah lelaki yang duduk mengangkat kaki di
belakang meja makan di tengah kedai, bermata merah buas, bercambang bawuk dan berbibir tebal. Dialah
Ronggokarapan.

"Bagus, sanggup juga kau mengelak ya?" kata si kepala rampok sambil menyeringai. "Sekarang coba
elakkan yang ini!" Kedua tangannya yang bertelapak tebal dan berjari-jari besar digebrakkan ke atas meja.

Hebatnya, lima buah piring berisi makanan dan tiga buah gelas di atas meja itu laksana anak panah lepas dari
busurnya, melesat ke arah delapan bagian tubuh Panji Kenanga!

Kaget murid Brahmana Lokapala itu bukan main. Tidak disangkanya pemimpin rampok tergebut
memiliki kepandaian begitu hebat. Dengan gesit Panji Kenanga cabut suling perak dari balik pinggangnya.
Lalu terdengar suara trang-trang-trang sampai delapan kali berturut-turut. Lima buah piring dan tiga gelas
berhamburan pecah ke lantai.

Kini Ronggokarapan yang ganti terkejut.

"Sobat mata merah! Ini kukembalikan seranganmu!" seru Panji Kenanga tiba-tiba. Si pemuda hantamkan
kaki kanannya ke lantai kedai. Puluhan pecahan piring dan gelas yang ada di lantai, laksana daun kering
dihembus angin, menderu menyambar ke arah pemimpin rampok Kali Bedadung itu!

Saking kagetnya melihat kejadian yang sebelumnya tak pernah disaksikannya itu Ronggokarapan sampai
keluarkan seruan tertahan. Namun dia tahu kalau bahaya mengancam. Kedua tangannya turun dengan cepat
ke bawah dan di lain kejap dia telah mengangkat meja makan besar itu ke atas untuk melindungi tubuhnya.
Puluhan beling pecahan gelas dan piring menancap pada papan meja. Belasan lainnya bertebaran lewat di
sampingnya. Dapat dibayangkan bagaimana kalau puluhan pecahan kaca itu menancap di kepala dan tubuh
Ronggokarapan!

"Orang muda, terima kasih atas serangan balasanmu!" kata si kepala rampok keren. "Kau menang. Dan
terimalah hadiah kemenanganmu ini!" terdengar suara Ronggokarapan tertawa dari balik meja. Di lain ketika
tiba-tiba meja yang besar yang terbuat dari kayu jati dan beratnya tidak kurang dari tujuh puluh kati itu
dilemparkannya ke arah Panji Kenanga. Meja itu menderu dahsyat laksana dihantam topan.

Panji Kenanga tampak tak bergerak di tempatnya. Tiga jengkal lagi meja besar itu akan melabraknya,
pemuda ini angkat kedua tangannya menangkap dua dari empat kaki meja. Lalu dengan gerakan seperti
seorang main akrobat meja yang berat itu diletakkannya baik-baik ke lantai tanpa menimbulkan suara
sedikitpun!

Semua mata memandang hampir tak berkedip pada pemuda itu. Keadaan dalam kedai jadi sunyi senyap.

Di ujung kiri pemilik kedai berdiri dengan tubuh menggigil. Apa yang disaksikannya tadi sungguh
membuatnya kagum luar biasa tetapi sekaligus juga membuatnya ketakutan. Kalau dua orang berilmu tinggi
baku hantam dalam kedainya, pastilah segala perabotan yang ada di situ akan porak poranda. Bahkan bukan
mustahil kedainya akan amblas roboh!

Di luar, terdengar derap kaki kuda. Tak lama kemudian tiga orang berpakaian hitam masuk ke dalam
kedai menggiring seorang lelaki tua berambut putih, berpipi cekung dan melangkah terbungkuk-bungkuk.

Ronggokarapan tidak acuhkan orang-orang yang masuk ini. Dia memandang tak berkedip pada Panji
Kenanga. Otaknya jalan.

"Ilmunya tinggi," membatin Ronggokarapan. "Kalau tenaganya dapat kupergunakan, seumur hidup aku
bakal enak ongkang-ongkang kaki ..."

Kepala rampok itu tersenyum. "Sobat muda!" katanya seraya lembaikan tangan kiri. "Antara kita tak ada
saling sengketa apa-apa. Lupakan cara berkenalanku yang agak kasar tadi!" Dia lalu berpaling pada pemilik
kedai dan memerintah, "Bawean, siapkan makanan dan minuman yang paling lezat dan hidangkan pada
pemuda ini. Cepat!"

Tanpa banyak bicara, dengan ketakutan Ki Sepuh Bawean segera lakukan apa yang diperintahkan
Rondokarpan.

"Sobatku, kau duduklah tenang-tenang di kursi sana, nanti kita bicara lagi," kata si kepala rampok.

Sementara itu Randuwongso datang melapor. "Pemimpin, anak-anak sudah membawa kepala kampung
kemari."
Ronggokarapan berpaling. Dia memandang pada lelaki tua berambut putih yang berdiri dengan muka
pucat pasi don gemetaran di hadapannya.

"Lawang Kuning!" kata Ronggokarapan menyebut nama Kepala kampung Warnasari itu. "Ingat apa yang
kuperintahkan tempo hari?!"

Kepala kampung itu mengangguk berulang-ulang. "Jawab! Dengan mulut!" hardik Taliwongso dan
tangannya bergerak menjambak rambut orang tua itu hingga dia merintih kesakitan.

"Ak . . . aku ingat Ronggo," Lawang Kuning akhirnya membuka mulut sambil mengerenyit kesakitan
karena rambutnya masih dijambak keras oleh Taliwongso.

"Bagus. Kalau ingat mengapa tidak kau laksanakan!"

"Sulit Ronggo. Sulit! Orang kampung mana ada yang punya uang dan perhiasan. Kami di sini miskin
semua…"

"Sulit atau tidak aku tidak perduli! Miskin atau kaya aku tidak mau tahu!" damprat Ronggokarapan.

Randuwongso ikut menghardik. "Dulu kowe bilang bersedia melaksanakan. Mengumpulkan semua harta
benda perhiasan orang-orang di sini. Sekarang banyak dalihmu tua bangka!"

Penduduk di sini rata-rata punya sawah ladang. Ternak!" yang bicara kini adalah Taliwongso. "Rumah
mereka bagus-bagus. Mustahil tidak punya uang dan perhiasan."

Ronggokarapan geleng-geleng kepala dan tepuk-tepuk pipi kempot Lawang Kuning. "Kalau tidak ingat
persahabatan kita dulu, aku sudah pisahkan kepala dan badanmu, Lawang…"

"Justru kalau masih menganggap aku sahabat nengapa kau lakukan tindakan jahat terhadapku? Dan
terhadap penduduk Warnasari yang tidak berdosa, tak punya apa-apa!" Lawang Kuning memberanikan diri
menyahuti.

Kepala rampok itu tertawa gelak-gelak. Tiba-tiba suara tawanya berhenti. Dan plak! Satu tamparan
mendarat di muka kepala kampung tua itu. Lawang Kuning jatuh terjelapak di lantai. Pemandangannya
berkunang-kunang. Pipinya sakit bukan main. Dia merasakan darah mengalir di sela bibirnya yang pecah.

"Hajar dia sampai konyol!" perintah Ronggokarapan pada anak-anak buahnya. Lalu dia duduk ke sebuah
kursi.

Yang pertama sekali turun tangan adalah Randuwongso. Kaki kanannya menendang punggung kepala
kampung yang masih terduduk nanar di lantai.

Bukk!

Tendangan mendarat di punggung Lawang Kuning. Orang tua ini menjerit mengenaskan. Tubuhnya
mencelat menghantam dinding kedai sebelah kamar lalu tergelimpang ke lantai. Dari mulutnya terdengar
suara erangan. Lalu diam. Entah pingsan entah mati.

Sesosok tubuh melompat ke hadapan Randuwongso.
"Bangsat! Kau mau apa?!" sentak Randuwongso ketika melihat ternyata Panji Kenanga yang
rnenghadangnya.

"Mau mematahkan kakimu yang tadi dipakai menendang!" jawab Panji Kenanqa geram.

"Sobat, jangan jadi orang tolol," berseru Ronggokarapan. "Aku sudah punya rencana bagus untukmu.

Biarkan saja tua bangka itu konyol. Tidak sekarang lusapun dia akan mampus juga!"
Panji Kenanga menyeringai. "Kalaupun orang tua ini mati, maka harus ada yang mengantarkannya ke
akheratl" Lalu secepat kilat Panji Kenanga kirim kan satu jotosan ke dada Randuwongso. Yang diserang
terkejut tak menyangka. Masih untung dia tidak ayal dan sempat mengelak. Perkelahian tak dapat dihindarkan
lagi di dalam kedal itu.

Semula Ronggokarapan hendak membentak menyuruh hentikan perkelahian itu. Namun selintas pikiran
muncul dalam benaknya. Dengan adanya perkelahian itu dia akan dapat melihat sampai di mana kehebatan
pemuda asing yang menurut rencananya hendak dijadikan tangan kanannya itu.

Baru berkelahi lima jurus Randuwongso sudah terdesak. Ini membuat perampok tersebut penasaran
sekali. Selama ini belum ada orang lain yang dengan tangan kosong sanggup mendesaknya begitu rupa
kecuali pemimpinnya.

Didahului satu bentakan garang Randuwongso berkelebat gesit mengirimkan serangan-serangan berantai
selama tiga jurus berturut-turut. Tampaknya Randuwongso menjadi nekat. Panji Kenanga berlaku hati-hati.

Dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai tingkat tinggi pemuda ini
berkelebat kian kemari sehingga tak satupun serangan lawan mengenai tubuhnya. Di lain pihak setiap ada
kesempatan Panji Kenanga tidak lupa untuk melancarkan serangan ba!asan yang cukup membuat Randu
menjadi repot.

Setelah berlalu beberapa jurus Panji mulai melihat kelemahan-kelemahan ilmu silat lawan. Pada satu
kesempatan yang paling baik murid Brahmana Lokapala itu keluarkan jurus yang disebut "sekuntum bunga
menebar harum." Kedua tangannya membuat gerakan berputar, terpentang ke samping laksana kitiran.

Randuwongso merundukkan kepala melihat serangan aneh itu lalu susupkan satu jotosan ke bagian
bawah tubuh lawan yang lowong.

Namun rampok ini kalah cepat. Tepi telapak tangan kiri Panji Kenanga mendarat lebih dulu di kuduknya,
membuat Randuwongso tersaruk ke muka hampir jatuh terjerembab di lantai kedai!

Randuwongso menggeram sakit. Tengkuknya kelihatan gembung merah. Ketika dia berdiri kembali
tampak miring. Sepasang bola matanya seperti bernyala-nyala. Kedua tinjunya terkepal.

"Bangsat! Kalau aku tidak dapat memuntir betang lehermu, biar aku berhenti jadi orang!"
Randuwongso sudah siap untuk menerjang Panji Kenanga. Namun saat itu dari arah pintu terdengar suara
tawa bergelak. Suara tawa ini membuat semua orang seperti disirap, tertegun di tempat masing-masing.

"Yang sudah mampus kalau bisa ingin hidup kembali! Kenapa yang masih hidup kepingin berhenti jadi
orang?! Kalau tidak sinting pasti sedeng!"

***

10

KETIKA semua orang memandang ke pintu, mereka melihat seorang pemuda berambut gondrong memasuki
kedai dengan langkah seenaknya dan sambil cengar-cengir. Hebatnya lagi, di bahu kirinya dia memanggul
sesosok tubuh perempuan muda berpakaian merah yang robek-robek di beberapa tempat hingga
menyembulkan kulitnya yang putih mulus.

Si pemuda melangkah ke sebuah meja di sudut ruangan. Diturunkannya tubuh perempuan yang
dipanggulnya lalu didudukkannya di atas kursi. Semua orang jadi terkesiap ketika menyaksikan wajah
perempuan muda itu. Cantik sekali! Tapi sepasang matanya terpejam, bibirnya berwarna biru. Sedang tidur,
pingsan atau tertotokkah dia, demikian setiap orang menduga-duga.

Pemuda itu memandang berkeliling. Meskipun ketika akan masuk tadi dia mengumbar tawa dan ucapan
lantang namun setelah sampai di dalam dia seperti acuh tak acuh saja dengan segala apa yang terjadi di situ.

Dia memandang berkeliling sekali lagi lalu menghentikan pandangannya pada orang tua bermuka pucat di
seberang sana.

"Bapak, kau pemilik kedai ini?" tanya si pemuda.

Ki Sepuh Bawean mengangguk. Agak takut-takut.

"Aku perlu kain untuk menutup tubuh gadis ini. Di samping itu perutku juga keroncongan ..."

Ki Sepuh Bawean memandang pemuda itu seketika. Dalam hatinya dia berpikir apakah manusia yang satu ini
orang benar atau bangsa sedang brengsek pula yang bakal menambah huru-hara di kedainya. Kemudian dia
memandang pula pada gadis berbaju merah yang duduk terpejam. Pakaiannya kotor dan robek-robek. Salah
satu robekannya demikian besar hingga pangkal payu daranya yang sebelah kiri kelihatan tarsembul dengan
jelas.

"Pak tua, lekaslah. Aku tak punya waktu banyak makan angin di kedaimu ini. Pertolonganmu pasti tak
akan kulupakan."

Ki Sepuh Bawean hendak beranjak dari tempatnya. Namun Ronggokarsrpan memberi isyarat dengan
larnbaian tangan agar pemilik kedai itu tetap di tempat semula.

Sambil rnenimang-nimang sebuah paha ayam goreng Ronggokarapan bertanya, "Orang asing, kau
siapa?"

"Maaf aku datang ke mari bukan untuk berbincang-bincang," jawab si pamuda lalu duduk di samping
gadis baju merah yang pingsan. Tentu taja semua orang jadi terkesiap mendengar jawaban pemuda tak
dikenal itu. Ronggokarapan sendiri kelihatan marah tampangnya dan duduk ternganga.

"Tambah lagi satu orang edan di kedai ini!" Taliwongso membuka mulut.
Si pemuda tak ambil perduli ucapan itu. Dia berpaling pada pemilik kedai, dan berkata lagi, "Pak, tolong
berikan apa yang kuminta."

Ki Sepuh Bawean jadi serba salah dan tak tahu apa yang akan dilakukan. Jika dia memenuhi permintaan
pemuda itu maka dia bakal mendapat hajaran dari Ronggokarapan dan anak anak huahnya. Sebaliknya jika
dia tidak menolong, hati kecilnya merasa kasihan terhadap tamu muda tersebut yang kelihatannya memang
letih, apalagi menyaksikan keadaan garlis yang duduk di kursi. Akhirnya pemilik kedai itu cuma bisa angkat
bahu.

Pemuda rambut gondrong itu berdiri.
"Aku tak salahkan engkau kalau takut pada manusia itu," katanya sambil menunding dengan ibu jari
tangan kiri ke arah Ronggokarapan. "Jangankan engkau, gorilapun pasti akan kabur melihatnya!"
Selama hidupnya baru kali itu Ronggokarapan dihina orang demikian rupa, apalagi di depan orang
banyak dan di muka hidung anak buahnya rendiri!

Tangan kanannya menggebrak meja hingga kayu meja pecah-pecah. Dia berdiri dengan tangan kiri
diletakkan di pinggang.

"Monyet gondrong! Berani menghina Ronggokarapan berarti berani menghadapi kematian!"

Si pemuda menyeringai. "Sudahlah, tak sedap bicara denganmu. Dari jauh saja bau mulutmu membuat
hidungku seperti mau tanggal!"

"Bangsat rendah!" teriak kepala rampok itu. "Mampuslah!" Ronggokaraprrn menggembor. Tangan
kanannya bergetar tanda ada tenaga dalam yang dialirkan ke situ. Tiba-tiba dia menghantam ke depan
kirimkan satu pukulan tangan kosong. Selarik angin keras menyambar ke arah dada si pemuda. Meja dan
kursi berpelantingan saking hebatnya. Bahkan beberarapa orang anak buah Rongglokarapan cepat menyingkir
takut terserempet angin pukulan itu.

Yang diserang rupanya juga bukan manusia sembarangan walau masih muda dan tampangnya kelihatan
tolol. Dengan satu gerakan kilat dia melompat seraya menyambar tubuh gadis yang didudukkannya di kursi.

Baru saja dia berkelebat dari tempat itu, kursi kosong itu hancur berantakan kena hantaman pukulan tangan
kosong Ronggokarapan. Dinding papan di belakangnya ikut pecah-pecah. Dapat dibayangkan bagaimana
kalau pukulan ganas tadi mengenai tubuh si gadis yang berada dalam keadaan tidak sadar diri itu!

Baik Ronggokarapan maupun si pemuda tampaknya sama-sama terkejut. Si pemuda tidak menyangka
kalau kepala rampok itu memiliki kepandaian yang begitu tinggi dan benar-benar inginkan nyawanya.

Sebaliknya gembong rampok Kali Bedadung itupun tidak mengira kalau si pemuda bakal sanggup
mengelakkan serangannya itu bahkan sekaligus mampu menyelamatkan gadis di atas kursi!

Diam-diam Ronggokarapan menyeluh. Mengapa hari ini dia sampai menemui dua orang pemuda yang
berkepandaian demikian tinggi. Urusan dengan pemuda pertama tadi belum selesai. Kini muncul satu lagi.

Apakah kedua orang ini punya hubungan satu sama lain?
Tanpa mengacuhkan kepala rampok itu, sambil memanggul tubuh gadis yang tak sadarkan diri, pemuda
berambut gondrong bergerak cepat menuju bagian belakang kedai.

"Hai! Kau mau kabur ke mana?!" bentak Ronggokarapan mengejar.

Di bagian belakang kedai si pemuda menemukan sehelai kain panjang tergantung. Benda ini segera
disambarnya dan dipergunakan untuk menutupi tubuh gadis yang dipanggulnya. Kemudian dengan cepat dia
mengumpulkan nasi serta lauk yang dapat ditemuinya di tempat itu, membungkusnya dengan daun dan
keluar.

Namun di hadapannya Ronggokarapan dan tiga anak buahnya telah menghadang. Dalam keadaan seperti
itu si pemuda masih saja bersikap luar biasa.

Tanpa rnengacuhkan orang-orang yang ada di depannya dia berkata pada Ki Sepuh Bawean. "Terserah
kau mau bilang aku pencuri. Perutku betul-betul lapar dan aku tak punya uang untuk membeli nasi serta lauk
yang barusan kubungkus ini. Kain panjang inipun kupinjam dulu. Atas kebaikanmu aku ucapkan terima
kasih. Budi baikmu pasti akan kuingat."

"Bangsat! Lagak bicaramu seperti pemain sandiwara keliling!" Yang membentak adalah Rongaokarapan.
Lalu tanpa banyak menunggu lagi dia tusukkan dua jari tangannya ke mata si pemuda. "Sebelum kubunuh
biar kubikin cacat dulu kau!"

"Terima kasih untuk seranganmu. Ini kuberi dulu hadiah menarik!" menyahuti si pemuda. Tahu-tahu kaki
kanannya sudah menderu ke perut lawan.

Bagaimanapun juga serangan kaki jauh lebih panjang dari serangan tangan. Akibatnya tendangan kaki itu
akan lebih dulu mencapai sasaran dari pada serangan tangan. Hal ini diketahui benar oleh Ronggokarapan.

Dengan gemas dia mendengus dan cepat mengelak ke samping kiri. Dari sini dia langsung susul serangannya
yang tadi batal dengan satu jotosan ke arah pelipis kanan pemuda berambut gondrong.
Kali ini si pemuda tidak punya kesempatan untuk mengelak karena kalau itu dilakukannya dia kawatir
pukulan lawan akan mengenai salah satu bagian tubuh gadis yang berada di panggulannya. Maka terjadilah
satu tontonan yang menarik. Pemuda rambut gondrong lemparkan bungkusan nasi yang dipegangnya ke
udara lalu dengan lengan kanan dia menangkis pukulan Ronggokarapan. Si kepala rampok lipat gandakan
tenaga dalamnya. Dia yakin sekali tangannya beradu dengan lengan si pemuda maka pemuda itu akan
terjengkang dengan tangan patah!

Sedetik kemudian dua lengan mereka saling beradu dengan mengeluarkan suara keras. Disusul oleh
keluhan kesakitan keluar dari mulut Ranggokarapan. Ketika dia meneliti ternyata lengan kanannya berwarna
merah dan bengkak sedang tubuhnya sendiri akibat bentrokan itu terpental sampai empat langkah!

Selagi lawan berdiri terkesima dan kesakitan pemuda rambut gondrong telah menangkap kembali
bungkusan nasi yang tadi dilemparkannya ke udara!

"Keroyok dia! Cincang sampai lumat!" teriak Ronggokarapan tiba-tiba.
Mendengar perintah itu delapan anak buah Ronggo termasuk dua bersaudara Wongso menyerbu. Ada
yang mengandalkan tangan kosong tapi kebanyakan merasa lebih aman dengan senjata di tangan.

"Sialan betul, lama-lama di sini aku bisa berabe! " si pemuda yang menjadi buian-bulanan serangan
mengomel dalam hati. Dia berteriak keras dan kelihatan tubuhnya mencelat ke atas hampir menyundul langitlangit
kedai. Di lain kejap selagi lawan terkejut bahkan ada yang bingung si pemuda lancarkan tendangan-tendangan
pada kepala atau dada lawan-lawannya yang berada di bawah.
Randuwongso muntah darah akibat kena tendangan tepat di dada kirinya, langsung roboh dan
tergelimpang tak sadarkan diri di lantai. Seorang lagi anak buah Ronggokarapan mencelat sambil menjerit.

Hidungnya melesak menghambur darah, bibirnya pecah dan giginya amblas akibat terkena hantaman tumit si
pemuda!

"Bunuh! Pateni!" teriak Taliwongao yang jadi beringas karane melihat saudaranya roboh tak berkutik dan
disangkanya sudah mati. Golok besarnya menderu membabat pinggul lawen sementara dua orang anggota
rampok lain kirimkan tusukan dari kiri kanan. Si pemuda berkelebat ke arah pintu. Dua tusukan dapat
dielakkannya, sambaran golok Talliwongso menggores bajunya. Ini membuat dia jadi penasaran dan sebelum
lawan memburu dia pindahkan bungkusan nasi ke tangan kiri.

"Setan alas! Kowe mau lari ke mana?!" teriak Taliwongso dan mengejar ke pintu karana menyarngka
lawan hendak lari.

"Rampok bau! Siapa bilang aku mau kabur. Silakan hadiahku ini!" teriak si pemuda lalu putar tangan
kanannya dan menderulah rangkuman angin

***

11

KEDAI Kayu yang tak seberapa besar itu laksana dilanda angin punting beliung. Benda-benda
berpelantingan. Enam anggota rampok terhuyung-huyung lalu jatuh satu demi satu. Taliwongso masih
sanggup bertahan dari hempasan angin dan dengan golok besar di tangan kembali menyerang lawan. Si
pemuda pukulkan tangan kanannya ke arah Taliwongso. Kali ini Taliwongo terjajar ke belakang lalu jatuh
terjengkang di antara anggota-anggota rampok lainnya.

Ronggokarapan kelihatan berkerut keningnya. Dia kerahkan seluruh tenaga yang ada agar jangan sampai
ikut terseret oleh gelombang angin yang menggebu-gebu itu. Tubuhnya bergetar. Pakaiannya berkibar-kibar.

Kumis dan cambang bawuknya berjingkrak!

Di sudut lain Panji Kenanga tegak dengan rangkapkan kedua tangan di depan dada. Diam-diam murid

Brahmana Lokapala ini juga kerahkan tenaga dalamnya agar jangan sampai kena tersapu sambaran angin
yang keluar dari tangan si gondrong. "Siapa adanya pemuda gagah ini!" tanya Panji Kenanga dalam hati. Jika
saja dia tidak memiliki ilmu yang tinggi pasti sudah sejak tadi terseret oleh gelombang angin.

Ronggokarapan yang juga memiliki ilmu silat dan tenaga dalam tinggi kerahkan kekuatannya namun tak
urung lututnya masih terasa goyah. Dia mengambil keputusan untuk menyerbu saja dari pada menderita malu
karena jatuh dilanda angin serangan lawan. Maka didahului satu bentakan keras kepala rampok Kali

Bedadung ini menerjang ke depan. Tangan kanannya dihantamkan ke arah lawan.
Selarik sinar hitam berkiblat ganas ke jurusan pemuda yang memanggul gadis. Setengah depa lagi sinar
ha am ini akan menghantam mati si pemuda, tiba-tiba dia balas menghantam dengan tangan kanan,
menyongsong datangnya sinar pukulan lawan. Serangkum angin yang padat dan berbuntal-buntal bulat
menderu. Dan punahlah sinar hitam Ronggokarapan dengan mengeluarkan suara mendesis.

Melihat pukulan "wesi hitam" yang amat diandalkannya dibikin musnah oleh lawan begitu mudah,

Ronggokarapan menjadi kecut dan lumer nyalinya. Apelagi saat itu ketika memandang berkeliling dilihatnya
anak-anak buahnya masih pada berjelapakan di lantai tiada daya sedang di ujung sana musuhnya yang lain
yakni Panji Kenanga tegak memandang mengejek ke arahnya.

Tengah kepala rampok ini berpikir-pikir untuk ambil langkah, seribu mendadak dirasakannya dadanya
amat sakit lalu satu bayangan berkelebat. Ronggo merunduk. Tapi terlambat. Satu tamparan mendarat di
keningnya, laki laki ini melintir lalu jatuh duduk di lantai dengan pandangan berkunang-kunang.

"Selamat tinggal Ronggokarapan. Lain kali kita bertemu lagi!" Terdengar seruan pemuda rambut
gondrong dan di lain kejap dia sudah lenyap lewat pintu kedai bersama gadis di atas panggulnya.

"Hebat sekali pemuda itu," kata Panji Kenanga dalam hati. "Bahkan agaknya dia belum mengeluarkan
seluruh kepandaiannya karena sikapnya berkelahi tadi seperti main-main saja." Lalu murid Lokapala ini
berpaling pada Ranggokarapan yang masih menjelapak di lantal kedai. Dan kagetlah Panji Kenanga ketika
menyaksikan bagaimana di kulit kening kepala rampok itu kelihatan tertera tiga buah angka yaitu : 212.

"Dua satu dua ...," desis Panji Kenanga sambil leletkan lidah. "Kalau begitu ... Jadi rupanya dialah yang
dijuluki Pendekar 212. Pantas ... Guru pernah menerangkan tentang dia. Sekarang melihat bagaimana
hebatnya dia benar-benar aku merasa masih jauh ketinggalan!"

Sementara itu Ronggokarapan dengan terhuyung-huyung mencoba berdiri diikuti oleh anakanak buahnya
kecuali Randuwongso yang masih menggeletak pingsan dan seorang lagi yang tadi sempat ditendang remuk
mukanya. Kepala rampok itu meneguk sisa-sisa tuak yang masih ada dalam salah satu kendi sekedar untuk
melegakan perasaan kecut serta sakit pada kepalanya. Kendi tuak kemudian dibantingnya hingga pecah di
lantai lalu kembali sifat ganasnya keluar.

"Lawang Kuning!" bentak Ronggokarapan. "Kemari cepat!"

Kepala kampung Warnasari yang masih ketakutan di sudut kedai tersentak kaget dan terbungkuk
bungkuk melangkah menghampiri kepala rampok itu Begitu kepala kampung itu sampai di hadapannya
tangan Rongpokarapan segera hendak melayang menamparnya, namun gerakannya dihentikan oleh seruan
tiba-tiba dari salah seorang anak buahnya!

"Pemimpin! Keningmu!"

Kepala rampok itu berpaling tak mengerti.

"Keningmu!" kini Taliwongso yang bicara sambil tepuk keningnya sendiri.

Ronggokarapan usap keningnya lalu memperhatikan tangannya. Hanya keringat yang dilihatnya
menempel di situ. Tak ada kotoran apa-apa seperti yang disangkanya. Taliwongso melangkah mendekati dan
dengan suara bergetar dia berkata,

"Ada tiga angka aneh tertera di keningmu."

"Hah, apa ...?!" dan Ronggokarapan kembali memegang keningnya. Mengusapnya berulang kali. Namun
deretan angka 212 itu tetap saja tak mau hapus.

"Kau jangan main-main Wongso! Angka keparat apa yang ada di keningku hah?!" Ronggokarapan marah
karena mengira dipermainkan.

"Demi setan aku tidak main-main. Di keningmu benat-benar ada angka dua-satu dan dua. Kalau tak
percaya tanyakan pada anak-anak!"

Kepala rampok itu berpaling pada anak-anak buahnya. Dan kesemua mereka sama melongo ketika
menyaksikan bahwa di kening pimpinan mereka saat itu memang terlihat guratan angka 212.

Ronggokarapan mengambil piring dan mengisinya dengan air putih. Lalu dia berkaca pada air di atas
piring itu. Dinginlah tengkuk pernimpin rampok ini ketika melihat bayangan wajahnya sendiri dengan tiga
buah angka hitam pada keningnya. Dia seperti mau kencing. Selama malang melintang menjadi orang jahat
ada beberapa tokoh golongan putih yang paling ditakutinya dan diusahakannya agar jangan sampai bertemu.

Salah satu diantara mereka adalah yang berjuluk Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212. Dan hari ini tiada di
sangka dia telah berhadapan bahkan berkelahi dengan pendekar tersebut. Serta meninggalkan angka
pengenalnya yang angker!

Kepala rampok Kali Bedadung itu kerahkan tenaga dalamnya dan coba menghapus tulisan di keningnya.
Namun sia-sia saja.

"Sekalipun kulit kepalamu dikelupas, angka-angka itu tak bakal hilang!" Yang bicara ini adalah Panji
Kenanga.

Ronggokarapan berpaling. Kini amarahnya ditumpahkannya pada pemuda yang satu ini.

"Pemuda keparat! Sudah saatnya kau musti mampus!"

Begitu membentak begitu dia menyerang dengan lepaskan pukulan "wesi hitam" yang mengeluarkan
sinar hitam dan deru ganas. Meskipun pukulan saktinya itu tadi tidak mampu menghadapi
Pendekar 212 Wiro

Sableng namun Ranggokarapan beranggapan Panji Kenanga tidak sedigdaya Wiro Sableng dan pasti konyol
dilanda pukulannya itu.

Namun tidak semudah itu merobohkan Panji Kenanga. Meski dia masih muda dan belum banyak
pengalaman tetapi Brahmana Lokapala dari gunung Raung telah menggemblengnya cukup hebat.
Ketika melihat kepala rampok itu lepaskan pukulan maut Panji Kenanga cepat menghindarkan diri ke
samping dan dari tempat kedudukannya yang baru pemuda ini membalas dengan satu tendangan kilat ke arah
tulang-tulang iga lawan.

"Kurang ajar!" maki Ronggokarapan penasaran bukan main karena bukan saja serangannya mengenai
tempat kosong tapi juga tidak menyangka kalau lawan bakal kirimkan seranqan balasan secepat itu. Dengan
sedikit repot dia meliukkan badan ke kiri dan di lain kejap selarik sinar putih memapas ke arah kaki Panji
Kenanga.

Murid Lokapala itu kaget dan cepat-cepat menarik pulang tendangannya. Ternyata Ronggokarapan
telah cabut golok besarnya dan membabatkan senjata itu ke kaki kanan si pemuda.
Ilmu golok kepala rampok ini memang hebat hingga Panji Kenanga harus bertindak hati-hati. Meski dia
tahu dengan kegesitan dalam ilmu meringankan tubuh senjata lawan tak bakal mencelakainya, namun Panji
tak mau main-main lebih lama dengan penjahat ini. Segera dia keluarkan seruling perak dari balik pakaiannya
dan pergunakan benda ini untuk menghadapi senjata lawan. Gerakan-gerakannya yang gesit, sambaran dan
tusukan-tusukan suling perak yang gencar membuat serangan Ronggokarapan jadi terbendung. Setiap saat dia
harus berlaku awas waspada. Beberapa kali pakaiannya hampir terkait ujung suling perak.

Beberapa jurus berlalu cepat. Permainan golok Ronggokarapan mulai mengendor bahkan kacau. Setiap
jurus dirinya diburu bahaya. Akhirnya ketika dia merasa tak mampu melayani pemuda itu lebih lama maka
dia berteriak beri perintah agar samua anak buahnya ikut bantu mengeroyok. Kecuali anggota rampok yang
mukanya melesak kena tendang Wiro Sableng, tujuh orang lainnya ditambah Randuwongso yang telah
siuman dari pingsannya kini mengurung Panji Kenanga lalu dengan senjata di tangan menyerang pemuda itu.
Panji maklum dikeroyok demikian rupa kalau hanya mengandalkan seruling pendek akan terlalu besar
bahayanya baginya. Dia tak mau berlaku takabur. Laksana seekor kucing hutan pemuda ini berkelebat ke kiri.
Satu jeritan terdengar. Tubuhnya mencelat, goloknya mental ke udara dan secepat kilat disambar oleh Panji

Kenanga. Dengan golok di tangan kanan dan seruling perak dipindah ke tangan kiri, murid Brahmana
Lokapala ini mainkan jurus-jurus ilmu pedang tingkat tinggi yang sudah dikuasainya.

Dalam satu gebrakari saja pemuda itu berhasil merobohkan seorang pengeroyok dan membabat putus
tangan kiri seorang lainnya. Namun demikian dia terpaksa melepaskan golok di tangan kanannya sewaktu
empat golok lawan secara serentak bentrokan dengan senjatanya. Tiga dari empat golok itu adalah yang
masing-masing dipegang oleh Ronggokarapan, Taliwongso, dan Randuwongso.

"Jangan tunggu lebih lama. Cincang keparat itu sampai lumat!" teriak Ronggokarapan.
Serempak dengan itu lima golok berkelebat menyerbu Panji Kenanga. Tiba-tiba selarik sinar biru
menderu dan trang ... trang ... trang! Tiga pengeroyok terpekik seraya melompat keluar dari kalangan
pertempuran dalam keadaan terluka parah. Satu diantararrya adalah Taliwongso. Pembantu kepercayaan

Ronggokarapan ini berdiri membungkuk sambil pegangi perutnya yang bobol dihantam pedang "Gajah Biru"
yang kini berada di tangan Panji Kenanga.

Taliwongso tak berumur lama. Dia roboh ke lantai. Menggetiat beberapa kali lalu tak bergerak lagi untuk
selama-lamanya. Dua rampok lainnya mengalami nasib sama. Mati di situ juga dimakan pedang mustika
pemberian Brahmana Lokapala.

Randuwongso seperti orang kemasukan setan ketika menyaksikan kematian saudaranya. Didahului satu
pukulan tangan kosong dia kirimkan bacokan ke arah kepala Panji Kenanga. Namun dengan pedang Gajah

Biru di tangan pemuda itu kini sulit untuk dihadapi. Sekali Panji mengiblatkan senjata mustikanya mentallah
golok besar di tangan Randuwongso bersama-sama sebagian telapak tanganya!

Dengan menjerit kesakitan dan memegangi tangannya yang kini buntung mengucurkan darah,
Randuwongso melompat keluar dari kalangan perkelahian. Sisa-sisa rampok yang mengeroyok dan sejak tadi
sesungguhnya sudah meleleh nyalinya sama-sama melompat keluar dari kalangan menjauhi Panji Kenanga.

Dengan demikian kini hanya Ronggokarapan seorang diri yang bertempur melawan Panji Kenanga. Dan
inipun tidak lama. Sesudah golok besarnya dibabat putus oleh pedang Gajah Biru kepala rampok ini lari ke
pintu dan memberi abaaba pada anak buahnya untuk melarikan diri. Yang masih sanggup kabur tentu saja
tidak sia-siakan kesempatan ini. Mereka tak perduli lagi akan kawan-kawan mereka yang tertinggal di dalam
kedai dan melolong minta tolong.

Sebelum Ronggokarapan dan anak-anak buahnya yang kabur lenyap Panji Kenanga masih sempat
berteriak.

"Kalau kalian berani lagi datang ke desa ini jangan harap bakal dapat ampunan dariku!"

***

12

DENGAN mengandalkan ilmu lari tingkat tinggi yang sudah mencapai kesempurnaannya, Pendekar 212

Wiro Sableng lari laksana angin. Hampir-hampir sulit untuk melihat kapan kedua kakinya menjejak tanah.
Dia cuma punya waktu 3 jam untuk harus mencapai tujuannya. Dalam gelap dan dinginnya malam dia lari
terus seperti tidak memperdulikan apapun. Di bahu kirinya sampai saat itu dia masih memanggul sosok tubuh
gadis baju merah yang berada dalam keadaan pingsan.

Siapakah gerangan adanya gadis cantik ini? Kenapa berada dalam keadaan begitu rupa dan lebih lanjut
kemanakah sebenarnya Wiro Sableng saat itu membawanya?

Untuk menjawab pertanyaan di atas kita kembali pada suatu tempat kira-kira setengah hari perjalanan
jauhnya di tenggara desa Warnasari. Saat itu sekitar dua jam setelah matahari tenggelam.

Sejak setengah bulan yang lalu Pendekar 212 Wiro Sableng telah mendengar terjadinya penculikan-
penculikan serta pembunuhan yang dilakukan secara kejam oleh manusia-manusia iblis yang menyebut
dirinya Hulubalang-hulubalang Darah. Sesuai dengan tujuan hidup serta maksud petualangannya di dunia
persilatan yaitu membela kaum tertindas, mempertahankan kebenaran serta menegakkan keadilan dan di lain
pihak membasmi setiap manusia jahat penimbul malapetaka, maka Pendekar 212 segera melakukan
penyelidikan. Pertama sekali dia harus mengetahui di mana letaknya Istana Darah itu. Tekadnya sudah bulat.

Istana Darah serta siapapun begundal-begundal yang ada di dalamnya musti dimusnahkan. Jika tidak dunia
persilatan akan mengalami malapetaka besar!

Dalam perjalanan inilah, setelah menyeberangi sebuah sungai dan menyusuri hutan kecil di tepi sawah
yang terletak 25 kilometer di tenggara Warnasari, Wiro mendengar derap kaki kuda di belakangnya. Segera
dia menghindar ke tepi jalan. Satu perasaan mendorongnya untuk menyelinap bersembunyi di balik sebatang
pohon sebelum derap kaki-kaki kuda itu datang lebih dekat.

Tak lama kemudian lewatlah seekor kuda coklat berbelang putih, ditunggangi oleh seorang dara
berpakaian merah. Untuk beberapa ketika pendekar kita dibikin terpesona oleh kecantikan paras gadis yang
tak dikenal itu. Namun mata Wiro yang tajam melihat bahwa di belakang kecantikan wajah si gadis terdapat
bayangan rasa cemas yang amat sangat.

Siapakah gerangan dara berbaju merah yang menunggangi kuda secepat itu? Kecemasan apa pula yang
mencekam dirinya?

Saat Wiro berpaling cepat-cepat ke jurusan kiri karena di ujung jalan terdengar derap kaki kuda.
Sepasang bola mata Pendekar 212 menyorotkan sinar aneh ketika melihat kuda dan penunggang yang muncul
dari ujung jalan itu. Kuda itu berwarna merah, penunggangnya juga mengenakan pakaian serba merah. Di
bawah topinya yang berbentuk tarbus merah kelihatan wajahnya yang seperti dicat merah menyeramkan. Bau
amat busuk menebar waktu penunggang kuda ini melewati pohon di belakang mana Wiro Sableng
mengendap.

"Pasti ini adalah salah seorang Hulubalang Istana Darah," kata Wiro dalam hati, "tampaknya dia
mengejar gadis tadi." Tidak menunggu lebih lama Wiro keluar dari balik pohon dan dengan mempergunakan
ilmu larinya segera mengejar dari belakang. Di satu pendakian jarak antara gadis berkuda coklat dan
pengejarnya hanya tinggal beberapa tombak saja. Si muka merah berteriak memerintah agar orang yang
dikejar berhenti. Sebagai jawaban si gadis melambaikan tangan kanannya ke belakang. Terdengar suara
desingan halus. Kira-kira dua lusin senjata rahasia melesat ke arah si muka merah.

"Kurang ajar!" desis si muka merah seraya lambaikan ujung lengan pakaiannya. Serangkum angin
menderu dan berpelantinglah senjata-senjata rahasia yang menyerangnya. Di lain kejap manusia itu
memukulkan tangan kanannya. Di lain kejap Wiro Sableng melihat bagaimana kuda coklat putih yang
ditunggangi sang dara roboh di puncak pendakian dan terguling-guling ke bawah. Gadis berbaju merah
berhasil selamatkan diri dengan jalan melompat.

"Manusia puntung neraka!" bentak sang dara begitu pengejarnya sampai di hadapannya. "Kau kira aku
takut padamu?" Lalu dari balik bajunya dia keluarkan segulung cambuk.

Si muka merah tertawa mengekeh.

"Kalau kau tidak keras kepala kau bakal mendapat tempat yang bagus di Istana Darah bersamaku!

Kecuali kalau memang sengaja mencari celaka!"

"Manusia terkutuk! Kaulah yang bakal celaka!" hardik sang dara. Lalu terdengar suara laksana petir
menyambar ketika dia hantamkan cambuknya ke arah batang leher si muka merah.

"Gadis tolol! Adatmu tidak beda dengan kau punya guru! Kalau hari ini aku belum dapat membuat
perhitungan dengan si keparat tua itu, biar kau yang jadi muridnya harus menerima celaka lebih dulu!"

Sekali si muka merah itu gerakkan tangannya maka dia berhasil menyentak lepas cambuk yang saat itu
menyambar batang lehernya! Gadis baju merah terkejut bukan main. Gerakan pukulan cambuk yang tadi
dilepaskannya adalah satu serangan kilat yang selama ini selalu mengenai sasarannya. Tapi sekali ini bukan
saja gagal malah senjatanya kena dirampas lawan! Hati sang dara menjadi cemas bukan main. Sementara itu
si muka merah sudah melompat turun dari kudanya. Si gadis dengan nekad kirimkan serangan kedua berupa
pukulan tangan kosong. Namun sebelum dia sempat bergerak dilihatnya segulung asap biru keluar dari mulut
si muka merah dan menghembus ke arahnya.

"Akh ... "

Hanya itu suara yang bisa dikeluarkan si gadis lalu tubuhnya melosoh dan terhantar ke tanah.
Dikeluarkannya seluruh kekuatannya yang ada, berusaha agar jangan jatuh pingsan. Sementara itu
pemandangannya menjadi gelap, wajahnya mulai pucat dan bibirnya bergetar, mulai berubah warna rnenjadi
kebiru-biruan. Pakaiannya robek-robek ketika tersentuh asap biru aneh tadi. Si muka merah tertawa gelak-
gelak.

"Gadis! Umurmu hanya tinggal lima jam! Menjelang kematianmu kau bakal merasakan siksaan luar
biasa. Urat-urat dan saluran darah dalam tubuhmu laksana digigit oleh ratusan semut rangrang.

Ha…ha…ha…!"

Suara gelak tawa si muka merah serta merta terhenti ketika di belakangnya terdengar satu bentakan.

"Manusia terkutuk! Kejahatanmu lebih terkutuk dari iblis!"

"Heh! Setan dari mana magrib-magrib begini berani mendampratku?" ujar si muka merah seraya
memalingkan kepala. Diam-diam dia merasa terkejut karena adalah aneh baginya kalau ada seorang berada di
tempat itu tanpa dia sempat mengetahui lebih dulu.

"Kau apakan gadis itu?!"

Si muka merah mengerenyit dan memandang tajam-tajam pada seorang pemuda berambut gondrong
berpakaian putih yang tegak delapan langkah di hadapannya. Karena hari sudah agak gelap dia tidak dapat
melihat jelas wajah si pemuda namun dia yakin belum pernah mengenal pemuda ini sebelumnya. Siapakah
sebenarnya manusia berpakaian serba merah dan yang mukanya dicat merah ini.

Dari ciri-cirinya sudah dapat dipastikan bahwa dia adalah salah seorang Hulubalang Istana Darah dan
yang satu ini merupakan Hulubalang Darah Kesatu. Hulubalang Darah Ketujuh saja sudah kita saksikan
kehebatan ilmunya, apalagi Hulubalang Darah Kesatu ini. Nyatanya meskipun gadis berbaju merah tadi
adalah murid seorang sakti mandraguna namun dengan mudah Hulubalang Darah Kesatu merobohkannya. Di
lain pihak siapa pula adanya pemuda berambut gondrong yang tegak di depan Hulubalang Darah Kesatu saat
itu? Dia bukan lain adalah Pendekar 212 Wiro Sableng!

"Bedebah! Majulah ke tempat lebih terang agar aku dapat memastikan apakah kau manusia atau benarbenar
setan kesasar!'' Hulubalang Kesatu membentak.
"Kau apakan gadis itu?" Wiro mengulangi pertanyaannya.
Hulubalang Darah Kesatu kertakkan rahang. "Dirimu punya sangkut paut dengan dia?"

Pendekar 212 menyeringai.

"Yang aku tahu…," kata si gondrong dari Gunung Gede ini, "ialah bahwa aku punya sangkut paut dengan
kejahatan laknatmu!"

Habis berkata begitu Wiro Sableng menerjang ke muka serta melepaskan pukulan "kunyuk melempar
buah."

Hulubalang Darah Kesatu tak menyana kalau lawan semuda itu bakal memiliki pukulan meyakinkan
begitu rupa. Kontan dia keluarkan pekik garang dan tubuhnya lenyap dari pandangan.

"Keparat! Mau lari ke mana bangsat merah ini!" maki Wiro dalam hati dan tiba-tiba saja dia dikejutkan
oleh berkelebatnya lima jari tangan berkuku-kuku panjang. Hampir saja Pendekar 212 mendapat celaka
dalam gebrakan pertama itu kalau dia tidak lekas-lekas membuang diri ke samping. Karena hari sudah mulai
gelap Wiro tak sempat melihat bahwa lawannya memiliki sepuluh jari tangan berwarna merah yang
ditumbuhi kuku-kuku panjang macam cakar garuda!

Bukan main marahnya Hulubalang Darah Kesatu ketika melihat bagaimana serangannya yang bernama

"lima cakar sakti meremas bumi" dapat dielakkan oleh lawannya yang disangkanya hanya seorang manusia
tolol mau mencari mati.

"Manusia edan! Kau benar-benar terlalu berani mgncari mati! Terlalu gegabah mencari urusan denganku! Atau kau belum tahu siapa aku?!"

Pendekar 212 Wiro Sableng tertawa mengejek.

"Manusia muka merah! Aku cukup kenal siapa kau! Dan perlu kau ketahui sejak lama aku punya niat
membasmi Hulubalang-hulubalang keparat macammu dan memusnahkan Istana Darah. Kau adalah korbanku
yang pertama!"

Mendengar ucapan itu Hulubalang Darah Kesatu tertawa bekakakan. Sambil menepuk dada dia berkata,

"Dalam Istana Darah, 24 tokoh-tokoh sakti dan terkenal sudah menemui kematiannya. Hari ini seorang
bocah bau air tetek mimpi hendak menghancurkan Istana Darah. Sungguh aneh dunia ini. Ha... ha ha ... !"

"Mimpi atau bukan kau terimalah pukulanku ini!" teriak Wiro lantang. Begitu tangan kanannya
digerakkan menderulah angin dahsyat laksana topan prahara mengamuk. Pohon-pohon di sekitar situ
berderak patah dan tumbang dengan mengeluarkan suara riuh.

Gadis baju merah yang terhampar di tanah terguling ke dekat pematang sawah.
Itulah pukulan "benteng topan melanda samudera" yang telah dilepaskan Wiro Sableng dengan
mengandalkan setengah bagian tenaga dalamnya.

Sebagai tokoh berkepandaian tertinggi di antara Hulubalang-hulubalang Istana Darah, Hulubalang Darah

Kesatu kaget bukan main menyaksikan pukulan pemuda tadi. Sepasang lututnya terasa bergetar dan sebelum
tubuhnya ikut tersapu oleh pukulan lawan cepat-cepat dia mengerahkan tenaga dalamnya ke kaki hingga
walau bagaimanapun hebatnya serangan Wiro namun kedua kaki-nya laksana gunung karang menancap
dalam tanah, tak sanggup digetarkan sedikitpun!

"Ha ... ha .., apa sudah seluruh tenaga dalammu kau keluarkan?" ejek Hulubalang Darah Kesatu. Dia
sama sekali tidak menduga kalau Wiro baru kerahkan setengah bagian saja dari kekuatan tenaga dalam yang
dimilikinya. Murid Sinto Gendeng ini jadi penasaran. Didahului satu suitan melengking memecah langit di
malam gelap itu, Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya.

Hulubalang Darah Kesatu menjadi kaget ketika dirasakannya bagaimana kedua kakinya mendadak
menjadi gontai dan tubuhnya perlahan-lahan bergetar terhuyung-huyung.

Hulubalang Darah keluarkan bentakan menggeledek. Kedua tangannya dipukulkan ke depan. Dua larik
sinar merah yang bukan lain merupakan semburan api panas luar biasa, menderu melabrak ke arah Wiro

Sableng. Pendekar 212 tidak berlaku ayal. Kedua tangannya segera pula dipukulkan ke depan. Maka
terdengarlah suara berdentum. Bumi laksana digulung lindu. Pohon-pohon bertumbangan. Hulubalang Darah
Kesatu terguling-guling di tanah. Dia mencoba bangun dengan cepat tapi sempoyongan dan jatuh lagi.

Dadanya sebelah dalam mendenyut sakit. Cepat-cepat dia duduk bersila dan pejamkan mata mengatur jalan
darah serta nafas dan mengalirkan tenaga dalam dari pusar ke dada.

***

13

SEWAKTU bentrokan dua pukulan sakti itu terjadi, Pendekar 212 Wiro Sableng merasakan tanah yang
dipijaknya laksana digoncang gempa. Kedua kakinya melesak sampai lima senti. Lututnya goyah dan dalam
keadaan tubuh terhuyung-huyung akhirnya dia jatuh duduk di tanah. Meskipun semburan dua gelombang api
lawan sanggup dimusnahkannya namun sekujur kulit tubuhnya terasa perih oleh hawa panas luar biasa
pukulan lawan.

Seperti Hulubalang Darah Kesatu, pendekar kita inipun cepat-cepat duduk bersila untuk mengatur jalan
nafas dan darah serta mengalirkan tenaga dalam ke bagian-bagian tubuh terpenting.

Begitu keadaannya pulih kembali Hulubalang Darah Kesatu cepat melompat dan berdiri bertolak
pinggang. Sepasang matanya berapi-api memandang tak berkedip pada Pendekar 212. Wiro sendiri saat itu
sudah berdiri pula dan menunggu dengan penuh waspada.

"Rambut gondrong!" tegur Hulubalang Darah Kesatu sambil bertolak pinggang. "Kulihat kau barusan
melepaskan pukulan benteng topan melanda samudra! Apa hubunganmu dengan Sinto Gendeng dari Gunung
Gede?!"

Wiro Sableng diam-diam terkejut melihat lawan mengenali ilmu pukulan serta nama gurunya. Tapi dia
tenang-tenang saja dan tidak memperlihatkan rasa terkejutnya itu. Tak dapat tidak si muka merah ini pasti
orang tokoh silat terkenal dan berusia lanjut. Memang sebenarnya Hulubalang Darah Kesatu sudah berusia
harnpir 80 tahun. Namun karena mukanya dicat dengan darah yang telah membeku maka keriput-keriput
ketuaannya tidak kelihatan. Demikian pula rambutnya yang seharusnya berwarna putih macam saiju selain
tertutup tarbus juga telah dicelup dengan darah.

Puluhan tahun silam Hulubalang Darah Kesatu dikenal dengan nama Waranawikualit dan merupakan
tokoh silat kelas satu yang disegani di kawasan Jawa Barat. Namun karena sikapnya yang culas dan suka
berkhianat terhadap kawan sendiri, tokoh-tokoh silat golongan putih boleh dikatakan rata-rata membencinya.

Akibat tidak diterimanya dirinya oleh kaum putih, maka makin lama Waranawikualit semakih jauh tersesat
ke dalam dunia hitam dan akhirnya melalui liku-liku pasang surut dunia persilatan dia sampai di Jawa Timur
dan memegang jabatan Hulubalang Darah Kesatu di Istana Darah yang menjadi sumber malapetaka sejak
akhir-akhir ini.

Wiro Sableng tertawa bergumam.

"Kau kenal ilmu pukulanku tadi, muka merah? Bagus ... bagus sekali! Dan lebih bagus lagi kalau kau
kenal nama guruku. Tapi apa kau sudah kenal jalan ke neraka ...?"

Paras Hulubalang Darah menjadi tambah marsh mendengar kata-kata itu. Sebaliknya Wiro Sableng
tertawa gelak-gelak. "Bilang saja terus terang bahwa kau belum tahu jalan ke neraka. Tuan besarmu ini pasti
akan menunjukkan padamu!"

"Bedebah!" bentak Hulubalang Darah Kesatu merah bukan main diejek begitu rupa. Sepuluh jari
tangannya yang berkuku panjang dipentang. Didahului oleh gelegar lengekingan yang keluar dari
tenggorokannya, manusia ini menjentikkan ke sepuluh jari tangannya dan sepuluh jalur asap yang saling
bersilangan menderu. Silangan-silangan itu semakin banyak karena jalur asap merah itu cepat sekali
memecah menjadi puluhan hingga dalam tempo sekejap saja jalur-jalur asap merah itu tak bedanya seperti
sebuah jaring yang menyerbu ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng!

"Ilmu setan apa pula ini!" kata Wiro dalam hati lalu lepaskan satu pukulan ke arah jaring asap merah.
Hebatnya jaring asap merah itu bukannya punah melainkan pecah dan semakin melebar serta semakin cepat
menyambar ke arah Wiro. Pemuda kita keluarkan siulan nyaring. Melompat ke belakang sejauh satu tombak
dan dari tempat kedudukan yang baru melepaskan satu pukulan tangan kosong yakni pukulan "kunyuk
melempar buah". Namun pukulan inipun percuma saja karena semakin membuat tambah banyaknya jalurjalur
asao merah yang berarti semakin melebar pula dan siap menelan Wiro Sableng.

Hulubalang Darah Kesatu tambahkan kekuatan tenaga dalamnya. Dengan mengeluarkan suara menderu
asap merah bergerak tambah cepat dan kini hanya tinggal beberapa jengkal saja lagi.

Wiro cepat angkat kedua telapak tangannya dan memompa tenaga dalam. Di antara deru serangan asap
merah, terdengar pula deru dua gelombang angin menyapu ke depan. Pukulan "dinding angin berhembus
tindih menindih" yang dilepaskan Pendekar 212 untuk sesaat berhasil membendung serangan yang aneh
berbahaya itu. Namun ketika Hulubalang Darah melipat gandakan tenaga dalamnya maka runtuhlah benteng
pertahanan lawan dan secepat kilat jaring asap merah menyambar tubuhnya sebelah kiri!

Pemuda ini terpukul dan terhuyung sementara dari kanan ujung jaring dengan cepat datang pula
menyambar. Tentu saja Wiro tak mau mendapat hantaman kedua kali. Karena hentaman pada tubuh sebelah
kiri telah membuat bagian tubuh di sebelah situ menjadi kaku tak bisa digerakkan!

Didahului oleh siulan nyaring Wiro hantamkan tangan kanannya ke arah jaring. Sinar putih menyilaukan
berkelebat. Di belakang sana Hulubalarg Darah Kesatu terdengar keluarkan seruan tertahan. Pukulan "sinar
matahari" yang dikeluarkan Wiro bukan saja menghancurleburkan jaring maut yang amat diandalkannya, tapi
hampir saja menghantam lengannya jika dia tidak buru-buru menghindar.

Wiro kirimkan pukulan tangan kiri sebagai susulan namun saat itu Hulubalang Darah telah lenyap dari
tempatnya, lenyap bersamaan dengan musnahrrya jaring asap aneh tadi.

Wiro kertakkan rahang tanda geram. Dia kemudian ingat pada gadis baju merah yang tadi tergulingguling
akibat angin pukulan. Cepat-cepat dia menuju pematang sawah. Namun untuk sesaat langkahnya
terhenti karena saat itu dilihatnya dua sosok benda hitam terhampar di tengah jalan. Ketika diteliti ternyata
adalah dua ekor kuda. Yang pertama kuda coklat belang putih milik si gadis. Satunya berwarna merah milik

Hulubalang Darah. Ternyata sebelum kabur Hulubalang Darah sempat membunuh kedua binatang yang tak
berdosa itu.
Wiro dapatkan gadis baju merah terhantar di tepi pematang sawah. Sekelompok akar pohon mengganjal
tubuhnya hingga tak sampai kecemplung ke dalam lumpur sawah. Wiro mendukung tubuhnya dan
menyandarkan pada sebatang pohon. Kedua mata si nadis terpejam. Bibirnya yang membiru sedikit terbuka.

Mukanya pucat pasi. Pakaiannya robek-robek.

Wiro menarik nafas sesak. Dipegangnya kedua lengan si gadis. Dia maklum kalau dalam tubuh gadis itu
mengendap racun jahat luar biasa yang bakal menamatkan riwayatnya jika tidak lekas rnendapatkan
pertolongan.

Aliran tenaga dalam Wiro menghangati tubuh dara itu. Namun kemudian dirasakan oleh si pemuda itu
bagaimana racun yang mengendap dalam tubuh si gadis memusnahkan hawa hangat itu dan walau
bagaimanapun dicoba untuk mengimbanginya tetap saja gagal. Wiro ingat pada Kapak Maut Naga Geni 212
yang tidak mempan segala macam racun. Cepat dikeluarkannya senjata itu dan hulunya yang berbentuk
kepala naga serta terbuat dari gading digenggamkannya ke tangan dara berbaju merah. Hawa panas mengalir
ke segenap bagian tubuh sang dara, namun tak lama kemudian kembali sirna.

"Racun jahat luar biasa!" kata Wiro dan menjacli bingung bagaimana caranya menyelamatkan jiwa gadis
ini.

Tiba-tiba didengarnya si gadis menggerang. Di antara erangan itu keluar ucapan terpatah-patah. "Guru ...
mu ... muridmu mohon maaf dan direlakan. Mung... mungkin kita ... kita tak bisa bertemu la ... lagi..."

Wiro ingat pada beberapa butir obat yang dibawanya. Cepat-cepat benda ini dikeluarkannya dan
dimasukkannya ke dalam mulut si gadis. Gadis baju merah terkejut dan hendak menyemburkan obat itu.

"Jangan buang. Telan…!" kata Wiro. "Mungkin obatku itu bisa menolong... "

Si gadis coba membuka kedua matanya. Tetapi tak mampu.

"Telanlah cepat. Siapa tahu bisa menolong."

Dengan obat masih dalam mulut si dara bertanya, "Kau ... kau siapa yang hendak menolongku ...?"

"Jangan habiskan waktu dengan segala pertanyaan tak berguna. Telan obat itu cepat."

Sang dara agak meragu sesaat lalu gelengkan kepalanya. "Percuma…" desisnya.

"Percuma atau tidak telan dulu," ujar Wiro.

Akhirnya si gadis menelan obat itu. Sesaat kemudian dia berkata lagi. "Tak ada guna ... percuma saja. Ra... racun yang mengindap di tu ... buhku adalah
racun waja biru. Hanya dua orang yang bisa
menyelamatkanku. Tapi... tak mungkin... "

"Siapa kedua orang itu?" Wiro mengulangi pertanyaannya.

"Waranawikualit ...," bisik si gadis.

"Siapa dan di mana tempatnya?"

"Orangnya manusia muka merah yang tadi menyemburkan racun itu padaku ..."

Wiro gigit bibir. Tentu saja manusia terkutuk itu tak bakal mau memberi pertolongan. "Yang satunya
lagi?" tanya Wiro kemudian.

"Gu... ruku sendiri... "

"Di mana beliau sekarang?"

Sang dara tarik nafas sesak. "Tak mungkin ...," katanya perlahan.

"Apa yang tak mungkin ...?"

"Tak mungkin kau bisa menolongku ... "

"Kenapa tidak mungkin?" tanya Wiro tak sabaran.

"Tempatnya jauh dari sini. Sebelum sampai aku sudah mati di ... tengah ... jalan ... "

"Kita harus mencoba. Katakan di mana tempat gurumu," Wiro mendesak.

"Danau Jembangan," menerangkan si gadis. Wajahnya semakin pucat. Tiba-tiba mulutnya membuka
lebar. Sikapnya seperti orang mau muntah. Tapi yang keluar, dari mulutnya adalah satu teriakan yang
mengerikan. Tubuhnya kemudian miring ke kanan dan hampir roboh ke tanah jika tidak lekas dipegang oleh

Wiro. Pemuda ini terkejut. Menyangka si gadis sudah menemui ajal. Tapi ketika diperiksa ternyata cuma
pingsan.

Danau Jembangan memang jauh dari situ. Orang biasa dengan menunggang kuda setengah hari baru
akan sampai ke situ. Namun Wiro tidak kawatir. Dengan mengandalkan ilmu lari "seribu kaki" dia yakin bisa
sampai ke sana paling lama dalam tempo empat jam. Karenanya tanpa membuang waktu lagi murid Sinto

Gendeng ini segera memanggul tubuh si gadis dan meninggalkan tempat itu menuju ke utara.
Dalam perjalanan menuju Danau Jembangan itulah Wiro melewati kampung Warnasari. Dengan perut
kosong dan tubuh letih dia memutuskan untuk mampir ke kedai Ki Sepuh Bawean yang justru pada saat itu
tengah didatangi oleh gerombolan Ronggokarapan hingga terjadi pertempuran yang membawa korban jiwa.

***

14

DANAU Jembangan terletak di satu dataran randah yang dikelilingi oleh hutan bakau. Di bagian timur danau
ada sebuah rakit dari rotan-rotan besar. Di atas rakit ini berdiri sebuah bangunan ' tinggi macam menara yang
keseluruhannya juga terbuat dari rotan.

Dengan tubuh basah mandi keringat serta nafas memburu Wiro Sableng datang berlari dari jurusan barat.

Pada saat itu di atasnya terdengar suara pekik aneh. Ketika dia mendongak dilihatnya seekor burung elang
merah bertengger di ujung ranting sebatang pohon. Sepasang matanya yang hijau menyorot tajam ke arah

Wiro dan berkilai-kilai ditimpa sorotan sinar matahari yang baru terbit.

"Aneh," kata Wiro dalam hati. "Sejak dinihari tadi burung itu terbang mengikutiku."
Tiba-tiba elang itu kembali memekik keras menyakitkan telinga. "Hebat sekali suara pekiknya," kata

Wiro pula. Lalu tanpa memperdulikan lagi binatang itu dia segera lari ke jurusan timur danau. Di atasnya
kembali elang merah terbang mengikuti dan terus-terusan mengeluarkan suara pekikan bising.

"Binatang celaka ini mengganggu saja," kata Wiro mulai kesal. Sambil itu digerakkannya tangannya ke
atus untuk memukul namun sesuatu mendadak meluncur menyambar kedua kakinya, membuatnya terkejut
dan cepat melompat. Ketika diteliti ternyata serumpun akar bakau hampir saja menyerandungnya.
Ini adalah satu keanehan. Semula Wiro menyangka yang meluncur ke arah kakinya itu tadi adalah ular
namun nyatanya akar bakau. Dapatkah tanaman yang tidak memiliki daya gerak itu meluncur aneh demikian
rupa? Sementera itu di atas kepalanya elang merah masih terus terbang berputar-putar sambil tiada hentinya
berkuik-kuik. Lagi kebingungan begitu tiba-tiba satu sambaran angin menerpanya dari belakang.
Wiro cepat melompat menghindarkan diri. Untuk kedua kalinya pula pendekar ini dibuat terkejut karena
sambaran angin keras tadi ternyata disebabkan oleh batang-batang pohon bakau yang secara aneh berjatuhan
ke tanah.

"Kalau tidak ada yang mengendalikan mustahil pohon-pohon ini bisa bergerak," pikir Wiro. Dia
memandang berkeliling namun tak seorangpun kelihatan. Akhirnya dengan jalan kaki biasa Wiro lanjutkan
perjalanannya menuju bangunan rotan di tepi timur danau.

Sejarak dua puluh langkah dari bangunan itu tiba-tiba di sekelilingnya terdengar suara menderu. Pohonpohon
bakau yang berjajaran di tempat itu bergerak seperti tangan-tangan gurita, menggelung ke arah tubuh
Wiro Sableng!

"Kurang ajar! Apa-apaan ini?!" seru Wiro lalu dengan cepat menghantamkan tangan kanannya melepas
pukulan "benteng topan melanda samudera". Serta merta tanaman yang hendak menjirat tubuhnya mental
pecah-pecah. "Gila!" maki Wiro sambil garuk-garuk kepalanya.

Semakin dekat ke bangunan di tepi danau samekin waspada dia. Tapi nyatanya sampai jarak lima langkah
dari bangunan rotan itu tidak terjadi apa-apa. Dengan cepat ditelitinya keadaan. Satu-satunya jalan masuk
adalah sebuah pintu yang terletak di sebelah
atas bangunan. Jarak pintu dengan tepi danau hanya tujuh tornbak. Ini bukan satu hal yang sulit bagi
Wiro untuk melompat masuk ke situ sekalipun dengan memanggul tubuh gadis yang pingsan di bahu kirinya.

Namun ketika dia hendak melompat sejenak hatinya menjadi bimbang. Mungkinkah dia telah datang ke
tempat yang salah. Mungkin danau di hadapannya ini bukan Danau Jembangan. Lalu apa artinya semua
rintangan-rintangan aneh yang barusan dialaminya?

Setelah menetapkan hati, dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya, laksana seekor burung

Wiro Sableng melompat ke udara den melayang ms nuju pintu di puncak bangunan rotan. Namun sebelum
dia mencapai pintu tersebut, dari samping berketebat satu bayangan merah yang langsung menyambar ke arah
lehernya!

Dalam terkejut yang amat sangat Wiro Sableng masih sempat memiringkan tubuh namun daya lesatnya
ke atas sudah agak berkurang hingga mau tak mau pendekar ini terpaksa melompat ke sampirg dan
mempergunakan sebuah cabang pohon untuk menjejakkan kaki lalu melesatkan tubuhnya kembali ke udara.

Rasa penasaran mendapat serangan yang aneh itu membuat Wiro marah bukan main. Lebih-lebih ketika
diketahuinya bahwa yang menyerang temyata adalah elang marah yang rupanya masih terus mengikutinya.

Dan saat itu dari arah atas dilihatnya binatang itu menukik tajam. Jari-jarinya yang berkuku pinjang tajam
terpentang lebar sedang paruh lurus siap untuk mengirimkan satu patukan keras!
"Binatang celaka ini kalau tidak dilenyapkan bisa bikin aku susah," kata Wiro geram lalu memukulkan
tangannya ke atas, melancarkan pukulan "kunyuk melempar buah."

Namun untuk kesekian kalinya pendekar kita ini melengak. Dengan satu gerakan cekatan elang merah itu
berkelit mengelakkan pukulan, lalu dengan kecepatan luar biasa berbalik kembali menyambar ke arah perut
Wiro!

"Kurang ajar! Jangan harap kali ini kau bisa selamat!" kata Wiro dan bersiap lepaskan satu pukulan lagi.

Tiba-tiba dari puncak bangunan berbentuk menara yang terbuat dari rotan terdengar seruan nyaring.

"Sultan! Hentikan seranganmu. Dan kau pemuda asing masuklah kemari!"

Elang merah yang hendak menyerang Wiro keluarkan suara menguik keras lalu berbalik cepat dan
hinggap di puncak menara bangunan. Terheran-heran Wino melesat masuk ke pintu. Ruangan di puncak
rnenara rotan itu tidak seberapa besar dan kalau saja dia tidak lekas-lekas menahan daya dorongan tubuhnya
hampir saja dia menabrak seorang lelaki tua yang terbaring di atas sebuah tempat tidur rendah terbuat dari
rotan.

"Pemuda asing, kau siapakah! Apa kedatanganmu kemari membawa maksud baik atau buruk? Dari
sambaran angin yang tak seimbang yang keluar dari gerakanmu waktu masuk ke sini, kau tentu membawa
sesuatu di bahu kirimu!"

Saking terkejutnya Wiro Sableng sampai berdiri dengan mulut menganga. Betapakan tidak karena
dilihatnya orang tua yang barusan bicara itu buta kedua belah matanya! Dan bukan itu saja, orang tua yang
berambut putih bermata buta ini, buntung kedua kakinya sebatas lutut sedang kedua tangannya terbelenggu
oleh rantai besar berwarna biru. Dalam keadaan begitu rupa bagaimana dia bisa berada di bangunan yang
tinggi itu!

"Orang tua, sebelumnya aku ingin tanya dulu. Apakah danau di luar sana adalah Danau Jembangan?"

Wiro bertanya untuk mendapatkan kepastian.

"Betul!" jawab si orang tua pendek. Lalu sambungnya. "Cepat terangkan siapa kau. Apa yang kau bawa
dan apa maksudmu kemari. Jika membawa niat buruk sebaiknya lekas-lekas angkat kaki dari sini!"

"Namaku Wiro. Aku ... "

"Tunggu dulu!" orang tua buta itu cepat memotong. "Apakah kau bukannya si Sableng yang bergelar

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212?"

Wiro terkesima. "Kira-kira begitulah ...," katanya menyahuti.

Tiba-tiba orang tua itu berseru girang dan sekali bergerak tahu-tahu dia sudah duduk di atas pembaringan
rotan.

"Lekas tolong aku! Keluarkan Kapak Naga Genimu dan potonglah rantai yang membelenggu kedua
tanganku ini. Bertahun-tahun aku menunggu kedatanganmu. Kini aku bebas! Bebas! Karena hanya kapak
saktimu itu yang sanggup memotong putus belenggu celaka ini!"

Wiro berdiri bingung dan si orang tua kembali menyuruhnya agar segera mengeluarkan Kapak Naga
Geni 212. Dengan hati sedikit meragu karena kawatir orang tua itu akan menipunya, akhirnya Wiro keluarkan
senjatanya dari balik pakaian. Sinar putih menerangi ruangan rotan itu. Dengan air muka berseri-seri si orang
tua mengulurkan kedua tangannya yang terbelenggu.

"Potonglah cepat!" katanya.

Wiro maju mendekat.

Dalam keadaan lebih dekat begitu si orang tua dapat merasakan hembusan nafas gadis berbaju merah
yang pingsan di bahu kiri Wiro.

"Hai!" seru orang tua itu. "Kau memanggul seseorang di bahu kirimu. Siapa dia!"

"Aku sendiri tak tahu namanya. Tapi dia mengaku muridmu... "

Si orang tua kerenyitkan kening.

"Apakah dia seorang dara berpakaian serta merah?" tanya si orang tua.

"Apa yang telah terjadi atas dirinya?"

Maka dengan cepat Wiro menuturkan bagaimana dia bertemu pertama kali dengan sang dara dan apa
yang kemudian terjadi atas dirinya.

"Racun waja biru!" desis orang tua tersebut. "Racun waja biru! Kurang ajar si Waranawikualit! Rupanya
dia sudah menjadi kaki tangan raja Rangrang Srenggi. Memang sudah sejak lama aku mendengar
kedurjanaan mereka!" Rahang orang tua itu nampak menggembung tanda dia marah luar biasa.

"Siapa Rangrang Srenggi?" tanya Wiro pula.

"Sudah. Jangan banyak tanya dulu. Lekas putuskan belenggu besi ini. Yang panting muridku harus
diselamatkan jiwanya!"

Wiro baringkan gadis yang sejak tadi dipanggulnya di atas pembaringan di samping si orang tua. Lalu
mengayunkan Kapak Naga Geni 212. Sekali tebas saja dengan mengeluarkan suara berkerontang maka
putuslah rantai besi beser berwarna biru yang sebelumnya mengikat sepasang lengan orang tua itu.

Sambil tertawa gelak-gelak orang tua itu acungkan kedua tangannya ke atas dan berkata, "Aku bebas! Aku bebas kini! Rangrang Srenggi, kau bakal menerima
pembalasanku ...!"

Ucapannya itu terputus ketika dia ingat pada muridnya. Dia beringsut ke tempat muridnya terbaring.

Dengan jari-jari tangannya disentuhnya bibir gadis itu.

"Racun jahat .., racun jahat," desisnya. "Kau tunggu pembalasanku Rangrang Srenggi! Awas kau
Waranawikualit!"

Orang tua itu membungkuk dan meraba-raba ke bawah tempat tidur. Dari bawah tempat tidur rotan
diambilnya sebuah botol yang amat kecil. Ditimangnya botol itu sebentar lalu tertawa gelak-gelak.

"Untung … untung dajal-dajal bernama Waranawikalit dan Rangrang Srenggi itu tidak mengetahui
tempat penyimpanan obat ini. Untung!"

Orang tua ini kemudian membungkuk dan menempelkan bibirnya ke bibir muridnya. Setelah
mengerahkan tenaga dalamnya lalu dia menyedot. Sesaat berselang mulutnya penuh dengan ludah berbusa
biru. Ludah itu dimuntahkannya lalu kembali dia menyedot bibir muridnya. Demikian sampai tiga kali
berulang-ulang. Setelah itu dari dalam botol kecil diambilnya tiga butir obat berwarna biru: Setelah menotok
bagian leher dan perut muridnya beberapa kali baru obat itu dimasukkannya ke dalam mulut sang murid.

Wiro kemudian melihat bagaimana orang tua itu duduk bersila sambil mendekapkan tangan di depan
dada. Sesaat berselang dari ubun-ubunnya keluar asap putih, bergulung-gulung yang terus membungkus
sekujur tubuh muridnya yang terbaring di atas tempat tidur.

Tiba-tiba orang tua itu membentak keras. Bangunan rotan bergoyang keras. Bersamaan dengan itu dia
memukulkan kedua tangannya ke atas dan berseru,

"Racun jahat! Pergilah!"

Gulungan asap putih yang membungkus tubuh muridnya berubah menjadi biru. Begitu seruan lenyap
maka asap biru itupun sirna.

"Bangun, muridku! Bangun! Sadarlah Lestari!"

Wiro melihat bagaimana gadis yang tadi pingsan membuka matanya perlahan-lahan. Parasnya yang pucat
kini kelihatan mulai berdarah kembali bahkan bibirnya yang sebelumnya biru kini kelihatan mulai segar
kemerahan. Keseluruhan wajahnya jauh lebih cantik dari selagi dia pingsan. Mau tak mau pemuda kita jadi
meneguk air liur.

"Bangunlah Lestari. Sadarlah ... !"

Lestari demikian nama gadis itu bangun dan duduk di hadapan gurunya. Sesaat dia memandang berkeliling
dengan pandangan wajah menyatakan keheranan.

"Pikiranmu masih belum jernih. Pejamkan matamu, Lestari…"
Si gadis mengikuti ucapan gurunya. Setelah selang beberapa saat sang guru menyuruh buka matanva
kembali. Dan bersamaan dengan itu Lestari bertanya,

"Eyang; bagaimana ... murid bisa berada di sini dengan selamat? Semestinya… bukankah murid telah
mati? Atau ... "

Si orang tua tertawa gelak-gelak.

"Soal hidup atau mati ada di tangan Tuhan, muridku... "

"Tapi murid benar-benar tak mengerti eyang..."

"Tanyakan pada pemuda di depanmu ... " berkata sang guru.

Lestari berpaling. Untuk sesaat sepasang matanya yang bening beradu pandang dengan mata pendekar
212 Wiro Sableng.

"Kau kenal padanya?" tanya si orang tua.
Lestari menggeleng.

"Tapi kalau tak salah sebelumnya ... murid pernah bertemu dengan dia."

Kembali sang guru tertawa dan berkata, "Kalau sudah jodoh memang ada-ada saja jalan dan cara Tuhan
mempertemukan kalian ... "

"Apa ... apa?!" seru Wiro kaget sedang Lestari berubah merah wajahnya dan memandang ternganga pada
gurunya.

Kembali orang tua berkaki buntung tertawa gelak-gelak.

"Aku sudah ketelepasan bicara," katanya sambil menampar-nampar mulutnya sendiri. "Tapi kalian
mempunyai nasib yang sama sejak kecil. Si Sinto Gendeng pasti senang kalau mengetahui pertemuanmu
dengan muridku ini, Wiro... "

"Kau kenal dengan guruku,?" tanya Wiro.

"Lebih dari kenal."

Wiro menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Diam-diam dia melirik Lestari dilihatnya menundukkan
kepala dan parasnya memerah.

"Sudahlah ...," si orang tua berkata. "Soal itu bisa dibicarakan nanti. Kalau sudah jodoh masa ke mana.
Sekarang Lestari tuturkan padaku bagaimana kau bisa ketemu dengan bergundal Istana Darah barpangkat
Hulubalang Kesatu dan bernama Waranawikualit itu!"

Maka Lestari menuturkan riwayatnya lengkap sampai dia bertemu dengan Wiro Sableng. Si orang tua
yang sampai saat itu masih belum diketahui Wiro siapa namanya nampak manggut-manggut berulang kali.
Wajahnya serius.

"Memang sudah saatnya kita harus turun tangan. Kita bertiga saja dan dibantu Sultan sudah cukup.
Lestari dan kau Wiro, mari kita atur rencana pemusnahan Istana Darah."

"Memang niat itu sudah sejak lama terkandung dalam hatiku. Tapi kalau boleh bertanya, kau ini siapakah
orang tua?" tanya Wiro pula.

"Apakah namaku perlu sekali bagimu?"

"Lebih dari perlu. Karena kalau kau tahu riwayatku dan kenal Eyang Sinto Gendeng, adalah kurang enak
rasanya jika aku sendiri tidak kenal padamu ..."

Orang tua itu tersenyum.

"Namaku sebenarnya sudah hampir musnah ditelan zaman dan dilupakan waktu. Namaku buruk sekali
yaitu Karewang. Dan aku adalah saudara angkat gurumu."

Mendengar itu kontak Wiro Sableng menjura dalam dan hormat sedang orang tua yang mengaku bernama
Karewang tertawa lagi gelak-gelak.

"Tapi mengapa guru tak pernah menerangkan padaku tentangmu?"

"Gurumu itu memang sedeng," sahut Karewang seenaknya. Lalu diisyaratkannya agar Wiro duduk di
hadapannya. Sebelum mengatur rencana penyerbuan ke Istana Darah Karewang menyuruh pemuda itu
menelan tiga butir obat biru dalam botol. Dengan menelan obat itu Wiro akan kebal terhadap racun "waja
biru" yang teramat jahat itu. Kemudian ketiga orang itupun berunding.

Sampai saat itu Wiro tidak mengetahui bahwa Karewang adalah tokoh silat klas satu yang memegang
gelar Si Pemusnah Iblis yang semasa mudanya pernah menjagoi dunia persilatan di tanah Jawa selama dua
puluh tahun sebelum diambil alih Eyang Sinto Gendeng. Dalam masa pengunduran diri dari pasang surut
dunia persilatan, suatu ketika Karewang didatangi Waranawikualit yang datang untuk membalaskan sakit hati
dendam kesumat di masa silam. Waranawikualit datang tidak sendirian melainkan membawa seorang tokoh
aneh berotak miring yang ternyata amat lihay. Tokoh inilah yang membuat cacat kedua kaki Karewang,
kemudian membelenggunya dengan rantai biru. Dan manusia itu bukan lain adalah RNangrang Srenggi yang
kini menobatkan diri sebagai Raja Istana Darah!

***

15

KUDA PUTIH bernama Angin Salju itu lari dengan amat cepat, meninggalkan kepulan debu di belakangnya.

Pemuda yang duduk di atas punggungnya bukan lain Panji Kenanga, murid Brahmana Lokapala dari gunung
Raung. Tak selang berapa lama kemudian lapat-lapat di kejauhan pemuda ini mulai mendengar suara deburan
ombak. Itulah satu pertanda bahwa dia telah mendekati tempat yang ditujunya.

Di satu tempat Panji Kenanga turun dari kudanya dan sambil membimbing binatang itu dia meneruskan
perjalanan dengan jalan kaki. Sikapnya selalu waspada. Mata dibuka lebar-lebar dan awas, telinga dipasang
tajam-tajam. Bukan mustahil sebelum dia sampai ke tempat tujuan, kedatangannya telah diketahui hingga dia
mungkin bakal jadi korban pembokongan.

Dia sampai di satu jalan kecil berliku-liku yang diapit oleh puing-puing batu karang. Angin mengandung
garam menampar-nampar mukanya. Dia memutuskan untuk tidak menempuh jalan kecil itu tetapi mengambil
jalan lain di sela-sela batu karang. Akhirnya dia sampai di salah satu puing karang datar. Dari sini dia
melayangkan pandangan jauh ke muka.

Di hadapannya terbentang pantai dan laut lepas. Kira-kira lima ratus tombak dari tepi pantai sebelah
timur, dikelilingi oleh dua puluh satu pohon beringin raksasa berdirilah satu bangunan besar yang
keseluruhannya berwarna merah. Bila angin bertiup maka dari arah bangunan itu menghamburlah bau busuk
yang amat sangat, laksana mau meruntuhkan bulu hidung. Mau tak mau Panji Kenanga terpaksa menutup
hidungnya.

"Pasti itulah yang disebut Istana Darah," kata pemuda itu dalam hoti. "Sumber segala macam
malapetaka."

Dengan menggertakkan rahang karena ingat akan kematian adik seperguruannya yaitu Widura serta
lenyapnya Miani yang diduganya berada di Istana Darah, Panji Kenanga balikkan tubuh. Ditepuknya pinggul
kuda tunggangannya dan berkata, "Angin Salju kau tunggulah di sini. Bila sampai matahari terbenam nanti
aku tidak kembali, kau pulanglah ke gunung Raung, ke tempat guru."

Sebagai jawaban bihatang itu menggerak-gerakkan daun telinga serta ekornya seolah-olah mengerti
maksud ucapan tuannya. Setelah merangkul leher Angin Salju, Panji Kenanga dengan gerakan gesit
melompat ke puing batu karang di bawahnya, demikian terus menerus dilakukannya. Melompat dari satu batu
karang ke lain batu karang hingga akhirnya dia sampai di bawah salah satu pohon beringin raksasa yang
mengelilingi bangunan. Berada di tempat itu bau busuk bukan alang kepalang. Mau tak mau bulu tengkuk
pemuda ini agak merinding sewaktu mengetahui bahwa warna merah yang menjadi cat tembok serta dinding
seluruh bangunan itu adalah darah!

"Agaknya aku harus melompati tembok itu untuk dapat masuk ke dalam ... " membathin Panji Kenanga.

Dia bersiap-siap. Pada saat itulah dia dikejutkan oleh satu suara di belakangnya.

"Panji Kenanga, kau datang terlambat."

Murid Brahmana Lokapala itu berpaling. Astaga.

Ternyata yang berkata adalah seorang tua bertubuh kurus, bercelana komprang, berkepala botak dan
bermata buta. Dan dia bukan lain adalah si orang aneh yang pernah ditemui Panji Kenanga sebelumnya, yang
dipanggil sebagai Si Botak Mata Buta.

"Apa maksudmu orang tua." tanya Panji Kenanga.

Tampaknya kali ini orang tua itu tidak main-main atau bicara seenaknya seperti dulu. Wajahnya serius.

Dan dia berkata, "Adik seperguruanmu telah mereka bunuh!"

"Aku sudah tahu kematian Widura."

"Bukan Widura saja. Mianipun mengalami nasib yang sama..."

"Hah?!" laksana diambar petir Panji Kenanpa mendengar keterangan itu. "Kau tahu dari mana?" kedua
tangannya dikepalkan saking geram.

Si Botak Mata Buta menghela nafas "Sekali seorang masuk ke dalam Istana Darah, jangan harap
umurnya lebih dari dua jam."

"Kurang ajar! Dajal-dajal Istana Darah, tunggu pembalamnku!" seru Panji Kenange. Segera dia hendak
melangkah ke arah tembok merah tapi satu tangan memegang bahunya dengan cepat. Betapapun dia
mengerahkan tenaga untuk melepaskan pegangan itu tatap saja tidak berhasil. Ternyata yang memegang
bahunya adalah si Botak Mata Buta.

"Jangan bertindak ceroboh orang muda. Pergunakan otakmu kalau hendak balas dendam! Lain dari itu
kudengar ada beberapa orang yang menuju kemari. Coba kau memandang ke jurusan barat."

Panji Kenanga memandang ke jurusan yang dikatakan. Apa yang diucapkan Si Botak Mata Buta memang
benar. Dua orang dilihatnya berlari amat cepat ke jurusan mereka. Satu lelaki berpakaian serba putih
berambut gondrong dan satunya lagi seorang perempuan berpakaian merah. Yang lelaki kelihatan
mendukung seorang tua yang ternyata buntung kedua kakinya.

"Apa yang kau lihat Panji?" tanya Si Rotak Mata Buta.

Baru saja selesai pertanyaan itu diucapkan orang-orang yang datang tahu-tahu sudah sampai dan berhenti
sepuluh langkah di hadapan mereka, di bawah pohon beringin yang besar.

Panji Kenanga menceritakan ciri-ciri orang-orang yang dilihatnya itu.

"Aku mendengar sesuatu terbang di udara. Pasti burung ...," kata Si Botak Mata Buta.

"Memang betul ucapanmu orang tua. Seekor burung elang terbang berputar-putar di atas kepala orangorang
yang baru datang itu."

Si Botak Mata Buta kerenyitkan kening.

"Apakah burung elang itu berbulu merah?"

"Benar."

"Dan orang tua yang didukung oleh pemuda berambut gondrong itu bermata buta...?"

Panji meneliti sebentar lalu membenarkan.

Si Botak Mata Buta memukul keningnya dan pada wajahnya terlukis senyum lebar. Maka dia terdengar
berseru, "Karewang! Memang justru pertemuan inilah yang kuharapkan!"

Karewang alias Si Pemusnah Iblis yang saat itu masih didukung oleh Wiro Sableng memutar kepala dan
mengeluarkan seruan tertahan.

"Nanggala!" serunya menyebut nama asli Si Botak Mata Buta. "Bermimpikah aku bertemu dengan kau di
sini ini?" lalu katanya pada Wiro. "Bawa aku ke hadapan sahabat lamaku itu."

Begitu saling berdekatan kedua orang tua yang sama-sama buta itu saling berangkulan.

"Dua puluh tahun Karewang! Dua puluh tahun aku tak bertemu kau. Dan nyatanya kau masih buta-buta
juga!"

Kedua orang itu lantas tertawa gelak-gelak sementara Panji Kenanga, Wiro Sableng dan Lestari hanya
berdiri terlongong-longong.

"Heh, kita ini macam orang edan saja," berkata Karewang. "Sampai-sampai lupa berada di mana dan lupa
apa maksud kedatangan kita kemari!"

"Apa maksudmu datang ke sini sobat? Agaknya udara busuk di tepi pantai ini menarik hatimu!"

Karewang tertawa rawan. Lalu dituturkannya bencana yang menimpa dua orang muridnya dan rencana
untuk menghancurkan Istana Darah.

"Kau sendiri, angin apa pula yang membawamu ke mari?" balik bertanya Karewang.

"Kita bernasib dan punya maksud sama, sobatku," jawab Nanggala atau Si Botak Mata Buta. Setelah
memperkenalkan Panji Kenanga pada orang-orang itu maka dituturkannya kejadian yang menimpa dua orang
saudara seperguruan Panji Kenanga.
Karewang mengusap-usap dagunya.

"Kejahatan dajal-dajal di dalam Istana Darah itu sudah lewat dari takaran. Sudah waktunya harus dilenyapkan
dari muka bumi ini!"

"Sobatku Karewang, aku mendapat keterangan dari Panji Kenanga bahwa ada seorang pemuda gondrong
bersamamu. Siapakah dia ... ?"

Karewang hendak menjawab tapi Wiro menyikut rusuknya dan pemuda ini mendahului menjawab,

"Aku yang muda ini kebetulan datang bertandang ke tempat Si Pemusnah Iblis."

Panji Kenanga yang sebelumnya sudah bertemu dengan Wiro segera membuka mulut. "Dialah yang telah
melabrak gerombolan Ronggokarapan di kampung Warnasari. Juga dialah yang menyelamatkan anak murid
Si Pemusnah Iblis dan ternyata usahanya berhasil."

Wiro cuma bisa senyum-senyum saja mendengar ucapan itu. "Semuanya serba kebetulan saja sobat,"
katanya merendah.

"Dan dia adalah Wiro Sableng Pendekar 212," menambahkan Panji Kenanga.

Sepasang mata buta Nanggala membuka lebar-lebar.

"Pendekar 212?" ulangnya. "Sudah sejak lama aku mendengar nama itu. Sudah sejak lama aku mendengar
kehebatanmu, Wiro ... "

"Saya bukan apa-apa terutama jika dibandingkan dengan kalian orang-orang gagah yang ada di sini."

"Tidak selamanya yang tua lebih hebat dan lihay dari yang muda," kata Si Botak Mata Buta pula. "Kita
yang tua ini tokh kelak bakal digantikan oleh yang muda-muda macammu. Sebenarnya jika tidak terpaksa
betul kami yang tua-tua dan pikun ini merasa amat malu masih mengurusi segala macam urusan dunia." Si

Botak Mata Buta diam sejenak. "Astaga!" katanya kemudian, "aku sampai lupa pada muridmu Karewang.

Sayang ... sayang mataku buta hingga tidak dapat melihat kecantikannya."

Orang tua berkepala botak berbadan kurus ini tertawa gelak-gelak sedang Lestari menjadi merah
parasnya. "Hai, hampir aku lupa." Membuka mulut lagi Si Botak Mata Buta. "Panji aku ada menitipkan
sebuah benda padamu tempo hari. Serahkanlah pada Lestari karena benda itu adalah miliknya."

Panji Kenanga ingat akan seruling perak yang ada di balik pakaiannya. Cepat-cepat benda ini
dikeluarkannya lalu diserahkannya pada Lestari. Baik Lestari maupun Karewang merasa heran bagaimana
senjata mustika itu berada pada Panji Kenanga. Sebelum mereka bertanya Nanggala membuka mulut
memberi keterangan.

"Kalau aku tidak salah suling itu berhasil diambil oleh Tapak Biru sewaktu terjadi kerusuhan di puncak
Dieng. Dengan senjata milik Lestari itu dia malang melintang lebih berani berbuat kejahatan hingga akhimya
aku berhasil merampasnya dan menyerahkannya pada Panji Kenanga dengan pesan agar bila bertemu pada
pemiliknya dia harus menyerahkan suling perak terebut. Tidak disangka kalau hari ini kita saling bertemu
hingga suling itu bisa dikembalikan pada pemiliknya. Bukankah itu suatu pertanda ...?"

"Pertanda apa gerangan maksudmu, sobatku!" tanya Karewang.

"Pertanda bahwa ada jalan yang mempertemukan muridmu dengan murid Brahmana Lokapala ini! Lebih
jelas kalau kukatakan pertemuan yang membawa jodoh?"

Karewang tertegun sejenak. Wiro melirik pada Lestari justru pada saat si gadis melirik pula pada Wiro
hingga pandangan mereka saling bertemu dan membuat si gadis cepat-cepat menunduk dengan paras merah.

Dalam pada itu Panji Kenanga mencuri pandang pula dan memang sesungguhnya sejak pertemuan ini,
bahkan sejak mula pertama dia melihat Lestari di kedai di kampung Warnasari, hatinya mengakui bahwa
Lestari seorang gadis yang amat menarik. Namun karena orang yang dicintainya adalah Miani, maka apapun
daya tarik Lestari tidak menjadi persoalan baginya.

"Sobatku Nanggala," kata Karewang setelah lebih dulu mendengarkan suara tertawa. "Urusan jodoh
biarlah kita bicarakan belakangan. Kurasa kurang pantas dilakukan saat ini dan juga kurang tepat kalau kita
berani menyebut-nyebut urusan itu tanpa setahu Brahmana Lokapala. Bukankah begitu Panji Kenanga?"

"Betul ... betul sekali orang tua," sahut Panji Kenanga.

"Nah, sekarang mari kita bicarakan penyerbuan ke.dalam istana dajal itu," kata Nanggala.

"Masuk ke dalam terlalu besar bahayanya. Ini bukan karena aku takut, tapi Rangrang Srenggi keparat itu
memang betul-betul cerdik dan licik. Kita mesti hati-hati. Panji, coba kau naik ke pohon beringin itu dan
selidiki keadaan di belakang Tembok Darah."

Mendengar ucapan Karewang, Panji Kenanga dengan satu gerakan enteng segera melompat ke atas
pohon beringin. Namun baru saja dia menginjakkan kakinya di salah satu cabang tiba-tiba laksana tangantangan
setan, puluhan akar gantung pohon beringin itu bergerak melibat seluruh tubuhnya. Bagaimanapun
diusahakannya untuk melepaskan diri tetap siasia belaka. Semua orang terkejut melihat kejadian inil

"Benar-benar licik dan cerdik si Rangrang Srenggi itu," kata Nanggala seraya hendak melompat ke atas
untuk memberi pertolongan. Inilah kehebatannya. Meski buta tapi dapat merasakan apa yang telah menimpa
Panji Kenanga.

"Biar burungku yang turun tangan, Nanggala. Mengapa kau mesti susahkan diri." Berkata begitu
Karewang mendongak ke udara dan berseru, "Sultan lepaskan pemuda itu!"
Elang merah yang sejak tadi berputar-putar di atas kepala mereka menguik keras lalu terbang ke arah
pohon beringin. Dengan paruhnya yang tajam laksana gunting baja, dalam waktu singkat binatang ini berhasil
memutus seluruh akar-akar yang melilit tubuh Panji Kenanga.

"Terima kasih," kata Panji Kenanga lalu dengan cepat turun. Meski dirinya terlibat tidak berdaya tadi
namun sepasang matanya masih bisa meneliti keadaan di belakang Tembok Darah. Tak seorangpun yang
kelihatan. Seluruh bangunan berbda dalam keadaan sepi. Demikian Panji Kenanga menerangkan. Tapi baru
saja dia selesai berikan keterangan, dari arah Istana Darah menggema suara keras.

"Siapapun yang berada di luar, bersiaplah untuk mampus!"
"Itu suara Rangrang Srenggi!" kata Karewang. Lalu pada Wiro dia berbisik, "Lekas lakukan apa yang
kita telah atur!"

Wiro segera menurunkan orang tua itu dan mendudukkannya di satu puing karang datar. Dari balik
pakaiannya yang menggembung dikeluarkannya sebuah benda hitam berbentuk bola sebesar dua kepalan
tangan. Dia lalu lari ke arah Pintu Gerbang Darah.

"Kau mau bikin apa, Karewang?" tanya Nanggala.
"Lihat saja! Aku akan paksa dajal-dajal itu keluar dari sarangnya. Jika kita menyerbu ke dalam mungkin
terlalu berbahaya dan ... "

Karewang alias Si Pemusnah Iblis tak meneruskan ucapannya karena saat itu dari belakang Tembok

Darah laksana hujan menyembur ratusan benda ke arah mereka. Ternyata benda-benda itu adalah paku-paku
berwarna biru yang merupakan senjata rahasia yang telah dicelup dengan racun "waja biru".

"Ini pasti perbuatannya si Waranakualit!" kertak Karewang. Tangan kanannya dipukulkan ke depan. Satu
gelombang angin dahsyat menderu memukul runtuh serangan paku tersebut. Tapi hebatnya begitu sampai di
tanah senjata-senjata rahasia ini kembali memantul mengirimkan serangan.

16

"HEM ... ada kemajuan rupanya si Waranawikualit itu!" kata Karewang seraya gerakkan tangan kanannya.
Dari telapak tangan kanan orang tua itu menderu angin yang berputar-putar, menikung beberapa kali,
menyapu paku-paku biru hingga keseluruhannya berkelompok menjadi satu. Dalam pada itu Panji Kenanga
yang sudah tidak sabar mencabut pedang "Gajah Biru"-nya. Sekali tangannya bergerak, satu sinar biru
berkelebat menyilaukan dan runtuhlah ratusan jarum yang tergabung jadi satu itu dalam keadaan terpotong
dua!

"Pedang bagus ... pedang bagus!" kata Nanggala memuji sambil tertawa senang.

Dalam pada itu Wiro telah berada dua puluh langkah dari hadapan Pintu Gerbang Darah. Mendadak dari
lubang-lubang rahasia yang tak kelihatan di bagian bawah Tembok Darah bermunculanlah enam kepala
merah bertopi tarbus merah yarg ujungnya berkuncir. Mereka ternyata adalah Hulubalang-hulubalang Istana

Darah. Dalam waktu singkat mereka telah mengurung Wiro Sableng. Mereka adalah Hulubalang Darah
Kelima Belas sampai Keduapuluh. Wiro tak punya kesempatan lagi untuk mendekati pintu gerbang lebih
dekat maka serta merta bola hitam di tangan kanannya dilemparkan.

Terdengar satu ledakan dahsyat. Bumi laksana dilanda lindu. Lidah api menjulang. Sebagian dari atap
Istana Darah mental beterbangan ke udara, beberapa tiang besar runtuh bersama-sama dinding Istana.

"Kurang ajar!" teriak Hulubalang Darah Kesembilan Belas. "Dia telah merusak Istana! Mari kita bunuh
bangsat itu!"

Maka ke enam Hulubalang Darah serempak memukulkan tangan kanan mereka. Enam sinar merah yang
bukan kepalang panasnya menyambar ke arah Wiro Sableng. Yang diserang maklum kalau lawan-lawannya
adalah rata-rata berkepandaian tinggi. Karenanya dengan tangan kiri kanan Wiro lepaskan pukulan "benteng
topang melanda samudera." Begitu pukulan lawan buyar Wiro menyelinapkan satu jotosan dan satu
tendangan.

Tak ampun lagi Hulubalang Darah Kejutuhbelas dan Keduapuluh mencelat roboh. Yang pertama segera
meregang nyawa karena perutnya bobol kena tendangan sedang yang kedua muntah darah lebih dulu baru
lepas jiwanya. Itulah korban-korban pertama dari Istana Darah!

Melihat kedua temannya menemui kematian begitu rupa, Hulubalang-hulubalang lainnya berteriak marah
lalu mengeluarkan senjata masing-masing dan kembali menyerbu ke arah Wiro. Namun saat itu serangan
mereka tertahan oleh satu sambaran sinar biru yang menyilaukan yang membuat mereka serempak berseru
kaget. Dalam pada itu terdengar teriakan.

"Wiro biar aku menahan mereka!"

Ternyata saat itu dengan pedang Gajah Biru di tangan Panji Kenanga telah menyerbu ke tempat per-
tempuran. Hulubalang Darah Kedelapanbelas dan Kesembilanbelas dengan penasaran melompat ke muka
seraya menyapukan senjata masing-masing. Namun begitu pedang Gajah Biru menyambar dua kali berturutturut,
keduanya kontan menjerit dan menggeletak mandi darah. Yang satu tertembus dadanya, yang lain
terbacok parah pangkal lehernya!

Diam-diam Wiro kagum melihat kehebatan pemuda itu. Karena yakin bahwa Panji Kenanga bakal dapat
menyelesaikan dua lawan yang masih hidup maka tanpa ragu-ragu ditinggalkannya tempat itu. Dia lari ke
samping kanan Tembok Darah dan dari sini melemparkan bola hitam kedua. Untuk kedua kalinya terdengar
suara menggelegar. Bagian samping kanan Istana Darah runtuh, kerusakan hebat terjadi. Hulubalang Darah

Keduabelas dan Keempat belas yang kebetulan ada di bagian situ dan tidak keburu menyingkir, menjadi
korban.

Ketika sekali lagi Wiro melemparkan bola hitam ke sampirig kiri Istana Darah boleh dikatakan Istana
Darah telah hampir sama rata dengan tanah. Beberapa Hulubalang Darah menemui ajalnya.

Wiro kembali ke tempatnya sementara Panji Kenanga telah berhasil membunuh dua Hulubalang yang
tadi dihadapinya. Orang-orang itu menunggu. Sampai sepeminuman teh tak ada seorangpun yang muncul dari
belakang tembok.

"Apa mereka sudah pada mampus semua ...?" tanya Nanggala. "Atau bersembunyi?"

"Kita tunggu saja. Pentolan-pentolan dajal itu pasti keluar sebentar lagi ..." kata Karewang.

Dan betul saja. Didahului oleh suara berkerekatan maka terbukalah Pintu Gerbang Darah dan laksana
bobolnya sebuah bendungan mencurahlah cairan merah hingga seantero tempat kini digenangi oleh cairan
tersebut sampai sebatas betis Di samping cairan itu busuknya bukan main juga di dalamnya kelihatan
bergerak-gerak ratusan ular berbisa!

Semua orang cepat menyingkir ke atas puing karang data di atas mana Karewang alias Si Pemusnah Iblis
duduk.

Panji Kenanga membungkuk dan membabatkan pedang Gajah Biru berulang-ulang sehingga puluhan ular
yang berani datang mendekat segera terpotongpotong dan menemui kematiannya.

Wiro Sableng lebih hebat lagi. Dicabutnya Kapak Naga Geni serta batu hitam 212. Setiap kali batu dan

Kapok diadukannya satu sama lain maka menderulah lidah api. Cairan darah muncrat dan menggelegak
panas. Ular-ular yang ada di dalamnya laksana direbus dan hanya dalam tempo kurang dari sepeminuman teh
seluruh binatang itu telah musnah menemui ajal!

Karewang tertawa mengekeh.

"Bagus Wiro, bagus. Kalau tak salah pendengaran telingaku, dari Pintu Gerbang Darah tengah keluar
serombongan orang. Coba kalian perhatikan!"

Memang betul!

Empat belas orang berpakaian serba merah melangkah keluar dari Pintu Gerbang Darah, berjalan
memecah genangan darah busuk dengan seenaknya lalu berhenti kira-kira lima belas langkah di hadapan
rombongan Karewang.

Mereka adalah Hulubalang-hulubalang Istana Darah yang dipimpin oleh jago nomor satu yang
menduduki jabatan sebagai Hulubalang Darah Kesatu dan asli bernama Waranawikualit. Di belakang
rombongan Hulubalang ini menyusul 40 Hulubalang pengawal. Meski ilmu kepandaian mereka tidak
seberapa tinggi namun jumlah mereka yang begitu banyak mau tak mau musti diperhitungkan oleh pihak
lawan.

"Mereka berjumlah lebih dari lima puluh Eyang ..." bisik Lestari pada gurunya dan diam-diam segera
keluarkan suling peraknya.

"Tak perlu ditakutkan," sahut Karewang perlahan. "Bila mereka berani datang lebih dekat pasti konyol..."

"Di antara mereka tak kelihatan si Rangrang Srenggi," kembali Lestari berbisik.

"'Hai kenapa raja kalian tidak muncul?! Apa takut mampus?!" Karewang tiba-tiba berteriak sementara
orang-orang dari Istana Darah mulai berpencair, mengurung mereka.

"'Untuk menghajar manusia-manusia pikun macam kamu perlu apa Raja kami mesti mengotorkan diri
turun tangan!" Yang menjawab adalah Hulubalang Darah Kesatu.

Karewang yang mengenal suara itu kembali membuka mulut. "Hem, nyalimu sungguh besar
Waranawikualit. Tapi sayang usiamu tak bakal lama. Apalagi setelah aku tahu apa yang kau lakukan terhadap
dua muridku!"

Waranawikualit atau Hulubaiarg Darah Kesatu mengeluarkan dengus mengejek.

''Kalau saja kau ingat nasib celaka yang menimpa dirimu dulu, pasti kau telah miring otak masih berani-beranian
datang kemari!" kata Hulubalang Darah Kesatu pula.

Sementara itu dengan ilmu menyusupkan suara Karewang berkata pada Nanggala, "Kau hadapi dia
sobatku. Walau bagaimanapun lawan besar yang harus kuhadapi adalah Rangrang Srenggi."

"Tak usah kawatir. Kau duduk di sini tenang-tenang. Aku dan lain-lainnya akan menunjukkan jalan ke
liang kubur pada mereka!"

"Bagus. Tapi kalau tidak turun tangan sama sekali kurang enak rasanya," kata Karewang pula. Maka
diapun berseru, "Waranawikualit bedebah! Jika betul nyalimu amat besar majulah! Bawa semua orangorangmu
sekalian! Hari ini aku akan memberi pelajaran terakhir padamu sebelum kau jadi makanan cacing-cacing
liang kubur!"

"Mulutmu terlalu besar!" teriak Waranawikualit marah. Dia memberi isyarat pada anak-anak buahnya.

Beberapa Hulubalang maju sedang Hulubalang Pengawal memperketat lingkaran kurungan. Tinggal sepuluh
langkah dari hadapannya tiba-tiba laksana kilat Karewang yang bergelar Si Pemusnah Iblis itu tertawa
mengekeh dan tangan kanannya melemparkan sebuah bola hitam.

"Lekas menyingkir!" teriak Hulubalang Darah Kesatu begitu melihat bola peledak melayang di udara.

Tangan kanannya dihantamkan ke atas. Maksudnya hendak memukul hancur senjata maut itu sebelum
meledak diantara orang-orangnya. Tapi dari angin suara gerakannya, Karewang cukup tahu apa yang
dilakukan lawan. Segera ia mengirimkan satu pukulan tangan kanan ke arah dada lawannya dan memaksa
Hulubalang Darah Kesatu melompat ke samping.

Tangkisannya luput dan sesaat kemudian bola hitam yang dilemparkan Karewang meledak di tengahtengah
orang-orangnya. Terdengar suara berpekikan. Sembilan belas Hulubalang Pengawal roboh ke dalam
genangan darah. Darah mereka bercampur baur dengan darah busuk itu. Lima Hulubalang Darah terjungkal
dan ikut jadi korban! Dengan demikian yang tinggal kini cuma 9 orang Hulubalang Darah dan 21 orang
Hulubalang Pengawal!

Bukan alang kepalang marahnya Hulubalang Darah Kesatu melihat korban-korban yang berjatuhan di
pihaknya.

"Kalau tidak kupecahkan kepalamu detik ini juga biar aku berhenti jadi manusia!" teriak Waranawikualit
lalu sambil melompat dia kirimkan dua pukulan hebat sekaligus!

Dua larik sinar merah menyambar dari pukulannya itu ke arah dada dan kepala Karewang.
Karewang membentak, "Ilmu iblis musnahlah!" Kedua tangannya diangkat. Selarik sinar pelangi
berkiblat dan serangan Waranawikualit benar-benar musnah buyar!

Tapi saat itu dari samping terdengar seruan, "Waranawikualit akulah lawahmu!"
Satu sinar kuning menyambar.

Hulubalang Darah Kesatu membalik gesit dan membentak beringas ketika melihat siapa yang
menyerangnya. "Anjing botak mata buta! Kau yang ingin konyol berani datang kemari!" Kedua tangannya
yang berkuku-kuku panjang bergerak dalam serangan "Sepuluh cakar sakti meremas bumi" yang amat hebat
karena mengandalkan lebih dari tiga perempat tenaga dalamnya.

Si Botak Mata Buta yang bukan sembarang orang dengan gerakan mengagumkan berhasil mengelakkan
serangan itu. Akibatnya sepuluh jari tangan Waranawikualit melabrak batu karang di sampingnya dan batu
karang itu hancur lebur!

Bayangkan kalau sepuluh jari tangan berhasil mengermus kepala botak Si Botak Mata Buta. Untuk
beberapa lamanya semua orang tertegun di tempat masing-masing menyaksikan jalannya pertempuran tingkat
tinggi itu.

Perkelahian berjalan terus. Ketika kelihatan Waranawikualit atau Hulubalang Darah Kesatu mulai
terdesak, Hulubalang-Hulubalang Darah lainnya dan juga Hulubalang Pengawal segera menyerbu ke tengah
gelanggang pertempuran untuk mengeroyok Si Botak Mata Buta!

Melihat hal ini maka Wiro Sableng, Panji Kenanga dan Lestari tidak tinggal diam. Karena lawan datang
mengeroyok dengan mempergunakan berbagai macam senjata maka ketiganyapun menyerbu dengan senjata
di tangan. Di atas genangan cairan darah busuk itu berkecamuklah pertempuran hebat.

Wiro mengamuk dengan Kapak Naga Geni 212 yang mengeluarkan sinar putih menyilaukan serta suara
menggaung seperti ratusan tawon menggila. Panji Kenanga berkelebat gesit kian kemari dengan pedang

Gajah Birunya yang terlihat hanya merupakan kelebatan-kelebatan sinar biru menderu-deru. Di lain pihak
laksana seorang puteri dari kayangan yang sedang marah, Lestari berubah merupakan bayangan merah yang
berkelebat gesit kian kemari sambil pergunakah suling peraknya untuk memukul dan menotok kepala atau
dada lawan!

Meskipun orang-orang dari Istana Darah rata-rata berkepandaian tinggi namun tiga lawan yang mereka
hadapi, terutama Pendekar 212 Wiro Sableng bukanlah lawan-lawan kelas rendah yang bisa mereka lakukan
dengan sekehendak hati. Dalam tempo singkat korban demi korban telah berjatuhan dan bergeletakan dalam
genangan darah busuk. Muncratan-muncratan cairan busuk itu mengotori pula pakaian mereka yang
bertempur.

Tiga kali peminuman teh berlalu dan saat itu kelihatanlah bahwa hanya Hulubalang Darah Kesatu sajalah
yang tinggal sendirian berhadapan dengan Si Botak Mata Buta. Keadaan itupun agaknya tidak bakal berjalan
lama karena saat itu tangan kanan Hulubalang Darah Kesatu telah disentak putus oleh lawannya hingga dia
kini hilang keseimbangan badan dan bercampur macam orang celeng!

Si Botak Mata Buta sendiri bertempur seperti orang main-main dan sambil tertawa-tawa.
Tiba-tiba mulut Hulubalang Darah Kesatu menggembung. Sesaat kemudian menyemburlah asap biru
pekat ke muka Si Botak Mata Buta. Orang tua ini sudah maklum kehebatan racun "waja biru" cepat menutup
jalan nafasnya dan menyembur pula ke depan! Dari mulutnya menggebu hawa kuning, membuat Hulubalang
Darah Kesatu terbatuk-batuk dan ketika tubuhnya terlipat ke depan, sepuluh jari tangan Si Botak Mata Buta
dengan cepat mencengkeram lehernya. Hulubalang Darah Kesatu megap-megap kehabisan nafas, meronta
dan melejang-lejang.

"Kreek ...!"

Sepuluh jari tangan Si Botak Mata Buta tenggelam ke dalam leher Hulubalang Darah Kesatu dan
hancurlah tulang leher itu. Nyawa Hulubalang Darah Kesatu melayang ke akhirat!

"Pertempuran hebat! Pertempuran hebat!" teriak Karewang berulang-ulang. "Tapi dimanakah lawanku?

Mengapa si Rangrang Srenggi masih belum muncul?!"

"Mari kita periksa ke dalam runtuhan Istananya!" mengusulkan Panji Kenanga.
Karewang berpikir sejenak. Akhirnya menyetujui dan meminta Wiro Sableng untuk mendukungnya
kembali. Kelima orang itu dengan merancah genangan darah busuk, melangkahi mayat-mayat yang
bergelimpangan, dengan hati-hati bergerak menuju reruntuhan Istana Darah. Di mana-mana terdapat sisa-sisa
korban api dan dari setiap jurusan menyambar bau busuk yang memengapkan jalan pernafasan.

"Aneh, di manakah si gila Rangrang Srenggi itu?" ujar Si Botak Mata Buta.
Di ujung sana, dekat sisa reruntuhan dinding tembok sebelah dalam bekas Istana Darah, Pendekar 212
Wiro Sableng tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ketika dia menjenguk ke balik reruntuhan tembok, depan
sebuah kolam yang kini dipenuhi puingpuing reruntuhan serta pecahan patung Rakseksi telanjang, di atas
sebuah kursi goyang besar yang terbuat dari kayu jati bercat merah, duduklah seorang laki-laki katai
berpakaian merah, berambut gondrong awut-awutan berwarna merah dan bermuka bercelomot darah! Baik
kening, maupun hidung serta mulut orang katai ini amat rata sekali hingga sepintas lalu mukanya licin tak
ubahnya seperti sebuah bola! Kursi yang didudukinya terlalu besar bagi tubuhnya yang kecil itu. Bahkan
kedua kakinya tidak sampai menjejak lantai! Tapi di atas kursi goyang itu dia duduk bergoyang-goyang
seenaknya. Di tangan kiri kanannya terdapat sebuah seloki cairan merah. Dalam duduk sendirian seenaknya
itu dia tertawa-tawa macam orang kurang ingatan.

Wiro memberi isyarat pada yang lain-lainnya untuk mendekat. Ketika semua orang sudah berkumpul di
dekatnya tiba-tiba si katai di atas kursi goyang menghamburkan tawa gelak berderai hingga kedua matarrya
basah oleh air mata!

"Selamat datang tuan-tuan ... Selamat datang di Istanaku yang telah hancur ini ...!" kata orang katai itu
pula.

Tapi tiba-tiba mukanya berubah warna dan dari mulutnya keluar makian. "Keparat ... sialan! Laknat ...!

Haram jadah! Terkutuk! Mampuslah semua! Mampusl Semuaaa ...!"
Mengenali suara yang mengutuk menyerapah itu Karewang segera membuka mulut.
"Paduka Yang Mulia Raja Gila, setelah istanamu hancur, setelah begundal-brgundalmu konyol, apakah
kau masih menganggap dirimu masih sebagai raja?"

"Kalau asalku raja tetap raja. Hari ini aku telah menjadi raja akhirat untuk mengirim kau dan yang lainlainnya
ke akhirat!" Selesai berkata begitu manusia yang menganggap dirinya sebagai raja itu tertawa gelakgelak.

"Rangrang Srenggi. Otakmu yang miring rupanya sudah tidak bisa dibikin lempang! Hari ini kau harus
mempertanggungjawabkan segala kejahatan yang telah kau perbuat!"

Rangrang Srenggi mendengus. Digoyang-goyangkannya badannya di atas kursi goyang lalu sambil
mengacungkan dua buah seloki yang dipegangnya dia berkata,

"Sebelum kita meneruskan pembicaraan mari kujamu kau dengan arak darah ini! Datanglah ke
hadapanku. Eh… apakah kedua kakimu yang kubikin buntung tempo hari sudah disambung dengan kaki
palsu!"

Paras Karewang merah padam namun dia ganda tertawa mendengar ucapan itu dan menjawab, "Justru
aku datang kemari untuk minta tolong dibuatkan sepasang kaki palsu." Karewang lantas balas tertawa.
Rangrang Srenggi memencongkan mulutnya.

"Aku akan buatkan cuma-cuma untukmu. Namun terlebih dulu teguklah arak darah ini!" Habis berkata
begitu Rangrang Srenggi membuka tangan kanannya dan seloki arak di tangan kanan itu melayang perlahanlahan
ke arah Karewang.

"Wiro dudukkan aku di runtuhan tembok agar aku bisa menyambuti suguhan tuan rumah!" kata
Karewang. Maka Wiropun mendudukkan orang tua itu di atas runtuhan tembok.

Sementara itu seloki yang berisi arak darah melayang menuju ke tempat Karewang. Kira-kira satu meter
lagi dari hadapannya. Karewang menguiurkan tangan seperti hendak menyambuti. Tapi dari tangan kanannya
justru keluar selarik angin yang membuat seloki tertahan di udara. Dan bukan sampai di situ saja. Malah kini
seloki itu kelihatan mundur. Betapapun Rangrang Srenggi mengerahkan tenaga dalamnya tetap saja dia tak sanggup mendorong seloki tersebut ke arah lawannya!

***

17

"HA...HA...HA...! Rupanya seloki itu malu-malu datang ke hadapanku! Biarlah bagianku itu kau ambil saja!"
kata Karewang seraya mendorongkan tangan kanannya lebih keras.

Dengan muka merah karena malu Rangrang Srenggi menyambut seloki arak itu. Sadarlah dia bahwa
tenaga dalam lawan jauh lebih tinggi darinya. Perlahan-lahan dengan tenang dia meneguk habis darah busuk
yang ada dalam seloki satu demi satu. Lalu seenaknya kedua seloki kosong itu dilemparkannya hingga pecah
bertaburan. Dia kemudian tertawa bekakakan lalu kembali memaki kata-kata kotor. Tiba-tiba dia
memejamkan kedua matanya. Dalam memejamkan mata itu dia kemudian mengajukan pertanyaan.

"Karewang, sudah siapkah kau untuk pergi ke akhirat!"

"Sudah sejak dari dulu-dulu, Srenggi," sahut Karewang.

"Bagus!"

Bersamaan dengan ucapan "bagus" itu Rangrang Srenggi menendangkan kaki kanannya yang kecil.
Sesiur angin yang amat dingin meluncur ke arah Karewang.

Yang diserang menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu tubuh itu melesat setengah tombak ke atas.
Serangan lawan lewat di bawahnya, menghantam runtuhan tembok di mana tadi Karewang duduk hingga
hancur lebur.

Karena temtok itu kini sudah jadi sama rata dengar tanah orang menyangka Karewang akan jatuh
terbanting ke tanah. Tapi hebatnya orang tua berkaki buntung ini dengan senyum-senyum melayang turun
dan duduk bersila di tanah tanpa menimbulkan sedikit suarapun!

"Kini giliranku, Srenggi!" seru Karewang.

Kedua tangannya ditepukkan ke depan. Kursi goyang yang diduduki Rangrang Srenggi hancur
berantakan. Tapi si katai itu sendiri sudah melompat ke lain tempat dan di lain kejap laksana topan prahara
menyerbu ke arah Karewang.

Orang tua bermata buta dan berkaki buntung itu tetap duduk dengan tenang di tempatnya. Telinganya
dipasang benar-benar untuk mengetahui serangan apa dan dari mana datangnya. Tiba-tiba dia mengangkat
kedua tangannya, menangkis! Empat lengan mereka saling beradu!

Rangrang Srenggi terpekik. Tubuhnya terbanting ke tanah sedang Karewang yang hilang
keseimbangannya jatuh terguling-guling tapi cepat bangun dan duduk bersila kembali!

Si katai Rangrang Srenggi dengan amarah meluap mencabut sebilah pedang tipis berwarna merah darah
dan melompat ke hadapan Karewang.

"Licik!" teriak Lestari seraya melompat dan menyerang Rangrang Srenggi dengan suling peraknya.

"Guruku tidak pakai senjata, mengapa kau menyerang dengan pedang!"

"Bocah jelita. Kau minggirlah!" bentak Rangrang Srenggi. Pedangnya dibabatkan. Angin yang menderu
keluar dari senjata itu hebat sekali hingga Lestari yang terkena terpaannya terjajar enam langkah ke belakang!

"Biarkan saja Lestari! Biarkan dia menyerang dengan pedang!" terdengar suara Karewang, "Dia tolol
kalau menganggap gurumu yang pikun ini adalah Karewang beberapa tahun lalu, buta dan buntung!"

Lalu orang tua ini dengan sikap acuh tak acuh menyilangkan kedua tangan di muka dada sedang sepasang
matanya yang buta terpejam. Sesaat kemudian dari ubun-ubunnya tampak keluar asap warna ungu. Asap ini
dengan cepat menutupi sekujur tubuhnya.

Sesaat Rangrang Srenggi tertegun. Namun kemudian dia teruskan serangan pedangnya. Senjata ini
bergaung mencari sasaran di arah leher Karewang.

Tapi aneh! Begitu pedang membentur lapisan asap ungu, maka senjata itu terpental kembali laksana
menghantam satu dinding yang luar biasa atosnya.

Rangrang Srenggi jadi penasaran. Dia mengumpulkan seluruh tenaga dan menghujani tubuh lawan
dengan bacokan terus menerus. Namun bagaimanapun dicobanya untuk membacok, menusuk, membabat,
tetap saja pedangnya tidak mampu menerobos lapisan asap ungu yang aneh itu!

"Gila! Gila … gila!" teriak Rangrang Srenggi kalap.

Tiba-tiba cepat sekali Karewang mengulurkan tangan kanannya. Dan entah dalam gerakan bagaimana
tahu-tahu dia sudah berhasil merampas pedang merah di tangan Rangrang Srenggi. Selagi lawan berada
dalam keadaan tertegun kaget, senjata itu sudah menyambar datar di bawah pinggangnya dan cras! Putuslah
tubuh Rangrarig Srenggi sebatas pinggul!

Darah menyembur dari dua bagian tubuh yang terpotong itu. Rangrang Srenggi berteriak-teriak, memaki
dan mengutuk menyerapah. Namun detik demi detik suaranya semakin kecil melemah. Pada saat tubuhnya
tak berkutik lagi suaranyapun lenyap dan nyawanya lepas!

"Seorang iblis telah musnah! Bukankah pantas aku diberi gelar Si Pemusnah Iblis?!" Karewang lalu
tertawa gelak-gelak.

T A M A T