DENDAM ORANG-ORANG SAKTI



WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 003
Dendam Orang-orang Sakti
===========================

LUKA besar di bekas kutungan tangan kanannya itu membuat tenaganya semakin lama

semakin mengendur. Kalau tadi dengan segala tenaga yang ada macam manusia
dikejar setan dia melarikan diri dari pekuburan Djatiwalu itu, maka kini jangankan

lari, berjalan melangkahpun dia sudah tidak sanggup. Tubuhnya terhuyung-huyung.
Nafasnya megapmegap seperti mau sekarat!

Saat itu dia berada di tepi sebuah jurang. Dalam larinya tadi dia tak memperhatikan

lagi ke mana tujuannya sehingga di mana dia berada saat itu adalah satu
tempat yang jarang didatangi manuisia. Sunyi senyap mencengkam menegakkan bulu

roma. Matanya yang berkunang-kunang, pemandangannya yang semakin mengelam
dan daya tenaga yang sudah habis sampai ke batasnya membuat tubuhnya tak ampun lagi

jatuh terperosok ke dalam jurang ketika salah satu kakinya terserandung
di bebatuan yang menonjol di tepi jurang.

Masih untung jurang itu bukanlah jurang batu, tapi jurang yang penuh ditumbuhi

semak belukar. Tubuhnya menggelinding ke bawah membentur semak belukar mengait
rantingranting pepohonan rendah. Sakit tubuhnya bukan main, apalagi bekas luka

kutungan di tangan kanannya. Ketika dia terhampar di dasar jurang, dia tiada
sadarkan diri lagi!

Bila dia sadarkan diri maka saat itu matahari sudah hamper tenggelam. Keadaan di

dasar jurang sunyi itu gelap dan dingin karena pantulan sinar matahari
yang terakhir tidak sampai menyaputi dasar jurang di mana dia berada. Dia

berpikir-pikir di mana dia terbujur saat itu. Kemudian denyutan rasa sakit yang
amat sangat pada bahu kanannya yang bunting dan masih melelehkan darah itu, membuat

dia ingat segala sesuatunya apa yang telah terjadi.

Dia – Kalingundil – beberapa jam yang lalu telah bertempur melawan seorang pemuda

sakti bernama Wiro Sableng. Dalam pertempuran itu bukan saja dia terpaksa
melarikan diri tapi juga terpaksa kehilangan tangan kanannya karena telah dibetot

puntung oleh lawannya!

Dan mengingat ini, diantara rasa sakit yang tiada terkirakan, memerih pula rasa

dendam kesumat yang amat sangat. Walau bagaimanapun dia musti dapat meneruskan
hidupnya, meski cuma bertangan sebelah. Meski bagaimanapun dia harus dapat

membalaskan dendam kesumat akibat perbuatan pemuda Wiro Sableng yang telah membuat
dia cacat seumur hidup itu.

Ketika kedua matanya melihat bintang-bintang yang bermunculan di langit di atasnya

barulah disadarinya bahwa hari sudah menjadi malam. Kalingundil tahu
bahwa semalam-malaman itu dia tak akan bisa terus terbujur di situ. Dipalingkannya

kepalanya ke kanan.

Hanya semak belukar dan pohon-pohon berdaun lebar yang dilihatnya dalam kegelapan.

Kemudian dipalingkannya pula kepalanya ke samping kiri. Mula-mula juga
hanya kegelapan yang dilihat lelaki itu. Namun samar-samar kemudian diantara semak

belukar dalam kegelapan itu matanya masih dapat melihat satu legukan
batu di dasar jurang. Jaraknya dengan tempat dia terbujur saat itu kira-kira

sepuluh tombak. Dari pada terbujur di tempat terbuka begitu, Kalingundil berpikir
lebih baik pindah tempat ke cegukan batu itu.

Tapi dengan keadaan dan kekuatan badan seperti itu tidak mudah bagi Kalingundil

untuk berpindah tempat. Jangankan untuk berdiri, merangkakpun tidak bisa.
Jangankan untuk beringsut, bergerak sedikitpun sekujur tubuhnya terasa sakit bukan

main, tulang-tulang anggotanya serasa bertanggalan! Namun dengan keyakinan
penuh untuk bisa menyelamatkan diri, dengan mengumpulkan segala sisa tenaga yang

masih ada, seingsut demi seingsut akhirnya berhasil juga Kalingundil mencapai
legukan batu itu. Ternyata legukan ini adalah mulut sebuah goa. Dan pada saat itu

dia berhasil mencapai mulut goa itu, untuk kedua kalinya Kalingundil
jatuh pingsan kembali.

Kalingundil sadarkan diri pada keesokan paginya. Beberapa jam sesudah matahari

terbit. Anehnya tubuhnya terasa lebih mendingan dibandingkan dengan keadaan
hari kemarin. Kalingundil tak habis pikir, kenapa hal ini bisa terjadi. Bahkan

ketika dia coba menggerakkan badan dirasakannya kekuatannya yang malam tadi
sudah habis sampai ke batas terakhir kini mulai berangsur kembali. Dia duduk

bersandar ke dinding goa. Pada saat itulah dirasakannya bahwa dari dalam goa
keluar semacam hawa yang lembab ngilu-ngilu kuku. Hawa inilah agaknya yang telah

mempengaruhi keadaan diri Kalingundil yang telah memberikan kepulihan
kekuatan kepadanya.

Kemudian sewaktu dia memandang meneliti ke dinding goa di sekelilingnya,

samarsamar, tertutup oleh debu yang menebal, tergugus oleh ketuaan zaman,

Kalingundil
melihat banyak sekali tulisan-tulisan. Tulisan-tulisan ini kacau balau tak teratur,

tapi bila dibaca dan disambung satu persatu, akan merupakan rentetan
kalimat yang memberi pengertian pelajaran ilmu silat!

Semakin lebar Kalingundil membuka kedua matanya. Apa yang dibaca olehnya itu memang

sulit dimengerti mula-mula, ini lain tidak karena tulisan itu menerangkan
tentang pelajaran silat yang memang mempunyai dasar-dasar aneh serta tak diketahui

dari cabang aliran mana. Semakin naik matahari, semakin baikan terasa
oleh Kalingundil keadaan badannya.

Dengan mebungkuk-bungkuk dan tertatih-tatih, setelah habis dibacanya sekalian apa

yang tertulis dibagian goa sebelah luar itu maka Kalingundil memasuki
goa lebih jauh. Semakin ke dalam semakin terasa hawa lembab yang hangat-hangat

ngilu-ngilu kuku tadi. Menghirup udara itu Kalingundil merasakan tubuhnya
segar, dadanya lega. Dan semakin ke dalam semakin banyak banyak dilihat Kalingundil

tulisan-tulisan. Apa yang tertulis kini adalah mengenai pelajaran ilmu
pedang yang aneh dan tak pernah didengar oleh Kalingundil sebelumnya. Tapi sayang

sebagian besar tulisan-tulisan yang bersifat pelajaran itu sudah tidak
kelihatan atau kabur tak dapat dibaca lagi.

Hawa hangat ngilu-ngilu kuku semakin santar terasa. Kalingundil terus juga masuk ke

dalam goa itu sampai akhirnya langkahnya terhenti pada satu pemandangan
yang hampir tak dapat dipercayainya.

Goa itu berakhir pada sebuah telaga kecil. Telaga ini lebih tepat disebut kolam

karena tepinya dikelilingi oleh batu-batu. Air telaga berwarna biru gelap
dan mengepulkan asap kebiruan. Asap inilah yang berhawa hangat ngilu-ngilu kuku dam

mempunyai kekuatan ajaib yang menyegarkan tubuh Kalingundil! Di tengah
kolam itu terdapat sebuah batu licin yang juga berwarna biru dan diatas batu ini

terletak sebuah pedang yang telah buntung, yang panjangnya cuma dua jengkal.
Seperti air kolam dan batu licin, senjata ini juga berwarna dan memancarkan sinar

biru. Mengapa pedang itu tinggal buntung sedemikian rupa, kemana bagian
yang lancip lainnya? Dan mengapa sampai benda itu berada di situ?

Berdiri beberapa lama di tepi kolam itu Kalingundil merasakan badannya semakin

segar. Sedang ketika diteliti luka di bahu kanannya yang buntung itu, luka
itupun kelihatannya lebih sembuhan dari saat-saat sebelumnya.

“Air kolam ini mengandung khasiat yang hebat..,” pikir Kalingundil. Dia membungkuk

untuk menyiduknya dan sekaligus untuk melihat lebih dekat pedang bunting
yang di atas batu. Namun setengah membungkuk, gerakannya terhenti. Di dinding goa

di sebelah belakang kolam, di balik kepulan asap samar-samar terlihat
barisan huruf-huruf yang sudah agak sukar untuk dibaca tapi masih dapat

dikira-kirakan oleh Kalingundil.

Di situ tertulis:
GOA INI “GOA SILUMAN BIRU”
KOLAM INI “KOLAM SILUMAN BIRU,”
PEDANG DI ATAS BATU “PEDANG SILUMAN BIRU,”
CUMA SAYANG KINI HANYA TINGGAL HULU DAN BUNTUNG,
SIAPA BISA MENDAPATKAN UJUNG PEDANG YANG HILANG DAN
MENYAMBUNGNYA,
SIAPA YANG MEMPELAJARI ILMU PEDANG DALAM GOA INI, AKAN
MENJADI “RAJA PEDANG” SEUMUR HIDUPNYA.

Membaca rangkaian kalimat itu, Kalingundil kemudian memandang berkeliling. Apa-apa

yang telah dibacanya tadi sejak dari mulut goa sampai ke tepi kolam yaitu
tulisan-tulisan di dinding goa semuanya memang merupakan suatu ilmu silat dan ilmu

pedang yang aneh. Segala sesuatu yang ditemuinya di dalam goa itu memberikan
kenyataan kepada Kalingundil bahwa dulunya goa itu adalah tempat kediaman seorang

sakti yang bersenjatakan pedang bernama “Pedang Siluman Biru” itu. Tapi
kenapa pedang itu kini hanya tinggal begitu rupa, dan ke mana buntungnya yang lain?

Untuk keda kalinya Kalingundil membungkuk. Dengan tangan kirinya dijangkaunya

pedang Siluman Biru. Pada detik jari-jari tangannya memegang hulu senjata
itu maka aneh sekali mengalirlah suatu aliran yang membuat kekuatan Kalingundil dan

keadaan tubuhnya benar-benar pulih seperti sediakala! Bahkan bukan
itu saja, kini tubuhnya juga terasa lebih enteng. Dan ketika dicobanya menyiduk air

kolam, lebih banyak kekuatan-kekuatan dan keanehan-keanehan baru yang
dialaminya! Kalingundil gembira sekali.

Tanpa menunggu lebih lama dia berlutut di tepi kolam dan berkata: “Pemilik Goa

Siluman Biru, dimanapun kau berada, siapapun kau adanya, aku Kalingundil
mengucapkan terima kasih karena apa yang ada dalam goamu ini telah menyembuhkan aku

dari sakit dan luka yang aku alami. Hari ini aku – Kalingundil – mengharapkan
segala kerelaanmu untuk sudi mengangkat kau sebagai guru. Apa-apa yang tertulis di

goamu ini akan kupelajari dengan tekun…”

Demikianlah mulai hari itu dengan seorang diri dia menekuni setiap apa yang

tertulis di dinding goa. Ilmu silat dan ilmu pedang yang coba dipelajarinya
seorang diri itu yang hilang dan tak terbaca sehingga dari keseluruhan Ilmu Pedang

Siluman yang dipelajari Kalingundil, hanya sepertiganya saja yang berhasil
didapat dan difahami oleh Kalingundil. Namun demikian itupun sudah luar biasa

sekali. Sehingga empat bulan kemudian ketika dia keluar dari Goa Siluman
itu, maka Kalingundil yang kini sudah berobah seratus delapan puluh derajat dalam

ilmu persilatan! Dan ini menambah keyakinan Kalingundil bahwa dia akan
berhasil menuntutkan sakit hatinya terhadap pendekar 212, Wiro Sableng!

DUA
MENCARI seorang musuh di daratan pulau Jawa yang luas bukan suatu pekerjaan mudah.

Ratusan kilometer harus dijalani, puluhan bukit harus didaki dan dituruni,
belasan sungai musti diarungi, diseberangi belasan rimba belantara harus dimasuki

dan diantara semua itu puluhan halangan harus dihadapi. Halangan atau
bahaya yang ditimbulkan alam sendiri serta yang ditimbulkan oleh manusia-manusia

yang hidup dalam itu, terutama sekali dalam rimba dunia persilatan! Mungkin
berbulan-bulan, mungkin pula bertahun-tahun baru musuh besar itu berhasil dicari.

Tapi sebaliknya mungkin pula itu tak pernah berhasil, mungkin si pencari
musuh besar itu akan tertimpa bahaya lebih dahulu dalam perjalanan dan meregang

nyawa sebelum dendam kesumat terbalaskan.

Kalingundil tahu semua itu. Tapi dia tidak khawatir. Dengan ilmu baru yang kini

dimilikinya, meski tidak sempurna, dia yakin akan sanggup untuk menghadapi
segala sesuatu dalam perjalanannya mencari Wiro Sableng pendekar 212, musuh besar

yang telah membuat tangannya buntung, yang telah membuat dia cacat seumur
hidup! Disamping itu Kalingundil memang sudah punya rencana tersendiri untuk

menjelaskan persoalan dendamnya dengan pendekar 212. Dia yakin akan dapat
menemui pemuda sakti itu dan dia yakin pula bahwa rencana besarnya untuk menuntut

balas akan berhasil!

Pertama sekali ditemuinya Mahesa Birawa atau Suranyali di Pajajaran karena terakhir

sekali diketahuinya bekas pemimpin dan guru silatnya itu tengah berada
di kerajaan itu. Namun sampai di sana Kalingundil kecewa besar. Bahkan juga dendam

yang ada di dalam hatinya jadi tiada terkirakan bahwa Mahesa Birawa
telah menemui ajalnya, mati ditangan Wiro Sableng, sewaktu terjadi pemberontakan

besar-besaran tempo hari.

Dengan segala dendam kesumat yang semakin dalam berurat berakarnya itu Kalingundil

meninggalkan Pajajaran. Diseberanginya sungai Kendang, diteruskannya
perjalanan ke bukit Siharuharu yang terletak tak berapa jauh dari kaki gunung. Pada

masa itu di puncak bukit Siharuharu terdapat sebuah perguruan silat
yang bernama Perguruan Teratai Putih. Perguruan ini baru tiga tahun berdiri tapi

sudah mendapat nama tenar di di sapanjang daerah perbatasan Jawa barat
dan Jawa Timur. Bukan saja karena Perguruan Teratai Putih ini didirikan untuk

menolong kaum yang lemah dan menghancurkan golongan hitam penimbul segala
kebejatan dan malapetaka serta kemaksiatan tapi juga adalah karena perguruan silat

ini dipimpin oleh seorang tokoh yang sejak sepuluh tahun belakangan
ini mendapat nama tenar dalam dunia persilatan. Tokoh ini ialah Wirasokananta,

seorang tokoh silat yang berumur lebih dari setengah abad.

Pada saat itu Wirasokananta berada di puncak Gunung Galunggung tengah bertapa

memperdalam ilmu bathin dan dan mempersuci diri dari segala kekhilafan-kekhilafan
dan dosa-dosa yang pernah dibuatnya selama hidupnya. Pimpinan perguruan

diserahkannya pada murid tertua, terpandai dan yang paling dipercayainya yaitu
Gagak Kumara.

Perguruan Teratai Putih saat itu kelihatan diselimuti suasana ketenangan. Di dalam

rumah besar murid-murid perguruan yang berjumlah delapan orang, enam
laki-laki dan dua perempuan duduk bersila dengan khidmat mendengarkan apa uyang

tengah dibacakan oleh Gagak Kumara yaitu sebuah kitab yang ditulis oleh
guru mereka, mengenai sastra hidup, kerohanian, kebathinan dan keduniaan.

Suara Gagak Kumara terang dan jelas, sedap didengarnya sehinga setiap nasihat dan

pelajaran yang dibacakannya dapat segera dimengerti oleh saudara-saudara
seperguruannya yang tujuh orang itu.

“Dalam hidup ini…,” membaca Gagak Kumara, “setiap manusia akan dan musti melalui

tiga tahap kehidupan. Pertama saat atau dimana dia dilahirkan dari rahim
ibunya ke atas dunia ini. Kedua tahap selama umur kehidupannya di dunia dan ketiga

tahap dia meninggalkan dunia ini, kembali pada asalnya atau mati….”

Sampai di situ pembacaan Gagak Kumara maka di luar rumah besar terdengar suara

tertawa bergelak yang disusul dengan ucapan: “Tepat… tepat… sekali! Lahir,
hidup dan mati! Dibrojotkan ke duni malang melintang di dunia ini, dan akhirnya

mampus! Ha… ha… ha….”.

Tentu saja suara yang lantang mengumandang berisi tenaga dalam yang tinggi dan yang

bernada menghina ini mengejutkan semua anak murid Perguruan Teratai
Putih, termasuk Gagak Kumara sendiri! Semuanya sama memalingkan kepala ke pintu

pada saat mana seorang laki-laki berpakaian lusuh, kotor, bermuka angker
dan tangna kanannya buntung berdiri diambang pintu.

“Sasudara, kau siapa…?” Tanya Gagak Kumara sesudah meneliti sebentar diri tamu tak

dikenal itu. Dia tetap duduk tenang di tempatnya dengan kitab masih terus
di ataspangkuannya.

“Tak perlu tanya dulu!,” menyahuti laki-laki diambang pintu seraya menyeringai

buruk. “Bicaraku belum habis…!”

Beberapa orang diantara murid-murid Perguruan Teratai Putih kelihatan menjadi

penasaran dan menggeser duduk mereka. Namun dengan membrei isyarat diam-diam
Gagak Kumara memberi kisikan agar jangan bertindak dulu. Dan orang yang diambang

pintu meneruskan ucapannya. Terlebih dahulu dengan jari telunjuk tangan
kirinya ditunjukkannya kitab yang ada dipangkuan Gagak Kumara. “Apa yang tertulis

di sana, apa yang kau baca tadi betul sekali! Lahir, hidup, mati! Tapi
apa kalian di sini tahu bahwa segala apa yang tertulis dan apa yang dibaca tadi itu

hari ini akan kalian alami sendiri…?”

“Apa maksudmu saudara?,” tanya Gagak Kumara. Masih tetap dengan tenang dan tidak

beringasan.

Si tangan buntung tertawa mengekeh. “Percuma saja kalau kalian memiliki kitab itu,

percuma saja kalian memilikinya kalau kalian tidak tahu apa mkasud kata-kataku!
Kalian sudah dilahirkan, kalian sudah pernah hidup malang melintang di dunia ini,

tapi kalian masih belum pernah merasakan kematian, belum pernah mencoba
mampus! Nah… hari ini, untuk membuktikan kebenaran isi kitab butut itu, aku

–Kalingundil – akan bersedia menolong kalian untuk mengetahui bagaimana rasanya
mampus itu! Ha… ha… ha…!”

Maka kini berdirilah Gagak Kumara dari duduknya. Kitab yang dipangkuannya dilipat

dan diserahkan pada salah seorang saudara seperguruannya. “Saudara,” kata
Gagak Kumara pula. “Di dunia ini memang banyak orang-orang yang berotak miring. Aku

khawatir kau adalah salah seorang dari mereka dan kesasar datang ke
sini!”

Kekehan Kalingundil terhenti. Mukanya membesi. Rahang-rahangnya bergemeletuk.

Tangan kirinya bergerak ke pinggang dan sekejapan mata kemudian tangan itu
telah memegang sebilah pedang buntung yang memancarkan sinar biru. Pedang Siluman

Biru! Sekali lihat saja, meski senjata itu buntung, namun murid-murid
Perguruan Teratai Putih sama memaklumi bahwa pedang yang ditangan manusia tak

dikenal dan mengaku bernama Kalingundil itu adalah sejenis senjata sakti,
sekalipun puntung tapi tetap berbahaya! Tiba-tiba Kalingundil berteriak nyaring.

Tubuhnya melompat ke muka, pedang buntung bergerak, sinar biru membabat
ke samping dan kini tidak sungkan-sungkan lagi melepaskan pukulan tangan kosong

yang mengandung tenaga dalam yang tinggi. Namun betapa terkejutnya Gagak
Kumara ketika sambaran pedang buntung di tangan lawannya membuat angin pukulan

tenaga dalamnya terpental ke samping!

“Saudara-saudara!,” seru salah seorang anak murid Perguruan Teratai Putih. “Manusia

kesasar macam begini tak perlu dihadapi satu demi satu. Mari kita tumpas
beramai-ramai!”

“Semuanya tetap ditempat!,” teriak Gagak Kumara. “Walau bagaimanapun kita harus

jaga naman Perguruan dan jangan mencemarkan nama guru! Pegang teguh sifat
ksatria dunia per…” Kata-kata Gagak Kumara tak dapat diteruskan karena saat itu

Kalingundil kembali dating menyerang dalam satu jurus yang aneh. Bagaimanapun
Gagak Kumara yang sudah berilmu tinggi ini mengelak namun tetap saja ujung yang

buntung dari pedang biru di tangan lawan berhasil membabat pakaiannya dan
menggores kulit dadanya! Pada detik goresan itu maka Gagak Kumara merasakan

badannya menjadi panas.

Kalingundil terkekeh. “Pedang buntung ini Pedang Siluman Biru… mengandung racun

yang jahat. Dalam tiga jam nyawamu akan melayang! Ha… ha… ha…!”.

Terkejutlah Gagak Kumara. Demikian juga saudara-saudara seperguruannya yang lain.

Gagak Kumara cabut sebilah keris dari pingganngnya. Saudara-saudara seperguruannya
yang lainpun segera cabut keris pula dan kali ini Gagak Kumara tidak berkata

apa-apa lagi.

Maka delapan anak murid Perguruan Teratai Putih dengan sebilah keris di tangan

masing-masing mengurung Kalingundil yang bersenjatakan sebilah pedang buntung
sakti itu! Kalingundil hanya tertawa buruk melihat hal ini.

“Sebaiknya kalian bunuh diri saja dari pada mampus di ujung patahan Pedang

Siluman-ku ini!”

“Pedang Siluman…,” desis anak-anak murid Perguruan Teratai Putih dalam hati. Mereka

pernah mendengar tentang kehebatan pedang ini dari guru mereka. Tapi
dikabarkan sejak beberapa tahun yang silam pedang itu lenyap dan kini muncul dalam

keadaan buntung, tapi benar-benar tidak mempengaruhi kehebatannya! Namun
apapun senjata yang di tangan lawan saat itu anak-anak murid Wirasokananta tidak

mempunyai rasa gentar atau kecut sedikitpun!

Kedelapannya menyerbu ke muka. Delapan keris berkiblat kearah delapan bagian dari

tubuh Kalingundil! Yang diserang menyeringai lalu membentak keras. Tubuhnya
berkelebat, sinar biru dari pedangnya menderu seputar badan! Tiga jeritan terdengar

hampir bersamaan dan tiga saudara seperguruan Gagak Kumara roboh mandi
darah, nyawanya putus di situ juga!

Gagak Kumara kertakkan geraham. Darahnya mendidih oleh amarah. Namun goresan luka

telah membuat tubuhnya menjadi kehilangan tenaga. Dikerahkannya seluruh
tenaga dalam yang ada di tubuhnya. Dan mengamuklah gagak Kumara dengan segala

kehebatannya. Namun permainan pedang lawan benar-benar hebat, sulit dan sukar
diduga jurus-jurusnya. Satu jurus dimuka, dua orang saudara seperguruannya lagi

roboh tanpa nyawa. Melihat ini Gagak Kumara segera berseru pada dua orang
saudara seperguruannya yang perempuan. “Wurnimulan, Nyiratih… kalian segeralah

tinggalkan tempat ini! Cepat lari selamatkan diri…!”

Tapi kedua gadis itu meski betina adalah betina yang berhati jantan! Wurnimulan

menyahuti: “Hidup mati kita bersama kakak Gagak Kumara!.” Gadis ini itu
berkelebat cepat dan kirimkan satu tusukan cepat ke leher lawan.

Kalingundil tertawa. Dielakkannya tusukan keris itu dengan miringkan badan dan di

saat itu pula kaki kirinya bergerak.

“Bluk!”

Saudara seperguruan Gagak Kumara laki-laki yang terakhir terpelanting ke dinding.

Tulang dadanya melesak ke dalam dihantam tendangan Kalingundil. Jantung
dan paruparunya pecah! Nyawanya lepas!

Gagak Kumara sendiri saat itu sudah kehabisan tenaga. Luka di dadanya dan racun

pedang siluman sangat mempengaruhi keadaan tubuhnya ke segenap pembuluh
darah! Dia tahu sebentar lagi dia pasti akan menyusul saudara-saudara

seperguruannya yang lain. Karena itu sekali lagi dia berseru memberi ingat:

“Wurnimulan!
Nyiratih! Larilah sebelum terlambat!”

“Gadis-gadis caritik ini tak akan bisa pergi jauh! Nasib kematian kalian sudah ada

di ujung Pedang Siluman-ku! Tapi sebelum mati keduanya akan kuhadiahkan
dunia terlebih dahulu!”

Kalingundil tertawa mengekeh! Gagak Kumara yang tahu maksud dan arti kata-kata

lawannya itu untuk kesekian kalinya berteriak memberi ingat namun kedua gadis
itu tak mau ambil perduli malahan menyerang dengan hebat! Kalingundil mengelak

gesit beberapa kali.

Kemudian dengan kecepatan yang luar biasa, dengan mempergunakan hulu belakang

senjata di tangan kirinya laki-laki itu menotok Wurnimulan dan Nyiratih! Keduanya
kini kaku tak bergerak. Tahu malapetaka apa yang bakal menimpa kedua saudara

seperguruannya itu, dengan sisa tenaga yang ada, dengan segala kehebatan yang
masih dimilikinya Gagak Kumara menyerbu Kalingundil dari samping.

Yang diserang sambil putar badan berkata: “Ajalmu sudah di depan mata, maut sudah

di depan hidung! Baiknya bunuh diri saja…!”

“Terima kerisku lebih dulu, manusia durjana! Kami tidak ada permusuhan dengan kau.

Kenapa kekejamanmu lewat takaran macam begini…?!”

“Akh… sudahlah! Biar mulutmu kututup saja saat ini!,” kata Kalingundil pula. Pedang

Siluman Biru membabat ke perut Gagak Kumara, dialakkan dengan melompat
oleh murid Wirasokananta itu namun begitu melompat, senjata lawan kembali memburu

lebih cepat, kini menderu ke muka Gagak Kumara, tak sanggup lagi dikelit
oleh laki-laki ini!

TIGA
USAHA terakhir yang dilakukan Gagak Kumara untuk menyelamatkan dirinya ialah

melintangkan keris dimukanya. Pedang Siluman Biru buntung terus membabat,
senjata masing-masing beradu keras, bunga api memercik dan keris Gagak Kumara patah

dua sedang senjata lawan terus membabat mukanya!

Murid tertua dari Perguruan Teratai Putih itu terhuyung ke belakang. Mukanya banjir

oleh darah dan mengerikan sekali. Perlahan-lahan lututnya tertekuk dan
pinggangnya meliuk. Gagak Kumara terduduk di lantai, sebelum tergelimpang dan

menghembuskan nafas penghabisan, buntungan keris yang masih tergenggam di
tangannya dengan segala tenaga yang ada dilemparkannya ke arah Kalingundil. Tapi

serangan yang hampir tiada artinya ini dengan mudah dielakkan oleh Kalingundil.

Kalingundil tertawa mengekeh. Noda darah yang membasahai Pedang Siluman Biru yang

buntung itu disekakannya kembali ke balik pinggang. Kemudian laki-laki
ini memutar tubuh. Sepasang matanya kini berkilat-kilat memandangi tubuh dan paras

Wurnimulan serta Nyiratih yang saat itu berdiri kaku tak berdaya karena
ditotok tadi.

“He… he… he… kalian berdua tak perlu mati buru-buru….,” kata Kalingundil. Ujung

lidahnya dijulurkannya untuk membasahi bibirnya. Dia melangkah mendekati
Wurnimulan. Tangan kirinya bergerak dan “bret!” Robeklah baju perguruan yang

dipakai oleh gadis itu. Dadanya terbuka lebar, putih dan mulus padat. Kalingundil
menjadi terbakar tubuhnya oleh nafsu yang menggelegak. Tangan kirinya bergerak

lagi…. bergerak lagi… bergerak lagi….

SEMENTARA itu di puncak Gunung Galunggung…
Dalam tapanya yang sudah berjalan sembilan belas hari itu tiba-tiba saja

Wirasokananta tak dapat meneruskan memusatkan segenap jalan pikirannya. Satu demi
satu panca inderanya mulai terganggu. Walau bagaimanapun usahanya untuk memusatkan

pikiran dan tenaga bathin serta menutup segenap pancainderanya namun
sia-sia saja. Semuanya membuyar kembali. Semakin dipaksanya semakin sulit. Mau tak

mau akhirnya tokoh silat yang sudah setengah abad ini umurnya terpaksa
buka kedua matanya yang sejak Sembilan belas hari telah dipejamkannya.
Kedua matanya itu memandang jauh ke muka, memandang ke luar pintu goa dimana dia

bertapa. Segala apa yang dilihatnya saat itu, rimba belantara, bukit sunga,
matahari, langit dan awan… semuanya masih seperti sebelumnya dia datang ke situ,

tak ada perubahan.

Namun hatinya tidak enak, nalurinya membawanya ke satu hrasat yang mendebarkan dada

dan menggelisahkan dirinya. Dan meski ujud kenyataan dari benda-benda
dihadapannya yang dapat dilihatnmya dari puncak Gunung Galunggung itu tiada

perubahan, namun orang tua yang sudah banyak pengalaman dan mengecap ragam
kehidupan itu tahu, bahwa dibalik semua itu pasti telah terjadi apa-apa di dunia

luar sana. Diusapnya wajahnya dengan kedua tangannya. Dia merenung, sejurus
kemudian perlahan-lahan turun dari batu hitam di mana dia sebelumnya duduk bertapa.

Batu hitam yang diduduki orang tua ini kelihatan berbekas leguk.

Ini cukup memberi pertanda bagaimana kehebatan tenaga dalan dan luar Wirasokananta.

Diusapnya lagi mukanya. “Mungkin ada apa-apa terjadi di Perguruan…,”
kata Wirasokananta dalam hatinya. Dengan mempergunakan ilmu lari “seribu angin”

maka sekali berkelebat lenyaplah sosok tubuh orang tua itu dari mulut goa
dan kemudian kelihatanlah dia berlari menuruni puncak Gunung Galunggung cepat

sekali laksana angin!

Karena sangat terkejutnya, di ambang pintu rumah besar itu sampai-sampai

Wirasokananta berdiri mematung untuk beberapa lamanya! Kemudian tubuh yang mematung
ini sekujurnya jadi bergetar.

“Demi Tuhan… siapakah yang punya pekerjaan ini?,” desisnya.”Dosa besa apakah yang

telah kami perbuat sampai menerima malapetaka begini rupa…?”

Murid-muridnya bergeletakan di mana-mana. Semuanya tanpa nyawa dan bergelimang

darah. Namun apa yang sangat menusuk mata Ketua Perguruan Teratai Putih itu
ialah akan keadaan diri dua orang murid perempuannya, Wurnimulan dan Nyiratih.

Keduanya menggeletak di lantai rumah besar tanpa tertutup selembar benangpun.
Keris milik masing masing menancap ditenggorokan dan darah mengelimangi hampir

sekujur tubuh kedua gadis itu, dari leher sampai ke dada terus ke selangkangan….

Wirasokananta pejamkan kedua matanya, tak tahan memandangi lebih lama apa yang

membentang dihadapannya itu. Bagaimana juga.dikuatkannya hatinya, namun air
mata meleleh juga dari. sela-sela kelopak mata yang dipejamkannya itu.

Tenggorokannya turun naik menahan keluarnya suara isakan. Beberapa tahun dia telah

mendidik kedelapan muridnya itu, beberapa tahun mereka telah berjuang
bersama-sama untuk menegakkan kebenaran dan menghancurkan kebathilan beberapa tahun

mereka bersama-sama telah berjuang untuk menghancurkan kemaksiatan
dan memusnahkan kebejatan serta kejahatan. Namun hari ini mereka semua menemui

nasib semacam itu. Menemui kematian dengan cara yang mengenaskan di luar
dugaan
Wirasokananta.

Dalam masih pejamkm kedua matanya itu. Ketua Perguruan Teratai Putih ini coba

berpikir dan menduga-duga siapakah kiranya manusia yang telah menjatuhkan
malapetaka yang begini kejam terhadap anak-anak muridnya, tak bisa diduganya, tak

bisa dipikirkannya karena seingatnya dia tak pernah mempunyai seorang
musuhpun dalam dunia persilatan.

Wirasokananta membuka kedua matanya kembali. Pada saat inilah, di balik pandangan

matanya yang masih digenangi air mata itu pandangannya membentur buku
besar buah tulisannya sendiri yang dipantek dengan sebilah keris milik salah

seorang muridnya! Serentetan kalimat -- yang ditulis dengan darah -- tertera
dikulit buku itu.

Kepada Ketua:
“ Perguruan Teratai Putih “
Kalau ingin menuntut balas kematian murid-muridmu
datanglah ke puncak Gunung Tangkuban perahu pada hari
13 bulan 12.
Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212
WIRO SABLENG

Mata yang digenangi air mata dari Wirasokananta menyipit, membuat air mata yang

tadi mengambang menjadi turun meleleh membasahi pipinya. Ingatannya kembali
pada masa puluhan tahun yang silam: Dulu, dunia persilatan memang pemah dibikin

geger oleh seorang tokoh utama yang digjaya tiada tandingan. Tokoh yang
telah merajai dunia persilatan selama bertahun-tahun ini adalah Eyang Sinto

Gendeng, seorang pendekar perempuan yang bersenjatakan sebuah kapak sakti bernama
Kapak Maut Naga Geni 212. Namanya harum dikalangen tokoh-tokoh silat golongan putih

karena Pendekar 212 adalah pembasmi kejahatan dan penolong kaum lemah.
Sedang bagi golongan hitam, tokoh ini sudah barang tentu menjadi momok besar yang

sangat ditakuti!

Pada masa kehidupan Pendekar 212 itu, di mana saat itu Wirasokananta masih belum

mendirikan Perguruan Teratai Putih, karena sama-sama dari golongan putih
yang sehaluan dalam perjuangan maka dengan sendirinya tiada permusuhan atau silang

sengketa antara dia dengan Pendekar 212. Tapi hari ini terjadi peristiwa
berdarah itu, peristiwa maut yang diakhiri dengan meninggalkan pucuk surat

tantangan, dan surat ini justru ditandatangani dengan nama “Pendekar Kapak Maut
Naga Geni 212”…! Tentu saja ini satu hal yang tidak dimengerti Wirasokananta.

Kemudian apa pula arti dan hubungannya nama. “Wiro Sableng” itu ?! Ketua
Perguruan Teratai Putih itu coba merenung. Renungannya ini menyangkut pada masa

puluhan tahun yang silam itu.

Di masa dunia persilatan geger oleh kehebatannya Pendekar 212, tiba-tiba entah

kemana perginya Pendekar 212 lenyap! Tentang kelenyapannya ini banyak tokoh-tokoh
persilatan memberikan tanggapan, Mungkin Pendekar 212 sendiri yang sengaja lenyap

mengundurkan diri dari dunia persilatan, mungkin juga tokoh itu telah
menemui kematiannya dengan cara yang tak bisa diduga, meski tanggapan yang kemudian

ini agak diselimuti rasa keraguraguan.

Tapi kini dengan adanya kejadian maut di Perguruan Teratai Putih itu, Wirasokananta

merasa yakin bahwa sesuatu memang telah terjadi dengan diri Eyang Sinto
Gendeng atas Pendekar 212. Dia berkesimpulan bahwa Pendekar 212 dalam satu

pertempuran hebat dan tak diketahui oleh dunia luar telah dikalahkan oleh seorang
pendatang baru bernama Wiro Sableng. Kemungkinan sekali Pendekar 212 menemui

ajalnya di tangan Wiro Sableng itu, merampas Kapak Maut Naga Geni 212 yang
kemudiannya malang melintang di dunia persilatan dengan memakai gelar Pendekar

Kapak Maut Naga Geni 212!

Dan kelanjutan renungan Ketua Perguruan Teratai Putih itu ialah siapa manusia Wiro

Sableng ini sebenarnya. Nama itu satu nama baru baginya. Namun meski
nama baru satu hal diyakini oleh Wirasokananta bahwa dengan itu manusia baik dia

maupun Perguruan Teratai Putih, tak pernah mempunyai permusuhan dan menanam
dendam kesumat! Apa yang menjadi latar belakang pembunuhan besar-besaran atas

murid-muridnya benar-benar sangat gelap bagi Wirasokananta. Dan bila matanya
membentur lagi tulisan berdarah yang menyatakan tantangan itu, benar-benar Ketua

Perguruan Teratai Putih ini merasa dibakar hatinya!

Bulan 12 masih sembilan bulan lagi! Apakah dia akan menunggu sampai sekian lama

untuk kemudian baru bertemu muka dan membuat perhitungan dengan Wiro Sableng?

Ataukah detik itu juga ia meninggalkan Perguruan dan mencari musuh durjana itu ?

Namun, Wirasokananta tahu, bahwa apa yang musti dilakukannya saat itu ialah
menguburkan jenazah-jenazah ke delapan orang muridnya di halaman Perguruan.

EMPAT
ANTARA sungai Cidangkelok di sebelah timur dan sungai Cimanuk di sebelah barat,

terbentanglah satu daerah yang sangat subur. Ladang-ladang menghijau oleh
hasil yang menakjubkan. Sawah-sawah menguning laksana hamparan permadani emas.

Lumbung-lumbung padi petani penuh, tak akan habis dimakan selama satu dua
tahun. Penduduknya sendiri hidup dalam tingkat kehidupan yang jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan penduduk daerah sekitar lainnya. Mereka sehat-sehat,
ramah dan rajin bekerja.

Desa Bojongnipah adalah desa yang paling utama pada daerah yang membentang antara

sungai Cidangkelok dan sungai Cimanuk itu. Hasil ladang, hasil sawah dan
hasil tempat-tempat pemeliharaan ikan penduduk tumpah ruah tiada terkirakan dan

desa ini dikepalai oleh seorang Lurah yang bijaksana dan cakap bernama
Ki Lurah Kundrawana. Begitu bijaksana dan pandainya Ki Lurah Kundrawana mengatur

desa dan penduduknya sehingga banyak Lurah-lurah dari desa lain yang datang
untuk meminta bantuan Kundrawana dalam hal yang ada hubungannya dengan kehidupan

penduduk , dan pengaturan hidup agar bisa makmur serta tenteram.

Di satu malam yang mendung gelap dan berangin kencarig dingin, Ki Lurah Kundrawana

masih kelihatan duduk-duduk di langkan rumahnya yang sederhana, bercakap-cakap
dengan isterinya Warih Sinten. Di sela bibir Ki Lurah Kundrawana yang sudah berumur

empat puluh lima tahun itu terselip sebuah pipa yang api tembakaunya
hampir mati.

“Dingin di luar ini, kakang…,” kata Warih Sinten sambil, merapatkan kainnya yang

agak menyingkapkan betisnya yang putih bagus.

“Ya. Tampaknya mau hujan. Kita masuk saja…,” sahut Ki Lurah Kundrawana seraya

berdiri. Namun belum lagi kedua suami isteri itu melangkah ke pintu mendadak
sekali tiga sosok bayangan hitam berkelebat. Tubuh mereka rata-rata tinggi kekar

dan tampang-tampang mereka buruk serta angker !

Melihat ini, Ki Lurah Kundrawana yang tahu gelagat segera ulurkan tangan kanan ke

pinggang di mana kerisnya tersisip. Namun dengan kecepatan yang luar biasa
salah seorang dari manusia-manusia berpakaian hitam itu tahu-tahu sudah

melintangkan sebatang golok di batang leher. Ki Lurah Kundrawana! Warih Sinten
yang hendak berteriak ditekap mulutnya oleh laki-laki yang lain! Ki Lurah

Kundrawana maklum bahwa ketiga orang itu tentulah dari satu komplotan rampok
terkutuk. Tapi ini adalah untuk pertama kalinya desanya didatangi rampok-rampok

macam begini pada hal sejak selama dalam pegangannya desa senantiasa aman
tenteram. Namun demikian Ki Lurah Kundrawana dengan mempertenang diri coba bicara.

“Kalian siapa, ada maksud apa datang ke sini…?!”

Orang yang melintang golok di leher Lurah Bojongnipah itu menyeringai menggidikan.

Giginya yang tersungging kelihatan hitam, sehitam pakaian yang dikenakannya.

“Aha… bagus kau tanya begitu. Tapi sebelum aku berikan jawaban kau musti ingat satu

hal. Jika kau banyak tingkah dan membantah segala apa yang kami perintahkan,
jangan menyesal bila melihat anak laki-lakimu yang tidur di dalam sana ku pantek di

tiang rumah!”

Terkejutlah Ki Lurah Kundrawana. Warih Sinten sendiri menggigil. Laki-laki

berpakaian hitam menyeringai lagi. “Sekarang tentang siapa kami. Kau pernah dengar
nama Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel?”

Paras Ki Lurah Kundrawana memucat.

“Saat ini kau berhadapan dengan mereka, Kundrawana. Aku Tapak Luwing adalah

pemimpin mereka !”

Ki Lurah Kundrawana tahu betul dan sering mendengar tentang Komplotan Tiga Hitam

dari Kali Comel itu. Mereka adalah tiga rampok jahat dan ganas yang malang
melintang disepanjang Kali Comel bahkan sampai ke perbatasan. Kali Comel jauh

sekali dari desa Bojongnipah, kenapa tiga manusia bejat ini bisa sampai ke
sini, demikian pikir
Kundrawana.

"Tapak Luwing! Kalau kau mau merampok, lakukanlah! Bawa apa yang kalian bisa ambil

dan berlalu dari sini dengan cepat !”

Kepala Komplotan Tiga Hitam itu tertawa. “Kami selama ini memang dikenal sebagai

perampok. Tapi dengan Ki Lurah Kundrawana, hari ini kami datang bukan untuk
melakukan perampokan!”

Tentu saja ucapan ini mengherankan Ki Lurah Kundrawana. “Jadi apa mau kalian ?!”

tanyanya.

“Kami datang untuk bikin perjanjian dengan kau !”

“Perjanjian apa…?”

“Mulai hari ini, kau musti tunduk kepada segala apa yang kami atur dan perintahkan,

mengerti!”

Ki Lurah Kundrawana menelan ludahnya. “Aturan dan perintah macam mana maksudmu?”

tanyanya. Sementara itu diam-diam tangan kanannya kembali bergerak dan
menyusup ke pinggangnya: Kepala desa Bojongnipah ini sudah bertekat bulat untuk

melakukan perlawanan meski saat itu golok Tapak Luwing masih menempel di
batang lehernya sedang isterinya sendiri masih disekap oleh salah seorang anak buah

Tapak Luwing”.

Ki Lurah Kundrawana berhasil memegang hulu kerisnya. Secepat kilat senjata itu

ditusukkannya ke perut Tapak Luwing. Namun Kepala Komplotan Tiga Hitam ini
tidaklah sebodoh dan selengah yang diperkirakan oleh Ki Lurah Kundrawana. Sekali

tangan kanannya bergerak turun menyapu ke bawah maka terdengarlah suara
beradunya senjata dan percikan bunga api. Disusul oleh jeritan tertahan dari Warih

Sinten, yang mulutnya disekap. Golok Tapak Luwing membuat mental keris
di tangan Ki Lurah Kundrawana sedang ibu jari laki-laki ikut terbabat putus

ujungnya sampai ke kuku. Ki Lurah Kundrawana merintih kesakitan. Darah mengucur
dari ibu jarinya yang putus. Sementara itu golok Tapak Luwing telah menempel

kembali pada batang lehernya !

“Agaknya kau minta batang lehermu cepat-cepat ditebas huh?,” bentak Tapak
Luwing.

“Tebaslah, aku tidak takut! Kalian manusia, manusia lak….” Tamparan tangan kiri

Kepala Komplotan Tiga Hitam itu menghajar pipi Kundrawana. Pandangannya
berkunang, pipinya merah sekali dan sudut bibirnya pecah berdarah!

“Masih mau buka mulut?!” tanya Tapak Luwing.

Ki Lurah Kundrawana menggeram dalam hatinya. Tapi tak berkata apa-apa.

“Kau mau dengar dan turut perintahku atau pilih mati?!”

“Aku tidak takut mati! Isteriku juga tidak takut mati” jawab Ki Lurah pula.

Tapak Luwing menyeringai. “Kalian memang tak takut mati. Tapi apa kalian sanggup

menyaksikan anakmu yang di dalam sana kubikin menggelinding kepalanya di
lantai ini?!”

Ki Lurah Kundrawana terdiam.

Tapak Luwing kemudian mendorong, laki-laki itu ke dalam dan memerintahkan duduk di

kursi. “Demi nyawamu dan nyawa keluargamu, ada bagusnya kita bicara baik-baik
Ki Lurah! Dengar, mulai hari ini ke atas kau harus tunduk kepadaku. Aku tanya kapan

pemungutan pajak penduduk kau lakukan setiap bulan…?”

Ki Lurah Kundrawana tak mengerti maksud pertanyaan ini tapi dia menjawab juga:

“Hari Senin minggu pertama”.

“Bila pajak-pajak itu sudah terkumpul, ke mana kau serahkan?,” tanya Tapak Luwing

lagi.

“Pada Adipati di Linggajati dan Adipati itu kemudian meneruskannya ke Kotaraja”.

“Hem… begitu ... Itu satu aturan yang bagus. Tapi mulai penarikan pajak bulan yang

akan datang jumlah pajak yang harus dipungut adalah sepuluh kali lebih
besar dari yang sudah-sudah…!”

Ki Lurah Kundrawana terkejut.

Dia tambah terkejut lagi ketika Tapak Luwing menyambung kalimatnya tadi: “Pajak itu

harus kau pungut tiga kali dalam satu bulan! Mengerti…?!”

“Aturan macam mana ini ?!”

“Tak usah tanya aturan macam mana, yang penting lakukan perintahku!,” sahut Tapak

Luwing,

“Kau tak bisa berbuat seenaknya, Tapak Luwing! Salah-salah kau bisa berurusan

dengan Adipati Linggajati, bisa berurusan dengan Kerajaan!”

“Urusan dengan Adipati, itu urusanmu, juga urusan dengan Kerajaan. Tapi jika kau

berani mengadukan hal ini kepada siapa saja, kulabrak seluruh keluargamu!
Mengerti?!”

“Kalian bisa melabrak keluargaku. Tapak Luwing, tapi kalian tak bisa melabrak

Adipati dan Kerajaan!”

“Aku sudah bilang urusan dengan Adipati adalah urusanmu, juga dengan Kerajaan! Aku

hanya tahu bahwa tiga kali dalam satu bulan aku harus terima sejumlah
uang yang besarnya sepuluh kali besar pajak yang kau pungut selama ini dari

penduduk desa!”

“Keterlaluan! Keterlaluan kau Tapak Luwing! Tak satu pendudukpun yang sanggup

membayar pajak sekian besarnya itu !”

“Penduduk di sini kaya-kaya! Punya sawah, punya ladang, punya kerbau, sapi, kambing

dan ayam serta itik!!”

“Tapi sepuluh kali, mana mereka…”

Tapak Luwing memotong dengan cepat: “Apa aku musti paksa kau memungut lima belas

kali lebih banyak, atau dua puluh kali?!”

“Aku tak akan lakukan perintahmu ini Tapak Luwing! Aku tak sanggup memeras rakyat!”

“Perduli amat! Kalau tak saggup memeras rakyat apa kau sanggup menyaksikan kematian

anak laki-laki mu?”

Kalau Kepala Komplotan Tiga Hitam itu sudah mengancam demikian rupa, mau tak mau Ki

Lurah Kundrawana terdiam bungkam. Tapak Luwing menggoyangkan kepalanya
pada anak buahnya yang berdiri dekat pintu. Melihat isyarat ini laki-laki itu

segera masuk ke dalam kamar tidur Ki Lurah Kundrawana. Kundrawana berdiri
dari kursinya. “Kau mau buat apa…!,” bentaknya.

Tapak Luwing mendorong laki-laki itu hingga Kundrawana terduduk kembali ke kursi.

Tak lama kemudian anak buah Tapak Luwing yang masuk kamar muncul di ruangan
itu kembali dengan mendukung anak laki-laki Ki Lurah Kundrawana. Anak laki-laki ini

baru berumur empat tahun. Dalam di dukung itu dia masih tertidur nyenyak,
tak tahu apa yang terjadi atas dirinya.

Kecemasan segera terbayang diparas Warih Sinten dan Kundrawana. “Kalian mau bikin

apa dengan anakku?!” tanya Kundrawana.

“Selama kau mengikuti perintahku, anakmu akan selamat tak kurang suatu apa. Dia

kubawa untuk sementara sebagai jaminan bahwa kau tidak akan mengadukan persoalan
ini pada siapa pun! Kau dengar Ki Lurah Kundrawana!”

Laki-laki itu tak menjawab.

“Dengar?!” ulang Tapak Luwing membentak. Ki Lurah Kundrawana mau tak mau terpaksa

mengangguk pelahan.

“Hasil-hasil pungutan pajak itu selambat-lambatnya harus kau serahkan kepadaku satu

hari sesudah terkumpulnya. Antarkan ke satu pondok tua di persimpangan
jalan yang menuju ke Linggajati. Aku sendiri yang akan menunggu kau di sana pada

tengah hari tepat!”

“Aku tak akan mengantarkannya!” kata Ki Lurah Kundrawana. “Silahkan datang
sendiri kesini!”

Tapak Luwing tertawa dingin. “Jangan lupa keselamatan anakmu, Ki Lurah,” katanya.

Kemudian Kepala Komplotan Tiga Hitam dari. Kali Comel ini berikan isyarat
dan bersama kedua anak buahnya segera meninggalkan rumah Ki Lurah. Kundrawana.

LIMA
SEMALAM-MALAMAN itu Warih Sinten tiada hentinya menangis. Matanya sudah merah dan

bengkak. Ki Lurah. Kundrawana sendiri yang juga tak bisa tidur, melangkah
mundar mandir tak berketentuan. Hatinya gelisah dan cemas, memikirkan diri anaknya

yang telah dibawa oleh komplotan Tapak Luwing. Tapi hatinya juga gemas
dan geram tiada terperikan!

Baginya keselamatan diri dan isterinya tidak begitu penting jika dia ingat nasib

anak lakilakinya itu, anak satu-satunya yang mereka miliki. Dan soal pajak
itu, benar-benar membuat Ki Lurah Kundrawana seperti mau gila memikirkannya. Dia

tak akan bisa mengadukan persoalan ini pada Adipati di Linggajati atau
kepada Raja demi keselamatan anaknya. Satu-satunya jalan hanyalah mengikuti aturan

dan perintah gila Tapak Luwing. Tapi bagaimana nanti sikap rakyat terhadapnya?

Bukan saja pajak itu sangat berat bagi mereka, tapi penduduk .pasti akan mencapnya

sebagai tukang peras dan mungkin akan timbul kemarahan di kalangan penduduk!
Kalau dia musti memungut sepuluh kali jumlah pajak yang harus diserahkan pada Tapak

Luwing, maka ditambah dengan yang harus diserahkan pada Adipati di
Linggajati akan menjadi sebelas kali dari yang sudah-sudah! Kalau tidak ingat-ingat

kepada Tuhan maulah Lurah Bojongnipah itu ambil kerisnya dan menusuk
diri dengan senjata itu! Namun dia tahu ini bukanlah penyelesaian yang baik.

Keesokan paginya terpaksa juga dia melalui seorang pembantunya mengirimkan kabar

berkeliling penduduk desa bahwa mulai bulan depan pemungutan pajak besarnya
sebelas kali dari yang sudah-sudah. Ini adalah sesuai dengan garis kebijaksanaan

Raja demi untuk, pembangunan dan memelihara balatentara yang kuat, demikian
alasan yang dibuat-buat oleh Ki Lurah Kundrawana untuk menutupi apa yang

sebenarnya.

Bila berita itu sudah sampai ke seluruh pelosok maka dalam sikap penduduk

Bojongnipah mulai kelihatan pertentangan-pertentangan. Rata-rata mereka mengatakan
bahwa ini adalah satu penindasan. satu pemerasan terang-terangan. Demi pembangunan

dan demi balatentara yang kuat apakah rakyat harus dkekik lehernya dengan
pajak yang besar tiada terkirakan lihat gandanya itu?!

Beberapa orang tua-tua desa menemui Ki Lurah Kundrawana tapi Ki Lurah tak bersedia

berhadapan dengan mereka. Orang tua-tua desa tentu saja heran kali melihat
sikap Lurah mereka yang dulunya itu begitu baik bijaksana dan ramah tapi kini,

jangankan untuk bicara tentang persoalan kenaikan pajak itu, bahkan untuk
bertemu sajapun dia tidak mau! Disamping itu ketika mereka berada di rumah Ki

Lurah, telinga mereka mendengar terus-terusan suara tangis Warih Sinten,
isteri Lurah.

Ada apa pula dengan diri perempuan itu? Betul-betul banyak hal yang tidak mengerti

orang tua-tua desa saat itu! Dan ketika tiba saat pemungutan pajak yang
pertama, banyak di antara.penduduk yang tak mau membayar. Dengan menekan

pertentangan yang senantiasa melekat dihatinya Ki Lurah terpaksa mengancam

orang-orang
itu. Siapa-siapa penduduk yang tak mau membayar pajak dalam jumlah yang telah

ditentukan, akan ditangkap dan dibawa ke Kotaraja! Akhirnya terpaksa juga
penduduk membayar.

Dalam pemungutan pajak-yang kedua terjadi kekacauan namun masih sanggup diatasi

oleh Ki Lurah Kundrawana. Menjelang pemungutan pajak yang ketiga Ki Lurah
Kundrawana mendengar kabar bahwa penduduk akan mengadakan pemberontakan! Lakilaki

ini tak bisa menyalahkan penduduk. Suatu malam dengan diam-diam pergilah
Ki Lurah Kundrawana ke Linggajati untuk menemui Adipati Boga Seta. Kepada Adipati

ini dilaporkannya segala apa yang terjadi. Boga Seta kelihatan terkejut
sekali. Ketika Ki Lurah Kundrawana minta diri, Boga Seta berjanji akan mengirimkan

serombongan pasukan Kadipaten selekas mungkin. Namun menjelang semakin
dekatnya hari pemungutan pajak yang ketiga itu tak satu prajurit Kadipatenpun yang

muncul!

Ki Lurah Kundrawana kehabisan akal, betul-betul bingung. Sementara itu tanda-tanda

bakal terjadinya pemberontakan semakin jelas dan santar. Dalam kebingungannya
di waktu yang sempit itu Ki Lurah Kundrawana akhimya berhasil menemui Tapak Luwing

di luar desa.

“Ada keperluan apa, kau menemui aku, Ki Lurah ?” bertanya Tapak Luwing sambil

menggerogoti daging panggang yang barusan dipanggang oleh anak-anak buahnya.
Saat itu Tiga Hitam dari kali Comel berada di pinggiran hutan.

“Ada kesulitan katamu ? Hem… Apa kau tahu bahwa besok adalah hari pemungutan uang

pajak itu dan lusanya menyerahkan pada kami di persimpangan jalan yang
menuju ke Linggajati?”

“Aku tahu Tapak Luwing. Justru kesulitan ini ada sangkut pautnya dengan

pemerasanmu!” jawab Ki Lurah Kundrawana pula.

Tapak Luwing tertawa dan melemparkan tulang daging yang dimakannya ke dekat kaki

kepala desa Bojongnipah itu.

“Tentang kesulitan ini, apakah kau sudah pergi kepada Adipati Boga Seta di

Linggajati?,” Tanya Tapak Luwing seraya tertawa dan berdiri dari duduknya di
batang kayu tumbang.

Ki Lurah Kundrawana terkejut dan berubah parasnya. Dalam hati dia bertanya-tanya

apakah kepala perampok ini mengetahui kepergiannya ke Linggajati menemui
Adipati Boga Seta itu?

Suara tertawa Tapak Luwing semakin keras. Tampangnya kelihatan tambah angker dan

tiba-tiba, tak terduga oleh Ki Lurah Kundrawana, tamparan tangan kanan
kepala rampok itu mendarat di pipinya.

“Tapak Luwing kau…”

“Plak!”

Untuk kedua kalinya tamparan Tapak Luwing menghajar muka Kundrawana.

“Berbacot lagi,” bentaknya, “Kurobek mulutmu!”.

“Tapi Tapak Luwing…”

“Aku sudah bilang agar jangan mengadukan persoalan ini kepada siapapun! Dan kau

telah pergi kepada Adipati Boga Seta! Apa kau lupa hukuman yang bakal diterima
anakmu?!”

Maka pucatlah muka Ki Lurah Kundrawana!

“Kau… kau apakan anakku, Tapak Luwing…?

“Sekarang kau ketakutan sendiri ya? Sialan! Adipati Boga Seta telah mengirimkan

lima orang prajuritnya ke Bojongnipah, tapi aku telah mencegatnya ditengah
jalan dan kelimanya telah menemui ajal akibat kebodohanmu!”

“Anakku… anakku bagaimana…?” tanya Ki Lurah Kundrawana setengah menangis setengah

merengek!

“Aku masih berbaik hati untuk kasih ampun kesalahanmu kali ini! Di lain hari,

jangan harap aku bakal mau memaafkan kau…”

Legalah dada Ki Lurah Kundrawana. Tapi jika dia mau berpikir panjang sedikit dan

tidak keliwat gelisah maka dia akan melihat adanya keganjilan dengan ucapan
Tapak Luwing hari ini dengan tiga minggu yang lalu. Dulu Tapak Luwing mengancam

akan membunuh anaknya bila dia mengadu kepada Adipati atau Raja. Dan dia
telah mengadukan hal itu kepada Adipati Boga Seta dan anehnya Tapak Luwing mau

memberikan ampun kepadanya, padahal dengan demikian persoalan kejahatannya
bukan saja telah sampai ke tangan Adipati tapi pasti akan diteruskan ke Kotaraja,

apalagi sesudah pembunuhan atas lima prajurit Kadipaten itu !

“Sekarang terangkan mengenai kesulitan yang kau katakan itu, Ki Lurah!,” kata Tapak

Luwing pula.

“Penduduk desa akan melakukan pemberontakan besok kalau aku masih juga memungut

pajak gila itu!,” kata Ki Lurah Kundrawana pula.

“Begitu? Dulu kau bilang tidak takut mampus! Kini ada bahaya yang mengancam jiwamu

kenapa terbirit mencari aku…?!”

Ki Lurah Kundrawana mengatupkan rahangnya rapat-rapat.

“Kembalilah ke Bojongnipah. Ki Lurah, Besok kami akan datang ke sana…” berkata

Tapak Luwing.

“Kuharap jangan sampai terjadi kekerasan”.

“Soal itu urusan kami. Kau tak perlu ikut campur!,” kata Tapak Luwing pula.

“Bisa aku ketemu anakku, Tapak Luwing ?” tanya Ki Lurah Kundrawana.

“Kali ini tidak dulu,” jawab kepala rampok itu. Kepala desa Bojongnipah itu

termenung sejurus. Kemudian dengan langkah gontai dia berjalan ke kudanya dan
naik ke atas punggung binatang itu Sebelum berlalu Ki Lurah Kundrawana bertanya,

'Tapak Luwing, sampai kapan kebejatanmu ini kau timpakan padaku…?”

Tapak Luwing tertawa. “Tak usah banyak tanya ! Lebih baik pikirkan.nasibmu besok

hari. Mungkin penduduk desa sudah mencincang tubuhmu sebelum kami datang…!”
***

DI pelosok-pelosok desa terdengar kokokan-kokokan ayam bersahut-sahutan. Puncak

dinginnya malam telah lewat dan kesegaran pagi yang ditandai oleh terangnya
langit di ufuk timur menyatakan bahwa malam sudah sampai ke ujungnya untuk

digantikan kini oleh kehadiran pagi. Ki Lurah Kundrawana menyalakan tembakau
pipanya. Mukanya sudah cekung dan matanya kelihatan kuyu sedang parasnya pucat.

Namun dibalik keredupan wajahnya itu tersembunyi sesuatu yang seperti menyala.
Sesuatu itu ialah amarah dan rasa geram yang tiada terperikan!

Di sedotnya pipa itu. Mulutnya terasa tak enak. Dia meludah ke tanah lewat langkan.

Sejak dulu apalagi sejak beberapa hari terakhir ini lidahnya memang
terasa tidak enak, pahit. Makannya boleh dikatakan dapat dihitung suapnya. Semakin

terang hari semakin gelisah dia, semakin kuatir Lurah Bojongnipah ini.
Yang dikhawatirkannya ialah kalau-kalau penduduk akan datang lebih dahulu dari pada

Tiga Hitam dari Kali Comel! Sebentar-sebentar matanya memandang ke
luar halaman. Namun segala sesuatunya dipagi itu masih diliputi oleh kesunyian. Dan

kesunyian ini pula justru tidak menyenangkan hati Ki Lurah Kundrawana
!

Ditempelkannya lagi ujung pipa ke bibirnya. Disedotnya dalam-dalam kemudian

dihembuskannya asap pipa itu. Sekali lagi dia meludah ke tanah lalu mengusap-usap
bibimya. Dia terkejut dan memutar kepalanya mendengar langkah-langkah kaki di

belakangnya. Yang datang temyata isterinya sendiri. Badan perempuan ini sudah
jauh susut, lebih kurus dari dahulu. Seperti suaminya, parasnya juga pucat. Warih

Sinten seorang perempuan berwajah ayu, namun keayuan itu kini tiada kelihatan
lagi karena tertutup mendung kegelisahan. Gelisah memikirkan nasib anaknya, gelisah

memikirkan nasib suaminya jika sebentar lagi pen.duduk benar-benar
datang.

Hari itu adalah hari pemungutan pajak yang ketiga. Semestinya pembantu Lurah

Bojongnipah yang biasa berkeliling di seluruh desa memungut pajak itu sudah
datang. Tapi kali ini tak kelihatan mata hidungnya. Bagaimana dia akan berani

memunculkan diri jika sudah tahu kalau hari ini penduduk akan berontak!.

“Mudah-mudahan saja penduduk tidak datang…” Ki Lurah Kundrawana menggigit bibirnya.

Dia tahu bicara isterinya itu hanya sekedar bicara saja. Memang apa
yang diharapkan isterinya itu juga menjadi harapannya. Namun dia tahu betul bahwa

harapan itu adalah satu hal yang mustahil! Rakyat akan datang. Penduduk
akan datang! Dia tahu, dia pasti!

Warih Sinten memandang lagi ke luar halaman. Lalu berkata lagi: “Kalaupun mereka

datang, kurasa kita tak bisa lagi menyembunyikan kebejatan ketiga manusia
terkutuk itu, Kakang! Kita musti katakan terus terang pada penduduk sebelum

penduduk membunuh kita beramai-ramai!”

“Nyawaku tak ada harganya, Warih…,” ujar Ki Lurah Kundrawana. “Demi segala-galanya

aku rela mati! Tapi percuma saja arti kematian itu, kalau keselamatan
jiwa anak tunggal kita sendiri akan tersia-sia pula....”

Kesepian berjalan beberpa lamanya. Tiba-tiba.

“Kakang…”. Warih Sinten memegang lehernya dengan kedua tangan. “Mereka… mereka

datang…”

Ki Lurah Kundrawana mengangkat kepalanya dan memandang ke luar halaman. Apa yang

dikatakan isterinya memang betul. Serombongan laki-laki penduduk, desa
kelihatan rnuncul di tikungan jalan dibalik pohon-pohon bambu. Rombongan yang

muncul ini merupakan kepala saja dari barisan penduduk yang jumlahnya tak
kurang dari seratus orang. Dari jauh tak kelihatan mereka membawa senjata. Tapi Ki

Lurah Kundrawana tahu bahwa di antara mereka pasti, ada yang membawa
dan menyembunyikan senjata!

Sesaat kemudian halaman luas itupun penuhlah oleh penduduk desa. Suasana menjadi

bising kini. Ki Lurah Kundrawana dan isteranya berdiri mematung. Hanya
kedua bola mata mereka yang berputar memandangi penduduk Bojongnipah itu. Seorang

di antara penduduk kemudian menyeruak ke muka dan naik ke langkan, berdiri
beberapa langkah dihadapan Kundrawana. Kundrawana kenal baik dengan laki-laki ini.

Dia adalah seorang petani yang diam di desa sebelah timur. Namanya Kratomlinggo.
Sewaktu laki-laki ini bertindak naik ke langkan, maka suasana di tempat itu

sehening di pekuburan.

“Ki Lurah…,” Kratomlinggo buka mulut merobek keheningan itu. “Kau tentu sudah tahu

maksud kedatangan kami bukan…?”

Kundrawana tak menjawab. Pada wajah Kratomlinggo dilihatnya senyum mengejek.

“Ketahuilah bahwa aku berdiri dihadapanmu saat ini adalah, sebagai wakil dari
sekian banyak penduduk Bojongnipah…,” Kratomlinggo menunding ke belakang lalu

meneruskan: “penduduk Bojongnipah yang sejak satu bulan belakangan ini telah
menjadi korban pemerasan, korban penindasan, korban pengisapan, dicekik oleh pajak

sebelas kali lipat! Penduduk Bojongnipah…”

“Saudara Kratomlinggo,” memotong Ki Lurah Kundrawana. “Ringkaskan saja bicaramu.

Katakanlah apa yang kalian mau”.

Dan lagi-lagi Kundrawana melihat senyum mengejek tersungging di mulut Kratomlinggo.

“Apa mau kami…? Itu semua sudah kami katakan pada saat pertama kali
kau memungut pajak gila itu!”

“Aku pribadi memang tak ingin berbuat begitu. Tapi ini adalah perintah atasan.

Perintah Raja, untuk pembangunan dan pemeliharaan pasukan…”

“Perintah atasan tinggal perintah atasan! Apakah kalau atasan menyuruh kau cebur ke

sumur lantas kau akan berbuat begitu? Nyemplung ke sumur?! Setiap perintah
harus berdasarkan pertimbangan otak Ki Lurah!”

Merah muka Kundrawana. Sementara itu Warih Sinten mulai menangis terisak-isak.

“Saudara Krato, mungkin pemungutan pajak itu hanya bersifat sementara saja…”

“Ya sementara! Sementara! Baru dihentikan bila semua penduduk Bojongnipah ini mati

dkekik pajak?!”

“Aku tahu pajak sebesar itu memang berat…”

“Kalau berat mengapa dilaksanakan?!” tukas Kratomlinggo.

Ki Lurah Kundrawana lagi-lagi menggigit bibirnya. lngin saja saat itu dia

mengatakan apa sesungguhnya yang menjadi latar belakang dari pemungutan pajak
itu. Ingin saja saat itu dia menerangkan siapa sebenarnya yang menjadi dalang

pemungutan pajak gila itu! Tapi bila diingatnya anak tunggalnya yang ada
di tangan Tiga Hitam dari Kali Comel itu…

“Kami penduduk desa Bojongnipah ingin agar peraturan pajak gila itu di cabut

kembali!” berkata Kratomlinggo.

“Aku tak punya wewenang untuk melakukan hal itu, saudara Krato”.

“Kau bisa menyampaikan kepada Adipati di Linggajati. Adipati meneruskannya ke

Kotaraja. Dan kalau kau tidak mau melakukan hal itu, kami tidak ragu-ragu
untuk bertindak berdasarkan apa yang kami rasa benar…!”

“Apakah ini suatu ancaman?”

“Kau boleh bilang begitu., Ki Lurah!”

“Saudara Krato…,” terdengar suarar Warih Sinten. “Kau… kau dan semua penduduk
Bojongnipah tidak tahu… tidak tahu…”

“Kami lebih dari tahu!” geretus Kratomlinggo. “Meskipun apa yang kini kami ketahui

itu adalah hal yang tak pernah kami duga! Kami tahu bahwa suamimu, Ki
Lurah Kundrawana tak lebih dari seorang tukang peras! Yang menjilat ke atas dan

menggilas ke bawah! Yang cari nama ke atas dan menjerat leher penduduk
di bawah! Kami lebih dari ta….”

“Kuharap bicara sepantasnyalah Kratomlinggol” memotong Ki Lurah Kundrawana karena

panas hati dan telinganya mendengar dkap sebagai penjilat dan pemeras
demikian rupa.

Kratomlinggo berpaling ke arah orang banyak. Kemudian dia tertawa bergelak.

Sementara itu salah seorang pendduk berteriak: “Buat apa bicara sepanjang lebar
dengan biang lintah darat itu?! Sumpal saja mulutnya dengan golok !”

Kratomlinggo berpaling pada Kundrawana kembali. “Kau dengar teriakan itu Ki Lurah?”
tanyanya.

Mulut Kundrawana komat kamit. “Kalau kalian ingin pajak itu dicabut, silahkan.

pergi sendiri menghadap Raja di Kotaraja…”

“Lantas, apa perlunya kau jadi Lurah di sini'?!” teriak seorang penduduk pula.

“Apa hanya untuk ongkang-ongkang ?!” teriak penduduk yang lain.

“Ongkang-ongkang dan memeras?!” teriak yang lain lagi.

“Kemudian penduduk lainnya berteriak pula: “Kami tidak percaya ini aturan dari

Raja! Bukan mustahil pajak itu adalah aturan gila yang, kau buat sendiri
!”

Masih banyak lagi teriakan-teriakan yang membuat muka Kundrawana menjadi merah dan

tebal rasanya: Telinganya berdesing. “Kratomlinggo, kuharap kau bawalah
orang-orang itu meninggalkan tempat ini,” kata Kundrawana.

“Begitu ...?,” ujar Kratomlinggo dengan lontarkan senyum sinis. “Kami semua baru

akan pergi sesudah kau menyatakan blak-blakan bahwa mulai saat ini aturan
pajak gila itu dkabut!”

“Tak satupun yang bisa mencabut segala keputusan Raja!,” jawab Kundrawana. Suaranya

saja yang keras namun ucapannya itu sama sekali tiada dengan kesungguhan
hati.

“Kalau begitu agaknya kami terpaksa menggunakan kekerasan…”

“Kau menentang Kerajaan, Kratomlinggo?” tanya Ki Lurah Kundrawana. Pertanyaan yang

setengah menggertak ini dimaksudkannya untuk dapat ke luar dari keadaan
yang terdesak saat itu.

Namun jawaban Kratomlinggo adalah lontaran seringai mengejek. “Jangan takuti

penduduk Bojongnipah dengan kata-kata Kerajaan, Ki Lurah! Kami semua yakin
bahwa pajak gila itu adalah kau punya bisa! Kerajaan selama ini selalu bertindak

adil dan bijaksana…!”

Kratomlinggo melangkah kehadapan Ki Lurah Kundrawana dengan kedua tinju terkepal.

Beberapa penduduk Bojongnipah melangkah pula naik ke atas langkan. Ki
Lurah Kundrawana mundur beberapa langkah ke belakang. Warih Sinten menjerit.

“Kratomlinggo, kau… kalian mau bikin apa…?”

“Kami coba minta keadilan dengan cara wajar, tapi kau maukan kekerasan…!” jawab

Kratomlinggo. Tangan kanannya bergerak.

Tiba-tiba terdengar ringkikan kuda dan suara hiruk pikuk. Penduduk di halaman muka

berhamburan cerai berai.

“Atas nama Kerajaan, yang tidak mau mati, minggirlah !”

Terdengar jeritan beberapa orang yang terserampang kuda !
***

TIGA penunggang kuda melompat dari punggung kuda masing-masing. Gerakan mereka

enteng sekali dan sekejapan mata saja ketiganya sudah berada antara Kratomlinggo
dan Ki Lurah Kundrawana. Ketiganya berpakaian seragam prajurit dan tampang-tampang

mereka angker buruk.

Baik Ki Lurah Kundrawana maupun Kratomlinggo dan penduduk Bojongnipah, semuanya

sama terkejut. Dalam keterkejutannya itu Ki Lurah Kundrawana merasa lega
juga karena dia segera mengenali ketiga orang itu tak lain adalah Tapak Luwinng dan

dua orang anak buahnya! Namun apa yang tidak dimengerti oleh Lurah
Bojongnipah itu ialah mengapa ketiga orang komplotan rampok itu mengenakan pakaian

keprajuritan.

Sementara itu Tapak Luwing yang berdiri tepat dihadapan Kratomlinggo dengan

bertolak pinggang dan membentak maju ke muka: “Kami prajurit-prajurit Kadipaten
Linggajati! Kamu jadi biang keribuan di sini ya?!”

Terkejutlah Kratomlinggo dan penduduk Bojongnipah sedang Ki Lurah Kundrawana dan

isterinya merutuk dalam hati melihat betapa lihaynya Kompolotan Tiga Hitam
itu menjalankan peran sebagai prajurit-prajurit Kadipaten palsu untuk mengelabui

mata penduduk dan juga menyembunyikan rahasia besar latar belakang pemerasan
mereka! Kratomlinggo menindih rasa terkejutnya. Dia merasa tak perlu takut terhadap

ketiga prajurit Kadipaten itu bahwa bukankah ini kesempatan di mana
dia bisa sekaligus menerangkan pemerasan pajak yang dilakukan oleh Kundrawana itu?

“Saudara,” kata Kratomlinggo, “jika kalian adalah prajurit-prajurit Kadipaten,

kebetulan sekali kalau begitu…!

“Kebetulan apa maksudmu?!” bentak Tapak Luwing.

Kratomlinggo kemudian menerangkan sejelas-jelasnya mengenai soal pajak itu kepada

Tapak Luwing. Namun dia begitu kaget ketika mendengar jawaban Tapak Luwing.
“Jadi kau sengala pimpin penduduk Bojongnipah untuk mengikuti maumu sendiri?! Untuk

menepuh jalan kekerasan! Ini namanya, satu pemberontakan! Ini namanya
satu penantangan terhadap Kerajaan, satu pembangkangan terhadap

peraturan-perraturan Raja karena soal pajak itu memang datang dari Raja disampaikan

melalui
Adipati di Linggajati!”

“Tapi mengapa hanya penduduk Bojongnipah saja yang dipajaki segila ini!,” kata

salah seorang penduduk yang berdiri di samping Kratomlinggo: “Ya, desa-desa
lain tidak!” seru yang lain dari luar halaman.

“Kamu semua tahu apa!” semprot Tapak Luwing. “Ini adalah keputusan Raja!

Bojongnipah yang subur tak bisa disamakan dengan desa-desa lain. Karenanya sudah
pantas kalau dibebani pajak yang agak besaran…”

“Agak besaran…,” gerendeng seorang penduduk mengejek.

Kratomlinggo kemudian mengetengahi suasana panas itu. “Kami merasa sama sekali

tidak menentang Raja, sama sekali tidak membangkang apalagi memberontak.
Kami hanya inginkan agar pajak dikembalikan sebesar yang lama…”

“Tapak Luwing meludah ke lantai langkan. “Kau memang biang racun pemberontak yang

pintar omong! Terhadap Lurah kalian, kalian boleh bicara kasar dan seenaknya,
tapi terhadap kami prajurit-prajurit Kadipaten jangan coba-coba! Pimpin seluruh

penduduk untuk angkat kaki dari sini ! Cepat!”

Maka berkatalah Kratomlinggo: “Kami penduduk Bojongnipah datang ke sini untuk

menegakkan keadilan. Kalau kami harus angkat kaki dari sini maka keadilan
itu musti sudah berhasil ditegakkan!”

“Hem... begitu…?”. Tapak Luwing menyeringai. Gigi-giginya yang hitam kecoklatan

serta besar-besar ketihatan menjijikkan. “Sebelum kau dan yang lain-lainnya
menegakkan keadilan itu, coba terima tangan kananku ini !”

Sesudah berkata demikian Tapak Luwing hantamkan tangan kanannya ke dada

Kratomlinggo. Yang dipukul dengan cepat melompat ke samping. Namun ! “Buukk !”

Tangan
kiri Tapak Luwing bersarang di perut Kratomlinggo. Nyatanya pukulan tangan kanan

Tapak Luwing tadi hanyalah satu tipuan belaka! Kratomtinggo melintir dan
terjajar ke belakang.
Perutnya sakit- sekali, mual seperti mau muntah, nafasnya menyesak. Laki-laki ini

rupanya bukanlah hanya sekedar seorang petani saja, namun juga seorang
yang pernah mempelajari ilmu silat. Dengan cepat dia atur nafas dan jalan darah.

Lalu dengan sebat rnenyerang ke muka. Enam orang penduduk ikut menyertai
serangannya ini Maka dengan demikian pertempuranpun pecahlah.

Empat penduduk terjerongkang ke lantai langkan. Dua pingsan, dua lagi patah tulang

iganya serta terlepas sambungan sikunya. Sedang Kratomlinggo terhempas
ke tiang langkan. Dadanya kena dipukul oleh Tapak Luwing. Dia berusaha berdiri

mengimbangi badan kembali dan siap melancarkan serangan balasan. Tapi apa
lacur, belum lagi kakinya menindak pemandangannya sudah gelap dan dari mulutnya

bermuntahan darah kental berbuku-buku! Sesaat kemudian tubuh laki-laki
ini tergelimpang ke lantai! Melihat ini sebagian penduduk menjadi kalap. Mereka

menyerbu berserabutan ke atas langkan dengan berbagai macam senjata.

“Siapa yang mau mampus, majulah!” teriak Tapak Luwing seraya melintangkan golok.

Mereka yang menyerbu menjadi ragu-ragu kini namun beberapa orang diantaranya
yang tetap kalap menyerang dengan membabi buta. Maka terjadilah hal yang

mengerikan. Orang-orang ini bergelimpangan bermandikan darah, dibabat dan dipapas
oleh senjata Tapak Luwing dan anak-anak buahnya! Yang lain-lainnya kini tak berani

lagi bertindak lebih jauh meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak!

Warih Sinten sudah sejak lama lari ke dalam rumah sambil menjerit-jerit ketakutan

sedang Kundrawana menggigit bibir dan pejamkan mata melihal kengerian
itu. Kalau saja tidak ingat akan keselamatan anaknya, sudah sejak tadi dia mencabut

keris dan turut menyerbu!

“Siapa lagi yang mau berkenalan dengan golokku, silahkan maju!,” kata Tapak Luwing

tolakkan tangan kirinya ke pinggang kiri. Tapak Luwing tertawa. “Nah,
kalau kalian masih belum punya nyali untuk masuk ke liang kubur, gotong

kunyuk-kunyuk yang malang melintang di langkan rumah ini kemudian angkat kaki dari
sini cepat !”

Kemarahan penduduk meluap-luap. Namun apa yang terjadi di depan mata mereka membuat

nyali mereka menjadi ciut dan bulu kuduk meremang. Ki Lurah Kundrawana
sendiri berdiri mematung. Rahangnya terkatup rapat-rapat. Kegeramannya tiada

terlukiskan. Kebenciannya terhadap Tiga Hitam dari Kali Comel tiada terkirakan
lagi! Namun seperti penduduk Bojongnipah, dia juga tak dapat berbuat suatu apa!

Penduduk menggotong Kratomlinggo dan korban-koban lainnya. Sebelum mereka berlalu

berserulah Tapak Luwing. “Aku tak ingin melihat keonaran macam begini
untuk kedua kalinya, kecuali kalau kalian sendiri yang sengaja minta dibereskan

macam kawan-kawan kalian itu! Siapa yang mau berontak boleh saja! Golakku
memang sudah sejak lama haus darah!”

Tak ada yang menyahuti ucapan Tapak Luwing itu. Dan Tapak Luwing yang menyamar

sebagai prajurit Kadipaten itu berseru lagi: “Jangan lupa, paling lambat
tengah hari besok, kalian semua sudah harus melunasi pajak itu! Jika ada yang

membantah untuk membayarnya, kalian cukup tahu apa akibatnya!” ketika seturuh
penduduk Bojongnipah sudah meninggalkan tempat itu maka Tapak Luwing menyarungkan

goloknya kembali dan berpaling pada Ki Lurah Kundrawana.

“Kau harus berterima kasih padaku yang telah selamatkan kau punya batang leher, Ki

Lurah...!” Ki Lurah Kundrawana berkemik. Rahang-rahangnya bertonjolan.
Tapak Luwing tertawa mengekeh. “Selambat-lambatnya senja besok uang pungutan pajak

harus sudah kau antarkan ke pondok tua dipersimpangan jalan yang menuju
ke Linggajati!”

Kundrawana masih diam.

“Eh, apa kau sudah tuli!” tanya Tapak Luwing.

Dan Lurah Bojongnipah itu masih juga diam. Maka membentaklah Tapak Luwing. “Kamu

tuli hah?!”

“Aku tidak tuli, Tapak Luwing…”

“Lalu mengapa ditanya diam saja? Mungkin gagu?!”

Dua orang anak buah Tapak Luwing cengar cengir.

“Sesenja-senjanya hari uang itu sudah harus ku terima. Kau dengar…?!” .

“Bagaimana kalau penduduk tak mau membayamya ?”

“Aku tak perlu pertanyaan itu! Bayar atau tidak bayar, pokoknya besok aku cuma tahu

terima uang!”

Tapak Luwing memberi isyarat pada kedua anak buahnya. Ketiganya menuruni langkan

rumah dan melangkah menuju ke kuda masing-masing. Malam itu, dengan segala
daya dan sedikit ilmu pengetahuan yang dimilikinya, Kratomlinggo berhasil

menyembuhkan luka di dalam yang dideritanya akibat pukulan Tapak Luwing. Pada
dasarnya bukan daya dan pengetahuan silat Kratomlinggolah yang menolong melainkan

adalah karena pukulan Tapak Luwing pagi tadi tidak mempergunakan keseluruhan
tenaga dalamnya.

Dendam terhadap Tapak Luwing dan kawan-kawannya, kebencian yang tak terkendalikan

terhadap Ki Lurah Kundrawana serta pajak yang tetap harus dibayar esok
hari, semuanya itu bertumpuk menjadi satu sehingga malam itu, rneskipun baru saja

sembuh dari luka namun tekat Kratomlinggo sudah bulat untuk berangkat
ke Kotaraja! Niatnya ini diberitahukannya pada beberapa kawannya. Dan malam itu

bersama empat orang lainnya, dengan menunggangi kuda maka berangkatlah
Kratomlinggo ke Kotaraja.

Malam gelap. Sinar bintang dan cahaya bulan sabit tak dapat mengalahkan kegelapan

itu. Kratomlinggo dan empat orang kawannya memacu kuda masing-masing,
melewati sebuah tikungan dan sampai di sebuah jembatan yang menghubungkan kedua

tepi sebuah anak sungai. Pada saat itu pulalah Kratomlinggo dan kawan-kawannya
melihat serombangan penunggang kuda di seberang jembatan. Mereka berjumlah tiga

orang dan ketiganya menghentikan kuda di seberang jembatan itu. Melihat
gelagat yang tidak baik ini. Kratomlinggo segera hentikan kudanya di tengah-tengah

jembatan dan memberi isyarat pada keempat kawannya. Malam memang gelap
namun mata Kratomlinggo masih sanggup, mengenali penunggang kuda yang paling depan

dihadapannya.

Manusia itu ternyata adalah prajurit Kadipaten yang siang tadi menanganinya!

“Celaka,” bisik Kratomlinggo. “Bagaimana bangsat-bangsat Kadipaten ini bisa
tahu keberangkatanku ke Kotaraja?!” Sampai saat itu baik dia mau pun kawan-kawannya

sama sekali masih tidak mengetahui siapa ketiga manusia yang menghadang
di ujung jembatan itu!

Penunggang kuda sebelah muka yang tiada lain dari Tapak Luwing adanya tertawa

mengekeh. “Rupanya pelajaran dan peringatanku siang tadi masih belum cukup
huh!,” sentak Tapak Luwing. Kratomlinggo -tak menjawab. Namun dia diam tangan

kanannya menyelinap ke balik pinggang meraba hulu golok. Hal yang sama dilakukan
juga oleh keempat kawannya. Dan di seberang jembatan kembali terdengar kekehan

Tapak Luwing.

Begitu kekehannya berhenti maka terdengar bentakannya. “Kalian kunyuk-kunyuk mau ke

mana?!”

“Kami tak ada permusuhan dengan kalian. Karena itu minggirlah, beri jalan…” kata

Kratomlinggo pula.

“Minta jalan? Boleh… lewatlah!,” kata Tapak Luwing pula sambil pinggirkan kudanya.

Dipersilahkan begitu rupa malah membuat Kratomlinggo dan kawan-kawannya
menjadi terpatung, tak bergerak di punggung kuda masing-masing. “Ayo, kenapa tidak

mau lewat?!,” tanya Tapak Luwing.

Kratomlinggo bimbang.

Dan Tapak Luwing buka suara lagi: “Kalau begttu roh busuk kalian yang akan lewat

jembatan ini !”

“Sret !”

Tapak Luwing cabut goloknya. Terdengar lagi dua kali suara “sret” yaitu dari

golok-golok yang dicabut oleh anak buah Tapak Luwing. Melihat ini Kratomlinggo
dan kawan-kawannya segera pula menghunus golok masing-masing !
“Aku tahu kalian hendak ke Kotaraja…,” berkata Tapak Luwing seraya larik tali

kudanya, “Tapi ketahuilah hanya roh-roh busuk kalian yang akan menghadap Raja
di istana!”

Dalam jarak dua tombak, dengan satu sentakan keras maka kuda Tapak Luwing melompat

kemuka. Dua anak buahnya menyusul. Tiga golok berkelebat di bawah cahaya
redup bulan sabit. Lima golok menyambutinya !

“Trang ..... trang ..... trang….!”

Bunga api memercik. Suara beradunya golok-golok itu disusul oleh seruan kesakitan.

Dua kawan Kratomlinggo rebah dari atas punggung kuda. Yang satu terbabat
perutnya, yang lain puntung lengan kanannya!

Dalam gebrakan kedua, Tiga Hitam dari Kali Comel yang saat itu masih mengenai

pakaian, prajurit-prajurit Kadipaten, kembali mengirimkan serangan hebat tanpa
memberikan kesempatan pada lawan! Dua orang lagi menjerit dan roboh, tubuh salah

satu dari padanya kemudian kecebur ke dalam sungai. Kratomlinggo sendiri
dibikin terjerongkang dari atas punggung kuda, goloknya lepas. Masih untung

sarripai saat itu dia belum cidera apa-apa. Dan memaklumi bahwa untuk melawan
terus adalah satu kesia-siaan maka laki-laki ini segara putar tubuh ambil langkah

seribu!

Tapak Luwing tertawa bergelak. “Dasar manusia kintel! Kamu mau lari ke mana?!” Dari

balik sabuknya kepala Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel ini keluarkan
sebilah pisau belati. Senjata ini melesat dengan mengeluarkan suara berdesing!

Kratomlinggo yang tak tahu dirinya tengah dikejar maut, terus juga lari.

Hanya satu jengkal saja lagi belati yang mengandung racun itu akan menancap di

punggungnya maka pada saat itu pulalah dari jurusan semak belukar gelap di
tepi sungai melesat sebuah benda berbentuk bintang berwarna putih perak !

“Tring !”

Bunga api memercik. Bukan saja benda berbentuk bintang ini berhasil membuat pisau

beracun Tapak Luwing mental, tapi juga membuat pisau itu patah dua ! Terkejutlah
Tapak Luwing. Lupa dia pada niatnya hendak membunuh Kratomlinggo. Dengan serta

merta diputarnya tubuhnya. Matanya yang tajam telah melihat dari arah mana
datangnya sambaran benda putih perak berbentuk bintang itu. Dan memakilah kepala

Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel itu.

“Setan alas yang ikut campur urusan orang ke luar dari persembunyianmu dan terima

pisau-pisauku ini !”

Habis bilang demikian Tapak Luwing lemparkan sekaligus tiga bilah pisau beracunnya

ke arah semak belukar di kegelapan. Terdengar suara siulan yang disusul
oleh suara tertawa bergelak.

“Aku di sini bung! Kenapa serang tempat kosong?!,” kata, manusia yang muncukan diri

itu dengan nada mengejek.

“Bangsat betul!,” maki Tapak Luwing. Di lemparkannya lagi dengan tangan kiri

sepasang pisau belati ke arah laki-laki yang berdiri sekira enam tombak di
tepi sungai.

ENAM
ORANG yang berdiri di tepi sungai sambuti serangan itu dengan melambaikan tangan

kirinya. Sekali lambai saja maka kedua pisau beracun itupun mentallah.
Kaget Tapak Luwing membuat- laki-laki ini keluarkan seruan tertahan.

“Manusia yang sengaja cari penyakit, siapa kau!” tanyanya membentak dan diam-diam

memberikan isyarat pada kedua anak buahnya untuk bersiap-siap dan mengambil
posisi mengurung.

Yang ditanya. “Ada ribut-ribut apa di sini?!”.

“Ee kunyuk gondrong!,” maki salah seorang, anak buah Tapak Luwing. “Kau berani.

bicara edan sama prajurit-prajurit Kadipaten?!”

“Oh.... jadi kalian prajurit-prajurit Kadipaten…”. Laki-laki di tepi sungai,

keluarkan suara mendengus. “Setahuku prajurit-prajurit Kadipaten tidak suka
urusan kekerasan, apalagi membunuh manusia begini rupa…!”.

Sementara itu. Kratomlinggo yang tadi hendak larikan diri, mendengar ada keributan

baru di belakangnya perlahan-lahan palingkan kepala lalu putar tubuh
dan berhenti di belakang sebuah pohon. Apa yang disaksikannya kemudian sungguh

tidak diduganya.

“Kita tak perlu sembunyikan siapa kita terhadap monyet bermuka manusia ini!'', kata

Tapak Luwing.

“Nah, terus terang lebih bagus!” menimpali laki-laki di tepi sungai. “Katakan saja

siapa kalian!”.

“Sebelum tahu siapa kami sebaiknya lekas-lekaslah berlutut minta ampun!” kata Tapak

Luwing pongah.

“Eh, kenapa begitu?''.

Karena menyangka bahwa Kratomlinggo sudah larikan diri dan tak ada lagi di tempat

itu, maka berkatalah Tapak Luwing;”Ketahuitah. Tiga Hitam dari Kali Comel
tidak pernah membiarkan terus bernafasnya seorang biang runyam yang ikut campur

urusan!”

“Ooo… jadi kalian Tiga Hitam dari Kali Comel, rampok-rampok ganas tiada kemanusiaan

itu? Pantas… pantas tampang-tampang kalian hitam macam arang…”

“Haram jadah! Terima golokku!,” teriak anak buah Tapak. Luwing yang di samping

kanan. Dengan gerakan enteng dia melompat dari punggung kuda, derngan sebat
goloknya berkelebat ke arah batok kepala laki-laki muda yang berdiri tetap tenang

malahan dengan tertawa-tawa!

Tiba-tiba dengan kecepatan yang luar biasa laki-laki muda itu melompat ke belakang.

Serangan anak buah Tapak Luwing mengenai tempat kosong. Karena begitu
kesusu dan sebatnya maka laki-laki itu jadi terhuyung-huyung sendiri. Sebelum dia

sempat mengimbangi badan, satu tendangan menghantam pantatnya!

“Manusia tidak tahu peradatan! Orang bicara dipotong seenaknya! Rasakan sendiri

olehmu!”

Melihat kawan dan anak buahnya dipermainkan begitu rupa sampai tersungkur di tanah.

Tapak Luwing dan anak buahnya yang satu lagi segera loncat dari kuda.

“Beri tahu namamu lebih dulu, kunyuk!,” bentak Tapak Luwing. “Kalau tidak rohmu

akan minggat percuma!”

“Bicaramu terlalu tinggi! Kalau mau tahu namaku majulah…!”.

Dengan tertawa bergelak Tapak Luwing menyerbu ke muka. Sambaran goloknya deras

sedang tangan kirinya laksana palu godam membabat ke arah ulu hati lawan.
Inilah jurus “angin mengamuk pohon tumbang” yang memang bukan olah-olah dahsyatnya.

“Ah, rupanya kau punya ilmu yang diandalkan juga eh?” ejek lawan yang diserang. Dia

merunduk untuk elakkan sambaran golok lalu lompat ke samping guna hindarkan
sodokan tinju lawan dan dengan secepat kilat kemudian tangan kanannya yang terbuka

menyeruak di antara kedua serangan lawan tadi, menderas ke arah kening
Tapak Luwing.

Kepala Tiga Hitam dari Kali Comel itu bukan orang yang berilmu rendah. Kalau tidak

percuma saja dia menjadi kepala komplotan yang ditakuti selama bertahun-tahun
disepanjang Kali Comel dan perbatasan.

Dengan sebat, dengan keluarkan bentakan dahsyat Tapak Luwing membuat satu gerakan

yang luar biasa. Tubuhnya mencelat satu tombak ke atas dan dalam lompatan
itu kaki kanannya menderu muka lawan dan disaat yang sama pula dari sebelah

belakang menderu golok anak buah Tapak Luwing ke arah punggung laki-laki muda
itu.

Yang diserang bersiul. “Akh… kalian rupanya betul-betul maui jiwaku! Tapi kurasa

saat ini belum waktunya!”. Pemuda ini berkelebat. Lututnya menekuk kedua
tangannya berputar seperti kitir dan: “bluk ....... buk”!.

Anak buah Tapak Luwing terjerongkang ke belakang, muntah darah dan menggeletak,di

tanah. Tapak Luwing sendiri merintih kesakitan sewaktu lengan lawan menghantam
tepat tulang keringnya!

Di saat itu anak buah Tapak Luwing yang tadi ditendang pantatnya sudah bangun

kembali dan dengan ganas lancarkan serangan dahsyat. Namun nasibnya juga sial.
Sekali lawannya berkelebat maka goloknya kena dihantam sikut lawan! Yang satu

inipun roboh pula menyusul kawannya Merasakan sakit pada kakinya, melihat
kedua anak buahnya dibuat begitu rupa, benar-benar Tapak Luwing hampir-hampir

merasa seperti orang mimpi. Apakah agaknya kali, ini komplotan yang dipimpinnya
menemui “batunya”? Selama bertahun-tahun bertualang dan menjadi Pemimpin Komplotan

Tiga Hitam dari Kali Comel baru hari itu dia melihat dengan mata kepala
sendiri bagaimana kedua anak buahnya dibikin menggeletak hanya dalam satu gebrakan

saja! Bahkan dia
sendiri merasakan pula bekas tangan lawannya. Lawan yang masih muda belia dan sama

sekali tidak dikenalnya.

Dengan penuh geram_Tapak Luwing salurkan tenaga dalamnya lewat lengan kanan terus

kegolok sedang tangan kirinya saat itu sudah memegang tiga pisau beracun.
Kedua kakinya terpentang, pinggangnya sedikit membungkuk ke muka. Tangan yang

memegang pisau dinaikkan ke atas agak ke belakang sedang tangan kanan memegang
golok lurus-lurus ke muka.

“Kenalkah kau jurus ini, pemuda keparat?!”.

“Ah… hanya jurus -- menyebar bunga menusuk buah -- nenek-nenek keriputpun bisa

mengenalnya!,” sahut si pemuda.

Bukan saja Tapak Luwing menjadi geram diajek demikian rupa namun dia juga kaget

melihat bahwa lawannya bisa menerka jurus yang bakal dikeluarkannya itu!

Untuk menutupi keterkejutannya Tapak Luwing berkata: “Kau sudah tahu nama jurus

ini, baik sekali!. Tapi juga ketahuilah ini adalah jurus kematianmu! Bagusnya
kasih tahu namamu sekarang juga agar kau mampus tidak dengan penasaran!”.

“Sudahlah…. jangan banyak bacot! Buktikanlah kehebatan jurus yang kau andalkan

itu!”.

Tapak Luwing tertawa dingin. Tubuhnya semakin membungkuk. Hampir tak kelihatan dia

menggerakkan tangan kirinya maka tiga pisau yang dipegangnya tahu-tahu
sudah meluncur sebat sekali ke arah si pemuda. Yang pertama menjurus batang leher,

yang kedua mencuit ke dada dan yang terakhir menggebubu ke bawah perut!

Bukan saja daya lesat pisau itu hebat sekali mengingat hanya di lemparkan dengan

tangan kiri, namun juga tempat-tempat yang diserangnya juga adalah tempat-tempat
yang berbahaya mematikan. Pada detik pisau-pisau beracun itu melesat ke muka, pada

saat itu pulaTapak Luwing menerjang dan putar goloknya dengan sebat.
Dorongan angin golok yang. menderu menambah kencangnya daya lesat tiga pisau itu.

Maka itulah jurus “menyebar bunga rnenusuk buah”. Pisau dan golok datang
susul menyusul!

“Akh jurusmu ini boleh juga!,” kata si pemuda. “Tapi coba terima dulu telapak

tanganku!”.

Si pemuda pukulkan tangan kirinya ke muka. Angin dahsyat melanda dan mementalkan

ketiga pisau. Tapak Luwing berseru kaget karena dua dari pisau itu akibat
dorongan angin pukulan lawan berbalik menyerang ke arahnya. Mau tak mau Tapak

Luwing terpaksa pergunakan goloknya untuk meruntuhkan dua pisau itu.

“Tring..... tring!”

Dua pisau beracun patah-patah dan terlempar jauh. Gerakan untuk menangkis dua pisau

ini membuat Tapak L.uwing melupakan pertahanan dirinya seketika. Ketika
dia memasang kuda-kuda baru maka telapak tangan kanan lawan sudah berada dekat

sekali ke kepalanya. Kepala Tiga Hitam dari Kali Comel ini pergunakan goloknya
untuk membabat lengan lawan namun kurang cepat karena lengan kiri si pemuda lebih

cepat menyusup membentur sambungan sikunya.

“Krak”!

“Plak”!

Tapak Luwing mengeluh dan huyung kebelakang. Lengannya patah. Keningnya yang kena

dihantam telapak tangan lawan sakit dan panas bukan main. Pada kulit kening
itu kini kelihatan tertera angka 212! Tapak Luwing coba alirkan tenaga dalam dan

atur jalan darahnya. Namun kekuatannya seperti punah. Keringat dingin
membasahi sekujur tubuhnya. Keningnya panas, sakit dan pemandangannya berkunang,

lututnya gontai!

“Keparat…,” desis Tapak Luwing.

“Ee… masih bisa memaki?”

“Kalau hari ini aku kena kau celakai jangan anggap kau sudah mempecundangi aku,

orang muda. Suatu hari kelak aku akan mencarimu dan mematahkan batang lehermu!”
Tapak Luwing ambil tiga pisau terbang dengan tangan kirinya. Cepat sekali senjata

itu dilemparkannya ke arah si pemuda lalu secepat itu pula dia putar
tubuh untuk larikan diri. Si pemuda melompat ke samping. Dua pisau lewat di kiri

kanannya. Pisau ketiga diluruhkannya dengan lambaian tangan kiri! Kemudian
sambil totokkan dua jari tangan kanannya mengirimkan totokan jarak jauh berserulah

si pemuda:

“Kenapa pergi buru-buru?! Bicaraku tadi padamu belum habis!” Kontan saat itu juga

tubuh Tapak Luwing menjadi kaku tegang tak bisa bergerak lagi! Si pemuda
tertawa dan berpaling pada pohon besar di tepi sungai.

“Saudara yang sembunyi di belakang pohon. keluarlah. Aku mau bicara juga dengan

kau!”. Kratomlinggo, yang berdiri di belakang pohon itu terkejut. Namun
karena tahu bahwa itu pemuda bukanlah dari golongan jahat maka tanpa ragu-ragu dia

segera keluar.

Lagi pula penuturan Tapak Luwing tadi yang mengaku bahwa dia.dan kawan-kawannya

adalah Komplotan Tiga Hitam dari Kalkomel membuat dia merasa perlu melakukan
penyelidikan lebih jauh.

“Saudara, apakah yang telah terjadi di sini sebelumnya dengan kau dan

kawan-kawan...?”.

“Panjang ceritanya, saudara. Tapi sebelumnya kalau aku boleh tahu siapa namamu…?”

“Aku Wiro…,” jawab si pemuda.

“Aku Kratomlinggo. Aku dan kawan-kawanku yang malang itu sama-sama dari desa

Bojongnipah. Kami bermaksud pergi ke Kotaraja…”

Maka Kratomlinggopun menuturkan segala sesuatunya, mulai dari soal pajak gila yang

dilarik oleh Ki Lurah Kundrawana sampai dengan kematian keempat kawannya
itu.

Wiro atau Wiro Sableng alias Pendekar 212 geleng-gelengkan kepalanya. “Aku memang

sudah lama dengar nama Komplotan bejat mereka. Yang satu ini kalau tak
salah bernama Tapak Luwing. Pantas saja selama beberapa waktu terakhir ini tak

kelihatan mereka malang melintang di sepanjang Kali Comel. Rupanya tengah
bikin kejahatan di sini…”.

“Dan pastilah penjahat-penjahat ini bekerjasama atau jadi- kaki tangan Ki Lurah
Kundrawana…”.

“Boleh jadi,” sahut pendekar 212. “Tapi mungkin juga merekalah biang runyam yang

melakukan pemerasan terhadap Ki Lurah!” Kratomlinggo mengangguk.

“Supaya jelas biar bangsat yang satu ini kita tanyai,” kata Wiro Sableng pula. Dia

melangkah mendekati Tapak Luwing untuk melepasakan totokan di tubuh kepala
Komplotan Tiga Hitam itu.

Namun baru saja satu tindak dia melangkah tiba-tiba sekali berkelebatlah satu sosok

tubuh dari kegelapan. Makhluk ini langsung meraih pinggang Tapak Luwing
dan membopong melarikannya!

Kratomlinggo terkejut. Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 berteriak: “Maling tengik!

Berhenti!”.

Sebagai jawaban, terdengar suara tertawa bekakakan dari orang yang melarikan Tapak

Luwing itu.

“Wiro Sableng, pemuda gendeng! Jangan sangka cuma kau sendiri yang jago dan sakti

di jagat ini! Aku tunggu kau besok siang di Rawasumpang! Kuharap kau punya
nyali unhuk menerima undangan kematianmu ini! Ha… ha… ha …!”

“Sompret betul! Siapa kau! Berhentil”.

“Besok siang. Wiro!” “

Dengan, geram pendekar 212 lepaskan pukulan “kunyuk melempar buah”! ke arah manusia

tak dikenal itu! Deru angin yang tiada terkirakan dahsyatnya menyerang
si orang asing. Pada saat itu pula terlihat selarik sinar biru. Dan angin pukulan

Wiro Sableng terbendung laksana membentur dinding baja! Terkejutlah pendekar
212. Pukulan yang dilancarkannya tadi disertai hampir sepertiga dari tenaga

dalamnya. Namun manusia yang tak dikenal itu berhasil meruntuhkan pukulan tersebut!

Besarlah dugaan Wiro Sableng bahwa orang yang memboyong Tapak Luwing itu adalah

guru Tapak Luwing., setidak-tidaknya kakak seperguruannya. Atau mungkin
juga seorang sakti dari golongan hitam yang berkawan dengan Tapak Luwing.

TUJUH
HALAMAN rumah lurah bojongnipah penuh oleh penduduk. Suasana malam terang benderang

oleh puluhan obor. Agaknya penduduk Bojongnipah sudah tak dapat menahan
kesabarannya lagi untuk mencincang dengan segala senjata yang mereka bawa, kedua

manusia yang saat itu terikat ke tiang langkan rumah. Mereka tiada lain
daripada anak-anak buah Tapak Luwing yang telah dirobohkan oleh Pendekar 212.

Keduanya telah siuman. Di samping terikat ke tiang, keduanya juga berada
dalam pengaruh totokan Wiro Sableng.

Kratomlinggo berdiri di samping Ki Lurah Kundrawana. Beberapa tombak dari mereka

berdiri tenang-tenang Wiro Sableng. Kratomlinggo barusan saja menerangkan
apa yang diketahuinya tentang kedua orang itu kepada Ki Lurah dan juga apa yang

telah terjadi di tepi sungai dekat jembatan.

Bola mata Ki Lurah Kundrawaana pulang balik memandangi Wiro Sableng dan kedua anak

buah Tapak Luwing. Saat itu Lurah Bojongnipah ini tak dapat lagi menahan
hati dan mengendalikan amarahnya. Untuk sesaat lupa dia bahwa anaknya masih berada

di dalam tawanan Tapak Luwing dan Tapak Luwing sendiri saat itu tidak
berhasil ditangkap!

“Saudara-saudaraku se-Bojongnipah…,” kata Kundrawana seraya maju beberapa langkah

ke hadapan penduduk yang berdesak-desakan. “Sekarang kurasa sudah waktunya
untuk menerangkan kepada kalian apa sesungguhnya latar belakang timbulnya pajak

gila itu! Aku dengan hati hancur dan seribu satu kepahitan telah terpaksa
menerima segala kata-kata dan cap yang kalian lemparkan padaku! Kalian mencap aku

sebagai tukang peras, aku telah terima. Kalian cap aku sebagai lintah
darat, sebagai tukang tindas... sebagai ini, sebagai itu, semuanya aku terima!

Namun hari ini, malam ini kalian terimalah juga satu penuturan dariku, satu
kenyataan yang menyebabkan terjadinya pemungutan pajak berat itu. Dulu aku pernah

berkata bahwa pajak itu dipungut atas perintah Raja! Untuk pembangunan
dan pemeliharaan balatentara Kerajaan. Kini kuakui itu semua hanya alasan belaka,

hanya dusta besar yang aku karang-karang demi untuk menyelamatkan keluargaku
dan juga menyelamatkan kalian semua dari keganasan dan kejahatan yang kalian tidak

ketahui ...”

PendudukBojongnipah saling pandang memandang satu sama lain penuh ketidak

mengertian. Ki Lurah Kundrawana menyapu wajah mereka seketika lalu meneruskan
bicaranya. “Tadi kalian sudah dengar semua keterangan Kratomlinggo. Ini satu

kenyataan bagus yang dengan sendirinya telah mencuci diriku. Tapi biar aku
beri penjelasan lebih lengkap. Dua manusia yang terikat itu adalah anak buah

Komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel, komplotan rampok-rampok bejat yang dikepalai
oleh Tapak Luwing yang berhasil melarikan diri ditolong oleh seorang tak dikenal.

Jadi ketiganya sama sekali bukanlah prajurit-prajurit Kadipaten seperti
yang mereka sengaja menyamar pagi tadi! Tiga minggu yang lewat, di satu malam

mereka telah datang ke rumahku dan memaksaku untuk menarik pajak sepuluh
kali lebih besar dari yang sudah-sudah. Jadi berarti aku harus menarik pajak

sebanyak sebelas kali terhadap kalian. Yang sepuluh bagian harus kuserahkan
pada mereka sedang yang satu bagian sebagaimana biasa diserahkan ke Linggajati di

mana Adipati Linggajati kemudian meneruskan ke Kotaraja… Aku coba untuk
melawan. Tapi di samping mereka bertiga berilrnu tinggi aku tak bisa berbuat

apa-apa karena anakku satu-satunya mereka bawa! Anakku akan mereka bunuh kalau
pajak itu tidak aku pungut dari penduduk di sini! Kalian bisa merasakan dan

mengetahui sendiri kini. Tak ada jalan lain bagiku untuk membantah, kecuali
kalau ingin putera tunggalku rnenemui kematiannya…!”.

Suasana malam sesepi dipekuburan kini! Penduduk sama menganga dan

terlongong-longong. Tentu saja hal ini tiada diduga sama sekali oleh mereka. Dan

serentak
pula dengan itu maka menggelegaklah kemarahan penduduk. Ketika seseorang di antara

mereka berseru: “Cincang dua bangsat ini!,” maka menyerbulah penduduk
Bojongnipah dengan senjata masing-masing. Namun disaat itu pendekar 212 maju ke

muka dan berseru nyaring. Sengaja seruannya itu disertai tenaga dalam untuk
mempengaruhi. penduduk yang tengah marah itu.

“Saudara-saudara, jangan ceroboh! Kunyuk-kunyuk ini akan dapat bagiannya juga! Tapi

kalian harus ingat pada nasib anak Lurah kalian! Karena itu biarkan
aku bicara sebentar dengan salah satu dari mereka… !”

Kalau saja penduduk tidak mendapat keterangan dari Kratomlinggo siapa adanya pemuda

berambut gondrong itu, pastilah penduduk tak akan mau ambil perduli
akan ucapan Wiro Sableng, lagi pula tenaga dalam si pemuda diam-diam sudah meresap

mempengaruhi mereka!

Wiro mendekati anak buah Tapak Luwing yang terikat di tiang langkan sebelah kanan.

“Namamu siapa, sobat?,” tanyanya.

Laki-laki itu diam saja. Hanya kedua bola matanya berputar menyorot melontarkan

pandangan sangat membenci dan mendendarn. “Eeeh rupanya bekas tanganku membuat
kau jadi tuli, huh!”.

“Keparat! Tak usah banyak bicara… Kelak hari pembalasan dari pemimpinku Tapak

Luwing akan tiba! Kalian semua di sini akan dikirim ke neraka!”.

Wiro Sableng menyeringai.

“Mungkin kau dan kawanmu yang akan lebih dahulu dkincang penduduk sampai lumat!”

kata Wiro Sableng pula. “Tak usah banggakan pemimpinmu! Dia sudah kabur
bersama seorang kawannya!”.

Keterangan ini mengejutkan kedua anak buah Tapak Luwing. Memang sejak mereka siuman

tadi mereka tidak melihat pemimpin mereka dan tak tahu berada di mana.
Dan Wiro berkata lagi: “Aku mempunyai dugaan bahwa kau ada sangkut pautnya dengan

Adipati di Linggajati. Katakan saja terus terang ...." Anak buah Tapak
Luwing diam.

“Katakan!,” bentak Wiro.

Sebaliknya laki-laki itu meludah ke lantai. “Beset saja mulutnya!,” teriak

Kratomlinggo yang sudah tak sabaran.

“Kau tak mau kasih keterangan?” tanya pendekar 212.

Anak buah Tapak Luwing itu meludah sekali lagi ke lantai langkan!

Wiro tertawa. Dijangkaunya sebuah obor yang dipegang oleh seorang penduduk.

“Pernah rasa panasnya api?,” tanya pendekar ini dengan tertawa-tawa.

“Tampang-tampang macammu ini akan lebih keren bila disundut begini rupa!”. Wiro

Sableng
lantas menyorongkan api obor ke muka laki-laki itu. Anak buah Tapak Luwing tak

sanggup gerakkan kepalanya karena tertotok. Keluhan kesakitan terdengar
tiada henti. Udara malam kini berbau hangusnya bulu mata, alis dan sebagian rambut

laki-laki itu. Kulit mukanya kelihatan merah terbakar.

“Mau sekali lagi?!,” tanya Wiro dengan tertawa-tawa.

“Aku bersumpah kalau lepas akan membunuhmu dan tujuh keturunanmu!,” kata anak buah

Tapak Luwing penuh penasaran.

“Jangan ngaco! Kau tak akan lepas dari sini. Kalaupun lepas mungkin cuma rohmu

saja! Dan aku belum punya keturunan…!”. Pendekar muda itu tertawa mengekeh.
Mau tak mau orang banyak yang menyaksikan itu jadi ikut-ikutan geli.

“Ayo, katakan apa hubunganmu dengan Adipati Linggajatit,” bentak Wiro seraya

mendekatkan api obor ke muka laki-laki itu.

“Tak ada hubungan apa-apa…!,” jawab anak buah Tapak Luwing.

“Ah… ini satu kebohongan atau kedustaan?!”.

“Aku tidak dusta. Tidak bohong!”.

“Lantas apa perlumu pagi tadi menyamar bertiga-tiga menjadi prajurit-prajurit

Kadipaten…?”.

“Itu bukan urusanmu!”.

“Oh begitu? Memang bukan urusanku. Tapi urusan api obor ini!”. Dan sekali lagi api

obor menjilati muka laki-laki itu. Dia menjerit-jerit. Wiro rnenunggu
sampai beberapa detik di muka. “Mau kasih keterangan apa tidak?” tanyanya.

“Aku akan terangkan… !” berkata juga laki-laki itu pada akhirnya.

Wiro tersenyum. Dilariknya obor kembali. “Nah bicaralah. Biar kerasan agar semua

orang dengar!”.

Maka anak buah Tapak Luwing itupun memberikan penuturan: “Adipati Seta Boga dari

Linggajati mengirimkan seorang utusan pada kami. Dia telah membuat rencana
untuk melakukan pemerasan di sini. Kami ditawarkannya pekerjaan untuk menarik pajak

itu dengan perjanjian hasilnya dibagi dua. Pemimpin kami menerimanya
dan… dan…”.

“Sudah. Itu sudah cukup terang!” kata Wiro Sableng pula.

Ki Lurah Kundrawana maju ke muka. “Jadi ini semua dibiangi oleh Adipati Seta Boga

...?”

“Ya...”.

“Kita harus tangkap Adipati itu!” teriak penduduk.

“Gantung saja bersama kunyuk-kunyuk yang dua ini!” teriak yang lain.

Pendekar 212 angkat tangan kirinya. “Soal Adipati itu serahkan padaku,” katanya.

“Yang penting kini ialah menyelamatkan anak laki-laki Ki Lurah…”. Tersiraplah
darah Ki Lurah Kundrawana bila dia ingat kembali akan anaknya.

Dijambaknya rambut anak buah Tapak Luwing. “Anakku di mana kalian sekap?!”

tanyanya.

Laki-laki itu tertawa buruk. Sangat buruk, apalagi melihat mukanya yang hangus dan

merah mengelupas. “Jangan harap anakmu akan selamat Kundrawana!”

Kundrawana menyentakkan kepala laki-laki itu. “Dimana?!”.

“Mungkin sudah mampus di tangan pemimpinku!”

Kundrawana mengambil obor dari tangan Wiro Sableng. Anak buah Tapak Luwing menjerit

keras ketika obor itu disodokkan ke mata kanannya, Mata itu pecah dan
darah meleleh di kulit mukanya yang mengelupas hangus!

“Kedua matanya akan kubikin buta keparat! Kecuali, kalau kau segera menerangkan di

mana anakku kalian sekap!”.

Laki-laki itu sebenarnya menyadari bahwa kalau sudah tertangkap demikian rupa

dirinya tak akan mungkin lagi bisa selamat. Adalah percuma saja baginya untuk
memberikan keterangan. Namun dalam diri manusia yang berkeadaan seperti anak buah

Tapak Luwing saat itu, walau bagaimanapun senantiasa selalu terdapat
sekelumit harapan untuk bisa menyelamatkan diri sehingga ancaman matanya akan

dibutakan kedua-duanya itu mau tak mau mengerikannya juga!

Maka diapun memberikan keterangan : “Anak itu disekap di satu kuil tua di Parit

Kulon…”.

Lega sedikit hati Kundrawana. “Tapi,” katanya, “bila aku datang ke sana anakku

tidak ada atau kutemui dia dalam keadaan sudah mati jangan harap kau bisa
melihat dunia ini sampai esok lusa!”. Kini pendekar 212 yang buka suara :

“Saudara-saudara apapun yang kalian lakukan terhadap dua kunyuk ini, itu bukan
urusanku lagi. Tapi sedapat-dapatnya jangan diapa-apakan dulu dia sebelum anak Ki

Lurah ketemu dalam keadaan selamat. Soal Adipati Seta Boga di Linggajati,
serahkan padaku. Besok kalian bisa mengambil sosok tubuhnya di Kadipaten

Linggajati. Cuma aku tak dapat memastikan apakah dalam keadaan masih bernafas
atau tidak. Itu tergantung pada sikapnya sendiri! Sekiranya dia masih hidup, ada

baiknya kalian giring saja ke Kotaraja… Nah, selamat tinggal!”.

“Saudara tunggu dulu!” seru Kratomlinggo dan Kundrawana hampir berbarengan. Namun

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 sudah berkelebat lewat langkan, lewat
kepala-kepala penduduk Bojongnipah lalu lenyap ditelan kegelapan malam.
***

HANYA sebentar suasana sepi menyeling. Bila bayangan sosok tubuh pendekar 212 sudah

lenyap ditelan kegelapan malam maka lupalah penduduk Bojongnipah akan
pesan pendekar itu. Beramai-ramai mereka menyerbu kedua anak buah Tapak Luwing yang

berada dalam keadaan tak berdaya, terikat ketiang langkan dan tertotok.
Puluhan senjata laksana hujan bertubi-tubi mampir ke kepala dan tubuh kedua orang

itu. Tiada terdengar suara jeritan kedua orang ini, rintihanpun tidak!
Mereka telah menemui nasib pembalasan atas kejahatan mereka. Keduanya menghembuskan

nafas dengan tubuh mandi darah dan muka hancur tak bisa dikenali lagi.

Ki Lurah Kundrawana tidak menyaksikan lagi apa yang diperbuat penduduk Bojongnipah

itu. Bersama Kratomlinggo dan tiga orang lainnya, dengan menunggangi
kuda, dia meninggalkan Bojongnipah menuju Parit Kulon, sebuah pesawangan yang

jarang didatangi manusia, terletak kira-kira ernpat kilometer dari desa.
Satu-satunya bangunan di Parit Kulon adalah kuil tua yang diterangkan anak buah

Tapak Luwing. Karenanya meskipun malam tak sukar untuk mencarinya. Ki Lurah
Kundrawana menyalakan obor yang dibawa. Diiringi oleh keempat orang lainnya dia

masuk ke dalam kuil tua itu. Meski dia menemui anaknya dalam keadaan menyedihkan
namun Kundrawana merasa. lega dan gembira karena anak satu-satunya itu ternyata

masih bernafas. Anaknya tidur di ubin kotor dengan pakaian yang juga kotor.
Tubuhnya kurus dari parasnya pucat karena tak terurus. Tangan dan kakinya diikat.

Kundrawana bertutut lalu memeluk anaknya itu. Kratomlinggo membuka tali
yang mengikat tangan serta kaki si anak yang saat itu sudah bangun. Tetesan air

mata mengalir di pipi Ki Lurah Kundrawana. Tapi air mata kali ini adalah
air mata gembira.

Sementara itu di tempat lain ....
Tapak Luwing merasa tubuhnya yang kaku karena ditotok itu dibawa lari dalam

kegelapan malam oleh seseorang. Bila sinar bulan yang tidak begitu terang

menyeruaki
pohon-pohon sepanjang jalan yang mereka lalui dan menyinari paras laki-laki itu

samar-samar. Tapak Luwing terheran dan berpikir-pikir. Laki-laki yang membawanya
berlari itu tidak dikenalnya sama sekali. Siapa dia dan ke mana manusia ini mau

membawanya! Kemudian apakah dia seorang yang akan menolongnya atau bukan?
Tapi melihat gelagat dan ucapannya terhadap pemuda berambut gondrong tadi Tapak

Luwing bisa sedikit memastikan bahwa laki-laki ini tidak bermaksud jahat
terhadapnya. Diam-diam hatinya merasa lega. Maka bertarryalah dia: “Sobat, kau

siapakah?”.

“Jangan banyak tanya dulu!” menjawab orang yang memanggulnya. Suaranya besar dan

parau, larinya laksana angin.

“Kita ini kemanakah?,” tanya Tapak Luwing lagi.

“Aku bilang jangan bertanya apa-apa dulu. Apa tidak mengerti?!”

Tapak Luwing penasaran sekali. Namun dia menurut dan menutup mulutnya. Sepanjang

perjalanan itu, satu hal saja yang diketahui oleh Tapak Luwing tentang
orang yang memanggul dan membawa larinya yaitu laki-laki itu puntung tangan

kanannya sampai sebatas bahu!

Ketika sampai di sebuah telaga kecil akhirnya laki-laki bertangan buntung itu

menghentikan larinya. Tapak Luwing diturunkan dan disandarkan ke sebatang
pohon di tepi telaga. Kemudian dilepaskannya totokan di tubuh Tapak Luwing.

“Atur nafas dan jalan darahmu. Kerahkan tenaga dalam!” berkata si tangan buntung.

Tapak Luwing segera melakukan hal itu. Tidak disuruhpun memang semustinya
dia sudah bermaksud demikian, sesuai dangan setiap ajaran ilmu silat dari aliran

dan golongan manapun. Kemudian dengan tangannya yang cuma satu laki-laki
itu dangan cekatan mengobati lengan Tapak Luwing yang patah dan membalutnya dangan

secarik kain.

“Aku berhutang budi dan nyawa padamu sobat,” kata Tapak Luwing.

Laki-laki yang menolongnya tertawa. “Ada hutang ada piutang…,” katanya di antara
tertawanya, “ada budi ada balas”.

“Maksudmu sobat?” tanya Tapak Luwing. “Di satu hari kelak pertolongan yang

kuberikan padamu ini akan kutagih…”.

Tapak Luwing kerenyitkan kening. “Tidak kau tagihpun, jika ada kesempatan aku pasti

akan membalasnya. Bahkan jika aku sudah sembuh dan kau bersedia ikut
ke Kali Comel, aku akan hadiahkan kepadamu harta benda, perhiasan dan uang seberapa

saja kau suka”

Si tangan buntung menyeringai. Gigi-giginya hitam kecoklatan. “Aku tidak butuh

semua itu,” desisnya. Dipegangnya balutan di lengan Tapak Luwing. Sesaat
kemudian Tapak Luwing merasakan aliran tenaga dalam yang ampuh merembas ke dalam

tubuhnya. Tubuhnya menjadi segar kini dan rasa sakit pada lengannya yang
patah itu berkurang.

“Terima kasih,” kata Tapak Luwing. “Apa sudah boleh aku kenal padamu. Aku Tapak

Luwing...”

“Aku tahu siapa kau. Aku sudah lama dengar tentang komplotanmu yang malang

melintang di sepanjang Kali Comel. Dan ketika tahu bahwa kau berada di sekitar
sini, timbul satu maksud untuk menemuimu”.

“Apakah maksud itu?” bertanya Tapak Luwing. “Tadi aku sudah bilang, ada hutang ada

piutang, ada budi ada balas. Satu hari kelak aku membutuhkan tenagamu…!”.

“Jangan kawatir, aku pasti bersedia. Tapi untuk keperluan apakah?”.

“Kau tak usah tahu untuk keperluan apa. Kau nanti akan tahu juga. Dengar, nanti

pada hari tigabelas bulan dua belas kau harus dating ke Gunung Tangkuban
Perahu…”

“Gunung Tangkuban Perahu…?”.

“Ya. Masih kira-kira delapan bulan dari sekarang. Dan satu hal harus kau ingat.

Jangan sekali-kali coba kembali ke desa Bojongnipah untuk buat perhitungan
dengan Ki Lurah Kundrawana, salah-salah kau bisa ketemu dangan bangsat yang telah

mencelakaimu tadi! Walau bagaimanapun untuk saat ini kau tak akan mampu
menghadapinya! Ada saat untuk menyelesaikan urusan dangan dia. Karena itu kau musti

datang ke Tangkuban Perahu pada hari tiga belas bulan dua belas nanti.
Dengar?”

Tapak Luwing mengangguk. “Kau tahu siapa bangsat itu agaknya?,” dia bertanya.

“Angka pengenalnya telah dituliskannya dikeningmu”.

Terkejutlah Tapak Luwing. Dirabanya keningnya. Tak ada rasa sakit tapi memang kulit

kening itu agak kesat dari sebelumnya.

“Berkacalah ke telaga itu”.

Tapak Luwing merangkak ke tepi telaga. Dia membungkuk dekat-dekat ke air telaga

yang jernih itu dan di bawah penerangan sinar bintang-bintang serta bulan
sabit samar-samar dilihatnya tertera tiga buah angka. Angka 2 1 2 ! Tapak Luwing

memandang keheran-heranan pada si tangan buntung lalu memperhatikan lagi
mukanya di air telaga. Diusapnya keningnya.

Diusapnya lagi sampai beberapa kali tapi angka 212 itu tidak mau hilang.

Dibasahinya keningnya dangan air telaga lalu diusapnya lagi berulang kali. Tetap
saja angka 212 itu tidak mau hilang!

“Dengan. apapun dan cara bagaimanapun angka itu tak akan bisa pupus dari keningmu

Tapak Luwing! Angka itu ditera dengan telapak tangan yang mengandung tenaga
dalam dan kesaktian yang luar biasa. Sekalipun kulit keningmu dikelupas sampai ke

batok kepalamu maka pada tulang batok kepalamupun angka itu sudah meresap!”

“Siapa sesungguhnya manusia muda berambut gondrong dengan angka pengenal 212
itu…” tanya Tapak Luwing pula.

“Namanya Wiro Sableng. Dia sakti sekali…” jawab si tangan buntung. “Tapi,” katanya

kemudian menambahkan, “dihari tiga belas bulan dua belas nanti, kelak
ajalnya akan sampai!”.

Diam-diam, meskipun si tangan buntung tidak menerangkan tapi Tapak Luwing tahu,

kini bahwa antara si tangan buntung dan pemuda rambut gondrong yang telah
mencelakainya itu terdapat sangkut paut dendam kesumat.

“Selama waktu delapan bulan mendatang,” berkata lagi si tangan buntung, “kuanjurkan

kepadamu untuk berlatih ilmu silat yang telah kau miliki agar lebih
hebat.”
Tapak Luwing mengangguk.

Si tangan buntung berkata: “Sekarang kita berpisah. Jangan lupa hari tiga belas

bulan dua belas itu. Dan jangan coba-coba untuk tidak memenuhi perintahku
ini…”

“Kau mau kemana sobat?”

“Urusanku masih banyak…”

“Tapi kau masih belum menerangkan namamu”.

“Namaku Kalingundil!”

DELAPAN
LINGGARJATI sudah agak sepi ketika dia sampai ke sana karena hari sudah menjelang

larut malam dan udara dingin mencucuki kulit tubuh sampai ke tulang-tulang.
Di sebuah kedai dia berhenti untuk membasahi tenggorokan dan menghangatkan tubuhnya

dengan segelas bandrek. Di kedai ini juga dia telah menanyakan di mana
letak tempat kediaman Adipati Seta Boga. Tak sukar mencari tempat kediaman Adipati

Seta Boga. Rumahnya adalah sebuah gedung yang paling bagus dan paling
besar di Linggarjati. Saat itu gedung tersebut berada dalam suasana tenang

tenteram. Dua orang pengawal berdiri di pintu masuk dan di ruang tamu kelihatan
beberapa orang laki-laki. Rupanya Adipati Seta Boga tengah menerima beberapa orang

tamu.

Laki-laki itu melangkah seenaknya di depan kedua pengawal Kadipaten. “Di sini

rumahnya Adipati Seta Boga ?” tanyanya pada salah seorang pengawal.

“Betul. Ada apa…?” balik menanya si pengawal.

“Ah tidak apa-apa. Aku cuma tanya…,” jawab si pemuda. Digaruknya rambutnya yang

gondrong.

“Adipatinya ada .... ?”

“Ada sedang merierima tamu. Kau siapa? Perlu apa tanya-tanya…?”

“Cuma tanya,” jawab si pemuda. Digaruknya lagi rambutnya lalu tanpa bilang apaapa

dia melanjutkan langkahnya.

“Sialan . . . ,” maki pengawal itu. Yang dimaki jalan terus.

Pengawal yang satu berkata “orang gendeng…” Keduanya memandang sampai pemuda tadi

lenyap di tikungan jalan yang gelap. Setengah jam kemudian, ketika pemuda
itu kembali maka tamu-tamu di Kadipaten sudah tak kelihatan lagi. Lampu besar di

ruang depan sudah diganti dengan lampu kecil. Melihat kedatangan si pemuda
dan yang seperti tadi berhenti di depan mereka maka membentaklah salah seorang dari

pengawal.

“Orang sinting! Ada apa kau datang lagi ke sini?!”

“Pergi sebelum kepalamu kupentung dengan gagang tombak ini!,” menghardik yang

seorang lagi.Si pemuda menyeringai.

“Dengar sobat-sobatku,” katanya. Kedua tangannya diacungkan ke muka. Jari-jari

telunjuk dan jari jari tengah diluruskan. “Kalian lihat jari-jari tanganku
ini .... ?,” tanyanya.

“Kunyuk gendeng! Berlalulah atau kuremukkan kepalamu!” bentak pengawal sambil
acungkan tombaknya.

“Ah… jangan buru-buru marah tak karuan. Bicaraku masih belum habis!,” menyahuti si

pemuda tanpa acuhkan ancaman pengawal. Jari jari tangannya masih diluruskan.
“Coba kalian hitung jari-jari tangan yang kuacungkan ini,” katanya.

Tentu saja kedua pengawal jadi tambah mengkal melihat tingkah dan mendengar ucapan

si pemuda. Maka dua gagang tombakpun meluncur deras ke kepala pemuda
itu.

Namun lebih cepat lagi dari luncuran kedua tombak itu, maka kedua tangan si pemuda

tahu-tahu sudah menotok urat di pangkal leher pengawal-pengawal. Kontan
keduanya menjadi gagu dan kaku menegang.

Si pemuda tertawa. Kedua pengawal itu sekaligus dipanggulnya di bahu kiri kanan

kemudian dimasukinya halaman Kadipaten. Pengawal-pengawal yang dipanggul
kemudian dilemparkannya ke kandang kuda di belakang rumah. Lewat pintu belakang dia

masuk ke dalam gedung Kadipaten yang saat itu belum dikunci. Seorang
perempuan separuh umur, yang bekerja sebagat pembantu rumah tangga dan yang saat

itu tengah mencuci piring terkejut melihat munculnya seorang pemuda berambut
gondrong yang tak dikenalnya. Dan pemuda itu tersenyum kepadanya.

“Kau... kau siapa...?” tanyanya.

Si pemuda masih senyum. Tangan kirinya dilambaikan. Selarik angin tajam menyambar

ke leher si perempuan. Perempuan ini hendak berteriak. Namun saat itu
mulutnya sudah gagu, lidahnya sudah kelu sedang tubuhnya tak bisa lagi digerakkan

akibat totokan jarak jauh yang lihay sekali. Si pemuda kemudian memasukkan
perempuan itu ke dalam sebuah bilik kosong di bagian belakang gedung.

Saat itu Adipatit Seta Boga tengah membuang hajat kecil di kamar mandi. Ketika dia

masuk kembali ke dalam gedung maka terkejutlah Adipati Linggarjati ini.
Betapa tidak!
Di atas kursi goyang, di mana dia sering dudak bila melepaskan lelah, kini

dilihatnya duduk enak-enakan sambil memejam-mejamkan mata seorang pemuda berbadan
kekar dan berambut gondrong yang sama sekali tidak dikenalnya!

“Setan atau manusia dari mana yang kesasar ke gedungku ini…?” ujar Adipati Seta

Boga di dalam hati. Dan pemuda di atas kursi terus juga menggoyang-goyangkan
badannya dan kedua matanya masih dipejamkan.

“Siapa kau?!” bentak Adipati itu dengan suara menggeledek dan menggema di empat

dinding ruangan.

Kursi goyang itu bergoyang-goyang juga. Pemuda yang duduk di atasnya masih terus

duduk enak-enakan dan memejamkan mata. Geram sekali Adipati Seta Boga jadinya.
Dengan langkah besar-besar dia maju mendekat kursi goyang dan orang yang

mendudukinya. Telapak tangan kanan terkembang dan detik itu juga maka melayanglah
tamparannya! Beberapa saat lagi tangan kanan itu akan mendarat di pipi si pemuda

tiba-tiba si pemuda bukakan kedua matanya. Dan seperti alas kursi itu
mempunyai per yang melesatkan si pemuda ke atas demikianlah tubuh pemuda itu

melayang enteng sampai dua tombak dari kursi yang didudukinya! Dan sebagai
akibatnya maka tangan kanan Adipati Seta Boga kini menghantam sandaran kursi

goyang.

Sandaran kursi itu pecah. Kayunya berkeping-keping berantakan. Dapat dibayangkan

bagaimana jika seandainya tamparan itu mendarat di pipi si pemuda karena
tamparan itu tidak boleh tidak tentu mengandung tenaga dalam yang luar biasa!

“Ah.... kau rupanya Seta Boga…,” kata si pemuda sambil mengusap matanya. “Aku

sedang enak-enakan tidur, kau mengganggu saja…!”

“Anjing kurap kenapa kau bisa kesasar ke mari? Apa minta ditebas batang lehermu?!,”

radang Adipati Seta Boga. Geram sekali dia. Selama menjadi Adipati baru
hari ini ada seseorang yang memanggilnya dengan “Seta Boga,” saja !

Sipemuda tertawa dan seperti tak ada hal apa-apa dia duduk kembali seenaknya di

atas kursi goyang, kembali bergoyang-goyang dan memejamkan matanya.

“Setan alas betul!,” damprat Seta Boga. Sekali kaki kanannya bergerak maka mental

dan hancurlah kursi goyang itu. Tapi si pemuda sekejapan sebelum itu sudah
melompat dan berdiri di sudut ruangan dekat sebuah meja kecil.

“Kursi bagus ditendang sampai hancur. Kau sudah sinting rupanya Seta Boga?,” tanya

si pemuda sambil menyengir. Sementara itu karena suara ribut-ribut di
ruang tengah maka istri Seta Boga ke luar dan disamping heran dia juga terkejut

melihat apa yang terjadi.

“Kakang ada apakah? Siapa manusia ini?!” tanya perempuan itu.

“Pergi, panggil pengswal!,” teriak Seta Boga pada istrinya. Perempuan itu berteriak
memanggil pengawal. Namun tiada pengawal yang datang. Dua pengawal Kadipaten

sebelumnya sudah dibikin “mendengkur” oleh si pemuda di kandang kuda!

Kegeraman Seta Boga tak terkirakan lagi ketika dilihatnya pemuda berambut gondrong

itu mengambil sebatang serutu miliknya dan dalam kotak serutu yang terletak
di atas meja kecil di sudut ruangan lalu menyalakannya sekaligus! Rahang-rahang

Seta Boga bertonjolan. Jari-jari tangan kanannya diremas-remaskannya satu
sama lain. Sesaat kemudian kelihatanlah jari-jari tangan itu menjadi merah. Warna

merah terus menjalar sampai sebatas siku.

“Anjing kurap yang kesasar, hari ini terima nasibmu harus mampus oleh pukulan wesi

geniku!” Tangan kanan yang merah itu dipukulkan ke muka. Selarik angin
yang tidak terkirakan panasnya menggebubu ke arah si pemuda.

Tubuh si pemuda berkelebat.

“Wuss!”

“Brak!”

Istri Seta Boga menjerit. Dinding di muka mana pemuda itu tadi berdiri hancur

berlubang dan menjadi hitam hangus! Orang yang diserang kelihatan disudut
ruangan sebelah kanan, asyik-asyikan menyedot serutu!

Dada Seta Boga menjadi sesak oleh amarah yang meluap. “Siapa kau sebenarnya ?!”

bentak Adipati Linggarjati ini, Si pemuda batuk-batuk lalu cabut serutunya
dari sela bibir.

“Namaku ... ?,” ujarnya. “Masakan kau tidak tahu ?!”

“Setan alas .... !”

Si pemuda tertawa menanggapi makian itu. “Namaku Tapak Luwing,” katanya. “Aku

datang untuk menyerahkan sebagian dari uang pungutan pajak di desa Bojongnipah.
Ini terimalah…!”

Si pemuda mengeruk saku bajunya. Sesuatu dalam genggamannya kemudian dilemparkannya

ke arah Adipati Seta Boga. Laki-laki ini cepat menghindar dan lambaikan
tangan kanannya. Benda yang dilemparkan ternyata adalah kira-kira selusin

kalajengking yang saat itu sudah mati dan bertebaran di lantai. Istri Seta Boga
memekik lalu lari ke dalam kamar. Si pemuda tertawa bekakakan!

Adipati Seta Boga tak menunggu lebih lama menyambar sebuah tombak yang dipanjang di

dinding. Dengan senjata ini dia kemudian menyerang si pemuda! Si pemuda
tenang-tenang selipkan serutunya ke bibir, menghisapnya dengan cepat lalu

menghembuskan asapnya ke arah Seta Boga.

Adipati ini terpaksa melompat ke samping sekali lagi karena asap serutu itu

mengandung tenaga dalam dan menyambar ke arah kedua matanya! Dari samping kini
Seta Boga melancarkan serangan. Tombak di tangannya membabat kian kemari. Tangan

kiri melakukan pukulan-pukulan tangan kosong jarak jauh beberapa kali
berturut-turut!

Inilah jurus “kitiran dan alu sabung menyabung” Jurus ini biasanya dilaksanakan

dengan memakai pedang. Tapi dengan tombakpun kehebatannya tidak olah-olah.

Tapi betapa terkejutnya Seta Boga ketika si pemuda dengan tertawa-tawa berkata :

“Ah, cuma jurus kitiran dan alu sabung menyabung, siapa takut? Sambuti
serangan balasan ini, Seta Boga!”

Demikianlah, meskipun diserang tapi si pemuda bukannya mengelak malahan menyambut

dengan serangan pula! “Ini jurus membuka jendela memanah rembulan Seta
Boga!,” kata si pemuda. Lengan kirinya dipukulkari melintang dari atas ke bawah

sedang tangan kanan meluncur ke atas dalam gerakan yang cepat sekali dan
sukar dilihat oleh mata !

“Ngek”

“Buk !”

Tombak di tangan Seta Boga terlepas mental karena lengannya kena dibabat oleh

lengan lawan. Suara ngek yang ke luar dari tenggorokannya adalah akibat urat
besar di bawah dagunya telah kena ditotok oleh sipemuda. Di saat itu pula tubuhnya

tak bergerak lagi alias kaku tegang! Karena sebelum ditotok Seta Boga
telah menyeringai kesakitan akibat benturan lengan lawan maka di saat tubuhnya

menjadi kaku itu, mimik parasnya sungguh tak sedap untuk dipandang!

Si pemuda cabut serutu dari sela bibirnya dan meniupkan asap serutu itu ke muka

Seta Boga. “Sayang sekali,” katanya. “Jurus kitiran dan alu sabung menyabungmu
terpaksa bertekuk lutut di bawah jurus membuka jendela memanah rembulan-ku…”.

Ditiupkannya lagi asap serutu ke muka Seta Boga. Totokan pada urat besar di bawah

dagu Seta Boga tetah melumpuhkan tubuhnya, membuat mulutnya menjadi gagu
dan, perasaannya menjadi tumpul. Cuma telinganya saja saat itu yang masih sanggup

mendengar. Maka berkatalah si pemuda. “Dengar Seta Boga… besok Ki Lurah
Kundrawana dan penduduk Bojongnipah akan datang ke sini. Kalau nasibmu baik kau

akan mereka seret ke hadapan Raja di Kotaraja. Tapi kalau nasibmu buruk,
mereka akan mengeremusmu beramai-ramai! Dan sebelum aku pergi, terima hadiah

kenang-kenangan ini dariku....”.

Si pemuda acungkan jari telunjuk tangan kanannya. Dengan mempergunakan ujung jari

itu diguratnya tiga buah angka di kening Seta Boga, 212 ...!

Ketika pada keesokan harinya Ki Lurah Kundrawana dan dua lusin penduduk Bojongnipah

bersenjata lengkap datang ke gedung Kadipaten di Linggarjati, mereka
heran menemui gedung itu dalam keadaan kosong. Tak satu manusiapun ada di dalamnya.

“Pasti Adipati keparat itu sudah melarikan diri!,” Kata Kundrawana geram.

Tiba-tiba terdengar seseorang berteriak dari belakang gedung. Ketika Kundrawana dan

yang lain-lainnya pergi ke belakang gedung mereka hampir tak percaya
dengan penglihatan mereka. Lima orang kelihatan berdiri tak bergerak-gerak di

kandang kuda. Di sebelah muka adalah Adipati Seta Boga dan istrinya. Di kiri
kanan mereka pengawal-pengawal Kadipaten dan di sebelah belakang perempuan yang

menjadi pembantu rumah tangga! Ketika diperiksa kelimanya masih dalam keadaan
bernafas dan ditotok urat darah mereka.

Ki lurah Kundrawana memandang pada angka 212 yang tertera di kening Adipati Seta

Boga. “Dua satu dua . . . . ,” desisnya. Dia hanya goleng-goleng kepala
lalu memerintah: “Perempuan-perempuan dan pelayan lepaskan totokannya. SetaBoga

kita seret ke Kotaraja!”

Pendekar kapak maut naga geni 212 Wiro Sableng melangkah pelahan menuju ke tepi

sungai. Di tempat yang agak kelindungan dia membuka pakaian dan mandi membersihkan
diri Sambil mandi itu kadang-kadang dia tertawa sendiri bila mengingat kejadian

malam tadi di Kadipaten Linggarjati. Mungkin pagi itu Kundrawana sudah
sampai di Linggajati, mungkin masih dalam perjalanan. Satu manusia jahat, satu

kejahatan telah berakhir. Tapi pendekar 212 tahu bahwa selama dunia terbentang,
selama itu pula kejahatan tak pernah akan berakhir !

Selesai mandi badannya terasa segar. Matahari sudah mulai tinggi. Suara siulan ke

luar dari sela bibirnya sedang pikirannya mengingat-ingat pertempurannya
dengan Tapak Luwing dan laki-laki yang telah melarikan Tapak Luwing serta

menantangnya itu. Tantangan ini mengingatkannya pada pertempurannya di Gua

Sanggreng
dengan Bergola Wungu tempo hari. Kali ini untuk kedua kalinya dia ditantang. Siapa

pula gerangan kali ini yang menantangnya ?

“Hidup ini memang penuh tantangan? Tantangan yang timbul dari diri kita sendiri dan

dari diri manusia-manusia lain… Sungguh gila kehidupan ini! Tapi kegilaan
inilah yang mendatangkan kenikmatan…”. Maka siulan pendekar 212 itu semakin

meninggi dan melengking membawakan lagu tak menentu.

Tentang diri manusia yang telah melarikan Tapak Luwing itu hanya dua hal yang

diketahui oleh Wiro Sableng. Pertama, dalam kegelapan malam dia melihat bahwa
manusia itu buntung tangan kanannya. Kedua, ketika dia melancarkan pukulan kunyuk

melempar buah dengan mempergunakan sepertiga bagian dari tenaga dalamnya,
manusia bertangan buntung itu telah menyambuti pukulan tersebut dengan selarik

sinar biru! Dan pukulan kunyuk melempar buah telah terbendung oleh selarik
sinar biru itu! Ini membawa pertanda bahwa si tangan buntung itu siapapun adanya

pastilah memiliki ilmu yang tinggi. Pendekar 212 menduga manusia ini mungkin
sekali guru atau kakak seperguruan Tapak Luwing. Dikenakannya pakaiannya kembali

dan diteruskannya perjalanannya.

Rawasumpang satu daerah tandus penuh rawa-rawa maut yang menghisap setiap benda apa

saja yang masuk ke dalamnya. Daerah ini terletak empat kilo di sebelah
timur Linggajati. Kesinilah Wiro Sableng menuju. Angin dari utara bertiup kencang

membuat pakaian dan rambutnya yang gondrong berkibar-kibar. Dia memandang
ke bawah. Pedataran luas penuh rawa-rawa maut itu sunyi sepi. Tak satu manusiapun

yang dilihatnya. Wiro memandang ke langit. Matahari tengah bergerak dalam
gerakan yang tidak kelihatan menuju ke titik tertingginya.

Tiba-tiba dari arah timur terdengar suara bergelak yang santar sekali! Pendekar

kita berpaling ke arah itu. Sesosok tubuh laksana anak panah berlari kencang
sekali di pedataran luas di sela-sela tebaran rawa-rawa. Begitu suara gelaknya

hilang maka tubuhnya sudah berada di bawah bukit di mana pendekar 212 berada.
Bukit itu tidak berapa tinggi dan dalam jarak sejauh itu Wiro Sableng segera dapat

mengenali siapa adanya manusia yang bertangan buntung itu.

“Kalau dia yang menjadi penantangku malam tadi, pastilah dia telah memiliki ilmu

yang tinggi dan sangat diandalkan…,” kata Wiro Sableng dalam hati. “Tapi...,”
ujarnya lagi, “bagaimana mungkin dalam tempo beberapa bulan saja kepandaiannya

sudah seluar biasa ini...?”.

“Manusia yang merasa bernama Wiro Sableng, merasa bergelar Pendekar Kapak Maut Naga

Geni 212, turunlah! Atau aku yang musti naik ke atas bukit itu?!”. Terdengar
suara laki-laki di bawah bukit. Pendekar kita keluarkan suara bersiul.

“Tikus buduk cacingan kalau sudah jadi kucing dapur memang berabe!,” katanya. “Ada

kabar apa kau mengundang aku ke sini kucing dapur...?”.

Paras Kalingundil kelam membesi. Dengan suara keras dia menyahuti: “Tadinya aku

kira kau tak punya nyali untuk datang ke sini pendekar edan! Hitungan kita
tempo hari
masih belum selesai…”

“Oho, jadi untuk maksud itukah kau kehendaki pertemuan ini? Bagus sekali

Kalingundil. Memang urusan yang belum selesai harus diselesaikan. Benang kusut
harus diurai baik-baik kembali!”.

“Tepat sekali,” jawab Kalingundil. “Cuma satu hal pendekar gila. Kalingundil yang

dulu tidak sama dengan yang kau lihat hari ini!”.

Wiro Sableng tertawa bergelak. “Tentu saja. Tadipun aku sudah bilang bahwa dari

tikus buduk cacingan kau sudah berubah menjadi kucing dapur. Tapi kau tak
banyak berbeda Kalingundil! Tanganmu yang dulu buntung sekarang masih tetap

buntung! Seharusnya kau cari tukang kayu yang pandai untuk membuat tangan palsu…!”.

Mendidih darah di kepala Kalingundil. Tangan kirinya bergerak, memukul ke atas.

Setiup angin biru deras menyambar ke arah Wiro Sableng. Pendekar itu lompat
ke samping dengan sebat dan menyaksikan bagaimana tanah bukit tempatnya berdiri

tadi terpupus berhamburan laksana longsor dihantam angin pukulan Kalingundil!
Diam-diam Wiro Sableng menjadi kagum juga terhadap lawannya itu. Kepada siapakah

Kalingundil telah menuntut ilmu selama beberapa bulan ini?

“Pendekar gila, jangan petatang peteteng juga! Turunlah ke pedataran rawa-rawa

ini!,” teriak Kalingundil. “Turun untuk terima kematianmu!”.

“Setiap undangan baik dan buruk pantang kuelakkan, Kalingundil,” sahut Wiro

Sableng. Laksana seekor burung garuda dia melompat ke bawah. Dalam keadaan tubuh
melayang di udara itu, Kalingundil kirimkan tiga pukulan tangan kosong sekaligus,

beruntun hebat sekali. Pendekar 212 sambut pukulan ini dengan pukulan
“benteng topan melanda samudera”!

Maka beradulah pukulan-pukulan dahsyat yang mengandung tenaga dalam yang tinggi itu

sehingga menimbulkan suara meletus hebat. Untuk sesaat pendekar 212
merasakan tubuhnya yang melayang di udara laksana tertahan oleh sebuah dinding yang

tak kelihatan sedang di bawah sana Kalingundil melesak kedua kakinya
sampai dua dim ke dalam tanah!

Sungguh pendekar 212 tidak menyangka kehebatan tenaga dalam Kalingundil berlipat

ganda banyak sekali dari beberapa bulan yang lalu! Di lain pihak Kalingundil
sendiri mengeluh dalam hati. Waktu melancarkan tiga pukulan beruntun tadi dia telah

mengerahkan tiga perempat bagian tenaga dalamnya: Meski dia telah memiliki
ilmu silat, yang aneh dan tinggi mutunya namun nyatanya lawan itu masih lebih

tangguh! Kalingundil kertakkan geraham.

“Pemuda gila, terima pukulan jotos siluman biru ini!,” bentak Kalingundil. Tangan

kanannya dipukulkan ke muka. Sinar biru berkiblat menyambar ke arah pendekar
212 yang saat itu baru saja injakkan kaki kanannya di tanah dekat tepian rawa!

Pendekar kita lompat setinggi empat tombak dan dari atas ganti mengirimkan pukulan

balasan yang tak kalah hebatnya. Pukulan angin menimbulkan suara seperti
ratusan seruling yang ditiup secara bersamaan. Debu berputar-putar ke udara, lumpur

rawa-rawa seperti mendidih. Kalingundil kerahkan tenaga dalamnya ke
kaki untuk mempertahankan diri. Tubuhnya bergetar dilanda angin pukulan lawan namun

sepasang kakinya laksana baja tetap bertahan ditempatnya. Penasaran
sekali, dengan membentak. Pendekar 212 lipat gandakan tenaga dalamnya dalam pukulan

itu! Kini Kalingundil tak dapat lagi bertahan dengan segala kehebatan
yang dimilikinya itu. Kedua kakinya laksana akar pohon berserabutan dari dalam

tanah, terlepas dari pertahanannya. Tubuhnya terhuyung keras ke belakang
ke arah rawa-rawa maut. Dihantamkannya tangannya ke muka untuk membendung angin

pukulan lawan dan serentak dengan itu dia jungkir balik di udara melompati
sebuah rawa kecil dan berdiri di bagian lain dari pedataran! Dengan demikian kedua

manusia itu berhadapan satu sama lain. terpisah oleh sebuah rawa-rawa!

Laki-laki bertangan buntung itu tertawa dingin. Tangan kirinya bergerak ke balik

pakaian.. Sesaat kemudian di tangan kiri itu tergenggam sebuah pedang buntung
yang berwarna biru. Meskipun buntung, melihat kepada kilauan sinar biru dari

senjata itu Wiro Sableng maklum bahwa pedang di tangan lawannya adalah sebuah
pedang mustika.

“Kau lihat pedang ini, pemuda edan?!” bentak Kalingundil. “Nyawamu ada diujung

senjata ini!”. Pendekar 212 tertawa mengekeh.

“Orang dan. senjatanya sama saja! Sama-saama buntung!” mengejek murid Eyang Sinto

Gendang itu, Merah padam muka Kalingundil.

“Mengejek memang mudah. Tapi ketahuilah, membunuhmu dengan senjata ini jauh lebih

mudah lagi!,” kata Kalingundil pula. “Buka matamu lebar-lebar orang gila
dan lihat ini!”.

Kalingundil menyapukan pedang buntungnya ke arah rawa-rawa di hadapannya. Lumpur

rawa itu muncrat ke atas sampai tujuh tombak. Sebagian besar menyibak laksana
terbelah sehingga dasar rawa yang hitam legam terlihat jelas beberapa detik lamanya

!

“Senjata hebat,” ujar Wiro Sableng dalam hati. “Dalam keadaan buntung demikian luar

biasanya. Apalagi kalau dalarn keadaan. Sempurna. Bagaimana ini kucing
dapur dapatkan senjata itu...?”

“Kau sudah lihat pendekar gila?!,” terdengar bentakan Kalingundil.

“Senjatamu boleh juga, Kalingundil. Tapi dari pada dipakai buat kejahatan lebih

baik ditempa untuk membikin sambungan tangan palsumu!”.

Marahlah Kalingundil. Disapukannya senjata itu ke arah pendekar 212. Maka

berkiblatlah sinar biru yang menyilaukan! Pendekar 212 tidak bodoh. Dengan cepat
dialirkannya tenaga dalamnya ke kedua telapak tangan. Dia melompat ke udara.

“Ciat!” Didahului oleh bentakan yang menggeledek itu maka Wiro Sableng lepaskan

pukulan dinding angin berhembus tindih menindih. Begitu pukulan ini melesat
memapasi serangan lawan maka Wiro susul dengan pukulan kunyuk melempar buah yang

perbawanya disertai aliran tenaga dalam sampai setengah bagian dari yang
dimilikinya!

Pukukan yang pertama membuat serangan Kalingundil tertahan laksana menumbuk dinding

karang yang atos. Pukulan yang kedua bukan saja membuat buyar sinar
biru dari pukulan Kalingundil, tapi sekaligus melabrak pukulan tersebut sehingga

kini Kalingundil yang berada dalam keadaan diserang! Ini memaksa Kalingundil
menyingkir dua tombak ke samping. Kemudian tanpa membuang waktu lebih lama

laki-laki ini menerjang ke muka. Pedangnya membabat deras, sinar biru yang

menghamburkan
hawa dingin serta tajam menyambar ke arah pendekar 212!

Wiro Sableng membentak nyaring! Suara bentakannya ini membuat gendang-gendang

telinga Kalingundil tergetar. Pedangnya melabrak ke arah perut lawan tapi
dalam kejapan itu pula lawannya berkelabat dan lenyap dari pemandangan! Penasaran

sekali Kalingundil putar pedang buntungnya demikian rupa. Maka sinar
birupun bergulung-gulung mengurung Wiro Sableng!.

Sebagaimana kebiasaan pendekar 212, dalam setiap pertempuran yang mulai menghebat

maka disaat itu pula mulai terdengar suara siulannya melengking-lengking
membawakan lagu tak menentu! Tubuhnya hanya merupakan bayang-bayang kini. Karena

sukar untuk menentukan mana tubuh yang sebenarnya dan mana yang hanya
baying-bayang, maka hampir keseluruhan serangan-serangan Kalingundil menghantam

tempat kosong. Namun demikian memang permainan silat siluman yang didapat
Kalingundil di Gua Siluman tempo hari meskipun cuma sepertiganya saja yang

dikuasainya, benar-benar patut dikagumi.

Pendekar 212 tahu bahwa lawannya sampai dua puluh jurus dimukapun tak akan dapat

mendesaknya, apalagi melukainya. Tapi di samping itu, pihaknya sendiri
sukar pula melakukan serangan balasan karena setiap serangan yang dilancarkan

Kalingundil merupakan jurus pertahanan!

Demikianlah kehebatan ilmu silat siluman yang dimiliki oleh manusia bertangan

buntung itu! Tapi adalah percuma saja Wiro Sableng menjadi murid dan digembleng
selama tujuh belas tahun oleh nenek-nenek sakti Eyang Sinto Gendeng kalau dia tak

bisa menghadapi lawan begitu rupa satu lawan satu!

Maka Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 segera robah permainan silatnya. Jurus-jurus

yang tak terduga dari Kalingundil dihadapinya dengan jurus-jurus tak
teratur yang gerabak gerubuk kian kemari. Kedua tangannya terkembang di kedua sisi

laksana sayap burung garuda sedang dari mulutnya senantiasa terdengar
suara siulan melengking yang menyamaki liang telinga Kalingundil!

Saat itu kedua orang ini sudah bertempur sampai tiga puluh jurus! Sungguh hebat!

Tiga puluh jurus seperti tidak terasa! Dan kini kentara sekali bagaimana
Kalingundil terdesak hebat. Bagaimanapun Kalingundil mempercepat jurus-jurus

permainan silatnya, bagaimanapun dia merobah gerakan-gerakannya dan mengamuk
laksana banteng terluka, namun tetap saja dia berada dibawah angin, malahan kini

terdesak ke arah rawa-rawa maut!

“Ha... ha.... rupanya jalan ke nerakamu harus melalui rawa-rawa maut ini,

Kalingundil!”.

“Budak hina dina jangan ngaco! Sambut bintang silumanku ini!”. Sambil melompat

jauh, dengan masih memegang pedang buntung, Kalingundil gunakan tangan kirinya
untuk mengirimkan selusin benda berbentuk bintang yang berwarna biru ke arah

lawannya.

“Akh... mainan anak-anak ini kenapa musti dipertontonkan?!” ejek pendekar 212.

Tangan kanannya diputar ke udara. Serangkum angin puyuh menggebubu dan

bintang-bintang
siluman itupun berhamburanlah kian ke mari tiada mengenai sasarannya.

Pada detik Wiro Sableng gunakan tangannya untuk menyambuti senjata rahasia lawan

maka kesempatan ini dipergunakan oleh Kalingundil untuk melompat ke seberang
rawa-rawa kecil.

“Kucing dapur! Kau mau lari ke mana....?!” teriak Wiro Sableng. Sebagai jawaban

Kalingundil lemparkan segulung benda putih ke arah pendekar 212.

Mulanya Wiro menyangka benda itu sebuah senjata rahasia, tapi ketika diketahuinya

hanya secarik kertas putih yang digulung maka segera ditangkapnya dan
di saat itu pula Kalingundil pergunakan kesempatan sekali lagi untuk melompat jauh

lalu dengan ilmu larinya yang lihay ditinggalkannya tempat itu.

Wiro tidak punya maksud untuk mengejar laki-laki bertangan buntung itu. Dengan

penuh tanda tanya dibukanya gulungan kertas di tangannya. Ternyata selembar
surat yang ditujukan oleh Kalingundil kepadanya.

Cacat di tubuhku tak akan terlupa seumur hidup. Kematian kawan-kawanku dan kematian

Mahesa Birawa tak akan terlupa selama hayat. Semua itu kau yang menjadi
biang sebab. Hari pembalasan akan tiba! Berani berbuat berani tanggung jawab! Hari

tiga belas bulan dua belas kutunggu kau di puncak Gunung Tangkuban Perahu.
Kalau kau tak punya nyali untuk datang lebih baik bunuh diri sekarang juga!

Pendekar 212 penasaran sekali. Diremasnya surat itu. “Sialan betul kucing dapur

itu!,” gerendang Wiro Sableng. Dia lari ke bukit. Namun bayangan Kalingundil
sudah tak kelihatan lagi.

Tantangan yang dibuat Kalingundil di Rawasumpang itu hanyalah sekedar untuk

menjajaki sampai di mana kehebatan ilmu silat silumannya bisa menghadapi musuh
besarnya itu. Nyatanya Wiro Sableng masih tetap jauh lebih digjaya dari dia. Namun

dia tidak kecewa. Pada hari yang telah direncanakannya itu, kelak dendam
kesumatnya akan kesampaian. Dan sekaligus di Rawasumpang itu dia telah menyampaikan

surat undangan kematian bagi musuh besamya itu. Dia yakin pendekar
212 akan datang ke puncak Gunung Tangkuban Perahu!

SEMBILAN
PUNCAK Gunung Halimun….
Puncak gunung ini kelihatan diselimuti awan putih. Bila angin barat bertiup maka

beraraklah awan itu kejurusan timur dan Puncak Gunang Halimun kembali
kelihatan dengan jelas dan megah. Selewatnya tengahari, sesosok tubuh berlari

laksana angin, menuju ke puncak gunung. Semakin ke puncak udara semakin sejuk
serta segar. Laki-laki itu mempercepat larinya seakan-akan tak sabar untuk

lekas-lekas sampai ke tempat yang ditujunya. Maka lewat sepeminuman teh sarnpailah
dia ke puncak tertinggi dari gunung itu.

Dia memandang berkeliling. Kernana mata memandang hanya bebatuan saja yang

kelihatan. Mulai dari kerikil-kerikil kecil sampai kepada unggukan-unggukan batu
besar sebesar-besar rumah! Di kaki-kaki batu-batu besar yang rata-rata licin

berlumut itu tumbuh rumput-rumput liar. Laki-laki itu bertangan bunting. Dia
tak lain adalah Kalingundil. Mengapa dia berada di puncak gunung ini ialah dalam

meneruskan rencana besarnya yaitu membalaskan dendam kesumat terhadap
pendekar 212 Wiro Sableng.

Kalingundil dengan gerakan yang enteng melompat ke salah satu batu besar. Seseorang

yang tidak memiliki ilmu meringani tubuh yang ampuh pasti tak akan sanggup
mernbuat lompatan lihay itu, kalaupun dapat mungkin begitu menginjak batu, kakinya

akan terpeleset karena lincinnya lumut!

Kalingundil memandang keseantero puncak gunung yang telah mati itu. Di antara

unggukan-unggukan batu-batu rnaka di tengah-tengah kelihatanlah kawah yang
besar yang sudah padam. Kawah ini berbentuk kerucut dan dalarn sekali. Kalingundil

melompat lagi ke batu besar yang lebih tinggi. Sekali lagi dilayangkannya
pandangannya ke seantero puncak gunung. Bila dia sudah yakin betul bahwa tempat

kediaman orang yang hendak ditemuinya itu bukalah di permukaan puncak gunung
maka segeralah dia melompat ke tepi kawah. Dari sini dia terus turun ke dalam

kawah.

Selain dalam, kawah Gunung Halimun sukar sekali untuk dituruni. Tapi Kalingundil

dengan cekatannya lompat sana lompat sini sehingga dalam waktu yang singkat
dia sudah berada di dasar kawah. Udara di dalam dasar kawah gunung ini pengap dan

menyesakkan pernafasan. Karenanya Kalingundil segera atur jalan nafasnya.
Begitu dirinya dapat menguasai kepengapan, itu maka dia segera meneliti keadaan

dasar kawah di mana dia berada. Luas dasar kawah yang merupakan pusat kerucut
itu hanya beberapa kali lebih besar dari sebuah sumur. Seluruh dasar kawah

merupakan pasir campur tanah yang sudah membeku den mengeras selama berabad-abad
sesudah gunung itu meletus.

Putaran bola mata Kalingundil terhenti pada sebuah lobang yang besarnya selebar

bahu manusia. Laki-laki ini segera mendekati lobang itu. Menelitinya sesaat
lalu tanpa ragu-ragu segera memasukinya. Mula-mula dia hanya bisa merangkak. Tapi

semakin ke dalam lobang itu semakin besar sehingga dari merangkak kini
dia dapat membungkuk-bungkuk dan akhirnya berjalan seperti biasa.

Kalingundil sampai ke sebuah ruang empat persegi berdindingkan batu-batu hitam yang

kasar. Dari keempat sudut ruangan ini keluar empat liukan asap tipis
yang berwarna hitam. Begitu, hidungnya mencium bau yang disebar oleh asap ini

mendadak sontak kepala Kalingundil menjadi pusing. Cepat-cepat Kalingundil
kerahkan tenaga dalam dan tutup jalan nafasnya. Kalingundil tahu bahwa ruangan batu

itu bukanlah ruangan buntu. Tapi matanya tiada melihat adanya pintu
atau sebuah celahpun. Laki-laki ini menengadah ke atas. Maka kelihatanlah di

langit-langit ruangan sebuah liang tangga batu. Dia memandang berkeliling
lalu enjot kedua kaki dan melompat ke tepi liang, terus menaiki tangga batu.

Anehnya, bagaimanapun tingginya ilmu mengentengi tubuh yang dimilikinya namun
setiap iangkah yang dibuatnya di tangga batu itu berbunyi dan bergema keras!

Begitu sampai di anak tangga yang teratas maka sampailah Kalingundil ke satu

ruangan putih yang sangat bersih. Demikian bersih dan berkilatan putihnya

dinding-dinding
serta lantai dan langit-langit ruangan itu, sehingga tak ubahnya seperti berada di

satu ruangan kaca. Tepat di tengah-tengah ruangan terdapat sebuah batu
besar dan di atas batu besar ini sesosok tubuh laksana patung tengah bersemedi

jungkir balik, kaki ke atas kepala ke bawah di atas batu. Sosok tubuh ini
mengenakan sehelai kain putih yang dibalutkart sekujur badan mulai dari betis

sampai ke dada. Kepala dan paras orang yang bersemedi tiada kelihatan karena
tertutup oleh janggut putih yang panjang, hampir menyamai panjangnya rambut yang

menjulai di lantai dan juga berwarna putih!

Sungguh hebat cara manusia ini bersemedi! Namun pandangan Kalingundil segera

terbagi pada seekor harimau besar belang tiga yang berbaring di samping laki-laki
yang tengah bersemedi. Begitu melihat kemunculan Kalingundil, makhluk ini berdiri

dan menggereng. Mututnya membuka lebar. Gigi dan taringnya kelihatan
besarbesar serta runcing mengerikan. Didahului dengan auman yang dahsyat dan

menggetarkan ruangan putih itu maka melompatlah binatang itu. Kedua kaki terpentang
ke muka, kuku-kuku yang tajam dan panjang siap merobek tubuh Kalingundil!

Kalingundil yang maklum bahwa harimau itu bukan binatang biasa tapi peliharaan

seorang sakti dengan cepat segera melompat ke samping hindarkan diri. Namun
meskipun demikian cepatnya, sang harimau lebih cepat lagi! Laksana seorang jago

silat kawakan, masih melayang di udara binatang itu putar tubuh, ekornya
berkelebat!

Ekor yang panjang laksana cambuk itu menghantam bahu Kalingundil yang buntung.

Pakaiannya robek. Bahunya sakit tiada terkirakan. Kalingundil kerahkan tenaga
dalam dan disaat itu terpaksa segera melompat pula ke samping karena si belang

sudah menyerangnya kembali! Hanya dengan berkelabat-kelabat cepat dan sigaplah
maka Kalingundil berhasil mengelakkan setiap serangan. Dia menghitung-hitung,

sampai saat itu telah dua puluh jurus dia bertempur menghadapi sang harimau.
Dan selama itu Kalingundil terus-terusan bersikap mengelak, sama sekali tak mau

menyerang! Kalau dia mengelak terus, di satu ketika mungkin sekali harirmau
itu berhasil juga mengoyak daging tubuhnya! Kalau dia melawan, sedangkan binatang

itu adalah peliharaan orang sakti dengan siapa dia ingin bertemu dan
bicara! Inilah yang menyulitkan Kalingundil! Dan sementara dia bertempur demikian

rupa, orang yang bersemedi masih juga terus bersemedi, seperti tiada
terganggu, seperti tak mengetahui adanya pertempuran yang dahsyat itu!

Satu-satunya jalan bagi Kalingundil untuk tidak mendapat celaka dan tidak

mencelakai ialah meninggalkan ruangan putih itu, menghindar keluar untuk sementara,
menunggu sampai orang yang bersemedi menyelesaikan semedinya.

Maka ketika harimau itu mengaum dan menyerang, Kalingundil jatuhkan diri ke lantai

lalu bergulingan ke arah tangga. Pada saat harimau itu hendak menubruknya
sekali lagi. Kalingundil sudah lenyap ke bawah tangga…

Telah tiga hari Kalingundil menunggu di dasar kawah itu. Telah tiga kali pula dia

masuk ke dalam ruang putih dan mengintai dari balik anak tangga teratas,
namun sampai saat itu orang yang bersemedi masih juga belum meninggalkan batu
Menunggu sampai satu minggupun bagi Kalingundil bukan suatu apa, tapi yang

menyusahkannya ialah untuk mendapatkan bahan makanan selama hari-hari penungguan
itu. Empat hari kemudian, pada kali yang ke tujuh Kalingundil mengintai dari balik

anak tangga, orang itu dilihatnya masih juga bersemedi. Dengan hati
kesal Kalingundil menuruni tangga kembali. Tapi begitu dia keluar dari liang tangga

dan sampai di ruang bawah maka mendadak terdengar suara menggema dari
ruang putih.

“Manusia yang berani-beranian menginjakkan kaki kotor di tempatku cepat dating

menghadap untuk terima hukuman!”. Terkesiap Kalingundil mendengar ini.

“Ayo cepat! Tunggu apa lagi?!,” kata suara dari ruang putih.

Kalingundil memutar langkahnya kembali. Dalam melangkah kembali ke liang tangga,

terdengar lagi suara tadi. “Hemm… seorang bertangan buntung macammu sungguh
tak pantas masuk ke tempatku! Hukumanmu lipat ganda hai manusia!”.

Tentu saja Kalingundil terkejut mendengar ini. Bagaimana orang di dalam ruangan

putih itu bisa mengetahui bahwa tubuhnya cacat? Meski dia sakti luar biasa
tapi mereka belum pernah bertemu muka dan tak mungkin menurut pikiran Kalingundil

orang itu mengetahui hal keadaan dirinya! Kalingundil lupa bahwa dinding
dan langit-langit ruangan putih di atas sana tak ubahnya seperti kaca sehingga

orang yang ada di ruangan putih akan mudah melihat siapa saja yang ada di
ruang bawah!

Kalingundil melompat ke atas dengan gerakan enteng lalu menaiki tangga. Ketika dia

muncul di ruangan putih anehnya harimau yang berbaring tidak lagi menyerangnya.
Sedang manusia berselempang kain putih masih tetap berdiri dengan kepala di atas

batu kaki ke atas! Seperti hari-hari sebelumnya parasnya masih tertutup
oleh julaian janggut putihnya yang panjang menjela-jela. Meski. harimau belang tiga

itu tidak rnenyerangnya, namun Kalingundil berdiri dengan waspada.
“Kau siapa?!” membentak si kepala ke bawah kaki ke atas.

“Namaku Kalingundil. Apakah saat ini aku berhadapan dengan Begawan Sitaraga?,”

tanya Kalingundil setelah terangkan dia punya nama.

Yang ditanya tak menjawab melainkan ajukan pertanyaan: “Perlu apa kau datang

mengotori tempatku ini, manusia tangan buntung?!”.

“Harap dimaafkan kalau kedatanganku rnengotori tempatmu. Tapi sesungguhnya aku

tiada maksud demikian,” kata Kalingundil pula. “Aku...”

“Sudah! Jangan berbacot juga! Melangkahlah lebih dekat untuk terima hukumanmu!”.

Sebaliknya justru Kalingundil hentikan langkah. Diperhatikannya manusia yang

berdiri jungkir balik di atas batu itu.

“Melangkah lebih dekat!” bentak orang itu. Suaranya menggaung di ruangan putih

sedang harimau di sampingnya menggeram tak kalah hebat. “Begawan…”.

Kalingundil putuskan kalimatnya. Kaki kiri manusia dihadapannya dilihatnya

bergerak. Serangkum angin yang sangat deras melanda ke arah Kalingundil. Ruangan
itu bergetar. Dengan jungkir balik secepat yang bisa dilakukannya Kalingundil

berhasil elakkan serangan dahsyat itu!

Terdengar suara gelak mengekeh. “Pantas... pantas kau berani petatang peteteng

datang ke sini untuk bikin kotor tempatku. Rupanya kau memiliki ilmu yang
diandalkan juga! Aku mau lihat apakah kau juga sanggup mempertahankan diri dengan

jurus kaki selaksa baja ini?!”.

Kepala yang di atas batu itu berputar. Kedua kaki bergerak. Tahu kalau dirinya

hendak diserang lagi dengan tendangan jarak jauh yang lebih dahsyat dari
tadi, Kalingundil cepat mendahului berseru.

“Begawan! Tahan! Aku datang membawa kabar untukmu!”.

Oleh ucapan yang lantang ini maka orang. itu hentikan maksudnya untuk kirimkan

serangan: “Aku tidak kenal padamu! Kabar apa yang kau bawa?! Cepat katakan!”
hardiknya. Dia masih juga berdiri, dengan kepala ke bawah kaki ke atas seperti

tadi. “Kabar ini kabar buruk Begawan…”

“Sialan! Buruk atau baik cepat katakan! Jangan habiskan, kesabaranku monyet alas!”

Kalingundil pada dasarnya sangat tidak senang mendengar kata-kata makian
seperti itu.

Namun dia menjawab juga. “Sobat kentalmu Mahesa Birawa menemui kematiannya di

tangan seorang manusia keparat…”

Tubuh di atas batu kelihatan bergerak dan tahu-tahu manusia itu kini sudah tegak

dengan kedua kakinya di atas batu. Maka kini kelihatannya parasnya yang
sejak tadi tertutup oleh geraian janggut putih panjang. Kulit mukanya sangat pucat

seperti tiada berdarah. Pipinya cekung dan rongga matanya lebih cekung
lagi membuat wajahnya angker sekali untuk dipandang. Rambutnya putih panjang sampai

ke bahu sedang janggutnya menjulai sampai ke perut.

Kalingundil menjura memberi hormat. “Jadi betul saat ini aku berhadapan dengan

Begawan Sitaraga..?” tanyanya. Si muka pucat. tidak ambil perduli pertanyaan
itu.

“Siapa yang bunuh dia dan dari mana kau bisa tahu?!”

Kalingundil segera buka mulut berikan keterangan. “Mahesa Birawa dan beberapa orang

Adipati memimpin sejumlah batatentara untuk memerangi Pajajaran. Tapi
mereka kalah. Semua Adipati menemui ajalnya. Mahesa Birawa sendiri tewas di tangan

seorang pemuda sakti “

Maka kelihatanlah kerutan-kerutan muncul di paras Begawan Sitaraga yang membuat

parasnya menjadi tambah angker. Kedua matanya menyipit, pandangannya setajam
mata pedang! Rencana untuk memerangi Pajajaran memang dia sudah tahu lama bahkan

sebagaimana perundingannya dengan Mahesa Birawa, dia sendiri telah menjanjikan
akan turun tangan membantu pemberontakan Mahesa Birawa karena memang sejak lama dia

mempunyai dendam kesumat dengan keluarga istana Pajajaran! Di puncak
Gunung Halimun dia hanya menunggu kabar dari Mahesa Birawa kapan penyerangan

dilakukan. Tapi hari ini datang seseorang yang membawa kabar bahwa pemberontakan
gagal dan Mahesa Birawa sendiri menemui kematian! Tehtu saja ini tak bisa

dipercayainya.

“Aku tidak percaya pada kau punya bicara, manusia tangan buntung!” bentak Begawan

Sitaraga.

“Demi apapun aku berani sumpah bahwa aku tidak dusta, Begawan” jawab Kalingundil

dengan suara merendah meskipun hatinya gusar karena dipanggil dengan nama
“manusia tangan buntung” itu.

“Namamu siapa…”

“Kalingundil”.

“Punya hubungan apa kau dengan Mahesa B irawa?”.

“Dia adalah pemimpin dan sobat kentalku sejak tahunan, Begawan…”

“Baik! Tapi aku tidak tahu apa itu betul atau tidak. Jawab pertanyaanku untuk

membuktikan kebenaran keteranganmu! Siapa nama Mahesa Birawa sebenarnya…?”.

Kalingundil tertawa. “Kau keliwat tidak percaya pada pihak sendiri, Begawan…”.

“Siapa akui kau pihakku...? Tampangmu yang jelek inipun baru kali ini aku lihat!”.

Kalingundil menggerutu dalam hati.

“Ayo jawab pertanyaanku! Siapa nama asli Mahesa Birawa?!”.

“Suranyali!” jawab Kalingundil.

“Hem…” Sitaraga merenung, “Mahesa Birawa seorang berkepandaian tinggi. Tidak

semudah itu untuk merenggut nyawanya…”

“Di luar langit ada langit lagi Begawan! Kesaktian pemuda tandingannya melebihi

kesaktiannya…”

Begawan Sitaraga kerutkan kening.

Dan Kalingundil teruskan ucapannya. “Aku sendiri pernah menghadapinya. Masih untung

cuma tanganku yang dimintanya, bukan nyawaku!”

“Ho-o… jadi maksudmu datang ke sini untuk mengadu dan merengek macam anak kecil

agar aku turun tangan…?”.

Merah muka Kalingundil. “Itu adalah terserah padamu Begawan. Sebagai sobat dan

bekas pemimpinku, aku telah cari pemuda yang membunuh Mahesa Birawa. Namun
dia lebih tinggi ilmu silatnya dan lebih tinggi…”.

“Siapa nama bangsat itu?!” tanya Sitaraga pula.

“Wiro Sableng. Tapi dia lebih dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni
212...”

Mendengar ini maka terkejutlah Begawan Sitaraga. “Kau bilang dia bergelar Pendekar

Kapak Maut Naga Geni 212…?”.

“Ya…”

“Kalau begitu dia adalah nenek-nenek keriput si Sinto Gendeng!”.

“Tidak... dia adalah seorang pemuda. Masih sangat muda, bahkan tampangnya macam

anak-anak, berambut gondrong dan berotak miring sinting!”

Sitaraga merenung lagi. Kemudian desisnya: “Kalau begitu mungkin sekali dia adalah

murid nenek-nenek itu yang diam di puncak Gunung Gede. Tapi setahuku
Sinto Gendeng tidak punya murid sejak puluhan tahun berselang…” Sitaraga tarik

nafas dalam. “Kalau betul dia murid Sinto Gendeng, tidak salah Mahesa Birawa
dipecundangi…” Sitaraga memandang jauh ke muka seperti pandangannya itu mau

menembus dinding putih di belakang Kalingundil.

Melihat ini maka Kalingundil mulai masukkan jarum hasutannya. “Sewaktu aku

bertempur dengan dia di Rawasumpang aku beri peringatan bahwa kelak sobat-sobat
Mahesa Birawa yang terdiri dari tokoh-tokoh silat utama akan turun tangan untuk

menuntut balas. Dan Wiro Sableng mengumbar bahwa terhadap siapapun dia
tidak takut! Bahkan dia menantang untuk bikin perhitungan di puncak Gunung

Tangkuban Perahu pada hari tigabelas bulan duabelas nanti!”.

Mata Begawan Sitaraga menyipit lagi. “Pongah betul,” desisnya. “Rupanya sudah

kepingin cepat-cepat merasakan gelapnya liang kubur! Sudah cepat-cepat ingin
minggat ke neraka!”.

“Betul Begawan. Bukan saja kepongahannya itu yang menyakitkan hati, tapi

tantangannya itu adalah juga sangat menghina dan tiada memandang sebelah matapun
terhadap tokoh-tokoh silat utama macam Begawan....”.

Sitaraga manggut-manggut. “Manusia-manusia macam begitu musti dilenyapkan dengan

lekas. Kalau tidak akan menjadi biang runyam golongan dan aliran kita....”
Hati Kalingundil menjadi gembira karena tahu hasutannya sudah menyamaki dan

mengobari dendam serta amarah Begawan itu.

“Tantangan itu...,” kata Kalingundil pula meneruskan hasutannya, “sekaligus

menghina terhadap guru Mahesa Birawa yang diam di Gunung Lawu... Aku bermaksud
untuk menemuinya dan meminta langkah-langkah yang segera akan kita laksanakan”.

“Kalau cuma untuk memecahkan batok kepala pemuda sedeng itu, aku sendiripun

menyanggupinya!”

“Betul Begawan. Tapi untuk tidak mengecewa kan guru Mahesa Birawa di kemudian hari,

ada baiknya kematian muridnya itu diberi tahu...''

“ltu urusanmu,” jawab Sitaraga. Matanya. memandang tepat-tepat ke pinggang

Kalingundil. Sesungguhnya sejak tadi matanya itu memperhatikan secara diam-diam
ke pinggang Kalingundil.

“Coba aku mau lihat apa yang kau simpan di balik pinggangmu,” katanya tiba-tiba.

Kalingundil kaget sekali. Dia melirik ke pinggangnya. Dia telah menyimpan
senjatanya baikbaik namun mata Sitaraga yang tajam masih sanggup mengetahuinya.

“Ah, tidak apa-apa Begawan. Cuma…”

“Cuma apa?!” Sitaraga pelototkan mata.

“Cuma sebilah pedang buruk…” sahut Kalingundil.

“Keluarkan!”

“Begawan....”

“Jangan banyak bicara. Keluarkan!”

Kalau bukan berhadapan dengan Begawan Sitaraga dan kalau tidak mengingat kepada

rencana besarnya, maka pastilah saat itu Kalingundil akan beset mulut manusia
yang dihadapannya itu. Dia memang mengharapkan bantuan Sitaraga tapi kalau dirinya

dianggap remeh terus menerus dan dihina dimaki serta dibentak, siapa
yang bisa sabarkan diri?!

“Kau membangkang Kalingundil?!”

Penasaran sekali Kalingundil cabut Pedang Siluman buntungnya. Maka sinar birupun

memancarlah di ruangan putih itu. Begawan Sitaraga terkejut.

“Pedang Siluman Biru..,” desisnya. Dia di samping terkejut juga heran melihat

pedang sakti itu kini hanya merupakan sebuah puntungan belaka. “Dari mana
kau dapat senjata itu? Bagaimana bisa buntung? Apakah kau muridnya Siluman Biru?!”

Kalingundil menyeringai mendengar pertanyaan-pertanyaan menyerocos itu. “Itu semua

adalah urusanku Begawan. Yang penting hari ini kita telah berjumpa dan
kau telah mengetahui nasib Mahesa Birawa. Sampai bertemu di puncak Gunung Tangkuban

Perahu!”. Kalingundil berkelebat ke arah tangga.

“Tunggu!” teriak Sitaraga.

Tapi Kalingundil tak mau ambil perduli. Maka marahlah Begawan Sitaraga. “Kalau

tidak memikir kau bekas anak buah Mahesa Birawa, sudah terlalu pantas aku
minta nyawamu, Kalingundil! Tapi saat ini cukup kau tinggalkan saja salah satu dari

daun telingamu!”

Sebuah senjata rahasia melesat ke arah telinga kanan Kalingundil. Laki-laki ini

segera lambaikan tangan kirinya. Tapi celaka senjata rahasia itu tak sanggup
dibuat mental dengan pukulan tenaga dalam! Terpaksa Kalingundil cabut pedang

saktinya kembali. Namun gerakan ini tentu saja sudah terlambat!

Kalingundil mengeluh kesakitan. Darah membasahi pipi dan bahu pakaiannya. Daun

telinganya sebelah kanan terbabat buntung oleh senjata rahasia Sitaraga!
Kalau tidak mengingat-ingat akan rencana pembalasan dendamnya, maulah Kalingundil

menyerang Begawan itu dengan kalap, lebih-lebih ketika didengarnya kekehandak
Sitaraga yang menusuk liang telinganya!

Dalam waktu yang singkat Kalingundil sudah berada di luar Kawah Gunung Halimun.

Dibersihkannya darah yang membasahi pipi kemudian dengan sehelai kain dibalutnya
kepalanya tepat pada batasan telinga yang buntung. Kemudian diambilnya sebuah pil

lalu ditelan untuk menolak racun senjata rahasia Sitaraga itu. Di dasar
kawah Gunung Halimun, tak lama sesudah Kalingundil lenyap, kembali Sitaraga

merenung. Siapa Kalingundil sebenarnya masih agak samar baginya. Tapi itu tidak
begitu penting. Yang menjadi tanda tanya besar ialah siapa itu pemuda yang bergelar

Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212? Apa betul murid Sinto Gendeng? Kalau
Kalingundil telah menghadapinya dengan Pedang Siluman dan berhasil dikalahkan oleh

si pemuda, maka sudah dapat dijajaki oleh Sitaraga sampai di mana ketinggian
ilmu pendekar 212 itu!

Ini membuat dia ingin lekas-lekas berhadapan dengan sang pendekar muda. Namun dia

musti menunggu beberapa bulan di muka sampai saat yang ditentukan yaitu
hari tigabelas bulan duabelas!
* * *

SIAPA penduduk desa bukit tunggul yang tidak tahu dengan Asih Permani. Tanyakan

pada yang tua-tua, mereka akan tahu, tanyakan pada yang muda-muda mereka
akan lebih dari tahu. Tanyakan pada anak-anak kecil yang mengangon bebek atau

menggembala kerbau, mereka juga akan tahu. Jika.ditanyakan bagaimana paras
Asih Permani maka semua mulut akan memuji. Semua mulut akan mengatakan: Asih

Permani gadis yang tercantik se-Bukit Tunggul. Mukanya bujur telur. Hidungnya
kecil mancung bak daun tunggal. Bibirnya seperti delima merekah, merah dan segar.

Matanya bening bercahaya laksana bintang di angkasa raya. Dagunya seperti
lebah bergantung, leher jenjang dan suaranya halus merdu, serasa digelitik liang

telinga jika kita mendengar suara Asih Permani. Dan keseluruhan tubuhnya
yang montok padat itu dibungkus oleh kulit yang halus mulus. Asih Permani memang

cantik seperti perbandingan di atas. Kawannya sesama gadis di desa Bukit
Tunggul banyak yang merasa iri dengan kecantikan yang dimiliki gadis itu.

Pemuda-pemuda banyak yang tergila. Tapi semua mereka bertepuk sebelah tangan.
Karena pada bulan di muka, tepat di waktu bulan rembulan empat belas hari. Asih

Permani akan dinikahkan dengan Ranggasastra, anak lurah Bukit Tunggul.
Memang di samping kaya raya, banyak harta dan sawah berlimpah kerbau berkandang,

maka Ranggasastra cocok dan pantas menjadi suami Asih Permani. Pemuda
ini gagah.

Badannya tegap, hatinya polos dan ramah kepada setiap orang. Sehingga kalau

bersanding dengan Asih Permani di pelaminan nanti tentulah tak ubahnya seperti
pinang dibelah dua! Semakin lama, semakin dekat juga hari pernikahan itu. Tentu

sama dapat dibayangkan bagaimana perasaan kedua calon pengantin itu menjelang
hari perkawinan mereka. Hari yang bersejarah dan tak dilupakan seumur hidup mereka.

Hari di mana mereka akan sama-sama membuka suatu “rahasia kebahagiaan
hidup”.

Saat itu Ranggasastra tengah duduk-duduk di depan rumahnya memandangi

bintang-bintang yang bertaburan. Entah mengapa malam itu hatinya gelisah saja. Dan
dia tak tahu apa sebenarnya yang digelisahkannya itu. Larut matam baru dia dapat

tertidur. Tapi menjelang fajar dia tersentak. Ranggasastra adalah seorang
yang pernah menuntut ilmu silat dan kesaktian pada seorang guru di pantai utara.

Nalurinya menyatakan bahwa ada seseorang lain di dalam kamarnya saat itu.
Dibukanya kedua kelopak matanya. Dia terkejut melihat sesosok tubuh manusia sangat

kate berdiri dekat tempat tidur. Manusia ini berkepala botak sudah licin
berkilat ditimpa kelap-kelip sinar lampu pelita dalam kamar.

Manusia kate ini memiliki hidung yang sangat besar. Hidungnya yang besar itu

seperti mau menutupi mukanya yang kecil. Ketika dia menyeringai dan mengeluarkan
suara mendesau, maka kelihatanlah giginya yang cuma satu di sebelah atas.

Ranggasastra segera melompat dari tempat tidur.

“Manusia kate! Siapa kau?!” bentak si pemuda. Matanya meneliti manusia dihadapannya

dengan tajam. Dan meskipun cahaya lampu minyak di dalam kamar tidak
begitu terang, namun Ranggasastra dapat melihat bahwa manusia kate itu mempunyai

telapak kaki yang lebar dan besar sekali. Tapak kaki itu sampai sebatas
mata kaki sama sekali tidak merupakan tapak kaki manusia, tapi seperti kaki seekor

gajah!

“He... he... he…”. Manusia kate berkaki besar tertawa berkemik. “Kau manusianya

yang bernama Ranggasastra, yang bakal jadi penganten minggu depan...?!”.

Tentu saja apa yang ditanyakan manusia itu, mengejutkan Ranggasastra. “Itu bukan

urusanmu! Jawab dulu siapa kau!”

“He... he... he…”. Tamu tak diundang itu mengekeh lagi. “Maksudmu untuk menjadi

penganten, untuk menjadi suami Asih Permani tidak akan kesampaian

Ranggasastra...!”.

“Manusia kate, jangan ngaco pagi-pagi buta!,” bentak Ranggasastra dengan marah.

“Keluar dari kamarku!”. Pemuda itu kepalkan tinjunya.

“Kau tak akan pernah menjamah tubuh Asih Permani, anak muda. Karena mulai detik ini

ke atas, dia adalah milikku dan akan kubawa ke mana aku suka, akan kuperbuat
apa aku senang!”. Manusia kate ini mengekeh lagi.

“Kalau kau mau mengigau, pergilah mengigau di liang kubur!”. Habis berkata demikian

Ranggasastra menerjang ke muka. Tinju kanannya menderu! Tapi dia hanya
memukul tempat kosong. Hampir tak terlihat oleh matanya, manusia kate itu telah

berkelebat
dan lenyap dari pemandangannya!

Tinggal seorang diri di dalam kamar Ranggasastra merasa seperti orang yang tertidur

dan tersentak oleh mimpi. Digosok-gosoknya kedua matanya dengan telapak
tangan berulang kali. Tidak, dia tidak mimpi! Dia yakin betul bahwa dia tidak

mimpi! Dan ketika dia memandang ke lantai kamar yang terbuat dari papan,
maka pada lantai itu jelas dilihatnya bekas-bekas telapak kaki manusia kate tadi.

Ketika ingat akan ucapan-ucapan orang kate berkepala sulah tadi maka khawatirlah

Ranggasastra. Segera dijangkaunya tongkat besi berujung runcing yang tersisip
di dinding. Senjata ini adalah pemberian gurunya. Tanpa menunggu lebih lama, pemuda

ini segera tinggalkan rumahnya menuju ke desa sebelah timur di mana
terletak rumah orang tua Asih Permani.

Sepuluh tombak akan sampai ke halaman muka rumah gadis calon isterinya, mendadak

Ranggasastra melihat sesosok tubuh melompat keluar dari jendela samping
rumah! Sosok tubuh ini tak lain dari manusia kate yang telah mendatanginya tadi.

Dan pada bahu manusia itu kelihatan sosok tubuh seorang perempuan. Meskipun
halaman samping gelap tapi Ranggasastra tahu betul, perempuan yang dipanggul itu

adalah calon isterinya. Asih Permani!

“Bangsat rendah! Pencuri busak! Lepaskan perempuan itu!,” bentak Ranggasastra.

Si kate kepala sulah tertawa dingin. “Sekali aku bilang bahwa gadis ini jadi

milikku, tak satu manusia lainpun yang bisa menghalanginya!”.

“Kalau begitu terpaksa kukermus kepalamu!”. Maka tongkat besi di tangan

Ranggasastra menderu ke kepala si kate. Gesit sekali yang diserang melompat ke

samping.

Ranggasastra susul dengan satu tusukan ke dada kiri. Namun dengan kecepatan yang

luar biasa orang kate itu gerakkan kaki kanannya! Tendangan yang keras
menghajar tangan kanan si pemuda. Besi panjangnya lepas. Tangannya hancur dan

jeritan kesakitan keluar dari mulut Ranggasastra. Pemuda ini terhuyung sebentar
lalu mental sampai beberapa tombak ketika tendangan lawan terus menyerempet

perutnya! Perut si pemuda robek besar. Tubuhnya menggeletak tanpa nyawa. Si
kate tertawa buruk.

“Maling hina dina!! Nyawamu di ujung golokku!” teriak seseorang yang melompat dari

dalam rumah lewat jendela. Si kate berkepala botak cepat putar badan
pada saat sebuah golok berkiblat memapasi batok kepalanya!

“He... he... Kau juga inginkan mampus Ki Lurah!” ujar si kate. Manusia yang

menyerangnya itu adalah Tanuwira, ayah Asih Permani.

“Kau yang akan mampus lebih dahulu manusia laknat!”. Golok Tanuwira berkelebat

lagi. Tapi si kate sungguh luar biasa. Serangan itu dihadapinya dengan tertawa
tawar. Sekali dia gerakkan kaki kanannya maka hancurlah dada Ki Lurah Tanuwira. Si

kate tertawa mengekeh.

“Calon mantu dan calon mertua sama-sama bernasib sial! Kasihan…”. Dihirupnya udara

segar menjelang pagi itu sejurus lenyaplah dia dari tempat itu.
***

KETIKA dia sampai kepertapaannya di puncak Gunung Lawu maka terkejutlah manusia

kate berkepala botak itu sewaktu melihat ada seorang bertangan buntung yang
tak dikenalnya berdiri dekat pintu. Orang yang bertangan buntung agaknya juga

terkejut melihat kedatangan si kepala botak yang membawa seorang gadis cantik
di pundak kirinya. Tapi dia cepat-cepat menjura.

“Pastilah saat ini aku berhadapan dengan tokoh silat terkemuka yang bernama Tapak

Gajah…”

Laki-laki kate yang memang bernama Tapak Gajah turunkan tubuh Asih Permani dari

pundaknya. Matanya meneliti tajam orang di hadapannya lalu bertanya: “Kau
sendiri siapa? Apakah datang kesini membawa maksud baik atau buruk?”. Sambil

bertanya demikian Tapak Gajah memperhatikan telinga kanan tamunya yang juga
buntung tiada berdaun.

“Namaku Kalingundil. Aku datang dengan maksud baik, tapi membawa berita buruk”.

“Aku tidak kenal padamu sebelumnya. Berita buruk apakah yang kau bawa...?” tanya

Tapak Gajah. Maka Kalingundil segera mulai pasang jarum penghasutnya.

“Pembunuhan atas diri seorang murid adalah satu hal yang pahit bagi gurunya! Begitu

pahit sehingga menanamkan dendam kesumat…”.

“Jangan bicara berbelit!,” potong Tapak Gajah. “Katakan langsung berita buruk itu!”

“Muridmu dibunuh orang, Tapak Gajah…”

Berubahlah paras si tubuh kate kepala sulah. Sedang Kalingundil saat itu melirik

memperhatikan Asih Permani yang berdiri tak bergerak, “Pastilah tubuhnya
ditotok'', pikir Kalingundil dan dalam hatinya dia bertanya-tanya: “Siapa gerangan

gadis cantik ini…”.

Sesak nafas Kalingundil melihat kejelitaan Asih Permani. “Aku mempunyai beberapa

orang murid yang telah turun ke dalam rimba persilatan. Murid yang mana
yang kau maksudkan?!” tanya Tapak Gajah.

Kalingundil memalingkan mukanya kepada laki-laki itu kembali. “Mahesa Birawa...”

“Aku tak punya murid bernama Mahesa Birawa!” berkata Tapak Gajah.

Kalingundil kaget. Dia berpikir-pikir seketika. Kemudian dia ingat. “Maksudku

muridmu Suranyali…”

Sekali lagi berubah paras Tapak Gajah. Di hatinya timbul kesyakwasangkaan. “Apakah

kau bicara, ngelantur atau bagaimana...?”.

“Demi setan dan iblis aku tidak bicara dusta, Tapak Gajah!”.

“Suranyali bukan manusia sembarangan. Ilmu kesaktiannya tinggi!”

“Tapi manusia yang membunuhnya lebih sakti lagi!”.

“Siapa ?!”

“Pendekar 212....”.

Tapak Gajah merenung. Kedua tangannya terkepal. “Kau dusta Pendekar 212 Sinto

Gendeng sudah sejak puluhan tahun lenyapkan diri dari dunia persilatan!”.

“Tapi....”

“Tutup mulut! Terima hukuman dariku bangsat bermulut bohong!”. Tapak Gadjah

hantamkan kaki tangannya ke muka. “Wutt !”

Angin sedahsyat badai yang ke luar dari tendangan itu lebih dahulu menyerang ke

arah Kalingudil sebelum tendangannya sendiri sampai ! Kalingundil tak mau
ambil risiko. Dia berteriak nyaring dan lompat delapan tombak ke udara.

“Byur!”

Kaligundil palingkan kepala ke belakang. Tersekat rasanya tenggorokannya sewaktu

melihat bagaimana angin tendangan Tapak Gadjah menghancurkan batu besar
di belakangnya! Sewaktu manusia kate itu hendak lancarkan serangan kedua Kalingundi

cepat berseru: “Tahan! Kita berada di pihak yang sama!”

Tapak Gadjah tarik serangannya. “Apa maksudmu kita di pihak yang sama huh?”

“Aku adalah bekas anak buah Suranyali sewaktu kami masih sama-sama di Jatiwalu!”

“Jangan coba kelabui aku!,” membentak Tapak Gadjah.

“Perlu dan untung apa aku mengelabuimu!” balas membentak Kalingundil dengan

beringas.

“Berikan bukti bahwa muridku yang satu itu benar-benar dibunuh orang!”

Kalingundil tertawa dingin. “Tidak mau percaya pada orang sepihak akan merugikan

diri sendiri Tapak Gajah…” Lalu Kalingundil memberikan keterangan selengkapnya.
Kini mulai kelihatan bayangan rasa percaya di paras Tapak Gadjah. Namun apa yang

meragukannya ialah keterangan Kalingundil mengenai Pendekar 212 Wiro Sableng.
Satu-satunya kesimpulan bagi Tapak Gadjah ialah bahwa pemuda bernama Wiro Sableng

itu adalah murid Sinto Gendeng.

“Golongan hitam memang sejak dulu menaruh dendam pada itu nenek-nenek sialan…,”

ujar Tapak Gadjah pula. “Tapi sebelum kami bersepakat untuk menghabiskan
jiwanya, dia sudah lenyapkan diri! Kini muridnya muncul dan membunuh muridku!

Benar-benar laknat!”

“Aku sendiri telah tantang dia di Rawasumpang demi untuk menuntut balas kematian

Suranyali atau Mahesa Birawa. Tapi… itu pemuda keparat memang luar biasa
tinggi ilmunya. Kalau aku kalah dalam pertempuran di Rawasumpang itu bukan suatu

apa tapi ada satu hal yang benar-benar menyakiti hatiku Tapak Gadjah…”

Kalingundil menunjukkan paras yang mengandung dendam. Sepasang matanya memandang

lurus-lurus jauh ke muka. “Katakan apa yang menyakiti hatimu itu!,” kepingin
tahu Tapak Gadjah.

“Sebelum mengundurkan diri dari Rawasumpang aku bilang pada itu pemuda keparat

bahwa kelak pembalasan dari guru Sunranyali akan tiba! Pemuda itu ketawa
bekakakan dan berkata bahwa sekalipun ada seribu guru Suranyali, akan diterabasnya

sama rata dengan tanah!”

Rahang-rahang Tapak Gadjah mengembung. “Begitu keparat itu bilang…?”

Kalingundil manggut.

“Meski dia murid si Sinto Gendeng, tapi jangan merasa sudah setinggi langit

kepandaiannya! Katakan di mana bangsat itu berada! Aku Tapak Gadjah akan pecahkan
kepalanya!”

“Kau tak perlu susah-susah mencarinya Tapak Gadjah,” menjawab Kaligundil.

“Bukankah tadi aku sudah katakan bahwa dia sudah umbar mulut menentangmu? Katanya

dia tunggu kau pada hari tigabelas bulan duabelas di puncak Gunung Tangkuban
Perahu!”

“Anjing kurap betul itu manusia!”. Tapak Gadjah meludah ke tanah.

Dan Kalingundil berkata lagi: “Beberapa tokoh silat utama yang ditantang pendekar

212 itu juga telah kuberi tahu! Mereka sudah memastikan untuk datang ke
Tangkuban Perahu guna mengkeremus si pemuda!”

“Seribu tokoh utama boleh datang ke sana. Namun kematian anjing kurap itu aku yang

tentukan!” Kaligundil manggut-manggut. Hatinya gembira. Memang itulah
yang diharapkannya. Sudah terbayang bagaimana akan berhasilnya dia purrya rencana

nanti.

Seorang diri dia memang tak sanggup untuk menghadapi Wiro Sableng. Tapi kalau Tapak

Gadjah, Begawan Sitaraga, Wirasokananta. dan Tapak Luwing yang berkumpul
jadi satu untuk membuat perhitungan, tiga Pendekar 212-pun tak bakal sanggup!

“Aku gembira mendengar keputusanmu itu. Tapak Gadjah. Akupun pasti pula akan datang

ke puncak Tangkuban Perahu…”

Tapak Gadjah tertawa dingin. “Kalau kau punya nyali tapi punya sedikit ilmu untuk

diandalkan sebaiknya tak usah datang ke sana!”

Merah padam paras Kalingundil. “Sekarang aku tak ada urusan lagi dengan kau!

Silakan angkat kaki dari sini!” bentak Tapak Gadjah.

Kelingundil melirik pada Asih Permani. Kemudian katanya pada Tapak Gadjah:“Jangan

terlalu memandang rendah terhadap sesama kawan Tapak Gadjah. Aku memang
tidak dikenal dalam dunia persilatan tapi untuk menghancurkan batu besar sepertimu

tadi, aku masih sanggup!” Kalingundil gerakkan tangan kanannya ke pingaang.
Kemudian selarik sinar biru melesat ke arah batu besar yang terletak sekira

sembilan tombak dari hadapannya.

“Byur!”

Batu itu hancur berkeping-keping dan bayangan Kalingundil sendiri sesudah itu

lenyap dari pemandangan! Terkejutlah Tapak Gadjah! Tiada disangkanya kalau
manusia bertangan buntung bertelinga sumpung itu memiliki kehebatan demikian rupa!

Tapi manusia kate ini tidak berpikir lebih lama. Begitu matanya membentur
paras dan tubuh Asih Permani maka lupalah dia pada Kalingundil. Segera diboyongnya

gadis itu ke dalam pertapaan. Apa yang kemudian dilakukannya terhadap
gadis suci itu tak seorang manusiapun yang tahu. Namun pada hari itu satu kesucian

telah lenyap dirampas oleh kebejatan!

SEPULUH
PUNCAK gunung tangkuban perahu. Hari tigabelas bulan duabelas… Angin dari utara

bertiup kencang, mengalahkan tiupan angin barat yang menghembus sepoi-sepoi
basah. Puncak Gunung Tangkuban Perahu diselimuti kesunyian abadi. Tapi hari itu

agaknya kesunyian abadi itu akan sirna oleh kedatangan manusia-manusia
pembuat perhitungan.

Akan pupus di landa dendam kesumat orang sakti! Kawah gunung yang lebar mengepulkan

tiada henti asap tipis berbau belerang. Beberapa puluh kaki dari tepi
kawah berderet pohpn-pohon cemara berdaun lebat subur, menjulang tinggi dan lurus!

Saat itu matahari pagi sudah naik tepat antara titik tertinggi dan titik
permulaan terbitnya.

Angin utara bertiup lagi dengan kencang, Daun-daun pohon cemara melambai-lambai.

Dan diantara kerisikan-kerisikan geseran daun pohon-pohon cemara itu maka
terdengarlah suara siulan yang mengumandangi seluruh puncak Gunung Tangkubanperahu.

Suara siulan itu juga seperti mau menggelegaki kawah belerang dan menampar-nampar
kabut belerang yang meliuk-liuk kepermukaan kawah. Suara siulan itu tidak teratur,

tidak membawakan sebuah lagu atau tembang, nadanya tak menentu. Namun
ketidakteraturan dan ketidakmenentuan itu anehnya bila didengar dengan seksama akan

merupakan suatu lagu aneh bernada ajaib! Suara siulan itu membuat pendengarnya
akan terkatung-katung ke dalam satu dunia khayal. Tapi di pagi yang menjelang siang

itu di puncak Gunung Tangkuban Perahu itu tak satu orang pun yang ada
selain manusia yang mengeluarkan suara siulan tadi. Dan siapakah manusia ini

adanya?

Suara siulan itu datang dari pohon cemara yang paling tinggi tanda bahwa

manusianyapun berada di sana. Dan manusia ini tiada lain dari pada Wiro Sableng,
si Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212! Mengapa dia sampai berada di puncak gunung

itu adalah sehubungan dengan tantangan musuh lamanya Kalingundil. Namun
pendekar muda itu sampai saat itu tak pernah menyangka bahwa yang bakal ditemuinya

di puncak gunung itu kelak bukan hanya Kalingundil seorang tapi juga
beberapa tokoh dunia persilatan yang terkenal serta sakti!

Wiro terus juga bersiul-siul sambil sekali-sekali layangkan pandangannya ke

seantero puncak gunung. Sepi dan suasana tenang-tenang saja. Dilayangkannya
pandangan ke kaki dan lereng gunung. Juga segala sesuatunya masih diselimuti

kesunyian dan ketenangan. Dua kali sepeminuman teh lewat. Telinga pendekar
212 yang tajam dan terlatih baik itu sayup-sayup mendengar suara sesuatu. Segera

pemuda ini hentikan siulannya. Kepalanya diputar ke arah timur puncak
gunung dari mana datangnya suara itu. Masih belum kelihatan apa-apa tapi suara yang

didengarnya tambah nyaring. Beberapa ketika kemudian dari balik gundukan
tanah keras tepi kawah sebelah timur kelihatan muncul kepala seseorang, menyusul

dada dan badannya. Sosok tubuh manusia ini ternyata bukanlah Kalingundil
karena tangannya tidak buntung!

“Lain yang ditunggu, lain yang datang !” desis Wiro Sableng dalam hati. Kedua

matanya terus memandang tak berkesip pada manusia yang baru datang ini. Orang
ini dilihatnya memandang berkeliling agaknya mencari-cari sesuatu, mungkin mencari

seseorang. Umurnya sudah lanjut. Menurut taksiran Wiro paling rendah
lima puluh tahun. Meskipun tua tapi tubuhnya kekar. Pada pinggangnya kelihatan

tersisip sebilah keris emas. Dari gerak geriknya yang enteng dan tenang
Wiro tahu bahwa orang tua ini pastilah seorang yang menguasai ilmu silat dari

tingkat tinggi.

“Mungkin sekali dia diam di sekitar puncak gunung Tangkuban Perahu atau mungkin

pula kedatangannya ke situ hanya satu kebetulan saja dengan hari di mana
aku akan membuat perhitungan dengan Kalingundil…,” demikianlah Pendekar 212

berpikir-pikir di dalam hatinya. Sementara itu si orang tua tak dikenal dilihatnya
berdiri di tepi kawah memandang ke bawah lalu memutar tubuh dan menjelajahi seluruh

permukaan gunung dengan sepasang matanya yang kecil tetapi tajam. Kemudian
orang tua ini pada akhirnya melangkah ke arah deretan pohon-pohon cemara dan di

sini duduk melepaskan lelah. Wiro maklum kini bahwa orang tua ini datang
ke situ adalah mencari seseorang dan ketika orang itu tak ditemuinya dia memutuskan

untuk menunggu. Karena merasa tak punya urusan dengan si orang tua.


Wiro tetap saja berada di tempatnya, di atas pohon cemara tinggi. Matahari bergerak

juga menuju ke puncak tertingginya. Wiro masih terus memperhatikan si
orang tua. Mendadak diputarnya kepalanya ke arah selatan. Sesosok tubuh kelihatan

berkelebat. Kedatangan manusia ini boleh dikatakan tidak terdengar atau
tak tertangkap oleh telinga Wiro Sableng. Nyatanya kehebatan ilmu lari dan ilmu

mengentengkan tubuhnya. Apa yang menarik pendekar 212 ialah bahwa manusia
ini bukanlah Kalingundil yang tengah ditunggunya!

Orang ini berbadan kate. Kepalanya sulah licin dan berkilat-kilat ditimpa sinar

matahari. Kedua telapak kakinya bukan saja lebar tapi juga tebal seperti
kaki gajah. Tiba-tiba pendekar 212 ingat akan keterangan gurunya Eyang Sinto

Gendeng. Menurut gurunya itu di puncak Gunung Lawu berdiam seorang tokoh silat
utama bernama Tapak Gadjah. Kehebatan Tapak Gadjah ialah telapak pada sepasang

kakinya yang berbentuk kaki gajah. Jangankan manusia, batupun kalau ditendang
akan hancur lebur. Dan memang pada saat itu Wiro menyaksikan sendiri bagaimana

tanah gunung yang diinjak kedua kaki laki-laki itu meninggalkan bekas amblas
sampai setengah dim!

“Mungkin sekali manusia ini adalah Tapak Gadjah,” membatin Wiro Sableng. “Tapi

kenapa pula dia jauh-jauh bisa muncul di sini...?”

Selagi dia membatin begitu rupa Wiro Sableng terkejut pula melihat bagaimana

siorang tua? yang duduk di bawah pohon cemara tiba-tiba berdiri tegak menyambuti
kedatangan simanusia kate! kedua orang itu saling pandang seketika. Sekali melompat

maka si kate sudah berada dua tombak di hadapan si orang tua berkeris
emas! Kembali keduanya saling pandang dan meneliti. Kemudian terdengar suara si

kate membentak.

“Jadi kau sudah datang duluan pendekar gila Wiro sableng?! Rupanya memang kau

betul-betul ingin mati lekas-lekas!” Kemarahan yang meluap membuat Tapak Gadjah
lupa akan keterangan Kalingundil bahwa Wiro Sableng adalah seorang muda! Bukan saja

siorang tua nampak terkejut dan heran, tapi Pendekar 212 di atas puncak
pohon cemara jedi kernyitkan kulit kening waktu mendengar bentakan si manusia kate

itu !

Sebelum si orang tua sempat bicara maka si kate sudah bertanya dengan membentak:

“Mampus cara mana yang kau kehendaki Pendekar 212! Aku Tapak Gadjah segera
melaksanakannya!”

“Kalau betul aku berhadapan dengan Tapak Gadjah, tokoh silat terkenal dari Gunung

Lawu saat ini…,” menyahuti si orang tua, “maka dugaanmu meleset sekali!”

Tapak Gadjah pelototkan mata. “Meleset bagaimana maksudmu?” Dan Tapak Gadjah ingat

akan keterangan Kalingundil. Lalu diajukan pertanyaan: “Apakah kau bukannya
Wiro Sableng si manusia geblek bergelar Pendekar 212 itu...?!”

Si orang tua gelengkan kepata. “Aku adadalah Wirasokananta, Ketua Perguruan Teratai

Putih di bukit Siharuharu…”

“Ah... tak disangka datang dari jauh kiranya akan berjumpa dengan tokoh silat

ternama,” Tapak Gadjah pula ramah. Mengingat Wiasokananta adalah tokoh silat
dari golongan putih dating dia sendiri dari golongan hitam maka bertanyalah Tapak

Gadjah: “Gerangan apakah yang membuat Ketua Perguruan Teratai Putih sampai
datang ke sini...”

“Panjang ceritanya Tapak Gadjah,” menyahuti si orang tua berkeris emas. “Ringkasnya

adalah untuk mencari den memenuhi undangan seorang manusia bejat bernama
Wiro Sableng bergelar Pendekar 212!”

“Ah... ah... ah...! Kalau begitu kita sama-sama datang untuk maksud yang serupa.

Dan pastilah mempunyai tujuan terakhir yang serupa-pula yaitu menamatkan
riwayat manusia terkutuk itu. Bukankah demikin?” Meskipun heran bagaimana Tapak

Gadjah bias tahu hal itu namun Wirasokananta mengangguk juga.

"Maksud sama, tujuan terakhir sama tapi latar belakang tentu lain. Kalau aku boleh

tanya, apakah sebabnya Ketua Perguruan Teratai Putih sampai turun tangan
dan bukan menyuruh anak-anak murid Perguruan...?”

“Semua murid-muridku musnah di tangan manusia laknat itu! Dua diantaranya

diperkosa!” jawab Wirasokananta. Suaranya bergetar. Kemudian dituturkannyalah
apa yang telah menimpa Perguruan dan murid-muridnya.

Di atas pohon cemara Pendekar 212 Wiro Sableng pentang telinga buka mata tak

berkesip. Penuturan Wirasokananta tentu saja sangat mengejutkannya. Semenjak
turun gunung bukan saja dia tidak pernah mendengar nama Perguruan Teratai Putih,

bahkan bertemu muka dengan Wirasokanantapun baru hari ini. Dan hari ini
pula Ketua Perguruan itu menuturkan bahwa dia -- Wiro Sableng -- telah melakukan

pembunuhan besar-besaran atas diri murid-murid Perguruan Teratai Putih!
Ini adalah satu hal yang sama sekali tidak benar! Kalau ini bukan satu kekeliruan

tentu ini adalah fitnah. Dan bila ini juga bukan fitnah, apakah yang
telah menyebabkan Wirasokananta merasa yakin bahwa Pendekar 212 lah yang telah

memusnahkan Perguruannya ?

“Nasibmu dan nasibku rupanya tidak banyak beda Ketua Teratai Putih,” terdengar

suara Tapak Gadjah. “Muridku Suranyali juga kunyuk sedeng itu yang membunuh!”
Kini tahulah Wiro Sableng. Tapak Gadjah rupanya adalah guru Suranyali alias Mahesa

Birawa !

“Tapi muridmu cuma seorang yang mati di tangannya sedang aku keseluruhannya,”

menjahuti Wirasokananta.

“Yang penting bukan soal jumlah. Ketua Teratai Putih. Yang penting ialah bahwa

kunyuk sedeng itu seorang manusia bejat yang musti kita lenyapkan dari muka
bumi ini!” Wirasokananta mengangguk.

Tapak Gadjah hendak buka mulutnya kembali. Tapi batal karena saat itu sudut matanya

melihat sesosok tubuh berkelebat dan tahu-tahu sudah berada di hadapan
mereka.

“Siapa lagi yang datang ini…?” membatin Wiro Sableng. Sedang sesat kemudian

didengarnya suara Tapak Gadjah berkata sambil menjura:

“Sungguh pertemuan yang tak terduga. Tokoh silat dari Gunung Halimun kenapa bisa

muncul di sini…?”

Orang yang baru datang tertawa lebar. Dia berpakaian kain putih. Rambutnya panjang

diriap seperti perempuan, janggutnya menjela sampai ke perut. Rambut
dan janggut itu berwarna putih dan melambai-lambai tertiup angin.

“Kau sendiri mengapa bisa nongkrong di sini…?” balik menanya si janggut putih, dia

melirik pada Wirasokananta. Tapak Gadjah mula-mula perkenalkan si janggut
putih pada Wirasokananta. Ternyata si janggut putih itu adalah Begawan Sitaraga,

seorang sakti dari Gunung Halimun. Setelah mendengar penuturan Tapak Gadjah
yang juga sekalian menuturkan tentang Wirasokananta maka Sitaraga tarik nafas dalam

dan berkata “Betul-betul tak bisa diduga kalau kedatangan kita ke sini
tiga-tiganya adalah membawa maksud yang sama! Aku kenal baik dengan Mahesa Birawa.

Aku telah berjanji untuk membantu perjuangannya menghancurkan Pajajaran
karena memang aku tejak lama punya permusuhan dengan itu Kerajaan! Tapi nyatanya

Mahesa mendahului aku! Ini kuketahui dari seorarg anak buahnya yang dating
ke tempatku! Rupanya sebelum pecah perang Mahesa ada mengirim kurir. Kurir itu

tertangkap peronda Pajajaran!”

Kesunyian menyeling seketika. Di atas pohon camera Wiro Sableng masih tak bergerak

di tempatnya. Dengan munculnya ketiga orang itu dan dengan penuturan
masing-masing mereka Wiro kini bisa menjajaki bahwa ada sesuatu yang tak bares. Dan

ketidak beresan ini ditimpakan kepadanya. Siapa yang menjadi dalang
ketidakberesan ini tak susah untuk diterka yaitu Kalingundil ! Tapi Kalingundil

sendiri ke mana mana? Yakin bahwa bukan hanya tiga orang itu saja yang
bakal muncul maka Wiro memutuskan untuk menunggu. Dugaannya rnemang betul. Lewat

sepeminum teh maka dari jurusan barat kelihatanlah dua soaok tubuh berlari
cepat laksana angina! Yang satu bertangan buntung dan segera dikenali oleh Wiro

Sableng sebagai Kalingundil adanya. Yang seorang lagi pendekar 212 lupa-lupa
ingat. Tapi metihat angka 212 pada keningnya Wiro baru ingat bahwa manusia ini

adalah Tapak Luwing, kepala komplotan Tiga Hitam dari Kali Comel yang tempo
hari bertempur melawannya tapi kemudian dilarikan oleh Kalingundil!

Begitu sampai dihadapan Tapak Gadjah, Wirasokananta dan Begawan Sitaraga keduanya

segera menjura. Kalingundil memandang berkeliling. “Harap maafkan kalau
kami datang agak terlambat”. Dia memandang lagi berkeliling. Orang-orang yang

diundangnya sudah lengkap. “Pendekar gila itu masih belum muncul!”

Tapak Luwing berdehem. “Aku mempunyai firasat bahwa itu manusia tak bernyali untuk

datang antarkan nyawa kemari!”

“Kalau dia berani menantang, dia berani datang,” menyahuti Kalingundil. “Kita

tunggu saja,” buka suara Begawan Sitaraga.

“Dan kalaupun nanti ternyata silaknat itu tidak muncul, ke pintu nerakapun aku akan

cari dia!” berkata Ketua Perguruan Teratai Putih. Gembira sekali Kalingundil
mendengar katakata Wirasokananta itu. Nyatalah bagaimana dendam kesumat si orang

tua terhadap Wiro Sableng.

Sementara itu dari atas pohon cemara pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan ke

bawah dengan seksama. Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa segala sesuatunya
sampai tiga tokoh silat utama itu berada di sana adalah Kalingundil yang punya

rencana.

Lima orang yang akan dihadapinya. Kalingundil dan Tapak Luwing sudah bisa

dijajakinya ketinggian ilmu kedua orang itu, tapi bagaimana dengan tiga orang
lainnya? Sanggupkah dia menghadapi mereka berlima sekaligus? Pendekar 212 diam-diam

tarik nafas dalam.

Dia memandang ke langit. Matahari sudah sampai ke puncak tertingginya. Apakah dia

segera unjukkan diri atau menunggu sampai saat yang dirasakannya tepat?
Di saat itu di bawah didengamya suara Tapak Gadjah berkata: “Aku masih belum yakin

kalau kunyuk ingusan itu benar-benar murid Sinto Gendeng. Itu nenek-nenek
keriput sudah sejak lama minggat dari dunia persilatan...!”

Panaslah hati Wiro Sableng mendenger gurunya, disebut demikian rupa. Tiada

terasakan lagi, didorong oleh naluri yang telah membuat dia menjadi bisa maka
keluarlah suara siulan dari sela bibirnya. Lima manusia di bawah pohon terkejut

dan.menengadah ke atas.

“Kurang ajar, rupanya kunyuk sedeng itu sudah lama mendekam di atas!,” maki

Kalingundil.

“Pendekar gila turunlah untuk terima mampus!” teriak Wirasokananta.

Pendekar 212 tertawa bergelak. “Ketua Perguruan Teratai Putih, aku kasihan pada

kau! Tidak tahu bahwa kau telah kena dikelabui oleh manusia tangan buntung
itu!”

Kalingundil cepat membentak. “Agaknya kau memilih kematian di atas pohon itu. Wiro

Sableng?! Memang pohon itu cukup tinggi untuk mempercepat roh busukmu
terbang
ke neraka!”

Wiro tertawa lagi seperti tadi. “Biar aku paksakan dia turun !” buka mulut Tapak

Luwing. Tangan kanannya bergerak. Maka tiga pisau terbang beracun melesat
ke puncak pohon cemara di mana pendekar 212 herada !
***

"TAPAK Luwing! Kalau merasa sudah berilmu tinggi, biar kukembalikan pisaumu!”

teriak Wiro dari atas pohon. Sesaat sesudah dia berkata begitu maka menderulah
angin deras. Tiga pisau terbang kembali ke bawah menyerang pemiliknya sendiri! Dua

buah masih sanggup dielakkan oleh Tapak Luwing tapi yang ketiga sangat
cepat sekali meleset ke arah batok kepalanya.

“Awas!” seru Begawan Sitaraga. Sekali dia lambaikan tangan maka mentallah pisau itu

dan Tapak Luwing yang diam-diam keluarkan. keringat dingin terlepaslah
dari bahaya kematian!

Wiro Sableng kini tertawa membahak. “Kau terlalu bodoh untuk ikut-ikutan dating ke

mari Tapak Luwing ! Seharusnya saat ini kau cuci kaki dan pergi tidur!”

Saat itu Wirasokananta tak dapat lagi menahan kesabarannya. Dengan tangan kanan

dipukulnya batang pohon cemara.

“Kraaak!”

Pohon itu tumbang. Wiro melompat ke samping dan melayang ke bawah dengan gerakan

enteng. Sambil melayang itu dia berkata: “Musuh penantang cuma satu, mengapa
sekarang bisa jadi lima? Apakah kau bisa beranak, Kalingundil?” Lalu pada tiga

tokoh silat utama itu Wiro berseru:

“Kalian sudah tua bangka masih saja mau derigan urusan dunia dan nafsu membunuh!

Apa tidak malu kena dihasut oleh kunyuk tangan buntung itu?”

“Jangan banyak bacot manusia gelo! Ajalmu hanya tinggal sekejapan mata saja!”

bentak Tapak Gadjah. Dia maju ke muka dan kirimkan tendangan kaki kanan di
saat
Pendekar 212 masih juga belum menjejakkan kaki di tanah!

Angin tendangan kerasnya bukan main. Debu beterbangan. Untuk menjajaki sampai

kemana kehebatan tenaga dalam lawan Wiro sengaja tidak mengelak tapi memapasi
serangan tersebut dengan lancarkan pukulan “kunyuk melernpar buah”. Ketika dua

angin pukulan itu beradu terkejutlah Tapak Gadjah! Kedua kakinya melesak
sampai tiga senti ke tanah sedang angin tendangannya yang sanggup menghancurkan

batu itu buyar! Ternyata tenaga dalam Pendekar 212 tidak berada di bawahnya!

Dengan membuat dua kali jungkir balik di udara, pada jungkiran yang ketiga Wiro

sudah berdiri di atas kedua kakinya. Lima manusia dihadapannya segera mengurung.
“Kalian kunyuk-kunyuk tua bangka apa tidak malu main keroyok begini rupa?!”

Pendekar 212 masih sanggup bertanya sambil sunggingkan senyum mengejek. “Seekor

anjing kurap macam kau sudah terlalu pantas untuk dijagal bersama-sama!”
menyahuti Wirasokananta.

“Ah, kau orang tua... Rupanya masih belum tahu kalau dikelabui orang lain! Demi

kebenaran aku sama sekali tak pernah mendatangi Perguruanmu. Apa yang terjadi
di Perguruanmu aku tidak tahu menahu. Itu semua adalah fitnah. Seseorang lain yang

bertanggung jawab. Kurasa manusianya adalah si tangan buntung ini!,”
Wiro menuding ke arah Kalingundil.

“Ha... ha! Bukan saatnya untuk cuci tangan pendekar gila!” seru kalingundil seraya

main-mainkan pedang buntung di tangan kirinya. “Tak perlu kambing hitamkan
orang lain! Tak perlu lempar batu sembunyi tangan....!”

“Aku memang tak mengambinghitamkan kau orang buntung. Tapi coba berkaca di cermin

Begawan Sitaraga, kau akan melihat bagaimana tampangmu memang persis seperti
kambing!” Merah padam muka Kalingundil.

Wiro tertawa mengekeh. Begawan Sitaraga yang merasa dihina segera maju ke muka.

“Sobat-sobat, tak perlu bicara panjang lebar dengan orang sedeng ini! Mari
kita kermus dia!”. Habis berkata begitu Sitaraga gerakkan tangannya. Sinar putih

yang panas dan menyilaukan menyambar ke arah muka Wiro Sableng. Begitu
matanya tersambar sinar tersebut gelaplah pemandangan pendekar 212.

“Celaka!” kata Wiro dalam hati. Tenaga dalamnya dialirkan ke kepala dan dia

melompat cepat ke salah satu pohon cemara untuk berlindung dari serangan lawan.
Tapak Gajah juga tidak berdiam diri. Tendangannya menggebubu. Pohon cemara patah

dah disaat itu Wiro sudah berpindah ke tempat lain. Dengan mata masih
terpejam dia putar kedua tangannya di udara. Maka menderulah angin pukulan “benteng

topan melanda samudera”. Meski pukulan ini hanya mempergunakan sebagian
tenaga dalam karena yang sebagian masih tetap dialirkan ke muka tapi kehebatannya

cukup membuat lima penyerang hindarkan diri ke samping. Ketika matanya
dibuka kembali maka pemandangannya sudah terang seperti semula.

Begawan Sitaraga terkejut ketika melihat kedua mata lawannya tidak menjadi buta

oleh kilapan sinar cerminnya. Di lain pihak Wiro menganggap bahwa senjata
yang paling berbahaya di antara penyerang-penyerangnya ialah cermin di tangan

Sitaraga itu. Maka dia memutuskan untuk menghancurkan senjata itu terlebih
dahulu. Namun dikurung lima begitu rupa tidak mudah bagi Wiro Sableng untuk

melaksanakan niatnya.

Serangan lima tawan bertubi-tubi. Setiap dia coba untuk menghancurkan senjata di

tangan Sitaraga maka pedang Kalingundil atau golok Tapak Luwing atau keris
emas ataupun tendangan Tapak Gajah datang pula menyerangnya, kadangkala berbarengan

sekaligus! Dengan bergerak gesit, dengan lancarkan serangan-serangan
balasan, dengan hanya bertangan kosong itu, pendekar 212 cuma sanggup bertahan

sampai duabelas jurus. Jurus-jurus selanjutnya dia didesak hebat Golok besar
empat persegi berkali-kali membabat ke arah dada dan perutnya. Sinar biru Pedang

Siluman di tangan Kalingundil tiada henti berkiblat ke sekujur tubuhnya
sedang keris emas Wirosokananta laksana hujan mengirimkan tusukan-tusukan

mematikan. Dan di antara itu tendangantendangan Tapak Gajah tiada terkirakan
ditambah yang paling berbahaya cermin di tangan Sitaraga berkata-kali menyambar

kemukanya, masih untung sanggup dialakkannya!

Jurus kelima belas murid Eyang Sinto Gendeng itu terdesak ke tepi kawah. Sinar

cermin menyambar kemukanya. Di saat itu pula tendangan Tapak Gajah menyeruak
ke arah selangkangan. Dari atas menderu Pedang Siluman Biru, keris emas menikam ke

dada dan golok besar Tapak Luwing menggebubu ke perut!

“Tamatlah riwayatmu pemuda gila!” teriak Kalingundil.

“Jangan lupa sampaikan salamku pada setan-setan neraka!” menimpali Wirasokananta.

“Bret”!

Ujung Pedang Siluman Biru menyambar lewat dada, merobek pakaian pendekar 212!

“Sialan!” maki Wiro Sableng.

“Memakilah sekenyangmu setan alas! Setan-setan neraka memang paling suka pada

manusia-manusia tukang maki macammu!” teriak Kalingundil.

Wiro Sableng kertakkan geraham. Kedua pipinya menggembung. Sedetik kemudian

meledaklah bentakan yang keras, demikian kerasnya sehingga menggema sampai ke
dasar kawah Gunung Tangkuban Perahu! Tubuh pendekar 212 lenyap! Serentak dengan itu

terdengarlah suara siulan yang melengking-lengking. Dan di antara lengkingan
siulan itu menderu suara laksana ratusan tawon, mendengung menyamaki liang telinga!

Sinar putih bergulung-gulung! Lima penyerang tersurut mundur.

“Kapak Naga Geni!” seru Begawan Sitaraga ketiga melihat senjata di tangan Wiro

Sableng. Belum lagi habis gaung seruannya itu sudah menyusul suara jeritan
setinggi langit.

Satu tubuh angsrok terpelanting di tanah mandi darah, kepala terbelah dua! Korban

Maut Naga Geni 212 yang pertama itu ialah Tapak Luwing!

“Kurung biar rapat!” teriak Tapak Gajah. Dia melompat tinggi. Kedua kakinya

menendang susul menyusul. Dua senjata lainnya menderu pula ke arah Wiro Sableng.

“Ketua Perguruan Teratai Putih!” berseru pendekar 212. “Antara kau dan aku tak ada

permusuhan. Sebaiknya undurkan diri saja!”

“Jangan bicara melangit pemuda sedeng! Delapan arwah muridku minta roh busukmu!”.

Wirasokananta percepat tusukan kerisnya. Maka keris emas, Pedang Siluman
Biru dan Kapak Naga Geni 212 beradu dengan mengeluarkan suara nyaring.

Wirasokananta berseru kaget. Tangannya tergetar hebat dan pedas panas. Keris

saktinya
terlepas mental. Cepat-cepat Ketua Perguruan Teratai Putih ini melompat mundur.

Kalingundil sendiri tak kalah kagetnya. Bagian yang tajam dari pedang buntungnya

gompal sedang tangannya menjadi seperti kaku. Kalau tidak sinar cermin
Sitaraga menyambar ke arah lawan pastilah Kapak Maut Naga Geni 212 membabat

perutnya. Kalingundil keluarkan keringat dingin!

Suara siulan Pendekar 212 kini sekali-sekali diselingi oleh suara tawa mengekeh!

Tubuhnya hampir tak kelihatan lagi. Kapak Naga Geni mengaung mencari maut.
Keempat lawan menjadi sibuk. Merasa mulai terdesak, Tapak Gadjah segera keruk saku

pakaiannya. Tanpa memberi peringatan lagi tokoh silat ini segera lepaskan
seratus senjata rahasia yang berupa jarum-jarum hitam ke arah Wiro Sableng. Tapi

angin putaran Kapak Naga Geni yang ampuh sekaligus meluruhkan jarum-jarum
beracun itu. Malahan Tapak Gajah dan kawan-kawan menjadi sibuk karena harus

mengelakkan jarum-jarum hitam yang terdorong berbalik menyerang mereka sendiri!

“He.. he.. he..,” Pendekar 212 tertawa mengekeh. “Wirasokananta, untuk penghabisan

kali aku kasih peringatan padamu. Mundur atau mampus dengan percuma!”.

Ketua Perguruan Teratai Putih menjadi bimbang. Dia membatin “Adakah seorang musuh

yang sehebat ini sampai memberi dua kali peringatan kepadaku?”.

“Wirasokananta jangan bodoh!” teriak Kalingundil. “Manusia yang telah membunuh

delapan muridmu, ape hendak kau lepaskan begitu sa… akh.....”

Kata-kata Kalingundil tak sampai pada ujungnya. Salah satu dari mata kapak di

tangan Wiro Sableng membabat putus lengan kirinya. Tangan dan pedang buntung
mental masuk kawah. Darah muncrat. Laki-laki ini terhuyung ke belakang kesakitan.

Akhirnya ketika dia kehabisan darah nafasnya megap-megap dan dia jatuh
menelentang di tanah tapi belum mati!

Tapak Gajah dan Begawan Sitaraga tertegun seketika. Namun sesaat kemudian serentak

pula keduanya menyerang sebat. Serangan ini disambut dengan siutan dan
tawa mengejek oleh Wiro Sabteng. “Kalian berdua adalah tokoh-tokoh silat dari

golongan hitam! Manusia-manusia macam kalian pantas menjadi umpan cacing
di liang neraka!”. Pendekar 212 putar kapaknya.

“Byar!” Cermin di tangan Sitaraga pecah berhamburan. Begawan itu keluarkan seruan

tertahan dan memandang senjatanya yang hancur dengan rasa tak percaya.

“Begawan awas!” teriak Tapak Gajah. Tapi terlambat! Kapak Maut Naga Geni 212

datangnya tiada sanggup lagi untuk dielakkan. “Crras”!

Putuslah leher Begawan Sitaraga. Darah seperti air mancur muncrat ke udara. Kepala

yang buntung mengelinding seperti bola terus masuk ke dalam kawah Gunung
Tangkuban Perahu! Melihat kematian sobatnya ini, si kate kepala sulah Tapak Gajah

menciut nyalinya! Tanpa buang waktu dia segera putar tubuh.

“Eit orang kate, mau minggat ke mana?!” Wiro Sableng berseru. “Ayo berhenti!”. Tapi

mana Tapak Gajah mau berhenti. Malahan ini manusia tancap gas dan lari
lintang pukang. Wiro menyeringai. Tangan kanannya bergerak menekan bagian dekat

hulu kapak yang berbentuk kepala naga-nagaan. Maka mengaunglah 212 batang
jarum putih beracun ke arah Tapak Gajah. Tapak Gajah coba melompat ke samping namun

dia kurang cepat. Hampir keseluruhan jarum-jarum putih itu menembus
daging tubuhnya. Tapak Gajah meraung setinggi langit! Begitu racun jarum merembas

jantungnya maka tubuhnya kelojotan seketika lalu menggeletak di tanah
tanpa bergerak lagi!

Wirasokananta leletkan lidah melihat kehebatan pendekar; tapi diam-diam bulu

tengkuknya merinding karena ngeri! Sedang ketika dia berpaling pada pendekar
itu, dilihatnya Wiro Sableng berdiri sambil garuk-garuk rambutnya yang gondrong!

Wiro tarik nafas dalam lalu putar tubuh dan memandang pada Wirasokananta.
“Ketua Perguruan Teratai Putih,” katanya. “Kenyataan yang kita tidak saksikan

dengan mata kepala sendiri adalah terlalu sukar untuk dipercaya. Demikian
juga dengan peristiwa di perguruanmu. Sama sekali tak ada sangkut pautnya denganku!

Aku yakin manusia inilah yang jadi biang racun!”.

Wiro mendekati Kalingundil yang tengah megap-megap. Dari dalam sakunya

dikeluarkannya sebuah pil. Dia senyum-senyum dan menimang-nimang obat itu. “Kau

masih
inginkan hidup Kalingundil?” tanyanya. Kalingundil diam saja.

“Obat ini bisa menyembuhkan lukamu dan memunahkan racun Kapak Naga Geni yang

mengalir di darahmu. Aku akan berikan kepadamu jika kau menerangkan dan mengaku
bahwa kaulah yang telah membunuh delapan anak murid Perguruan Teratai Putih...”.
Kalingundil masih diam.

“Kau tak mau hidup..... ?”.

Kalingundil memandang dengan matanya yang berbinar-binar pada pil di tangan Wiro.

Dalam diri setiap manusia yang tengah meregang nyawa akan selalu datang
harapan untuk dapat terus hidup. Demikian juga dengan Kalingundil.

“Masukkan dulu pil itu ke dalam mulutku,” katanya.

Wiro memasukkan obat itu ke dalam mulut Kalingundil dan Kalingundil cepat-cepat

menelannya. “Sekarang terangkan cepat!”.

Kalingundil buka mulut mengakui apa-apa yang telah diperbuatnya terhadap Perguruan

Teratai Putih. Akan Wirasokananta begitu mendengar penuturan tersebut,
tak dapat lagi menahan luapan amarahnya. Tanpa banyak cerita dengan kaki kanan

ditendangnya Kalingundil. Demikian kerasnya sehingga tak ampun lagi tubuh
Kalingundil mencelat beberapa tombak ke udara dan malang baginya tubuhnya terlempar

tepat ke kawah. Masih terdengar jeritan laki-laki itu menggaung ketika
tubuhnya melayang ke bawah sebelum amblas di dalam kawah belerang!

Sekali lagi pendekar 212 hela nafas dalam dan berpaling pada Wirasokananta. Satu

senyum terlukis di bibir pendekar muda itu. Ketua Teratai Putih belas tersenyum.
“Orang muda, apakah kau betul-betul muridnya Sinto Gendeng?”.

“Ah.... murid siapapun aku butan menjadi soal, Ketua Perguruan Teratai Purih”

menyahuti Pendekar 212. “Orang-orang mencap aku pemuda edan, sinting, gila,
geblek... Kurasa memang suatu ketika kegilaan itu ada perlunya. Hanya

manusia-rnanusia gila semacam kita inilah yang sanggup membunuh manusia-manusia

bejat
dan menghancurkan kebejatan. Coba saja kau pikir mana ada manusia waras mau

membunuh sesama manusia...?”.

Wirasokananta tertawa. “Ucapanmu benar juga, pendekar,” katanya.

Wiro mendongak ke langit. “Ah, matahari sudah tinggi. Banyak urusan baru yang

menunggu kita. Ketua Perguruan Teratai Putih, pertemuan kita hanya sampai
di sini. Aku senang bisa berkenalan dengan kau. Semoga kita bisa jumpa lagi....”.

“Pendekar 212, tunggu dulu...!” seru Wirasokananta. Tapi percuma saja. Sang

pendekar saat itu sudah berkelebat dan lenyap! Wirasokananta goleng-goleng kepala.
“Pemuda hebat sikapnya seperti betul-betul gila tapi hatinya polos, ilmunya……. ah,

aku yang sudah tua ini mungkin tak pernah bisa mencapai ilmu setinggi
yang dimilikinya. Belum lagi sempat mengucapkan terima kasih, dia sudah lenyap...”

Wirasokananta memandang ke dasar kawah lalu mengikuti jejak Wiro Sableng
meninggalkan tempat itu.

TAMAT
episode berikutnya : Keris Tumbal Wilayuda.