BANJIR DARAH DI TAMBUN TULANG


WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Karya: Bastian Tito
Episode 010
Banjir Darah di Tambun Tulang
===========================

Kiai Bangkalan menggeletak di lantai batu dalam Goa
Belerang. Sedikit pun tubuh itu tidak bergerak lagi karena
nafasnya sudah sejak lama meninggalkan
tubuh!
Orang tua itu menggeletak menelentang. Dua buah
keris kecil yang panjangnya hanya tiga perempat jengkal
berhulu gading menancap di tubuh Kiai Bangkalan.
Darah bercucuran menutupi seluruh wajahnya.
Dalam jari-jari tangan kiri Kiat Bangkalan tergenggam
secarik kertas tebal empat persegi. Sedang tepat di
ujung jari telunjuk tangan kanannya, yaitu pada lantai
batu tergurat tulisan:

TAMBUN TULANG

Pendekar 212 Wiro Sableng yang berdiri di dekat tubuh
tak bernyawa Kiai Bangkalan tidak mengetahui apa arti dua
buah kata itu. Apakah nama seseorang yaitu manusia yang
telah membunuh orang tua itu, ataukah nama sebuah
tempat. Yang diketahuinya ialah bahwa si orang tua telah
menuliskan dua buah kata itu pada saat-saat menjelang
detik kematiannya karena ujung jari tangan yang dipakai
menulis masih terletak kaku di atas huruf terakhir kata
yang kedua.
Diam-diam Wiro Sableng memaki dirinya sendiri.
Seharusnya dia datang lebih cepat ke Goa Belerang itu
sehingga nasib malang begitu tidak terjadi atas diri si orang
tua. Kiai Bangkalan tempo hari telah menyuruhnya datang
dan menjanjikan akan memberi pelajaran tentang ilmu
pengobatan. Kini dia datang terlambat Kiai Bangkalan
hanya tinggal tubuh kasarnya saja lagi!
Perlahan-lahan pendekar muda ini berlutut di samping
tubuh Kiai Bangkalan. Diperhatikannya kertas tebal empat
persegi yang tergenggam di tangan kiri Kiai Bangkalan.
Ternyata kertas tebal ini adalah robekan kulit sebuah
buku. Dan pada kertas itu tertulis:

SERIBU MACAM ILMU PENGOBATAN

Wiro Sableng tarik nafas panjang yang mengandung
penyesalan. Satu kesimpulan lagi dapat ditarik oleh
pendekar ini. Yaitu bahwa Kiai Bangkalan menemui
kematiannya dalam mempertahankan sebuah buku
ciptaannya. Buku tentang pengobatan itu tentulah sebuah
buku yang sangat berguna bagi dunia persilatan hingga
seseorang telah mengambilnya dengan jalan kekerasan.
Dan Wiro lalu ingat kembali janji Kiai Bangkalan yang
hendak mengajarkan ilmu pengobatan kepadanya.
Rupanya orang tua itu telah membukukan seluruh macam
cara pengobatan yang diketahuinya.
Sepasang mata Wiro Sableng kemudian berputar
memperhatikan dua buah keris kecil yang menancap di
tubuh Kiai Bangkalan. Menurutnya kedua keris itu pasti
mengandung racun jahat karena seseorang yang ditusuk
bahkan yang dicungkil kedua matanya belum tentu,
menemui kematian. Tak pernah dia sebelumnya melihat
keris semacam itu. Kiai Bangkalan bukan seorang berilmu
rendah dan melihat pada keanehan bentuk senjata yang
menancap itu Wiro sudah dapat menduga, siapapun
pembunuh Kiai Bangkalan adanya, manusianya pastilah
bukan orang sembarangan! Dan siapakah kira-kira yang
telah melakukan perbuatan terkutuk ini?
Untuk beberapa lamanya Pendekar 212 masih berlutut
di situ. Akhirnya dia sadar bahwa dia harus menguburkan
jenazah Kiai Bangkalan: Didukungnya tubuh tiada bernyawa
itu dan melangkah menuju ke pintu. Untuk terakhir kalinya,
sebelum meninggalkan ruangan itu, Wiro memandang
berkeliling. Dan saat itulah sepasang matanya membentur
sebuah benda. Benda itu tadi tidak kelihatan karena
tertindih oleh tubuh Kiai Bangkalan yang menggeletak di
lantai. Wiro melangkah mendekatinya. Benda yang mulanya
disangkanya cabikan pakaian ternyata adalah kulit
harimau. Bulunya bagus berkilat, kuning berbelang-belang
hitam. Apakah Kiai Bangkalan telah bertempur melawan
harimau? Mana mungkin seekor harimau bisa
menancapkan dua buah keris aneh di mata orang tua itu?
Atau mungkin harimau siluman? Kulit Itu kering dan bersih.
Ini membawa pertanda,bahwa itu bukan kulit harimau
hidup! Pendekar 212 Wiro Sableng masukkan robekan kulit
harimau, itu ke dalam saku pakaian lalu meninggalkan
ruangan batu tersebut dengan cepat.
Langit di ufuk timur mulai terang disorot sinar merah
kekuningan sang matahari yang hendak ke luar dari
peraduannya Katulistiwa detik demi detik kelihatan dengan
jelas. Di bawah sorotan sinar matahari air laut laksana
hamparan permadani yang indah sekali. Kemudian
mataharipun ke luarlah tersembul di ufuk timur itu
merupakan sebuah bola raksasa seolah-olah muncul
dari dalam lautan luasi
Sepasang mata Pendekar 212 tiada berkedip memandang
ke arah timur itu. Telah lima kali dia melihat kemunculan
sang surya di lengah lautan. Betapa indahnya.
Sukar dilukiskan dengan kata-kata. Dan setiap dia memperhatikan
keindahan alam ciptaan Yang Maha Kuasa
itu, teringatlah dia pada Si Pelukis Aneh. Dengan keahliannya
melukis, tentu orang tua itu akan sanggup menuang
segala keindahan yang ada di depan mata itu ke
atas kain lukisannya.
Perahu besar itu meluncur laju di lautan yang tenang,
dihembus angin barat. Ke manapun mata memandang
hanya air laut yang kelihatan. Itulah batas kemampuan
penglihatan manusia yang menandakan bahwa
sesungguhnya dia hanyalah makhluk lemah belaka
dibandingkan dengan kehebatan alarn!
Angin dari barat bertiup lagi dengan keras. Layar perahu
besar menggembung dan perahu meluncur lebih
pesat. Di.kejauhan kelihatan serombongan burung terbang
di udara. Ini satu pertanda bahwa terdapat daratan di
sekitar situ. Namun demikian daratan itu agaknya masih
terlalu jauh hingga pandangan mata tak kuasa
menangkapnya. Puas memandangi keindahan laut di waktu
pagi itu maka Wiro Sableng memutar tubuh. Dia melangkah
ke buritan. Seorang laki-laki berbaju hitam berdiri di
buritan itu dan memandang tajam-tajam ke arah langit di
sebelah tenggara, Wiro tak tahu apa yang tengah diperhatikan
laki-laki pemilik perahu ini.
''Ada apakah, bapak?" tanya Wiro.
Tanpa alihkan pandangan matanya pemilik perahu
menjawab. "Orang muda, perhatikan baik-baik. Adakah
terlihat olehmu sekumpulan awan kelabu dr kejauhan
sana...?"
"Awan semacam itu biasanya membawa pertanda
tidak baik."
"Tidak baik bagaimana?" tanya Wiro yang tak tahu
apa-apa segala soal pelayaran ataupun keadaan di laut.
"Akan timbul angin ribut," kata pemilik perahu pula.
Latu dia pergi kehaluan dan menyuruh anak buahnya
merubah arah menjauhi awan kelabu itu.
Wiro Sableng angkat bahu. Awan kelabu itu sangat jauh
sekali. Udara sekitar mereka bagus dan indah. Perlu apa
dikhawatirkan awan kelabu itu? Kalaupun terjadi angin
ribut, tentu terjadinya di sebelah tenggara itu! . Maka
karena, segala sesuatunya dianggap tak perlu dikhawatirkan
oleh Wiro, diapun duduk di buritan itu sambil
bersiul-siul. Tapi menjelang tengah hari kecemasan mulai
membayangi hati pemuda ini.
Di sebetah tenggara, awan yang tadinya kelabu kini
kelihatan menjadi hitam dan bergerak cepat sekali ke arah
perahu. Dan awan itu bukan hanya satu kelompok saja lagi
melainkan berkelompok-kelompok dan menyebar di manamana.
Pemandangan yang serba indah kini menjadi
diselimuti kemendungan. Angin pun bertiup keras dan tak
tentu arahnya. Kelompok awan hitam semakin banyak dan
semakin lebaL Cuaca semakin buruk. Air laut bergelombang
dan berputar-putar tak menentu. Jalannya perahu tersendatsendat.
Kemudian hujan rintik-rintik mulai turun.
"Arahkan perahu ke pulau itu!" teriak pemilik perahu
pada pemegang kemudi.
Jauh di sebelah barat kelihatan sebuah titik hitam.
Kemudi diputar. Perahu menjurus ke barat, ke arah titik
hitam itu. Didahului oleh sabungan kilat, yang disusul
oleh gelegar guntur maka hujan yang tadinya rintik-rintik
kini berubah menjadi hujan lebat yang mendera seluruh
perahu! Angin seperti suara ribuan seruling yang ditiup
bersama karena derasnya, laut marah menyabung gelombang,
menghempaskan perahu kian ke mari sementara
udara telah berubah laksana malam hari, gelap pekat!
Sekali-sekali kilat menyambar menerangi perahu.
Tapi ini hanya menambah rasa ketakutan orang-orang
yang ada di dalam perahu itu.
"Gulung layar besar!" teriak pemimpin perahu.
Namun baru saja perintahnya itu diucapkan satu
angin dahsyat menerpa,perahu.,
"Kraak!" ,
Tiang layar utama perahu patah. Perahu condong
tajam mengikuti arah tumbangnya bagian atas tiang layar.
Dalam pada itu dari samping datang pula satu gelombang
yang luar biasa besarnya. Perahu yang tidak berdaya itupun
ditelan bulat-bulat. Di antara deru angin dan deru hujan, di
antara sambaran kilat dan di antara menggeledeknya suara
guntur, di antara semua itu maka terdengarlah suara jerit
pekik manusia yang mengerikan. Tapi suara jerit pekik itu
hanya sebentar saja karena sedetik kemudian perahu itu
telah amblas digulung gelombang!
Sewaktu perahu itu muncul kembali maka keadaannya
hanya merupakan hancuran dan kepingan-kepingan papan
dan balok-balok belaka yang tersebar kiah ke mari untuk
kemudian dipermainkan gelombang lagi secara ganas.
Setiap manusia yang ada dalam perahu itu, dengan
segala, daya yang ada berusaha menyelamatkan diri.
Tapi apakah daya manusia dalam melawan keganasan
alam yang maha dahsyat itu?!
Pendekar 212 Wiro Sableng bergulat sekuat tenaga
untuk ke iuar dari bencana maut yang mengerikan itu.
Dia berusaha berenang mencapai kayu pecahan-pecahan
perahu namun mana mungkin berenang dalam gelombang
yang menggila seperti itu. Baru saja kepalanya muncul telah
disapu kembali oleh air laut!
Wiro mulai megap-megap kehabisan nafas sewaktu dia
melihat sebuah papan besar kira-kira dua belas tombak
dihadapannya. Dengan sisa-sisa tenaga yang terakhir
pemuda ini berusaha berenang mencapai benda itu. Baru
saja satu tombak, sebuah gelombang mendera tubuhnya.
Pendekar itu amblas lagi masuk ke dalam laut.
Sewaktu kepalanya muncul lagi papan besar tadi telah
lenyap!
"Celaka! Tamatlah riwayatku!" kata Pendekar 212
dalam hati. Baru saja dia mengeluh begitu sebuah
gelombang datang dengan ganas dari muka. Dia menyelam
dengan cepat untuk menghindarkan pukulan gelombang.
Namun tetap saja tubuhnya diterpa sampai puluhan tombak
membuat pemandangannya menjadi gelap!
Ketika dia memunculkan kepalanya kembali di
permukaan air laut dalam keadaan setengah hidup
setengah mati, sesuatu melanda keningnya dengan'keras.
Kulit keningnya robek dan mengucurkan darah! Wiro tak
tahu benda apa yang telah menghajar keningnya itu karena
dia tak bisa membuka kedua matanya. Namun demikian
otaknya masih terang untuk berpikir. Apapun benda itu
adanya mungkin bisa dipakai untuk menyelamatkan
jiwanya! Maka dalam mata terpejam dan muka berlumuran
darah dengan membabi buta Wiro Sableng gerakkan
tangannya untuk menangkap benda itu. Pertama kali dia
cuma menangkap angin. Yang kedua kali dia cuma
menampar air laut di sampingnya. Ketiga kalinya juga tak
berhasil apa-apa namun kali yang keempat baru dia
berhasil menangkap benda itu dan dipegangnya erat-erat.
Beberapa saat kemudian ketika kedua matanya sudah
bisa dibuka ternyata benda itu adalah sebuah balok pendek
yang terpaku pada sepotong papan yang lumayan besarnya.
Wiro Sableng bersyukur. Dengan benda itu dia bisa
mempertahankan diri agar tidak tenggelam untuk
kemudian berusaha berenang mencari daratan. Belum
lama pemuda ini berpegang pada papan itu, terombang
ambing dipermainkan ombak, satu benda meluncur
dihadapannya, sebentar timbul sebentar tenggelam. Ketika
diperhatikan ternyata tubuh seorang anak kecil. Wiro tahu
betul anak kecil itu adalah anak laki-laki yang dibawa oleh
seorang penumpang perahu, Ditangkapnya tangannya.
Sewaktu diperiksa ternyata anak itu dalam keadaan
pingsan, perutnya gembung.
Wiro Sableng menyadari bahwa papan yang di dapatnya
tidak cukup besar untuk menolong mereka berdua
sekaligus! Berarti kalau dia mau selamat terus, dia musti
meninggalkan anak kecil itu! Pertentangan terjadi di lubuk
hati Pendekar 212. Akhirnya pemuda itu membuka
bajunya. Dengan baju itu diikatnya anak yang pingsan pada
papan lalu didorongnya ke tempat yang agak tenang.
"Mudah-mudahan kau selamat anak," kata Wiro dalam
hati.
Dia memandang berkeliling. Tak sepotong papan atau
balokpun yang kelihatan. Laut yang tadi menggila kini mulai
tenang sedikit. Wiro mengeluh dalam hati. Rupanya sudah
ditakdirkan bahwa dia harus mati hari itu, di tengah lautan!
Berdiri bulu kuduknya! Inilah untuk pertama kalinya dia
merasa ngeri! Ngeri menghadapi kematiannya sendiri! Ingin
dia memekik, berteriak setinggi langit. Namun siapa yang
akan mendengar? Siapa yang akan menolongnya? Lagi pula
mulutnya serasa terkancing. Dicobanya berenang. Namun
kekuatannya sudah sampai ke batas terakhir. Kaki dan
tangannya kaku tak sanggup digerakkan lagi. Sedikit demi
sedikit, perlahan-lahan tetapi pasti, tubuhnya mulai
tenggelam. Sebelum kepalanya lenyap ditelan air laut
pemuda ini merasa seperti melihat sesuatu jauh
dihadapannya, meluncur di atas air laut menuju ke arahnya.
Dia tak tahu benda apa itu. Kelihatannya seorang, manusia
berjubah putih, tapi mungkin juga malaekat maut yang
hendak mencabut nyawanya! Pada detik dia menyebut
nama Tuhan dan memanggil nama gurunya pada detik
itupula tubuh pendekar 212 lenyap keseluruhannya dari
permukaan air laut.
Ketika dia siuman tubuhnya terasa panas. Kepalanya
berdenyut sakit. Matanya berat sekali untuk dapat dibuka.
Di manakah aku sekarang, apakah sudah berada di alam
akhirat, berada di neraka?!
Wiro Sableng membuka kedua matanya dengan
perlahan, Yang pertama sekali dilihatnya ialah atap rumbia.
Dia berusaha memutar bola matanya dan memandang
berkeliling. Sesungguhnya sudah mati atau masih hidup aku
ini, pikir Wiro. Ingatannya merayap pada saat dia berada di
atas perahu tengah menyeberangi Selat Sunda,
meninggalkan Pulau Jawa menuju ke Pulau Andalas!
Kemudian datang angin topan dan hujan lebat. Perahunya
amblas ditelan gelombang. Lalu setelah mengikatkan
seorang anak laki-laki pada sebuah papan, tubuhnya
tenggelam di dalam laut dan tak tahu apa-apa lagi!
Tapi kini dilihatnya atap rumbia itu. Dilihatnya dinding
kayu, dilihatnya isi pondok kecil itu, bermimpikah dia?!
Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Tidak, dia tidak bermimpi!
Tapi sukar untuk bisa menerima kenyataan yang ada
dihadapannya saat itu. Untuk memastikan dicobanya
bangun dan duduk di tepi balai-balai kayu dimana dia
terbaring. Tapi tubuhnya yang lemah tiada berdaya itu
terhempas kembali ke atas balai-balai. Wiro mengeluh
kesakitan: Dan dia pingsan lagi.
Kedua kali dia sadarkan diri, hawa panas dari demam
yang menyerangnya telah berkurang tapi tubuhnya masih
lemas, tenggorokannya kering dan sendat. Lapat-lapat
didengarnya suara anak kecil. Tapi mungkin itu cuma
desau angin yang meniup telinganya. Rasa haus
menyerarig tenggorokannya. Tapi kepada siapa dia minta
air, sedang untuk mengeluarkan suarapun dia tiada
sanggup?
Didengarnya suara berkeretekan di belakang
kepalanya. Dia lak bisa berpaling. Dia tak tahu suara apa
itu. Namun kemudian seorang laki-laki tua berpakaian putih
tahu-tahu sudah berdiri di samping balai-balai. Rambutnya
jarang sekali hingga kulit kepalanya kelihatan jelas.
Orang tua ini memelihara kumis dan janggut. Baik rambut
maupun kumis serta janggutnya, seluruhnya berwarna
putih. Yang membuat Wiro jadi menahan nafas ialah
sewaktu menyaksikan keangkeran muka orang tua tak
dikenal ini!
Manusia ini berpipi dan bermata yang sangat lebar dan
cekung. Mukanya tiada beda dengan tengkorak karena
tiada berdaging. Hanya selembar kulit pucat saja yang
menutupi parasnya. Hidungnya kecil, panjang dan bengkok
seperti paruh burung kakak tua. Dia tersenyum, tapi
senyumnya ini justru lebih menambah keangkeran pada
parasnya. Diam-diam Wiro Sableng merasa bulu kuduknya
berdiri. Manusia atau setankah yang berdiri dihadapannya
itu? Kalau manusia, tak pernah dia menyaksikan yang
seseram ini tampangnya. Si orang tua mengedipkan
matanya yang lebar luar biasa dan menyeringai.
"Sudah sadar hah?!" bentaknya menggeledek. Wiro
terkejut. Dirasakannya balai-balai di mana dia terbaring
bergetar hebat dan pondok itu mengeluarkan suara
berkereketan.
"Empat hari empat malam mendengkur terus-terusan.
Enak betul!" orang tua bermuka angker itu berkata lagi.
Wiro membuka mulut hendak berkata. Tapi tak sedikit
suarapun yang sanggup dikeluarkannya. Dalam kengerian
melihat orang tua itu dia masih terus berpikir siapa adanya
manusia ini. Dilihatnya timbul kepastian bahwa orang tua
itu adalah orang yang telah menyelamatkan jiwanya. Tapi
setelah menolong mengapa sikapnya demikian keras serta
menunjukkan hati jahat?!
"Apa yang kau pikirkan!" tiba-tiba orang tua itu
membentak lagi. Balai-balai serta pondok kembali
bergetar. ,
Hebat sekali tenaga dalam orang tua ini.
Wiro buka lagi mulutnya. Kali ini dia bisa bersuara
meskipun perlahan; "Air..."
"Apa?!"
"Air.:." desis Wiro.
"Air?! Kau minta air?! Kau kira aku ini pelayanmukah?!
Sialan betul!" Kedua mata si orang kelihatan tambah lebar.
Wiro terkesiap mendengar jawaban,orang tua
bertampang angker itu. Diam-diam dia menggerutu dalam
hati. Dicobanya meminta air kembali. Dan kembali si orang
tua mendampratnya.
Tiba-tiba seorang anak kecil masuk ke dalam pondok itu.
"Ah... anakku!" kata si orang tua seraya mendukung anak
yang baru masuk. Wiro terkejut. Anak yang dalam
dukungan orang tua itu bukan lain daripada anak kecil yang
tempo hari ditolongnya di tengah laut sewaktu badai
mengamuk. Semakin jelas bahwa orang tua itulah yang
telah menolongnya dan juga menolong anak laki-laki itu.
Tapi mengapa sikapnya demikian aneh dan galak?
"Anakku, apakah kau dengar si tukang tidur ini minta
air...? Gila betul dia! Disangkanya bapakmu ini budaknya!"
Habis berkata begitu si orang tua tertawa gelak-gelak. Tibatiba
dia hentikan tawanya dan membentak si anak: "Hai!
Kau dengar apa tidak?!"
Dibentak keras begitu, si anak berumur dua tahun
menangis dan meluncur turun dari dukungan si orang tua,
lalu meninggalkan tempat itu. Si orang tua kembali tertawa
gelak-gelak. "Orang gila," katanya kemudian pada Wiro.
"Kalau kau mau minum, itu di atas meja ada kendi berisi
air. Ambil sendiri. Aku bukan pelayanmu! Bukan budak,
bukan kacung!" Lalu dia ke luar dari pondok. !
"Edan!" desis Wiro.
"Eh, apa?! Kau memakiku edan?! Kau yang edan!"
Tiba-tiba si orang tua bertampang angker masuk kembali.
Meskipun cuma mendesis tapi ucapan Wiro tadi telah
didengarnya.
"Braak!"
Orang tua aneh itu tendang kaki balai-balai yang ditiduri
Wiro Sableng. Tak ampun lagi balai-balai itu roboh dan Wiro
terguling ke lantai, lalu pingsan lagi! Si orang tua tertawa
gelak-gelak, lalu mendengus dan tinggalkan pondok itu.
Pagi itu Wiro merasakan badannya berangsur baik dan
segar. Sesudah duduk bersila mengatur jalan nafas serta
darah dan mengalirkan tenaga dalamnya ke bagian-bagian
tubuh yang perlu maka dia turun dari balai-balai. Di atas
meja reyot di sudut pondok ada sebuah kendi berisi air
putih. Diteguknya air ini beberapa kali. Terasa dingin dan
segar. Dengan air itu juga dicucinya mukanya. Kemudian
sewaktu.rnelihat sepiring ubi rebus di atas meja, tanpa pikir
lagi Wiro segera menyambarnya.
Mendadak di luar didengarnya suara si orang tua.
"Ah... salah! Salah! Kaki kananmu majukan lagi..: nah.
Eee... itu tangan kananmu musti begini. Bagus.... Sekarang
coba memukul ke muka... ah salah! Salah! Dasar bocah
geblek!"
Sedang mengapa orang tua itu, pikir Wiro Sableng.
Dia bergerak ke pintu pondok. Langkahnya berat dan pemandangannya
berkunang waktu dibawa berjalan itu. Di
pintu pondok dia berdiri dengan bersandar dan memandang
ke halaman. Orang tua berwajah angker itu dilihatnya
tengah berjongkok di hadapan anak laki-laki yang
berumur dua tahun. Dari gerak gerik dan apa-apa yang
dikatakannya nyatalah bahwa dia tengah mengajarkan
ilmu pukulan tangan kosong pada anak itu. Wiro Sableng
tertawa geli. Mana mungkin anak sekecil itu diajar ilmu
silat langsung disuruh memukul! Dan si anak sendiri
kelihatannya tidak senang dipaksa-paksa seperti itu.
Kelihatan dia menggeleng-gelengkan kepala.
"Apa?!" bentak si orang tua, "Kau tak mau diajar silat?!
Bocah geblek! Kalau besar kau mau jadi apa?! Mau jadi
laki-laki banci pengecut?!"
Si anak menangis. Dan Wiro bukan cuma sekali itu
mendengar anak itu menangis. Sebaliknya melihat anak
tersebut menangis si orang tua menjadi marah dan
memaki-maki. Tapi kemudian dia sendiri ikut-ikutan nangis!
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya. "Aneh sekali
orang tua ini," katanya dalam hati. "Mungkin otaknya
kurang waras. Tapi agaknya kepandaiannya tinggi sekali.
Dan Wiro lantas ingat pada gurunya yaitu Eyang Sinto
Gendeng. Sifatnya hampir sama dengan orang tua ini.
"Bocah tolol! Kalau kau tak mau belajar silat pergilah
sana main-main! Nanti kalau ada yang mengatakan kau
laki-laki pengecut jangan salahkan aku!" Habis berkata
demikian si orang tua pukul-pukul keningnya sendiri sambil
membalikkan badan dan melangkah ke pondok.
Mendadak dia hentikan langkahnya dan memandang
mendelik ke pintu pondok.
"Orang edan! Siapa yang suruh kau bangun dan berdiri di
situ?!" bentak si orang tua begitu melihat Wiro Sableng. Dia
marah sekali dan banting-banting kedua kakinya di tanah.
Dan bukan main terkejutnya Wiro Sableng sewaktu melihat
bagaimana tanah yang kena bantingan kaki orang tua itu
amblas sampai setengah jengkal!
Tiba-tiba Wiro ingat bahwa siapapun adanya orang tua
bertampang angker itu dia adalah orang yang telah
menyelamatkan jiwanya. Maka dengan segera Pendekar
212 menjura dalam-dalam.
"Betut-betut kau sudah gila!" sentak si orang tua.
"Apa-apaan menjura segala?!"
"Orang tua aku berhutang nyawa padamu, juga berhutang
budi. Aku...."
"Hutang nyawa?! Hutang budi...?! Kau gila!"
"Bukankah kau yang telah menolongku sewaktu perahu
yang kutumpangi tenggelam di tautan? Kemudian
merawatku di sini?!" '
Orang tua itu urut-urut keningnya. Mimiknya seperti
seorang yang tengah berpikir-pikir atau mengingat-ingat.
"Tidak!" katanya kemudian dengan keras. "Aku tak
pernah menolong orang gila macam kau!"
Meski Wiro menjadi gusar karena dimaki orang gila
namun dia bertanya juga: "Lantas bagaimana aku bisa
berada di tempatmu ini?"
"Maha aku tahu! Tanya dirimu sendiri!" menyahuti
orang tua bertampang angKer.
"Meski kau tak mau mengakui terus terang tapi aku
yakin bahwa engkaulah yang telah menyelamatkan diriku,
juga anak kecil tadi. Aku mengucapkan terima kasih.
Di lain waktu kuharap akan bisa membalas hutang jiwa
dan budi kebaikan itu. Sudilah kau memberitahukan
namamu, orang tua...."
"Buat apa?!"
"Agar dapat kuingat selama hidupku," jawab Wiro pula.
"Hanya sekedar diingat?" tukas orang tua itu.
Wiro tak tahu harus berkata apa. Orang tua itu kemudian
dilihatnya duduk di bawah sebuah pohon kelapa
dan bernyanyi. Wiro tak tahu apa yang dinyanyikannya,
bahasanya sama sekali tidak dimengerti. Bahkan suara
menyanyinya itu tak ubahnya seperti suara orang mengigau!
Tiba-tiba orang tua itu hentikan nyanyiannya dan
pukulkan tangan kanan ke atas pohon kelapa. Terdengar
suara berkeresek lalu suara benda meluncur. Ternyata
pukulan tadi telah menjatuhkan sebuah kelapa muda.
Dua tombak lagi kelapa itu akan jatuh menimpa tubuh si
orang tua, tiba-tiba orang tua ini ambil sebutir kerikil dan
melemparkannya ke arah kelapa yang melayang turun!
Buah kelapa itu berlubang dan dari lubang itu
memancurlah airnya. Si orang tua buka mulutnya. Air
kelapa memancur masuk ke mulut orang tua sampai
akhirnya habis!
Wiro sampai ternganga dan, melotot melihat hal ini.
Luar biasa hebatnya apa yang disaksikannya itu. Gurunya
sendiri belum tentu sanggup berbuat seperti itu. Dan
sementara itu buah kelapa yang airnya sudah habis itu
terkatung-katung di udara seperti ada tangan yang tak
terlihat memegangnya!
Orang tua itu gerakkan tangan kanannya.
"Wuuut!"
Kelapa itu tiba-tiba sekali melesat ke arah pintu pondok
dalam kecepatan yang luar biasa! Wiro melompat ke
samping. Tubuhnya hampir tersungkur karena masih lemah.
Dan di dalam pondok didengarnya suara pecah berantakan.
Buah kelapa telah menghantam kendi air terus
membobolkan dinding pondok!
Wiro memaki dalam hati habis-habisan.
Sebaliknya orang tua itu malah tertawa gelak-gelak
sampai ke luar air mata!
"Orang gila! Kemari kau!" Orang tua itu memanggil
Wiro. Dia melototkan mata sewaktu Wiro dilihatnya tak
bergerak di tempatnya. Sebaliknya Wiro juga memandang
tak berkedip pada orang tu.a itu. Maka menggeramlah si
tampang angker ini. "Bah, kau berani menantangku nah?!"
Dari balik pakaiannya orang tua ini mengambil sesuatu.
Saking cepatnya Wiro tak mengetahui benda apa itu dan
tiba-tiba benda itu sudah dilemparkan ke, arahnya. Untuk
kedua kalinya Pendekar 212 dipaksa melompat dalam
keadaan tubuh, lemah demikian rupa. Kali ini dia tak
sanggup lagi mengimbangi dirinya. Meski benda yang
dilemparkan itu lewat di atas kepalanya namun tubuhnya
tersungkur di tanah dan keningnya yang baru saja sembuh
lukanya kini berdarah kembali!
Pendekar 212 kaget sekali karena sewaktu dia
berpaling ternyata benda yang dilemparkan orang tua tadi
adalah senjata miliknya sendiri yaitu Kapak Maut Naga Geni
212! Pantas saja anginnya membuat tubuhnya laksana
dilanda badai! Senjata itu menancap di tiang pondok
sebelah kiri.
Sambil menyeka darah yang mengalir turun ke dekat
alisnya Wiro berdiri. Dia melangkah untuk mengambil
Kapak Naga Geni, tapi baru saja tangan kanannya diulurkan
dari samping datang serangkum angin halus. Ketika dia
berpaling dilihatnya sebuah benang aneh berwarna putih
dan berkilauan melayang ke arah tangannya. Wiro cepatcepat
tarik tangan kanannya tapi terlambat. Benang putih
itu telah melibat! lengannya!
Si orang tua tertawa gelak-gelak. Sekali dia
menyentakkan benang tersebut maka Wiro tertarik keras
ke arahnya. Wiro merasakan tangannya seperti mau copot!
Dia memaki lagi. Kalau saja tidak mengingat bahwa orang
tua itu telah menyelamatkan jiwanya maulah dia
mengirimkan sebuah serangan biar si orang tua tahu rasa!
"Ha... ha! Orang, gila macam begini yang hendak
membangkang kepadaku?!" ejek orang tua itu begitu Wiro
sampai dihadapannya. Wiro coba lepaskan lipatan benang
tapi sukar sekali.
"Orang gila siapa namamu?!"
"Orang tua, kuharap kau jangan panggil aku orang gila
terus-terusan!" kata Wiro dengan kesal. ,
"Ah... kau memang gila!" tukas si muka angker.
"Ayo katakan siapa namamu!"
"Wiro," sahut Pendekar 212 meskipun dengan hati agak
gusar.
"Wiro apa?!" bertanya lagi si muka angker.
Pendekar 212 katupkan rahang rapat-rapat menahan
kesal.
"Hai! Apa kau tuli?! Wiro apa?!"
"Wiro Sableng," menyahuti juga pemuda itu akhirnya.
"Wiro Sableng?! Nah... itu buktinya kau memang
orang gila. Kalau bukan orang gila mana ada manusia
yang memakai nama Sableng! Sableng sama saja artinya
dengan edan alias gila!"
"Tapi itu bukan mauku memakai nama demikian...."
"Aku tahu, orang tuamu yang memberikan nama itu
padamu...."
"Bukan, tapi guruku!" potong Wiro Sableng.
"Ah... kalau begitu berarti gurumu juga Sableng alias
keblinger!"
Marahlah Pendekar 212. Dia melangkah kehadapan
si muka angker dan menghardik: "Orang tua, jangan hina
guruku!" Wiro kerahkan tenaga dalamnya dan menyentak
dengan keras. Selain tubuhnya masih lemah, benang aneh
yang melibat lengannya kuat sekali hingga tak sanggup
diputuskan oleh sentakan itu!
Si muka angker sebaliknya tertawa mefihat perbuatan
Wiro dan berkata: "Jangankan kau! Gurumu dan nenek
gurumu sekalipun belum tentu sanggup memutuskan
benang kayangan ini! Eh orang gila! Aku sudah tahu
namamu, sekarang lekas beri tahu kau punya gelar!"
“Aku tak punya gelar apa-apa," jawab Wiro. Tangannya
yang tadi disentakkan untuk melepaskan libatan benang
kayangan terasa sakit dan pedas.
"Jangan berani dusta terhadapku orang gila! Sekali
kusentakkan benang ini dalam Jurus Kilat Menyambar
Puncak Gunung pasti lenganmu akan putus!"
"Kalau hatimu memang jahat begitu rupa mengapa
tidak segera dilaksanakan?!" tukas Wiro Sableng
menantang.
Orang tua itu mendelikkan matanya sehingga kelopaknya
yang merah membuka lebar dan tampangnya
jadi tambah mengerikan! Tiba-tiba dia tertawa gelak-
gelak.
"Orang gila! Kau memang pandai bicara! Pertanyaanku
tadi anggap saja-tidak ada. Tapi sebagai gantinya lekas kau
beri tahu nama gurumu!"
"Aku bukan seorang yang suka agul-agulkan nama guru.,"
"Jadi kau tidak mau beri tahu?!"
"Tidak," jawab Wiro Sableng tegas.
Si muka angker mendelik, "Hidup delapan puluh tahun,
kau adalah orang yang kedua yang pernah membangkang
terhadap perintah si Tua Gila ini!"
Habis berkata begitu si muka angker yang menyebut
dirinya Tua Gila itu goyangkan benang kayangan yang
dipegangnya. Pendekar 212 menjerit kesakitan dan
tubuhnya mencelat ke atas sampai beberapa tombak!
Tua Gila tertawa gelak-gelak dah diam-diam perhatikan
gerakan jungkir balik yang dibuat Wiro Sableng sewaktu
melayang turun dan menjejakkan kedua kakinya di tanah.
"Ah gerakan kincir padi memutar yang belum sempurna
hendak dipamerkan di depan hidungku!" ejek Tua Gila lalu
tertawa lagi gelak-gelak.
Wiro Sableng terkesiap kaget. Baru hari itulah seseorang
mengenali gerakan yang dibuatnya. Memang sewaktu dia
jungkir balik tadi dia telah mengeluarkan gerakan yang
dinamakan kincir padi memutar yaitu yang dipelajarinya
dari Eyang Sinto Gendeng sewaktu dia digembleng di
puncak Gunung Gede. Sebenarnya gerakan tersebut sudah
dikuasai Wiro dengan sempurna namun karena gugup,
terkejut dan ditambah dalam keadaan tubuh lemah maka
gerakannya itu menjadi tidak sempurna. Jika sekiranya Tua
Gila menyusul dengan satu serangan lagi pastilah Pendekar
212 Wiro Sableng akan mendapat celaka. Untung saja si
muka angker itu hanya terus duduk dan tertawa gelakgelak.
Wiro berdjri dengan nafas sesak dan muka pucat.
Matanya tiada berkesip memandang si Orang tua. Jika dia
diperlakukan begitu terus-terusan, dicaci maki, diserang
dan ditertawakan, sampai berapa lama dia akan sanggup
menahan kesabarannya? Sampai berapa lama dia akan
menghormati orang tua itu sebagai tuan penolongnya?
Kepada siapa dia telah berhutang budi dan nyawa?!
"Kau masih mau membangkang?!"
Wiro tak menjawab.
Tua Gila berkata: "Mengingat bahwa kau telah menyelamatkan
seorang anak laki-laki yang bakal kuambil
jadi muridku maka kuampuni jiwamu, orang gila."
"Orang tua, aku tak bisa menerima perlakuanmu yang
keterlaluan...."
"Perlakuanku apa yang keterlaluan?!" bentak Tua Gila
marah sekali. "Manusia tidak tahu diri! Sudah diampuni
jiwanya malah mengomel! Ayo lekas katakan siapa nama
gurumu!"
"Kau buhuhpun aku tak akan memberi tahu!"
"Apa kau tidak takut mati?!"
"Kenapa musti takut?!" jawab Wiro pula.
Tua Gila tertawa pendek dan berkata: "Apa di dunia
ini betul-betul ada manusia yang tidak takut mati?!"
"Semua manusia akan mati, orang tua. Juga kau!"
Tua Gila tersentak oleh ucapan Wiro Sableng itu. Selama
puluhan tahun hidup tak pernah dia ingat tentang kematian
sekalipun sudah berpuluh kali melihat manusia-manusia
lain menemui ke matian. Ucapan Wiro tadi menyentakkan
hati dan mengingatkan pikirannya pada hal kematian itu.
Betapa mengerikannya kematian itu dan tiada terasa dua
butir air mata menuruni kelopak matanya yang lebar, turun
menetes pipinya yang cekung!
Wiro Sableng merasa heran melihaPhal ini! Si orang, tua
yang begitu keras adat, galak, tertawa tak karuan dan aneh
itu nyatanya juga bisa menangis keluarkan air mata.
Suasana menjadi sunyi untuk beberapa lamanya.
Tiba-tiba Tua Gila acungkan telunjuk tangan kirinya
ke dada kanan Pendekar 212 Wiro Sableng.
"Apa arti angka 212 di dadamu itu?!" '
Wiro baru sadar bahwa waktu itu dia cuma mengenakan
celana panjang saja sedang tubuhnya bagian atas tiada
berbaju karena sewaktu peristiwa perahu terbalik dia telah
mempergunakan bajunya untuk mengikat anak laki-laki
yang ditolongnya.
"Guruku yang menuliskannya," kata Wiro.
"Dasar tolol! Aku tanya apa,arti angka itu! Bukan siapa
yang menulisnya. Sekalipun,setan atau jin yang menulisnya
aku tak perduli!"
"Tak bisa kuterangkan orang tua," jawab Wiro.
Paras Tua Gila tampak kembali menjadi marah.
"Pembangkanganmu sudah keterlaluan! Kau betul-betul
tidak memandang sebelah mata terhadapku! Kau akan
kubunuh saat ini juga." Lalu Tua Gila tarik benang yang
dipegangnya, ffiro tersentak ke muka. "Bersiaplah untuk
mati, orang gila!"
Dan Tua Gila lalu angkat tangan kirinya. Begitu tangan
hendak dipukulkan, tiba-tiba djtariknya kembali. Dia
menyeringai. "Ah... sebetulnya aku sudah muak melihat
kematian! Orang gila, jika kau bisa menjawab sebuah
pertanyaanku aku akan ampunkan jiwamu. Tapi kalau kau
tak bisa menjawabnya, terpaksa kau kubunuh juga!"
Wiro Sableng kertakkan rahang.
Dan Tua Gila-lanfas ajukan pertanyaan"
"Menurutmu oang tua manakah yang paling celaka
hidupnya di dunia ini?!"
Wiro terkesiap dan merenung. Pertanyaan aneh yang
sukar dijawab kata hati pendekar ini. Ditatapnya wajah
angker orang tua itu. ,
"Kalau kau tak bisa menjawab kau akan kubunuh!"
Tua Gila menyeringai. Dia lalu menunjuk ke atas pohon
kelapa dan berkata: "Aku akan jatuhkan sebuah kelapa.
Sebelum buah itu mencapai tanah kau musti sudah bisa
menjawab pertanyaanku tadi!"
Tua Gila memukul ke atas.
Wiro kerutkan kening.
Terdengar suara berkeresekan dan sebuah kelapa
lepas dari tangkainya lalu melayang turun dengan cepat!
"Bumm!"
Buah kelapa jatuh dan pecah di atas tanah!
Tua Gila menghela nafas panjang dan tertawa rawan.
"Jiwamu kuampuni, orang gila," katanya. "Jawabanmu
memang betul." Kemudian dari balik pakaian putihnya Tua
Gila mengeluarkah sebuah benda dan diacungkannya
dihadapan Wiro. ''Benda ini kutemui di dalam saku
pakaianmu yang dibuat pengikat anak laki-laki yang kau
tolong itu. Dari mana kau dapatkan benda ini?!"
Ketika diperhatikan ternyata benda itu adalah potongan
kulit harimau yang tempo hari ditemui Wiro di Goa Belerang
di mana Kiai Bangkalan menemui ajalnya dibunuh. Saat itu
ternyatalah di hati Wiro untuk meminta beberapa
keterangan kepada Tua Gila. Maka diapun menuturkan
riwayat Kiai Bangkalan sampai peristiwa terbunuhnya orang
lua itu.
"Jadi perjalananmu itu adalah untuk mencari buku
Seribu Macam Pengobatan Ha?"
Wiro mengangguk.
"Kalau kau berhasil menemuinya apakah buku itu akan
kau ambil sebagai milikmu?! Berarti kau maling besar
karena Kiai Bangkalan tak pernah mengatakan bahwa buku
itu akan diwariskannya kepadamu!"
"Aku tidak mengatakan hendak mengambil atau
memiliki buku itu. Tapi aku merasa punya kewajiban untuk
mencarinya dan merampasnya kembali dari manusia yang
telah mencuri buku itu"
"Kau tak punya hak melakukan itu, orang gila. Kau
bukan muridnya Kiai Bangkalan!"
"Sekalipun demikian buku itu tidak layak berada di
tangan orang yang bukan pemiliknya."
"Lalu kalau sudah kau temui kau mau bikin apa dengan
buku itu?"
"Aku akan pelajart isinya,...",
"Berarti kau mencuri ilmu kepandaian orang lain!"
potong Tua Gila.
"Mana mungkin! Kiai Bangkalan pernah mengatakan
bahwa dia akan mengajarkan ilmu pengobatan padaku. Kini
dia sudah tiada dan kalau aku mempelajari ilmu
pengobatan itu dari bukunya bukan berarti aku mencuri
kepandaian orang lain!"
Tua Gila tertawa.
"Apapun alasannya, mempelajari ilmu orang lain dari
buku tulisannya, tanpa izin orang itu sama saja dengan
mencuriKiai Bangkalan berkata akan memberikan
pelajaran ilmu pengobatan padamu. Langsung dari dia
sendiri, bukan dari bukunya. Jangan mengada-ada,
orang gila!"
Wiro Sableng menjadi penasaran sekali.
Dalam pada itu Tua Gila berkata lagi: "Karenanya kau lak
usah teruskan perjalananmu mencari buku itu. Pulang saja.
Kau akan sia-sia mengerjakan apa-apa yang bukan jadi
hakmu!"
"Apakah menjadi hakmu melarang aku?!" tukas Wiro.
Tua Gila usut-usut janggutnya yang putih dan panjang.
"Perjalananku semata-mata bukan cuma untuk mencari
buku itu. Tapi juga sekaligus mencari manusia yang telah
membunuh Kiai Bangkalan!"
"Kau bukan muridnya. Kau tak berhak menuntut balas!
Kau dengar orang gila?!"
"Tapi aku berhutang budi yang besar padanya. Hutang
budi itu tak akan lunas sebelum aku berhasil membekuk si
pencuri dan si pembunuh!"
"Kau mau membunuh orang yang telah membunuh Kiai
Bangkalan...?" ejek Tua Gila. '
"Kalau keadaan memaksa," sahut Wiro. Tapi di hatinya
dia yakin bahwa dia kelak betul-betul akan membunuh
manusia itu.
"Dasar gila! Apa kau kira nyawa orang lain itu milikmu
hingga kau bisa main bunuh seenaknya?!"
Wiro sunggingkan senyum sinis dan. menjawab:
"Tadi kaupun berniat membunuhku. Apa nyawaku milikmu?!"
Tua Gila tertegun. Lalu tertawa membahak. "Kau
meskipun gila nyatanya pintar bicara! Sekarang kau
kembalilah masuk ke dalam pondok. Lama-lama aku jadi
muak melihat tampangmu!"
Wiro mehggerendeng.
Tua Gila gerakkan tangan kanannya. Dan hebat sekali,
satu aliran angin aneh menjalar di benang yang mengikat
lengan Wiro terus memukul tubuhnya dengan hebat!
Laksana sebuah bola yang diikat dan dilemparkan, tubuh
Pendekar 212 mencelat masuk ke dalam pondok!
Dari Tua Gila, Wiro berusaha mendapat keterangan di
mana letaknya bukit Tambun Tulang. Dulu sewaktu
berangkat meninggalkan Pulau Jawa, dari seorang pelaut
dia mendapat tahu bahwa Tambun Tulang adalah nama
sebuah bukit yang terletak di Pulau Andalas.
Namun Tua Gila mengejeknya, malah mendamprat dan
memaki-makinya.
"Orang gila! Bagusnya kau tak usah pergi ke situ.
Kalaupun kau berhasil sampai ke sana, kau cuma datang
mengantar nyawa...."
"Setiap bahaya maut adalah tantangan hidup yang harus
kita hadapi," kata Wiro pula.
Tua Gila tertawa sinis. "Jangan bicara sombong. Orang
gila, apa kau tahu artinya Tambun Tulang? Kalau aku kasih
tahu baru bulu kudukmu merinding. Kalau tidak pingsan
pasti kau terkencing-kencing karena ketakutan.
"Kalau aku begitu pengecutnya masakan aku berani
ambil keputusan untuk mengadakan perjalanan," sahut
Wiro karena merasa dihina sekali.
Tua Gila membelai janggutnya sebentar lalu berkata:
"Nyalimu memangbesar, orang gila. Tapi percuma Saja
keberanian yang luar biasa kalau kau tidak punya ilmu yang
diandalkanl"
Wiro Sableng tertawa. Untuk kesekian kalinya, meskipun
Tua Gila marah-marah dan mendampratnya, namun Wiro
mengucapkan terima kasih kepada orang tua aneh
berwajah angker itu dan minta diri.
"Apa?! Kau mau pergi?! Tidak bisa! Kau tetap berada
dipulau ini sampai kau ada kemampuan untuk membuat
urusan di Tambun Tulang."
Dua hal membuat Wiro Sableng terkejut.
Yang pertama ucapan Tua Gila yang mengatakan
bahwa dia tak boleh meninggalkan pulau itu. Selama berhari-
hari bersama si orang tua aneh, baru hari itu dia tahu
kalau dia berada di sebuah pulau. Pantas saja seringkali
didengarnya suara menderu seperti ombak sedang angin
keras sekali. Hal kedua yang mengejutkan Pendekar 212
ialah bahwa dia musti tinggal di pulau itu sampai dia ada
kemampuan untuk ini, berarti bahwa Tua Gila si orang aneh
bertampang angker itu hendak memberinya pelajaran ilmu
silat? Melihat sikap dan ucapan-ucapannya agaknya Tua
Gila mengetahui banyak hal tentang Tambun Tulang!
Tengah Pendekar 212 Wiro Sableng berpikir-pikir begitu
rupa tiba-tiba Tua Gila membentaknya: "Coba perlihatkan
beberapa jurus ilmu silatmu yang kau anggap paling hebat!"
"Apa maksudmu sebenarnya, orang tua?" tanya Wiro
Sableng dengan hati meragu.
“Tak usah banyak tanya! Lekas perlihatkan!" bentak Tua
Gila.
Wiro Sableng yang saat itu sudah sembuh dan berada
dalam keadaan normal seperti sedia kala segera maklum
bahwa orang tua aneh itu mempunyai maksud tertentu
terhadapnya. Maka dia segera mainkan beberapa jurus ilmu
silat tangan kosong yang dipelajarinya dari Eyang Sinto
Gendeng!
Mula-mula dikeluarkannya jurus yang dinamakan
"Segulung Ombak Menerpa Karang", menyusul "Ular
Naga Menggelung Bukit", lalu Wiro balikkan badan dan
lancarkan jurus "Dibalik Gunung Memukul Halilintar"
dan yang keempat kalinya jurus yang dinamai "Membuka
Jendela Memanah Rembulan". Semua gerakan itu
dilakukannya dengan cepat hingga dalam sesaat saja dia
sudah menyelesaikannya.
Tua Gila tertawa gelak-gelak. Sambil batuk-batuk
kemudian dia berkata: "Coba kau ulangi lagi keempat jurus
itu." Lalu dia mematahkan sebatang ranting dan berdiri
empat langkah dihadapan Wiro Sableng.
Tahu kalau dirinya hendak diuji maka sewaktu bergerak
kembali Wiro Sableng sengaja lipat gandakan tenaga
dalam dan berkelebat dengan ilmu mengentengi tubuh
yang sudah mencapai tingkat kesempurnaannya! Tubuh
Pendekar 212 Wiro Sableng lenyap ditelan oleh gerakannya
sendiri yang berkelebat merupakan bayang-bayang!
Pada waktu Wiro Sableng mengeluarkan jurus "Segulung
Ombak Menerpa Karang" maka kedua tangannya kiri kanan
memukul sebat sampai mengeluarkan suara angin yang
deras,, betul-betul laksana ombak dahsyat memukul
karang. Debu dan pasir serta batu-batu kerikil beterbangan.
Semak belukar bergoyang-goyang!
Anehnya Si Tua Gila menyerangnya, Wiro Sableng
lipat gandakan daya gerakannya. Jurus yang dinamai
“Segulung Ombak Menerpa Karang" itu mengeluarkan
angin pukulan yang laksana ganas mencari sasaran di
kepala dan dada Tua Gila.
Tua Gila mendengus. Ranting di tangan kanannya lenyap
dan gerakan memutar sedang tubuhnya sendiri jingkrakjingkrakkan
tak menentu macam monyet terbakar ekor!
Anehnya meski gerakan si orang tua bertampang angker
jingkrak-jingkrakkan tak karuan dan dilakukan sambil
cengar-cengir mengejek namun jurus "Segulung Ombak
Menerpa Karang" secara aneh dapat dielakkannya dengan
mudah!
Wiro Sableng penasaran sekali. Tak pernah selama ini
jurus yang dikeluarkannya itu sanggup dielakkan lawan
demikian mudahnya! Karena dengan satu bentakan keras
Wiro susul dengan jurus "Ular Naga Menggelung Bukit".
Jurus ini didahului oleh satu tendangan dahsyat ke arah
bawah perut. Namun ini hanyalah gerak tipu belaka. Bila
lawan menangkis atau mengelak akan menyusul
sambaran sepasang lengan ke al-ah leher atau pinggang.
Sekali leher atau pinggang kena digelung oleh lengan yang
berisi kekuatan tenaga dalam luar biasa itu, tak ampun lagi
pasti akan putus dan orangnya akan konyol!
Dengan gerakan gerabak-gerubuk Tua Gila hindarkan
tendangan,ke arah bawah perutnya. Juga dengan gerakan
aneh macam begitu dia berhasil pula mengelakkan
gelungan tangan lawan yang mengincar leher lalu turun
ke arah pinggang!
"Edan!" maki Pendekar 212. Dalam lain kejap dia sudah
melompat ke muka dan lancarkan jurus "Membuka
Jendela Memanah Rembulan".
Tapi dia cuma menyerang tempat kosong karena si
orang tua sudah lenyap dihadapannya dan terdengar
suara dengus mengejeknya di belakang!
Wiro bersuit nyaring. Balikkan badan dengan cepat
sambil lancarkan serangan dalam jurus "Dibalik Gunung
Memukul Halilintar!"
Tapi lagi-lagi dengan gerakan aneh gerabak-gerubuk
macam monyet mabuk si orang tua berhasil mengelakkan
jurus serangan terakhir yang dilancarkan Wiro Sableng itu!
Wiro melompat mundur.
"Orang tua, aku mengaku kalah!" kata Wiro sejujurnya.
Dia kagum sekali melihat kelihayan orang tua ini.
Tua Gila tertawa mengekeh dan sambit membuang
ranting kering yang ditangannya dia berkata: "Aku tidak
memikirkan soal menang atau kalah! Hanya tukangtukang
judilah yang memikirkan kalah menang!"
Kemudian dia duduk di bawah pohon kelapa dengan
masih tertawa mengekeh. "Dengan ilmu silat picisan itu
kau mau pergi ke Tambun Tulang...? He... he... he... he....
Belum sampai mungkin kau sudah kojor!"
Wiro Sableng panas sekali hatinya. Ilmu silat warisan
Eyang Sinto Gendeng yang selama ini dianggapnya hebat
dan lihay kini dikatakan sebagai ilmu silat picisan! Betulbetul
Pendekar 212 jadi mengenas hatinya. Namun
demikian adalah satu kenyataan bahwa dia tak sanggup
menghadapi si orang tua dalam keempat jurus tadi! Ini
membuktikan bahwa sepandai-pandainya manusia, masih
ada manusia lain yang lebih pandai dari dia. Bahwa di luar
langit ada langit lagi! Diam-diam Wiro menggerendeng
sambil tundukkan kepala. Tapi ketika kepalanya
ditundukkan, astaga, membeliaklah matanya karena
terkejut!
Betapakah tidak! Baju putih yang dikenakannya ternyata
robek besar diempat bagian! Wiro angkat kepala dan
memandang tak berkesip pada si orang tua! Kalau saja
benda di tangan Tua Gila tadi adalah sebatang pedang dan
benar-benar dipakai untuk mencelakai dirinya, pastilah
sudah sejak tadi nyawanya melayang ke akhirat! Betul-betul
bahwa di luar langit ada langit lagi!
Tua Gila sementara itu tertawa terkekeh-kekeh sambil
usap-usap janggutnya yang putih panjang.
"Sia-sia orang gila! Sia-sia kalau dengan ilmu yang kau
miliki sekarang iri i kau hendak pergi ke Tambun Tulang!
Kau akan mampus percuma!"
"Kalau begitu aku mohon petunjukmu, orang tua,"
kata Wiro Sableng pula.
"Apa? Siapa sudi kasih petunjuk pada orang gila macam
kau!" damprat Tua Gila membuat Wiro untuk kesekian
kalinya memaki dalam hati!
"Aku sudah lihat jurus-jurus silatmu yang tak berguna
itu!" bicara lagi Tua Gila. "Sekarang coba keluarkan ilmuilmu
pukulan saktimu! Aku mau lihat apakah juga tak ada
artinya?!"
Penasaran sekali Wira menyurut mundur delapan
langkah. Kedua kakinya direnggangkan. Tenaga dalam
segera dialirkan ke lengan kanan.
"Orang tua! Berdirilah)" seru Wiro Sableng ketika di-
lihatnya Tua Gila masih duduk di bawah pohon kelapa
sambil cengar cengir seenaknya.
"Ah, untuk menerima.pukulanmu yang tak berguna
kenapa musti berdiri segala?! Silahkan memukul, orang
gila!"
Wiro kertakkan rahang dan lipat gandakan tenaga
dalamnya. "Kalau kau mendapat celaka, jangan salahkan
aku!" gerendeng Wiro. Tangan kanannya diangkat tinggitinggi
ke atas. Begitu tinju dihantamkan ke muka maka
kelima jari membuka dan satu gumpalan angin keras
menderu ke arah Tua Gila yang masih saja duduk tertawatawa.
"Ah! Cuma pukulan kunyuk melempar buah! Tak ada
gunanya bagiku!" ejek tua Gila. Tangan kirinya dilambaikan
ke arah gumpalan angin yang hendak melabraknya.
Terdengar suara berdentum, Wiro tersurut. tiga langkah ke
belakang! Ketika dia memandang ke muka, si orang tua
dilihatnya tertawa mengekeh dan masih tetap duduk di
bawah pohon kelapa itu! .
Wiro merutuk setengah mati.
Kedua tangan diangkat ke atas.
"Tua Gila! Terima pukulanku yang kedua ini!" Kemudian
tanpa tunggu lebih lama Wiro putar-putarkan kedua
tangannya di udara. Gelombang angin yang tiada tara
dahsyatnya menderu. Debu dan pasir beterbangan. Batubatu
kerikil mental. Semak belukar luruh, daun-daun pohon
berguguran bahkan banyak cabang-cabang dan rantingnya
yang patah! Pakaian, rambut dan janggut Tua Gila kelihatan
berkibar-kibar! Tapi anehnya dia tetap saja duduk di
tempatnya, malah berkata' "Ah, sejuknya pukulan angin
puyuh ini. Mataku sampai-sampai mengantuk!" Dia
menguap lalu letakkan kepalanya di atas lutut seperti sikap
orang yang hendak tidur mencangkung!
"Edan!" maki Wiro Sableng. Pukulan angin puyuh segera
diganti dengan pukulan angin es. Udara di atas pulau itu
mendadak sontak menjadi dingin tiada terperikan.
Binatang-binatang kecil seperti burung, jatuh menggelepar
kaku. Sebaliknya si orang tua mendongak ke langit dan
berkata seakan-akan pada dirinya sendiri; "Ah, panas sekali
hari ini!.Tubuhku sampai keringatan!" Lalu Tua Gila kibaskibaskan
pakaian putihnya. Dengan serta merta lenyaplah
pengaruh pukulan angin es yang telah dilepaskan oleh Wiro
Sableng!
"Orang gila! Apakah kau masih punya ilmu simpanan
yang lain?!" seru Tua Gila dengan nada mengejek!
Wiro jambak-jambak rambutnya saking gemas.
"Ayo! Pukulan sinar matahari belum kau keluarkan!
Sudah lama aku tidak melihat pukulan itu!"
Sebenarnya susah sejak tadi Wiro Sableng terkejut
karena Tua Gila mengetahui setiap jurus pukulan yang
hendak dilepaskannya. Bahkan kini kejutnya itu bertambah
lagi sewaktu Tua Gila menyuruhnya mengeluarkan
pukulan sinar matahari!1 Siapa sesungguhnya orang tua
aneh ini, pikir Wiro tiada henti!
"Ayo! Kenapa jadi macam orang pikun?! Keluarkan
pukulan sinar matahari!" berseru lagi Tua Gila.
Penasaran sekati Wiro alirkan seluruh tenga dalamnya ke
tangan kanan. Mulutnya komat-kamit. Sekejap kemudian
tangannya itu mulai dari siku sampai ke ujung-ujung jari
berubah menjadi putih sekali! Lima kuku-kuku jarinya
memijar menyilaukan laksana perak ditimpa sinar
matahari!
Tua Gila untuk pertama kalinya berdiri dengan cepat.
Matanya yang lebar memandang ke muka tak berkedip.
Tubuhnya sedikit dibungkukkan dan pada saat dilihatnya
Wiro memukulkan tangan kanan ke muka, orang tua ini
dorongkah telapak tangan kanannya ke depan!
Dari tangan Wiro Sableng menderu satu larik besar
sinar putih yang tiada terkirakan panasnya! Sebaliknya
dari tangan Tua Gila berkiblat tujuh sinar pelangi yang
menderu ganas-dan memapasi sinar putih berkilau!
Terdengar suara berdentum yang teramat dahsyat!
Langit laksana robek!
Pulau itu laksana tenggelam ke dasar laut!
Dunia seperti mau kiamat!
Wiro Sableng mencelat sampai tiga tombak. Ketika
dia berdiri mengimbangi badan, dadanya terasa sakit.
Tenggorokannya gatal. Dia terbatuk lapi darah yang
menyembur! Cepat-cepat Wiro telan sebutir pil! Lalu atur
jalan darah dan nafasnya! Di seberangnya dilihat sepasang
kaki Tua Gila amblas ke dalam tanah sedalam
betis! Sambil batuk-batuk dan tertawa-tawa, orang tua
itu cabut kedua kakinya.
"Ah... baru pukulanmu yang satu itu yang agak berguna
dimataku!" kata Tua Gila. Perlahan-lahan dia duduk
kembali di bawah pohon kelapa. Tiba-tiba dia berpaling
ke kiri dan mendamprat keras: "Bocah sialan! Kau berani
mengintai urusan orang! Pergi!"
Ternyata yang dibentak dan diusirnya itu adalah anak
kecil yang tempo hari ditolong oleh Wiro di tengah
lautan. Si anak dengari takut segera lari meninggalkan
tempat itu.
Tua Gila mendongak ke langit. Saat itu sang surya telah
menggelincir ke arah barat.
"Hem... sudah rembang pelang. Tentu pasang sudah naik”
Dia berpaling pada Wiro dan berdiri. Lalu katanya:
"Mari ikut aku ke pantai!"
Mula-mula Wiro merasa bimbang dan tetap berdiri di
tempatnya. Tapi ketika Tua Gila membentaknya dengan
mata melotot marah, maka dengan rasa ingin tahu apa
yang hendak diperbuat orarig tua aneh itu akhirnya Wiro
mengikut juga!
Seperti yang dikatakan Tua Gila tadi ternyata memang
kini mereka sampai di tepi pantai. Orang tua itu melangkah
sepanjang tepi pasir menuju ke sebuah teluk sempit yang
penuh dengan batu-batu karang serta batu-batu cadas
hitam. Wiro memperhatikan bagaimana Tua Gila
melangkah seenaknya di atas pasir yang basah tanpa
meninggalkan sedikit jejak pun! Se-baliknya ketika dia
memandang ke belakang, meski tak begitu kentara namun
tetap saja matanya bisa melihat bekas-bekas telapak kedua
kakinya! Bagaimana dia bisa menganggap ilmunya sudah
tinggi dan sempurna? Wiro garuk-garuk kepalanya. Dalam
bati dia- merasa malu sendiri!
Di teluk sempit itu terdapat dua buah batu karang yang
menonjol tinggi. Lebih tinggi dari batu-batu di sekelilingnya.
Jika pasang naik meskipun kedua batu karang itu tidak
terendam air laut namun hampir setiap saat ombak yang
sebesar-besar rumah menderanya dengan dahsyat! Setiap
pasang naik, setiap hari, entah sudah berapa ratus tahun,
entah sudah berapa juta kali ombak mendera kedua batu
karang itu! Namun sampai saat itu keduanya masih tetap
berdiri dengan kukuh dan megah laksana dua raksasa yang
tiada terkalahkan sepanjang masa!
Dengan gesit dan sambil menyanyi-menyanyi membawakan
lagu tak menentu Tua Gila melompat-lompat di atas
batu-batu cadas, sampai akhirnya dia berada di puncak
salah satu batu karang yang tinggi itu. Dia memandang ke
bawah dan berteriak pada Wiro: "Kau melompatlah ke batu
karang yang di sebelah sana!"
"Kau gila!" teriak Wiro. "Kalau ombak dalang kau
pasti dihantam dan terpelanting ke batu-batu karang
yang runcing menonjol itu. Kira-kira dua puluh tombak!"
Dan baru saja Wiro habis berteriak begitu sebuah
ombak sebesar rumah bergulung dan menerpa ke arah
puncak batu karang!
Wiro berseru memberi Ingat agar Tua Gila lekas
melompat turun! Tapi gilanya, malah Tua Gila memutar
tubuh menghadapi datangnya ombak. Kedua tangannya
diangkat tinggi-tinggi dan dia berjingkrak-jingkrak di
atas puncak karang itu seperti seorang anak yang gembira
sekail di kala ke luar rumah mandi hujan! Begitu ombak
mendera begitu si orang tua dorongkan kedua tangannya
menyongsong ke muka!
"Byuur!"
Ombak menerpa, Batu karang bergoyang keras.
Tapi Tua Gila masin berdiri di atas puncak karang itu,
Bajunya basah kuyup. Dan dia berteriak-teriak gembira;
"Ayo ombak! Ayo ombak datanglah lagi! Datanglah lagi
lebih besari"
"Manusia aneh gili" desis Wiro. tapi diam-diam dia
kagum sekali! Sedangkan batu karang itu waktu dilanda
ombak kelihatan jelas bergoyang hebat! Sebaliknya seorang
manusia yang berada di puncaknya tiada sanggup disapu
oleh ombak! Benar-benar tak bisa dipercaya kalau dia tak
menyaksikannya sendiri.
"Hai! Melompatlah. Kau tunggu apa lagi?!" teriak Tua
Gila sewaktu dilihatnya Wiro Sableng masih berdiri bengong
melompong di bawah sanal
"Tobat! Aku masih mau hidup orang tua!" sahut Wiro.
Tua Gila memaki lalu gerakkan tangan kanannya.
Wiro tak tahu apa yang dikerjakan orang tua itu tahu-
tahu sebuah benda halus putih yang berkilauan telah
melibat pinggangnya. Benang kayangan! Belum sempat
Wiro berbuat suatu apa tahu-tahu tubuhnya sudah ter-
sentak dan melesat ke atas puncak karang yang kedua.
Dengan kerahkan ilmu meringankan tubuh Wiro men-
jejakkan kedua kakinya di atas puncak karang yang sem-
pit runcing, serta licnin berlumut itu!
Bila dia memandang ke muka, Wiro terkejut. Segulung
ombak sebesar rumah menderu ke arah kedua puncak batu
karang di mana dia berada bersama Tua Gila.
"Bagi dua tenaga dalammu ke kaki dan tangani" teriak
Tua Gila. "Begitu ombak datang songsong dengan pukulan
kedua telapak tangan!"
Karena khawatir tubuhnya akan disapu dan dihempaskan
ombak ke batu-batu cadas di teluk yang sempit itu,
dengan sedapat-dapatnya Wiro mengikuti ucapan Tua Gila!
Tapi percuma saja! Begitu ombak menyapu begitu tubuhnya
mencelat mental!
"Tobat! Tamatlah riwayatku!" keluh Wiro Sableng. Satu
tombak lagi tubuhnya akan menghantam sebuah batu
cadas Ijba-tiba dirasakannya badannya tersentak membal
dan mencelat lagi ke udara! Kiranya Tua Gila telah
menyentakkan benang kayangan yang menjerat
pinggangnya. Untuk kedua kalinya Wiro berdiri lagi di
puncak batu karang itu!
"Ayo orang gila! Jangan takut!" seru Tua Gila sambil
tertawa gelak-gelak. "Nah ini ombak besar datang lagi! Ayo,
sambutlah!"
''Byuuur!"
Ombak menggulung menerpa bagian atas puncakpuncak
karang. Untuk kedua kalinya tubuh Wiro Sableng
mencelat mental. Seperti tadi, sebelum jatuh ke atas batubatu
cadas, kembali Tua Gila menariknya dan
melemparkannya ke puncak karang! Berkali-kali hal itu
terjadi hingga Wiro merasakan sekujur tubuhnya laksana
tiada bertulang lagi, laksana hancur lebur dan orang tua gila
itu masih juga melemparkannya ke atas batu karang setiap
ombak menerjangnya jatuh!
Tiada terasa senjapun datang. Senja segera pula berganti
dengan malam. Entah sudah berapa puluh kali Wiro disapu
ombak dan "dipermainkan" oleh Tua Gila. ' Lambat laut
timbullah rasa penasaran di hati Wiro Sableng, Dengan
menguatkan diri dap menabahkan hati, ketika untuk
kesekian kalinya ombak dalang lagi menderu maka
pemuda ini coba berbuat seperti yang dilakukan Tua Gila.
Sebagian tenaga dalamnya dikerahkan ke kaki, sebagian
lain ke tangan. Begitu ombak datang tubuhnya
dibungkukkan sedikit dan kedua telapak tangan
didorongkan ke muka!
"Byuur!"
Wiro mencelat mental. Tapi kali ini tidak sejauh seperti
sebelumnya. Dan bila hal itu dicobanya lagi berulang-ulang,
maka menjelang tengah malam akhirnya Wiro sanggup
juga beberapa kali tetap berdiri di puncak batu karang itu
meskipun tubuhnya tergoyang gontai dengan hebat! Namun
karena kekuatannya telah habis, akhirnya pemuda ini roboh
pingsan! Dari mata, telinga, hidung dan mulut ke luar darah.
Ini adalah akibat tubuh lemah yang dipaksakan
mengerahkan tenaga untuk melakukan pekerjaan yang tak
pernah dilakukan sebelumnya! Sebaliknya. Tua Gila tertawa
gelak-gelak penuh gembira. Ditariknya benang sakti di
tangannya. Sekali menyentakkan kemudian tubuh Wiro
Sableng sudah berada di atas bahu kirinya.
Tua Gila mendongak ke langit, memandang ke arah bulan
sabit. Sambil melompat turun dan tertawa-tawa dia berkata:
"Tidak percuma... tidak percuma Si Sinto Gendeng itu punya
murid macam ini! Tidak percuma!"
Kalau saja Wiro Sableng tidak pingsan, kalau saja Wiro
Sableng mendengar ucapan Tuan Gila itu, pastilah dia akan
heran dan terkejut sekali. Karena Eyang Sinto Gendeng
adalah guru Wiro Sableng yang telah menggembleng
pemuda ini selama tujuh belas tahun di puncak Gunung
Gede!
Ternyata Tua Gila dengan mengajak Wiro Sableng ke
puncak batu karang di teluk sempit itu, telah mengajarkan
sebuah ilmu pukulan yang amat hebat kepada si pemuda.
Wiro sendiri begitu menyadari bahwa Tua Gila memberikan
pelajaran ilmu pukulan sakti kepadanya segera hendak
berlutut mengucapkan terima kasih. Tapi dengan tertawatawa
Tua Gila berkata:
"Meski kau kuberi pelajaran satu ilmu pukulan yang
hebat, tapi jangan sangka bahwa aku telah jadi guru dan
kau telah jadi murid antara kita tak ada hubungan apaapa...!"
"Terima kasih orang tua! Terima kasih!" kata Wiro,
"Tapi mengapakah kau sampai demikian bermurah hati
mengajarkan ilmu pukulan itu?"
Tua Gila tertawa gelak-gelak.
"Pertama sebagai ucapan terima kasihku karena di
tengah laut kau telah menyelamatkan seorang anak yang
bakal menjadi muridku! Kedua karena mengingat... ah....
Agaknya tak perlu kuteruskan...."
Wiro Sableng merasa tak enak.
"Karena mengingat apa, orang tua...?"
"Sudah! Tak usah banyak tanya!" kata Tua Gila tak
senang. "Ilmu pukulan yang telah kau pelajar! itu bernama
"Dewa Topan Menggusur Gunung". Merupakan satu diantara
tujuh pukulan hebat yang ada di dunia persilatan! Sekarang,
untuk menambah bekalmu ke Tambun Tulang, aku akan
ajarkan padamu beberapa jurus silat ciptaanku yang
bernama Ilmu Silat Orang Gila"
"Nah sekarang kau seranglah aku selama tiga jurus,"
kata Tua Gila.
Wiro segera menyerang orang tua itu dengan gencar!
Bagaimanapun hebat dan cepat gerakannya tetap saja dia
tak bisa menyentuh tubuh Tua Gila. Sebaliknya dia kena
didesak dan akhirnya dipaksa "makan" sebuah jotosan
pada dadanya! Padahal ilmu silat yang dimainkan oleh Tua
Gila kelihatannya gerabak-gerubuk tidak teratur! Tapi justru
disitulah letak kehebatan ilmu silat orang gila yang
diciptakan oleh Tua Gila! Dalam waktu yang singkat Wiro
Sableng telah dapat meyakinkan jurus-jurus silat itu.
Meskipun belum sempurna, tapi bila dia terus melatih diri,
pastilah kepandaiannya akan mencapai tingkat
kesempurnaan.
Di pagi hari keesokannya setelah bersemedi hampir
setengah malam Tua Gila memanggil Wiro Sableng.
"Hari ini adalah hari yang paling memuakkan bagiku
untuk melihat tampangmu!" kata si orang tua. Wiro
terkejut. Belum sempat dia bertanya Tua Gila sudah
menyambung: "Karenanya hari ini pula kau harus angkat
kaki! Nah berlalulah sebelum aku betul-betul muntah
melihatmu!"
Wiro berpikir sejenak lalu dengan tertawa lebar dia duduk
dihadapan Tua Gila. Dia tahu orang tua ini bersifat aneh.
Karenanya meski disuruh pergi dia tak mau angkat kaki
dari situ.
"Sebelum pergi, pertama sekali aku akan mengucapkan
terima kasih sekali lagi, Terima-kasih karena kau juga telah
mewariskan ilmu pukulan sakti dan menurunkan ilmu silat
yang hebat padaku...."
"Lalu apa lagi?]" tanya Tua Gila. "Ah, sudahlah! Perutku
sudah mual melihatmu! Ayo berlalu cepat!" Tua Gila
lambaikan tangannya. Angin yang hebat mendorong Wiro
hingga terjajar beberapa langkah ke pintu pondok.
"Aku butuh beberapa petunjuk darimu, Tua Gila,"
kata Wiro.
"Eh, petunjuk apa?!"
"Kau sudah tahu bahwa aku akan pergi ke Tambun
Tulang."
"Dan aku sudah berikan beberapa ilmu sebagai
bekalmu. Apa itu masih belum cukup?!"
"Maksudku bukan minta ilmu lagi, tapi beberapa
keterangan."
"Keterangan apa?!" tanya Tua Gila cepat seperti
orang yang tidak sabar.
"Aku tak tahu banyak tentang letak dan apa artinya
Tambun Tulang itu...."
"Dan juga tidak tahu bahwa ajal mungkin menantimu di
situ?!" Tua Gila tertawa mengekeh.
"Ajal menunggu manusia di mana-mana, orang tua,"
sahut Wiro.
"Betul! Sedang tidurpun bisa mampus! Tapi mati yang
paling mengenaskan dan mengecewakan ialah mati
percuma dalam tak berhasil melakukan sesuatu yang kita
rasakan sebagai kewajiban!" Orang tua itu tertawa lagi
seperti sebelumnya. Setelah memijit-mijit kedua pipinya
yang cekung. Tua Gila membuka mulut lagi:
"Tempat tujuanmu itu terletak di sebelah utara, kira-kira
diperlengahan Pulau Andalas. Cukup jauh dari sini! Tapi kau
pasti bisa sampai di situ karena bukankah kuburmu
memang terletak di sana?" Tua Gila tertawa kembali. Lalu
meneruskan lagi: 'Tambun Tulang artinya Timbunan Tulang.
Bukan timbunan tulang binatang tapi timbunan tulang
ratusan, mungkin ribuan manusia! Demikian banyak hingga
merupakan sebuah bukit yang kelihatan putih dari jauh! Bila
didekati, pemandangan di sana mengerikan sekali! Bukit
Tambun Tulang daerah kekuasaannya Datuk Sipatoka,
seorang jago silat dan sakti mandraguna. Dia memiliki
anak buah dan pembantu-pembantu yang lihay. Di samping
itu memelihara puluhan harimau! Sekali kau masuk ke
daerahnya itu, tipis harapan kau bakal keluar hidup-hidup,
orang gila! Nah, apa bukan lebih bagus kau membatalkan
saja niatmu pergi ke situ?!"
Wiro gelengkan kepalanya.
"Kau masih muda, orang gila. Mati muda mati yang siasia!"
kata Tua Gila pula.
Wiro tak menghiraukan ucapan orang tua itu, Malah dia
bertanya: "Menurutmu, apakah mungkin manusia bernama
Sipatoka itu yang telah membunuh Kiat Bangkalan dan
mencuri kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan?"
"Dasar orang gila! Masakan hal itu kau tanyakan padaku!
Aku tidak tahu dan kalaupun tahu belum tentu kuberi tahu
padamu!"
"Wiro mendumel dalam hati”.
"Orang bernama Sipatoka itu, apakah dia termasuk
tokoh silat golongan hitam?"
"Itu urusanmu untuk menyelidikinya!" jawab Tua Gila
"Mengenai bukit tulang manusia itu... apakah itu
manusia-manusia korban keganasan Datuk Sipatoka dan
orang-orangnya?" tanya Wiro lagi.
Tua Gi|a tertawa dingin. "Kau akan melihat dan mengetahuinya
sendiri nanti, orang gila! Kalau nasibmu baik,
kau akan mati berkubur! Tapi kalau tidak, tulang-tulangmu
akan turut menambah tingginya bukit Tambun Tulang Ku!
Nah sekarang kau tunggu apa lagi! Cepat angkat kaki!"
Sekali lagi Wiro Sableng ucapkan terima kasih lalu
setelah menjura berulang kali pendekar ini melangkah
dengan cepat ke pintu.
"Orang gila! Tunggu dulu!" seru Tua Gila memanggil.
Wiro Sableng membalikkan badan.
"Sampai hari ini, sudah sejak beberapa lamakah kau
turun meninggalkan puncak Gunung Gede?!"
Kagetlah Wiro Sableng mendengar pertanyaan orang tua
itu. Bagaimana si Tua Gila tahu kalau dia berasal dari
Gunung Gede?!
"Jawab sejujurnya orang gila! Aku tahu banyak tentang
kau tapi tidak tentang orang lain itu!"
"Orang lain siapa, Tua Gila?" tanya Wiro.
"Gurumu si Sinto Gendeng! Lebih empat puluh tahun aku
tak mendengar kabar beritanya!"
Keterkejutan Wiro Sableng makin bertambah-tambah.
"Kau... kau kenal dengan guruku?!"
"Jawab dulu sudah berapa lama kau turun gunung?!"
Wiro berpikir-pikir. "Kurasa ada satu tahun," sahutnya.
"Ada apakah orang tua?"
"Sejak satu tahun itu tak pernah ketemu-ketemu dengan
si Sinto Gendeng?!"
Melihat Tua Gila menyebut nama gurunya dengan "Si
Sinto Gendeng" nyatalah bahwa Tua Gila mempunyai
hubungan akrab. Atau mungkin sebaliknya?!
"Tidak," Wiro menjawab pertanyaan Tua Gjla tadi.
"Sebetulnya ada hubungan apakah kau dengan guruku,
Tua Gila?"
Orang tua itu tertawa rawan. Dia memandang jauh-jauh
ke muka seakan-akan sesuatu di masa lampau kini
terbayang di ruang matanya.
Tiba-tiba Wiro Sableng melihat butiran-butiran air
mata menetes dan turun ke pipi cekung si orang tua.
Aneh, pikir Wiro.
Lalu tiba-tiba lagi sambil seka air mata itu tua Gila
tertawa gelak-gelak. "Kadang-kadang orang yang sudah
tua berlaku seperti anak kecil. Menangis macam anak
kecil!" Tua Gila kemudian hela nafas panjang. "Sebenarnya
aku dan gurumu itu adalah saudara satu guru...."
Tentu saja ini tak diduga sama sekali oleh Wiro Sableng!
Kagetnya bukan olah-olah! Tapi begitu sadar cepat-cepat
dia menjura dalam-dalam dihadapan Tua Gila.
"Betul-betul aku tidak menduga kalau kau adalah
saudara seperguruan dari Eyang Sinto Gendeng. Ah...
pantas saja kau sakti dan lihay sekali!"
Kembali Tua Gila tertawa rawan.
"Aku lima tahun lebih tua dari dia, orang gila....". Dan
dia memandang lagi jauh-jauh ke muka. "Gurumu itu
sekarang tentu sudah tua renta, bungkuk dan buruk
keriputan! Tapi dulu dia seorang dara yang cantik sekali!
Dan aku yang kini begini buruk macam mayat hidup
dulupun punya tampang keren, tegap gagah! Tapi itu dulu...!
Semua yang dulu-dulu itu tak bakal kembali lagi!"
Untuk kedua kalirjya Jua Gila menghela nafas dalam.
Lalu meneruskan, penuturannya. "Orang gila, aku naksir
pada gurumu di masa kami muda-muda dulu. Dia juga
senang padaku. Kami saling mencintai! Bahkan sewaktu
turun gunung, guru kami merestui kalau benar-benar kami
hendak bergabung dalam satu perkawinan! Tapi celakanya
sesudah turun gunung aku tertipu oleh kecantikan dunia
luar! Aku terjebak dan mati kutu di tangan seorang janda
muda anak seorang Adipati di Plered! Aku kawin dengan
janda Itu dan meninggalkan gurumu! Gila! Betul-betul gila
perbuatanku!" Dan Tua Gila memukul-mukul keningnya
sendiri! "Ketika janda itu sakit dan mati, baru aku sadar!
Aku cari gurumu dan bertemu. Tapi dia tak sudi lagi
padaku! Sekalipun aku menangis air mata darah, dia tak
bersedia menerimaku dan hidup bersama! Gurumu patah
hati, orang gila! Memang aku yang salah! Gila! Aku jadi
putus asa lalu bertualang dan membuat keonaran di manamana!
Seluruh tokoh-tokoh, silat di Pulau Jawa tunduk dan
takut padaku! Dua puluh tahun lebih aku merajai dunia
persilatan! Orang-orang menjulukiku berbagai rupa. Ada
yang memberi gelar "Pendekar Gila Patah Hati". Ada pula
yang menjuluki "Iblis Gila Pencabut Jiwa"! Banyak lagi
gelar-gelar yang lain, tapi persetan dengan semua gelaran
itu! Di akhir hayatku ini aku memakai gelar yang kuciptakan
sendiri yaitu Tua Gila! Orang tua yang gila! Kurasa itu cocok
bagiku! Dan selama bertualang membuat keonaran itu
tahukah kau sudah berapa manusia yang menjadi korban di
tanganku?"
Wiro angkat bahu.
Tua Gila hela nafas lagi. "Tiga ratus lebih," katanya mendesis.
'Tiga ratus lebih nyawa manusia yang harus kupertanggung
jawabkan di akhirat nanti! Betul-betul gila! Tapi
semua mati dalam pertempuran yang jujur! Meski demikian
kurasa jtu tetap gila! Dan di hari tua ini datanglah
penyesalan. Tapi,apa gunanya lagi? Sudah nasib!"
''Apakah selama bertualang itu kau tak pernah bertemu
dengan guruku?" tanya Wiro ingin tahu..
"Pernah... memang pernah, orang gila! Waktu itu
keadaan diriku menyedihkan sekali. Pakaian compangcamping
penuh tambalan. Rambut gondrong, lebih
gondrong darimu dan acak-acakan. Badanku kurus kering,
muka tak terpelihara dan kalau aku tak salah, waktu itu
aku tak pernah mandi-mandi! Dan waktu itu kami berumur
kira-kira empat puluh tahunan! Rupanya gurumu kasihan
juga melihat aku! Lalu dia berkata kalau aku menghentikan
membuat keonaran, kembali ke jalan yang benar, maka
kelak di tiga puluh tahun mendatang dia bersedia untuk
kawin denganku! Gila tidak?! Di tiga puluh tahun mendatang
aku dan dia sudah jadi kakek nenek tua renta
keriputan! Dan kawin di umur setua macam begini, betulbetul
gila dan tak pantas sekali! Atau menurutmu pantaskah
orang setuaku dan setua gurumu itu, melangsungkan
perkawinan?!".
Wiro Sableng garuk-garuk'kepala. Hatinya geli sekali.
"Aku tak tahu, Tua Gila. Kalau suka sama suka kurasa tak
ada halangannya...”
Tua Gila tertawa gelak-gelak sampai ke luar air mata.
"Memang tak ada halangan dan tak ada yang melarangl
Tapi semua orang tentu akan mentertawai dan menganggap
kami berdua pada gila dan memang aku dan
gurumu itu memang sudah gila! Sesudah bertemu dengan
gurumu lantas aku mengundurkan diri dari dunia persilatan
dan tinggal di sini selama tiga puluh tahun lebih, mendalami
ilmu silat ciplaanku dan memperyakin beberapa
ilmu pukulan sakti sambil berharap-harap sebelum
mampus bisa mendapatkan seorang murid! Dan nyatanya
harapanku terkabul! Kau orang gila telah menyelamatkan
seorang anak yang telah kuambil jadi murid!"
Lama kedua orang itu sama berdiam diri.
"Kalau kelak kau mengunjungi gurumu, jangan lupa
sampaikan salamku padanya," kata Tua Gila.
Wiro mengangguk."Tapi kurasa lebih baik lagi bila kau
sendiri yang datang menyambanginya...."
"Ah... hatiku memang rindu! Tapi aku malu sekali! Kau
tahu orang gila, rasa malu lebih kukuh dari dinding baja!"
"Liku hidup ini banyak ragam dan keanehannya,"
kata Wiro.
Dan Tua Gila menyambungi: "Segala liku keanehan itu
akan berakhir pada satu hal yakni kematian.... Nah, Wiro
sekarang kau pergilah! Jangan tunggu sampai aku muntah!"
Wiro Sableng tertawa dan berkata: "Aku tetap berharap
kau sudi menyambangi guruku di puncak Gunung Gede!"
Paras tua itu kelihatan memerah. Tua Gila membentak:
"Sialan! Aku tak butuh nasihatmu! Ayo pergi!"
Wiro Sableng keluarkan suara bersiul. Setelah menjura
cepat-cepat dia tinggalkan tempat itu. Di tepi pantai pulau
ditemuinya dua buah perahu lengkap dengan kayu pendayungnya.
Tanpa pikir panjang Wiro masuk ke dalam
salah satu perahu itu dan mulai mendayung menuju ke
utara!
Di tengah pasar yang ramai itu kelihatanlah banyak orang
berkerumun dalam bentuk lingkaran. Dalam lingkaran
berdiri dua orang, yang pertama seorang laki-laki separuh
baya berpakaian dan berdestar hitam. Tampangnya gagah
dan senyum senantiasa terbayang di bibirnya. Orang kedua
seorang dara yang juga berbaju dan berikat kepala hitam.
Kulitnya putih rambutnya menjulai panjang di punggung dan
parasnya jelita. Seperti laki-laki tadi, dibibirnya yang segar
juga selalu mengulum senyum yang diberikan pada orang
ramai di sekelilingnya.
Laki-laki berpakaian hitam, melangkah ke tengah
lingkaran, memandang berkeliling lalu menjura ke segala
penjuru. Suaranya keras dan enak didengar ketika dia
bicara.
"Saudara-saudara sekalian! Banyak terima kasih yang
saudara-saudara sudah, sudi berkumpul di sini. Kita
bukanlah orang-orang yang baru berjumpa kali ini.
Sudah seringkali aku dan anakku berkunjung ke pasar
ini sekedar memberi hiburan tak berguna untuk mencari
uang. Hari ini kita berjumpa lagi. Kuharap saja saudarasaudara
tidak bosan melihat pertunjukan kami! Juga tidak
keberatan bermurah hati memberi beberapa ketip sebagai
sumbangan. Kami ayah dan anak mengucapkan terima
kasih...."
Sampai di situ ucapan laki-laki ini terhenti sejenak. Yang
menghentikannya ialah karena dua buah matanya melihat
kedatangan seorang penunggang kuda bertubuh tegap,
berkumis melintang, berpakaian dan berikat kepala serba
hitam. Dibagian dada pakaiannya kelihatan lukisan kepala
harimau berwarna kuning! Penunggang kuda itu berhenti
dan ikut bergerombol di belakang orang banyak. Laki-laki
separuh baya yang ada di lengah lingkaran merasa tak
enak. Demikian juga anaknya kelihatan berubah air
mukanya sewaktu melihat kemunculan si penunggang kuda
berkumis melintang. Sedang orang banyak yang berjubalan,
begitu mengetahui kedatangan penunggang kuda ini segera
bersibak menjauh dengan muka yang membayangkan
ketakutan. Banyak diantara mereka yang tak punya minat
lagi untuk meneruskan melihat pertunjukan kedua beranak
itu dan berlalu dengan cepat!
Laki-laki separuh baya meskipun dengan hati tidak enak
kembali meneruskan ucapannya.
"Saudara-saudara sekalian. Maksud kami melakukan
pertunjukan ini bukan untuk memamerkan ilmu
kepandaian kami yang tak seberapa tapi semata-mata
hanyalah untuk mencari Uang guna membeli sesuap nasi.
Kami tahu pula, diantara saudara-saudara yang hadir disini
tentu ada yang memiliki kepandaian dan kesaktian yang
jauh lebih tinggi, karenanya kami minta maaf terlebih
dahulu dan sudilah untuk tidak berlaku keras terhadap
kami dan menahan pertunjukan kami nanti. Sekali lagi
maaf. Sekarang kami akan mulai...."
Laki-laki itu mencabut sebilah keris dari pinggang-nya.
Senjata itu dibawanya berkeliling, diperlihatkannya dekatdekat
pada penonton. Lalu diambilnya sepotong kayu jati
dan kayu itu ditusuknya dengan keris! Kayu itupun
berlubanglah! Ini untuk menunjukkan bahwa keris itu betulbetul
senjata tajam bukan keris palsu yang terbuat dari
kayu atau kertas tebali
Kemudian laki-laki ini menganggukkan kepalanya pada
si dara jelita. Anak gadis itu mengambjl sebuah gendang
dan mulai memukulnya. Ayahnya membuka baju.
Kelihatanlah dadanya yang bidang dan berbulu. Kemudian
mengikuti irama pukulan gendang, laki-laki ini menari
sambil menghunjam-hunjamkan keris di tangan kanannya
ke dada! Jelas sekali kelihatan ujung senjata itu menusuk
kulit daging tubuhnya, namun kulit itu jangankan luka,
tergorespun tidak! Semakin cepat irama pukulan gendang
semakin cepat tar ia n yang dimainkannya dan semakin
gencar pula tusukan-tusukan ujung keris ke dadanya!
Lewat sepeminum teh maka irama gendang kembali
perlahan dan akhirnya berhenti. Laki-laki itu hentikan
pula "permainannya lalu menjura kepada orang banyak
yang disambut dengan tepuk sorak yang riuh!
"Saudara-saudara sekalian, pertunjukan, berikutnya
dilakukan oleh seorang yang bukan lain adalah anak saya
sendiri." Sementara itu ayahnya mengeluarkan sebatang
golok tajam, putih berkilat ditimpa sinar matahari. Untuk
membuktikan bahwa benda itu sebenarnya golok maka
diambilnya kayu jati tadi lalu dibacoknya. Kayu jati terbelah
dua!
Gendang mulai dipalu. Dengan langkah ringan si dara
baju hitam menuju tengah lingkaran. Dia tersenyum
berkeliling lalu mulai menari mengikuti irama gendang.
Tariannya bagus sekali dan lemah gemulai membuat, semua
orang terpesona. Ketika ayah sang dara melangkah
mendekati anaknya dengan golok terhunus semua
orang merasa ngeri meskipun pertunjukkan demikian
sudah sering mereka saksikan. Laki-laki itu mulai pula
menari mengelilingi anaknya. Kemudian "wuut," goloknya
dibacokkan ke punggung si gadis. Terdengar suara
"buuk!" Gadis itu tersenyum! Aneh! Hantaman mata golok
yang tajam bukan saja tidak melukai punggung sang dara
tapi bahkan juga tidak merobek pakaiannya! Dan dengan
senyum simpul si gadis terus menari seakan-akan tak ada
terjadi apa-apa sementara golok menderu bertubi-tubi
membacok bagian atas tubuhnya dan suara
"Buuk... buuk... buuk." Terdengar tak kunjung henti! Kengerian
orang banyak berubah menjadi tempik sorak
kagum!
Lewat sepeminum teh pula maka pertunjukan yang
kedua itupun berakhirlah! Orang banyak bertepuk riuh
dan bersorak gembira. Beberapa diantara mereka ada
yang melemparkan uang logam ke tengah lingkaran
yang segera dikumpulkan oleh anak laki-laki lalu dimasukkan
ke dalam kotak.
"Sekarang pertunjukan yang ketiga, saudara-saudara,"
kata laki-laki berpakaian hitam. Dia melirik sekilas pada
penumpang kuda berkumis melintang yang sampai saat itu
masih berada di situ dan menyaksikan peri tinjukan.
"Saudara-saudara sekalian," kata laki-laki itu
selanjutnya. "Saudara lihat kuati besardibela kang itu? Kuali
itu berisi air yang dijerang hingga mendidih! Saudara-
saudara akan melihat bagaimana saya akan masuk ke
dalamnya dan mandi!"
Lalu laki-laki itu melangkah mendekati sebuah kuali
yang* besar sekali. Bagian bawah kuali yang ditopang
oleh tiga buah batu besar itu berkobar api besar. Air yang
ada di dalam kuali berbunyi mendidih dan mengepulkan
asap panas.
"Tapi!" berkata laki-laki tadi seraya palingkan muka
ke segala penjuru. "Mungkin saudara-saudara mengira
air yang mendidih dan api yang berkobar ini hanyalah
tipuan belaka! Aku akan buktikan bahwa aku Pagar Alam
bukanlah seorang penipu!"
Dari dalam sebuah kolak laki-laki yang mengaku
bernama Pagar Alam itu mengeluarkan seekor tikus.
Tikus Hu kemudian dimasukkannya ke dalam api! Bina-
tang itu mencicil dan meregang nyawa di situ juga. Bau
dagingnya yang terbakar meranggas hidung! ",
Pagar Alam mengeluarkan seekor tikus lagi lalu dicemplungkannya
ke dalam air yang mendidih. Tikus itu
mencicil sebentar dan menggelepar-gelepar lalu mati
matang! Setelah mengeluarkan tikus Hu dari dalam kuali
Pagar Alam berkata:."Sekarang saudara-saudara saksikan
sendiri bahwa aku tidak menipu kalian! Nah, aku
akan masuk ke dalam kuali ini!"
Semua penonton menahan nafas penuh tegang sebaliknya
disudut bibir-penunggang kuda berkumis melintang
tersungging senyum penuh arti!
Pagar Alam mencelupkan kaki kanannya ke dalam
air mendidih di kuali. Lalu kaki kirinya. Dan kini dia berdiri
di atas kuali berair mendidih yang dibawahnya berkobar
api besar! Hebat dan aneh, kakinya tidak melepuh,
seakan-akan air di dalam kuali itu adalah air dingin biasa!
Bahkan laki-laki ini memutar tubuhnya berkeliling sambil
tersenyum! Orang banyak bertepuk riuh rendah!
"Saudara saudara sekarang aku akan duduk dalam
kuali Ini dan akan mandi! Sudah lama badan buruk ini tak
pernah mandi-mandi. Daki telah tebal di sekujur tubuhku!"
Semua orang tertawa gelak-gelak. Mata masingmasing
dibentangkan lebih lebar.
Kemudian Pagar Alam membungkuk, siap untuk duduk di
dasar kuali. Tapi baru saja dia bergerak sedikit tiba-tiba lakilaki
ini menjerit keras dan melompat ke luar dari kuali.
Tubuhnya terguling di tanah. Kedua kakinya sebatas lutut
kelihatan putih matang laksana daging direbus! Semua
orang menjerit dan terbeliak kaget! Anak gadis Pagar Alam
memburu dengan cepat. Dari balik baju hitamnya
dikeluarkannya sejenis bubuk lalu ditebarkannya dikedua
kaki ayahnya yang merintih kesakitan di tanah! Rupanya
seseorang berilmu lebih tinggi diam-diam telah "menahan"
dan "memunah" ilmu yang dimiliki Pagar Alam dan
akibatnya kedua kaki itu terebus matang!
Setelah mengobati kaki ayahnya, sang dara berdiri
dan memandang beringas ke segala penjuru.
"Saudara-saudara siapakah diantara kalian yang begitu
tega mencelakai ayahku? Ayah tiada punya permusuhan
dengan siapapun di sini. Pertunjukan ini bukan untuk jual
lagak atau memamerkan kepandaian, tapi hanyalah untuk
mencari makan! Sungguh keterlaluan kalau ada yang
demikian jahatnya mencelakai ayahku!"
Sekali lagi gadis itu memandang beringas berkeliling.
Sepasang matanya-beradu pandang dengan penunggang
kuda berkumis melintang! Hatinya berdetak! Kemudian
dengan suara lantang sambil memandang berkeliling gadis,
ini berteriak keras: "Siapa yang telah mencelakai ayah
silahkan maju kehadapanku! Siapapun dia adanya aku
tidak takut! Aku Mayang akan mengadu jiwa padanya!"
Orang banyak memandang pula berkeliling. Dan
rata-rata pandangan mereka tertuju pada satu sasaran
yaitu laki-laki berpakaian hitam yang duduk di atas
punggung kuda!
"Bangsat yang telah mencelakai ayahku tapi tak berani
unjuk muka adalah pengecut terkutuk!" teriak Mayang
lantang!
Sementara itu dengan merintih kesakitan Pagar
Alam coba duduk dan bersandar ke sebuah peti. Sepa-
sang matanya menyorot penuh amarah, memandang
berkeliling. Bila matanya itu menyapu paras laki-laki
yang duduk di atas kuda maka Pagar Alam pun membuka
mulut dengan suara bergetar:
"Gempar Bumi, kaukah yang melakukan kejahatan ini?!"
Si penunggang kuda tertawa bergumam. Sekali dia
gerakkan badan maka .tubuhnya ringan sekalj melesat
dan tahu-tahu sudah berdiri di hadapan Pagar Alam yang
duduk di tanah bersandar ke peti!
Dengan bertolak pinggang laki-laki bernama Gempar
Bumi ini berkata: "Sudah berulang kali kuperingatkan
bahwa kau tidak boleh mengadakan pertunjukan dan minta
sumbangan rakyat dengan seenaknya! Tapi itu tidak kau
pedulikan! Dan pajak yang musti kau berikan pada
atasanku penguasa negeri ini tak pernah kau serahkan!"
"Penghasilan kami tak ada artinya!" teriak Mayang.
"Dan pajak yang kau minta melewati batas besarnya!
Lagi pula hak apakah atasanmu memungut pajak dari
kami? Semua rakyat bebas mencari penghasilan'. Rakyat
tidak merasa atasanmu itu sebagai pemimpin dan pe-
nguasa negeri ini!"
"Aha.... Mayang. Cakapmu terlalu berani. Kalau
Datuk mendengarnya pasti kau akan celaka!"
Mayang meludah ke tanah. "Aku tidak takut pada
Datukmu itu!"
Gempar Bumi menyeringaijdan puntir-puntir kumisnya.
"Aku tahu Gempar Bumi!" tiba-tiba Pagar Alam berkata.
"Kau mencelakai diriku bukan karena soal pajak ataupun
soal yang lain! Tapi karena aku dan anakku telah menolak
lamaranmu dua minggu yang lalu!"
Gempar; Bumi tertawa dingin.
"Di negeri ini rupanya mulai ada keledai-keledai tolol yang
hendak coba-coba menentang kekuasaan Datuk dan
pembantu-pembantunya! Dan ketika dia diberi babaran
baru menyesal!"
"Aku tidak menyesal telah menolak lamaran manusia
macammu!" sentak Pagar Alam. Kalau saja dia bisa berdiri
mungkin sudah diserangnya laki-laki itu!
Gempar Bumi memandang berkeliling dan berkata
dengan suara nyaring. "Siapa-siapa yang coba menantang
kekuasaan Datuk dan menghina pembantu-pembantunya
sama saja dengan mencari mati!"
"Bangsal terkutuk!" damprat Mayang. "Aku lebih baik
mampus daripada jadi isirimu. Aku lebih baik mati
berkalang tanah daripada tunduk kepada Datuk
keparatmu!" Habis berteriak begitu anak gadis Pagar Alam
ini menyambar sebilah golok dan menyerang Gempar
Bumi!
Suasana di pasar itu pun hebohlah! Golok di tangan
Mayang berkiblat kian kemari dengan suara menderu.
Dalam tempo yang singkat kelihatanlah bagaimana
Gempar Bumi terbungkus sambaran golok yang
menyerangnya ke seluruh bagian tubuhl Gempar Bumi
sendiri tiada menyangka kalau si gadis memiliki
kehebatan begitu rupa. Tapi dia tidak jerih. Dengan senyum
mengejek Gempar Bumi menghadapi si gadis dengan
tangan kosong dan buka jurus pertahanan. Senjata lawan
lewat di depan pinggangnya. Jurus pertahanan diganti kini
dengan jurus serangan. Tangan kanan dengan cepat
menyelusup ke dada mayang, siap untuk menjamah buah
dadanya yang padat montok!
"Wuuut!"
Tersirap darah Gempar Bumi sewaktu golok di tangan
sang dara membatik laksana kilat! Kalau saja dia tidak
cepat-cepat menarik pulang tangannya, pastilah akan
terbabat putus!
Mayang sendiri dengan gigih terus menyerbu. Sambaransambaran
goloknya laksana hujan mencurah! Gempar
Alam tidak mau main-main lagi. Hatinya heran dari mana si
gadis memiliki ilmu kepandaian begini rupa! Jika ditinjau
jelas sekali ilmu silatnya lebih tinggi satu dua tingkat dari
ayahnya sendiri! Tentu dia telah berguru pada seorang jago
silat, pikir Gempar Bumi.
Dalam waktu singkat sepuluh jurus telah berlalu dan
Gempar Bumi masih berada di bawah angin. Laki-laki ini
mengomel dalam hati. Dia membentak keras dan sekejap
saja berubahlah jurus-jurus ilmu silatnya. Tubuhnya berkelebat
kian ke mari membuat bayang-bayang hitam.
Satu jurus kemudian terdengar pekik Mayang.
Lengan kanannya kena dipukul oleh lawan. Golok
terlepas mental dan di saat itu pula, dara ini merasakan
tubuhnya kaku tegang tak kuasa digerakkan. Ternyata
sewaktu memukul lengan kanan lawan, sekaligus Gempar
Bumi menotok dada Mayang dengan jari-jari tangan
kirinya!
"Manusia haram jadah! Beranimu hanya sama
perempuan!" bentak Pagar Alam yang tergeletak duduk di
tanah bersandar ke peti.
Gempar Bumi tertawa mengekeh!
"Anakmu hebat juga, Pagar Alam! Walau kau menolak
lamaranku tempo hari, tapi saat ini terpaksa kau harus
menyerahkan Mayang bulat-bulat ke tanganku!"
Laki-laki berpakaian hitam ini tertawa lagi
"Keparat! Kau mau bikin apa?!" hardik Pagar Alam
seraya hendak berdiri. Tapi tubuhnya terduduk kembali.
Sepasang kakinya yang terebus matang tak kuasa untuk
ditegakkan! Darah laki-laki ini bergejolak marah. Pelipisnya
mengembung!
"Bikin apa lagi kalau bukan mau membawanya
ketempatku!" jawab. Gempar Bumi seraya melangkah ke
arah Mayang.
"Anjing baju hitami Kalau kau berani menjamah
tubuhnya kupecahkan kepalamu!"
Gempar Bumi menyeringai!
"Berdiripun kau tak mampu! Bagaimana mau mem-
bunuh aku?!" Dan dia melangkah lagi mendekati
Mayang.
Tapi begitu tangannya diulurkan untuk meraih pinggang
sang dara tiba-tiba "buuk!" Punggungnya dihantam orang
dari belakang yang kerasnya cukup membuat Gempar
Bumi mengerenyitkan kulit kening kesakitan! Dia berpaling
dengan cepat dan berkeretekanlah geraham-gerahamnya!
Ternyata yang meninju punggungnya tadi bukan lain anak
laki-laki kecil adik Mayang!
"Buyung! Berlalulah dari hadapanku kalau tak ingin
kena tempelak!" bentak Gempar Bumi.
"Orang jahat! Kalau kau berani membawa lari kakakku,
aku akan...."
"Akan apa?!" tanya Gempar Bumi seraya bertolak
pinggang.
Si anak menjawab dengan menyerang marah. Tinjunya
yang kecil tapi cukup keras dihantamkan ke perut Gempar
Bumi. Tapi tentu saja Gempar Bumi bukan tandingan si
buyung kecil ini. Ditangkapnya lengan anak itu lalu
dipuntirnya ke belakang hingga si anak menjerit-jerit
kesakitan dan coba menendang paha Gempar Bumi dengan
tumitnya! Gempar Bumi mendorongnya ke muka hingga
hampir saja dia jatuh menyungkur tanah!
Tiba-tiba si anak melihat golok yang dipakai kakaknya
untuk menyerang Gempar Bumi. Dengan cepat dia
membungkuk dan mengambil senjata itu lalu membalik
menyerang Gempar Bumi kembali!
"Tikus cilik tak tahu diunlung!" maki Gempar Bumi dan
sebelum senjata itu sampai ke dekat tubuhnya, tangan
kanannya sudah bergerak.
"Plaak!1
Si anak terpekik.
Bibirnya pecah dan berdarah. Dua buah giginya
mencelat mental Tubuhnya terpelanting satu tombak
dan menggelusur di tanah tanpa sadarkan diri!
"Bangsat rendah! Terima ini!" teriak Pagar Alam
dengan amarah mendidih. Dijangkaunya keris yang ter-
letak di atas peti lalu dilemparkannya ke arah Gempar
Bumi. Senjata itu melesat mencari sasaran di batang
leher Gempar Bumi!
Yang diserang ganda tertawa. Setengah jengkal lagi
ujung keris akan menembus tenggorokannya, laki-laki
ini gerakkan tangan kanannya! Dan sesaat kemudian
kelihatanlah bagaimana dengan mudahnya senjata itu
dijepit di antara jari tengah dan jari telunjuk! Itulah ilmu
menjepit senjata yang lihay! Semua orang yang menyak-
sikan hal ini sama leletkan lidah kagum, tapi bila mereka
ingat siapa Gempar Bumi adanya, maka kekaguman itu
mendadak sontak berubah menjadi kebencian!
Gempar Bumi timang-timang beberapa kali keris itu.
Tiba-tiba tangannya itu digerakkan dan "cup!" Senjata
itu menancap di peti di mana Pagar Alam duduk bersandar,
hanya setengah senti dari telinga kirinya!
Gempar Bumi tertawa gelak-gelak!
"Jika tidak mengingat kau bapaknya Mayang pasti
sudah kutembus keningmu dengan senjata itu!" katanya.
Lalu dia menambahkan: "Tapi dilain hari jika kau masih
tidak tahu tingginya Gunung Merapi dan dalamnya Ngarai
Sianok, aku tak akan ampuni jiwamu!"
Habis berkala demikian Gempar Bumi melompat kehadapan
Mayang. Dan kini tak satu orangpun yang bisa
atau berani menolong gadis yang hendak dilarikan itu!
Tangan kanan bergerak meraih pinggang Mayang
dengan ketat! Tapi mendadak raihan itu terlepas kembali.
Dari balik gerombol orang banyak di tepi jalan melesat
sebuah benda kecil menghantam sambungan siku
Gempar Bumi. Kulit di lengan siku itu lecet. Sekujur lengan
kanan Gempar Bumi tergetar dan rasa sakit membuat dia
melepaskan raihannya! Tak seorangpun agaknya yang
mengetahui kejadian itu selain Gempar Bumi sendiri! Laki-
laki ini memandang berkeliling dengan geram, mencari-cari
siapakah manusia yang telah melemparkan benda itu! Tapi
siapa yang hendak diduga diantara orang sebanyak itu?!
Dan ketika ditelitinya ternyata benda kecil yang dipakai
untuk menghantam tangannya itu adalah hanya sebutir
kerikil yang besarnya tak sampai seujung jari kelingking!
Nyatalah ada seorang pandai yang telah turun tangan.
Sementara itu semua orang, termasuk Pagar Alam
dan Mayang sendiri merasa heran kenapa Gempar Bumi
tak jadi meneruskan niatnya melarikan dara itu! Gempar
bumi berdiri bimbang seketika. Tiba-tiba laksana kilat
tubuh Mayang sudah disambarnya dan dengan cepat
membawa gadis itu ke atas kuda! Dengan tangan kiri
Gempar Bumi menepuk pinggul binatang itu. Rasanya
sekali tepuk saja kuda itu akan segera melompat dan lari!
Tapi kali ini kuda itu jangankan melompat dan lari,
bergerakpun tidak!
Gempar Bumi menepuk sekali lagi lebih keras.
"Ayo! Larilah!"
Tapi binatang itu tetap berdiri di tempatnya. Keempat
kakinya tak bergeser sedikitpun! Hanya kepala dan lehernya
saja yang digerak-gerakkan. Kemudian binatang ini
meringkik beberapa kali!
"Ayo lari!" bentak Gempar Bumi.
Tetap saja kuda itu tegak di tempatnya! Di samping
rasa heran dan penasaran kekejutan juga timbul di hati
Gempar Bumi Ketika diperiksanya dengan cepat ternya-
ta keempat kaki kudanya telah ditotok! Dan empat butir
kerikil kelihatan tak jauh dari kaki-kaki binatang Ini! Tan-
pa tunggu lebih lama Gempar Bumi melompat dari pung-
gung kuda terus lari. Namun sekali inipun dia tak mampu
lari jauh karena sebutir kerikil lagi menyelusup menem-
bus kaki pakaiannya terus menghantam belakang lutut
kaki kanannya! Dengan serta meria kaki kanan itu ke-
semutan dan lemas sukar digerakkan!
Gempar Bumi yang tahu gelagat bahwa dia benar-
benar berhadapan dengan seorang lihay yang tersem-
bunyi di antara manusia banyak di tengah pasar itu per-
lahan-lahan turunkan tubuh Mayang. Orang ramai masih
tak tahu apa yang telah terjadi. Sementara itu sepasang
mata Mayang memandang ke tanah. Dilihatnya sebutir
kerikil dekat kaki kanan Gempar Bumi. Gadis bermata
tajam dan memiliki ilmu yang cukup tinggi ini untuk per-
tama kalinya mengetahui apa yang sebenarnya telah ter-
jadi. Dan bila dia memandang paras laki-laki itu sangat
berubah!
Gempar Bumi menyadari kalau diteruskannya niat
untuk melarikan Mayang, pasti orang pandai yang ter-
sembunyi diantara manusia banyak dipasar itu akan
turun tangan dan lebih mencelakainya lagi! Lemparan-
lemparan batu kerikil tadi bukan lain merupakan per-
ingatan keras terhadapnya!
Perlahan-lahan Gempar Bumi berpaling pada Pagar
Alam dan berkata dengan suara lantang: "Pagar Alam,
biarlah hari ini aku berlaku baik hati padamu! Anakmu
kubebaskan! Tapi ingat, aku akan datang kembali untuk
mengambilnya!"
Gempar Bumi lepaskan totokan pada keempat kaki
kudanya lalu naik ke punggung binatang itu. Sebelum
berlalu dilepaskannya totokan di dada Mayang kemudian
cepat-cepat menghilang dari tempat itu.
Di jalan yang buruk penuh dengan lobang-lobang
demikian rupa bendi itu tak dapat berjalan cepat. Apalagi
barang-barang. Ketiga penumpang itu bukan lain daripada
Pagar Alam, Mayang dan adik gadis ini. Mereka dalam
perjalanan pulang. Karena nasib buruk yang menimpa
Pagar Alam, orang-orang di pasar telah bermurah hati
memberi, sumbangan uang lebih banyak kepadanya
hingga pendapatannya hari itu tiga kali lipat lebih besar
dari biasanya! Namun uang yang sedemikian banyak tidak
menggembirakan hati Pagar Alam. Pikirannya risau bila dia
ingat si Gempar Bumi keparat itu. Cepat atau lambat pasti
dia akan datang kembali untuk mengambil Mayang dengan
paksa lalu melarikannya! Dimakluminya bahwa Gempar
Bumi bukan tandingannya, juga bukan lawan anaknya.
Sekalipun mereka mengeroyok laki-kaki itu tetap saja
mereka tak akan mampu mengalahkannya! Ini hal pertama
yang merisaukan hati Pagar Alam. Hal kedua ialah keadaan
kakinya itu. Meski sudah diobati oleh anak gadisnya tapi
dalam seminggu dua minggu pasti tak akan sembuh!
Sementara itu bendi yang mereka tumpangi berjalan juga
menempuh jalan buruk dan sunyi Kedua tepi jalan
ditumbuhi semak belukar lebat dan di belakang semak
belukar itu berderetan pohon-pohon besar tinggi.
Bendi bergerak terus dan mereka bicara-bicara
juga. Kusir bendi sudah sejak lama tak mencampuri lagi
pembicaraan kedua beranak itu. Tali kekang kuda dipegangnya
dengan terkantuk-kantuk. Hembusan angin
yang sejuk ditengah hari itu memang menimbulkan rasa
kantuk. Tiba-tiba Pagar Alam dan Mayang hentikan pem-
bicaraan mereka.
Di kejauhan terdengar derap kaki kuda, makin lama
makin keras. Dari balik tikungan dihadapan mereka muncul
seorang penunggang kuda berpakaian serba hitam. Pada
bagian dada bajunya terpampang lukisan kepala harimau
berwarna kuning. Ketika penunggang kuda itu tambah
dekat, berubahlah paras seisi bendi itu! Pagar Alam
meraba hulu keris yang tersisip di pinggangnya.
Mayang mengeluarkan golok dari dalam peti sedang
kusir bendi bersiap-siap dengan sebatang besi yang ter-
geletak di lantai bendi dekat kakinya! Si penunggang
kuda bukan lain dari Gempar Bumi adanya!
Gempar Bumi hentikan kudanya. Kusir bendi pun
telah pula menghentikan kendaraannya.
"Sekarang kuharap kau tak usah banyak rewel
Pagar Alam!" kata Gempar Bumi dengan nada keren.
"Anakmu akan kuambil!"
"Kau manusia yang paling tidak bermalu di dunia ini.
Gempar Bumi! Pinanganmu ditolak! Aku kau celakai dan
kini kembali kau memaksa untuk melarikan anakku!"
Gempar Bumi tertawa sinis. "Mulutmu masih tetap
besar! Aku hargai nyalimu! Tapi agar tidak lebih celaka
kuharap kau serahkan anakmu secara baik-baik! Kalau
tidak terpaksa aku memberi hajaran yang lebih keras
padamu!"
"Kau boleh bawa anakku, Gempar Bumi," desis Pagar
Alam. "Tapi... langkahi dulu mayatku!" Dan Pagar Alam
menghunus kerisnya!
Gempar Bumi tertawa bergelak dan menyentakkan tali
kekang kudanya. Sesaat kemudian kuda dan bendipun
telah bersisi-sisian.
"Turun dari bendi itu Mayang!" perintah Gempar Bumi.
Pagar Alam beringsut ke samping kereta sebelah
kanan. Dalam jarak yang cukup dekat itu tanpa banyak
bicara lagi keris di tangan kanannya dihunjamkan cepat-
cepat ke muka Gempar Bumi!
"Manusia tolol!" maki Gempar Bumi. Sekali dia gerakkan
tangan kanan memukul lengan Pagar Alam, mentallah keris
laki-laki itu sedang lengan yang kena dipukul kelihatan
bengkak matang biru! Pagar Alam merintih kesakitan.
Dalam pada itu dari samping menderu satu sambaran
golok ke arah batok kepala Gempar Bumi. Ternyata Mayang
telah melancarkan serangan yang pertama sambil
melompat dari bendi. Adiknya juga tak tinggal diam.
Dengan sebatang kayu anak laki-laki ini mengemplang ke
arah bahu kanan Gempar Bumi sementara Pagar Alam
mengambil sebuah lembing dari dalam peti.
Si Malin kusir bendi meski tak ada sangkut paut dalam
urusan itu, tapi memang sudah sejak lama membenci terhadap
Gempar Bumi tak ayal lagi segera mengambil
batang besi dari lantai bendi dan menyerang Gempar
Bumi dari belakang!
Diserang begitu rupa Gempar Bumi marah bukan main!
Dia berteriak: "Jangan menyesal kalau kalian kuhajar babak
belur!" Lalu dia melompat dengan cepat dan gerakkan
kedua tangannya.
Dua orang terpekik! Yang pertama anak laki-laki Pagar
Alam. Kayu di tangan anak itu mental. Tangannya yang kecil
laksana tanggal dan persendiannya. Tubuhnya mencelat
dan terguling di tanah, kepalanya terbentur roda kereta
terus pingsan!
Orang kedua yang terpekik ialah Malin si kusir bendi.
Gempar Bumi yang merasakan sambaran angin di
belakangnya sudah maklum kalau dia mendapat serangan
dari arah itu. Karenanya begitu melompat dari punggung
kuda Gempar Bumi laksana kilat hantamkan sikut
kanannya ke belakang!
"Kraak!"
Suara "Kraak" itu hampir tak kedengaran karena pekik
setinggi langit yang ke luar dari tenggorokan Malin!
Tulang iganya sebetah kanan patah dua buah. Tubuhnya
mental sampai satu tombak. Begitu jatuh dia sudah tak
sadarkan diri lagi! Pertempuran kini berjalan jauh dari
kereta. Meskipun Pagar Alam memegang sebuah lem-
bing namun dia tak bisa berbuat suatu apa karena dia
tak bisa berdiri apalagi berjalan dan turun dari kereta.
Otomatis pertempuran itu kini hanya berjalan satu lawan
satu yaitu Gempar Bumi menghadapi Mayang. Tingkat
kepandaian Mayang jauh lebih rendah dari lawannya.
Maka dalam setengah jurus saja gadis berparas jelita
yang telah membuat Gempar Bumi tergila-gila itu ter-
desak hebat.
"Gadis cantik!" kata Gempar Bumi dengan senyum
mengejek. "Kalau saja kau serahkan dirimu secara baik-
baik, pastilah...."
"Wuuut!"
Gempar Bumi tak bisa melanjutkan ucapannya. Sebuah
benda panjang berdesing ke arahnya. Ternyata
lembing yang dilemparkan dengan sebat oleh Pagar
Alam dari atas bendi! Gempar Bumi rundukkan kepala.
Lembing itu lewat di alas kepalanya. Pada saat yang
sama kaki kanan Mayang menderu ke arah dadanya.
"Mayang! Terpaksa kuakhiri segala kehebatannya
ini!'' kata Gempar Bumi. Ditangkapnya kaki kanan dara
itu. Dengan kalap Mayting membacok ke bawah. Gempar
Bumi angkat kaki sang dara. Akibatnya Mayang terpaksa
tarik pulang bacokan goloknya karena kalau diteruskan
pasti akan membabat kaki kanannya sendiri! Begitu serangan
ditarik, begitu Gempar Bumi gerakkan tangan
kiri. Maka terampaslah golok di tangan Mayang. Gempar
Bumi lepaskan kaki kanan lawan. Dengan tangan itu dia
segera hendak menotok tubuh Mayang. Tapi secepat kilat si
gadis jatuhkan diri di tanah lalu berguling. Ketika bangun
lagi di tangannya sudah tergenggam lembing
yang tadi dilemparkan ayahnya!
"Batang lehermu dulu kutambus baru aku larikan diri!"
jawab Mayang lalu kirimkan satu tusukan kilat ke leher
lawannya!
Gempar Bumi bergerak untuk merampas senjata itu
tapi tusukan lembing kini berubah menjadi satu kemplangan
yang ganas ke arah batok kepalanya! Penasaran
Gempar Bumi sambut hantaman lembing dengan pukulan
lengan kiri. Lembing patah dua! Bagian yang runcing mental
ke udara sedang yang lainnya masih tergenggam di tangan
Mayang dan dengan patahan lembing itu si gadis bertahan
mati-matian. Tapi sampai beberapa lamakah dia dapat
mempertahankan diri?!
iro Sableng SI Pendekar 212 murid Eyang Sinto
Gendeng dari puncak Gunung Gede tengah menempuh
rimba belantara, mengambil jalan memotong agar lebih
lekas sampai di tempat tujuan yaitu antara Gunung Merapi
dan Gunung Singgalang. Lapat-lapat didengarinya suara
orang membentak beberapa kali yang diselingi suara
seseorang yang tertawa gelak-gelak. Wiro yang sudah
banyak pengalaman segera mengetahui bahwa biasanya
bentakan-bentakan itu ke luar dari mulut seseorang yang
marah dan geram. Sebaliknya tertawa mengekeh ke luar
dari mulut orang yang mengejek kemarahan dan
kegeraman orang pertama tadi. Dan suasana seperti itu
hanya ditemui dalam satu perselisihan yang kemudiannya
akan berkelanjutan dengan perkelahian atau pertempuran!
Karena pohon-pohon sangat rapat, semak belukar
sangat lebat, agak sukar bagi Wiro untuk bergerak.
Dalam pada itu didengarnya dua jeritan sekaligus! Wiro
mempercepat langkahnya dan tak perduli lagi pakaiannya
yang cabik robek dikait ranting semak belukar! Dia
yakin bahwa di tempat yang hendak didatanginya itu
telah terjadi perkelahian. Yang mengherankannya ialah
karena satu dari dua jeritan itu kedengarannya seperti
jeritan anak kecil!
Ketika dia sampai di satu tepi jalan kecil yang sangat
buruk terkejutlah pendekar ini menyaksikan pemandangan
yang terbentang di depan matanya. Adalah tidak
dinyananya kalau yang bertempur adalah seorang lakilaki
tegap melawan seorang dara jelita. Keduanya sama
berpakaian hitam cuma pada bagian dada baju laki-laki
terpampang gambar kepala harimau warna kuning! Yang
lebih mengejutkan Wiro Sableng ialah karena laki-laki ftu
bukan lain manusia berkumis melintang yang tadi di pasar
hendak melarikan gadis itu. Dan si gadis sendiri adalah
orang yang telah ditolongnya secara diam-diam ketika mau
dilarikan! Rupanya si kumis melintang yang bernama
Gempar Bumi flu sudah nefcad untuk membawa
lari si jelita hingga dalam perjalanan pulang, si gadis
telah dihadang!
Di tengah jalan kecil berhenti sebuah bendi. Seorang
anak kecil menggeletak dekat roda bendi Kemudian
seorang lainnya tak berapa jauh dari situ, agaknya dia
adalah kusir bendi. Dan di atas bendi tampak duduk lakilaki
bernama Pagar Alam. Mukanya pucat dan cemas
sekali! Betapa kan tidak, anak gadisnya tengah bertempur
mati-matian mempertahankan diri dari tangan laki-laki yang
hendak melarikannya, sedang dia sendiri Pagar Alam -tak
dapat berbuat suatu apa! Diatas bendi tak ada lagi bendabenda
yang bisa dijadikan senjata untuk dilemparkan
kepada Gempar Bumi. Dalam kecemasan yang memuncak
melihat anaknya terdesak hebat itu dan tak ada harapan
lagi untuk menyelamatkan diri maka tiba-tiba dia melihat
sesosok tubuh menyeruak dari semak-semak. Ternyata
yang muncul adalah se- orang pemuda bertubuh tegap,
bertampang seperti anak-anak dan berambut gondrong!
"Hentikan pertempuran!" teriak Wiro Sableng.
Suara teriakannya yang menggeledek mengiang
anak telinga mengejutkan orang-orang yang ada di situ,
terutama mereka yang sedang bertempur! Pagar Alam
merasakan dadanya bergetar karena kerasnya teriakan
itu. Kalau tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi pasti hal
itu tak mungkin terjadi, pikir Pagar Alam seraya menenangkan
dirinya kembali. Kemunculan pemuda ini memberikan
sekelumit harapan padanya. Tapi apakah pemuda
ini bukan seorang bangsa jahat terkutuk pula?; Melihat
kepada potongan pakaian dan ciri-cirinya nyata sekali dia
bukan penduduk setempat!
Akan Gempar Bumi begitu mendengar bentakan
yang menggeledek tadi dengan cepat melompat mundur
padahal saat itu dia sudah hampir dapat meringkus
Mayang. Ketika dia berpaling di depan semak belukar dilihatnya
seorang pemuda tak dikenal berdiri dengan bertolak
pinggang!
"Orang sinting! Siapa kau?!" hardik Gempar Bumi.
"Siapa aku tak kau usah perduli! Lekas angkat kaki
dari sini atau kutekuk batang lehermu!"
Paras Gempar. Bumi membesi. Pelipisnya mengembung.
"Sepuluh tahun malang melintang di Pulau Andalas baru
hari ini ada bangsa kucing dapur yang bicara hendak
menekuk batang leherku!"
Mengetahui bahwa si pemuda menunjukkan sikap
demikian maka legalah sedikit hati Pagar Alam dan
Mayang. Jika berani membentak demikian berarti dia me-
miliki ilmu yang diandalkan. Namun Gempar Bumi seorang
yang berilmu sangat tinggi, akan sanggupkah pemuda belia
yang bertampang tolol itu menghadapinya?! Diam-diam
kedua ayah dan anak itu jadi gelisah harap-harap cemas!
"Manusia kumis melintang! Aku tidak main-main.
Lekas angkat kaki dari sini! Syukur aku bersedia mengampuni
kekejianmu! Lekas pergi sebelum aku berubah
pikiran!"
Gempar Bumi bertolak pinggang. Matanya melotot
meneliti Wiro Sableng dari kepala sampai ke kaki. Lalu
dia tertawa gelak-gelak.
"Kucing dapur, apakah kau lihat gambar kepala harimau
yang ada di dada bajuku ini?!"
"Itu bukan gambar kepala harimau!" sahut Wiro.
Gempar Bumi beliakkan mata. Dan Wiro menyambung :
"Kalau kau mau tahu, itulah gambar kepala kucing
dapur!" Lalu Pendekar 212 tertawa gelak-gelak.
Marahlah Gempar Bumi. Seumur hidup baru hari itu
dia mendapat hinaan dan ejekan demikian rupa!
"Anak setan! Tidak tahukah kau dengan siapa berhadapan?”
"Buset kau bisa memaki aku anak setani" jawab
Wiro dengan sunggingkan senyum,, "Kalau aku anak setan,
apakah kau lantas merasa jadi bapak moyangnya setan?!"
Mayang dan Pagar Alam meski geli mendengar ucapan
itu namun terheran-heran melihat sikap dan tindak tanduk
si pemuda yang agak anehi Bicaranya seperti orang mainmainan
saja!
Sebaliknya dengan nada mendesis karena mendidih
hawa amarah yang menggejolakkan darahnya Gempar
.Bumi berkata: "Melihat kepada tampangmu agaknya kau
bukah orang sini! Pantas kau tak dapat membedakan
mana tikus dan mana singa jantan...."
"Oh... jadi kau adalah seekor singa jantan? Pantas!
Pantas! Kau memang punya tampang seperti singa jantan!"
kata Wiro pula memotong ucapan Gempar Bumi lalu
tertawa gelak-gelak!
Kemarahan Gempar Bumi tak dapat dikendalikan
lagi. Dia melompat kehadapan Wiro dan hantamkan tinju
kanannya ke kepala pemuda itu! Sekali menghantam dia
berharap akan menghancurkan kepala si pemudal Karena
itu sengaja dikeluarkannya jurus ilmu silatnya yang
hebat yang bernama "Palu Sakti Memukul Genta"!
Tapi tidak semudah itu untuk menghancurkan kepala
Pendekar 212 Pada saat serangan lawan baru bergerak
setengah jalan dia sudah menyingkir ke samping dan
dari samping kirimkan satu tempelak untuk menanggalkan
sambungan sikut lawan!
Terkejutlah Gempar Bumi. Serangannya yang hebat
itu bukan saja dapat dielakkan lawan tapi malah keba-
likannya, kini dia sendiri yang kena diserang! Kedua ka-
kinya dijejakkan ke tanah. Tubuhnya melesat ke atas
membuat tempelakan Wiro Sableng lewat. Dengan cepat
kemudian Gempar Bumi kirimkan satu tendangan ke perut
lawan sedang tangan kanan untuk kedua kalinya turun
menghantam batok kepala Wiro Sableng!
Pendekar 212 bersiul! Meskipun gerakan ilmu silat
Gempar Bumi agak aneh lapi dasarnya tiada beda dengan
ilmu silat yang dimainkan tokoh-tokoh silat di Pulau Jawa!
Begitu bersiul Wiro kelebatkan badannya! Untuk kedua
kalinya Gempar Bumi dibikin kaget. Dia tak mengerti
bagaimana pemuda bertampang tolol, sanggup
mengelakkan sekaligus kedua serangannya. Sedangkan
dalam pada saat itu tahu-tahu tangan kirinya sudah
menyelinap menampar ke arah dada dalam satu gerakan
kilat yang mendatangkan angin keras!
Penuh penasaran Gempar Bumi pergunakan lengan
kanannya untuk memapasi serangan lawan. Kalau ilmu
silat lawan boleh diandalkan, dalam tenaga dalam tentu
si pemuda tak akan menang, begitulah pikiran Gempar
Bumi!
Wiro sendiri yang melihat datangnya serangan memapas
ini, meski tamparannya pada dada tadi pasti akan
mengenai sasarannya, tapi karena ingin menjajaki tenaga
dalam lawan sengaja melintangkan tangan kirinya!
"Buuk!" Maka beradulah kedua lengan itu!
Gempar Bumi keluarkan seruan tertahan! Tubuhnya
terjajar sampai tujuh langkah ke belakang sedang lengannya
yang beradu dengan lengan lawan bukan saja
tergetar hebat tapi juga sakit bukan main! Ketika ditelitinya
lengan itu tampak kemerah-merahan! Menciutlah
hati laki-laki berkumis melintang ini. Nyatanya tenaga
dalam si pemuda tidak berada di bawahnya! Menurut
taksiran Gempar Bumi tenaga dalam lawan berada dua
atau tiga tingkat di atasnya! Sebenarnya dugaan Gempar
Bumi ini meleset Kalau waktu bentrokan lengan tadi dia
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya maka Wiro Sableng
cuma mengandalkan tiga perlima bagian saja dari
tenaga dalamnya! Lengannya pedas kesemutan sedang
tubuhnya tergontai nanar beberapa detik lamanya I
Menyadari bahwa lawan lebih unggul dalam tenaga
dalam maka Gempar Bumi segera mengeluarkan ilmu silat
simpanannya yang paling diandalkan, yang telah
diyakininya selama, delapan tahun yaitu "Ilmu Silat
Harimau", Kedua kakinya menjejak bumi laksana batu
karang. Tubuhnya setengah merunduk sedang, kedua
tangan terpentang ke muka dengan jari-jari membuka.
Pendekar 212 Wiro Sableng memperhatikan bahwa ke
sepuluh kuku jari laki-laki itu panjang-panjang. Tubuh
Gempar Bumi semakin merunduk sedang dari mulutnya
ke luar suara menggerang macam harimau hendak menerkam
mangsanya dan kedua matanya menyorot ganas!
Keseluruhan paras manusia ini membayangkan
maut!
Tiba-tiba gerangan dimulutnya berubah keras
menyeramkan! Dan dikejap itu pula tubuhnya melesat ke
muka persis seperti seekor harimau lapar menerkam
mangsanya! Dua tangan yang tadi terpentang berkelebat
tak kelihatan saking cepatnya. Hanya suara siurannya
yang terdengar menyambar!
Wiro dengan mengandalkan setengah bagian tenaga
dalamnya bergerak ke muka menyambut dengan Jurus
"Segulung Ombak Menerpa Karang". Jurus ini
mengeluarkan sambaran angin laksana topan prahara.
Kedua lengan Wiro menghantam ke depan sekaligus!
Melihat lawan memapaki serangannya dengan cara
begitu rupa dan Sudah tahu kalau Wiro memiliki tenaga
dalam yang lebih tinggi, maka Gempar Bumi tak berani
bentrokan untuk kedua kalinya! Dengan cepat dia membuyarkan
Jurus serangannya tadi dan laksana kilat pula
menyerbu kembali dalam jurus yang dinamakan "Harimau
Sakti Melompati Gunung Menukik Ngarai"! Tubuhnya
mencelat ke udara. Kedua kaki mencari sasaran di perut
dan dada lawan. Namun ini hanya serangan sambilan saja
karena begitu Wiro mengelak dan begitu Gempar Bumi
berada dua tombak di udara tiba-tiba dia menukik ke
bawah dengan kedua tangan diacungkan siap untuk
mencengkeram kepala Wiro Sableng!
Wiro bersiul nyaring. Setengah merunduk dia lepaskan
pukulan Kunyuk Melehipar Buah ke arah lawan diatasnya!
Laksana berpegang pada sebuah tiang yang tak kelihaian
Gempar Bumi berkelit ke samping. Angin pukulan Kunyuk
Melempar Buah lewat di sebelahnya dan sedetik kemudian
tubuhnya meliuk lalu berputar dengan kedua kaki meluncur
deras ke dada serta kepala Wiro Sableng!
"Gerakanmu hebat juga, Gempar Bumi!" seru Wiro.
Sesaat kedua kaki lawan akan mendarat di dada dan
kepalanya, Pendekar 212 membentak keras. Tangan
kanannya didorongkan ke atas!
Angin sedahsyat badai mengamuk menggebu! Inilah
pukulan "Benteng Topan Melanda Samudera" yang
dilancarkan dengan mengandalkan setengah bagian
tenaga dalami Mula-mula Gempar Bumi merasakan serangannya
laksana ditahan oleh tembok baja yang tak
kelihatan. Dia terkejut sekali dan belum habis kejutnya
ini mendadak tubuhnya terdorong keras ke udara, mencelat
sampai beberapa tombak! Sambil jungkir batik tiga
kali berturut-turut Gempar Bumi keruk saku pakaiannya.
Sebelum kedua kakinya menginjak tanah maka dari tangan
kanannya melesat puluhan benda hitam yang berdesing
mendenging seperti suara nyamuk! Benda ini bukan
lain senjata rahasia jarum hitam yang direndam dalam
racun jahat! Sekali seseorang kena dihantam sebuah saja
dari jarum ini, pasti dalam tempo dua puluh empat jam
nyawanya akan lepas ke akhirat!
Oari bunyi yang mendesing dan warna jarum-jarum
Wiro sudah maklum kalau itu adalah senjata rahasia
yang ampuh sekali! Tanpa menunggu lebih lama dia
pukulkan tangan kanannya ke depan yang disusul dengan
pukulan tangan kiri. Dua angin deras menderu susul
menyusul. Inilah yang dinamakan ilmu pukulan "Dinding
Angin Berhembus Tindih Menindih"! Bukan saja puluhan
jarum-jarum itu mental dan luruh ke tanah tapi beberapa
diantaranya kembali melesat menyerang tuannya sendiri!
Dengan kertakkan rahang Gempar Bumi kebutkan lengan
baju hitamnya! Jarum-jarum yang menyerangnya luruh ke
tanah! Dan kedua lawan itu saling pandang memandang.
Yang satu dengan mata membeliak beringas sedang yang
lain dengan cengar cengir seenaknya!
"Orang muda!" kata Gempar Bumi. "Antara aku dan kau
tidak saling mengenal! Urusanku tidak ada sangkut pautnya
dengan dirimu! Mengapa kau mau mencampurinya?''
Wiro tertawa dingin.
"Bagiku terhadap manusia jahat semacam kau tentu ada
urusan yang musti diperhitungkan! Kecuali kalau kau mau
angkat kaki dari sini sekarang juga!"
Gempar Bumi mendengus.
"Apakah bukan lebih baik kau saja yang cepat-cepat
berlalu dari hadapanku sebelum aku betul-betul menghajarmu?
Ilmumu boleh juga! Percuma kalau kau mampus
dalam usia muda begini rupa!"
Wiro keluarkan satu siulan.
"Terima kasih atas nasihatmu, Gempar Bumi! Nah,
kau pergilah!"
Sikap tenang Gempar Bumi tadi kini menjadi marah
yang mendidihkan darahnya. "Kau orang rantau, sungguh
mengenaskan mampus di negeri orang! Belum tentu pula
angin akan membawa pulang namamu ke kampung
halaman!"
"Ah, jangan bersajak sobat!" tukas Wiro Sableng.
"Aku tidak bersajak!" sahut Gempar Bumi."Aku hanya
akan mengukir nyawamu di pintu akhirat!" Lalu laki-laki ini
cabut sebilah keris dari pinggangnya! Senjata itu berhulu
gading, bereluk dua belas dan berwarna sangat hitami Sinar
yang memancar dari keris ini menggidikkan sekalil'
"Manusia yang akan mampus! Keris ini bernama Keris Si
Penyingkir Jiwa! Delapan puluh dua jiwa telah musnah
ditelannya! Apakah kau berniat untuk menjadi korban yang
ke delapan puluh tiga...?!"
Wiro tertawa gelak-gelak.
"Apapun nama keris di tanganmu itu aku tidak perduli!
Juga berapa korban yang dimakannya aku tidak tanya!
Sebaliknya bagaimana kalau keris Hu kurebut, lantas
kupergunakan untuk membuat konyol kau sendiri...?!"
"Boleh, boleh kau coba untuk merebutnya!" jawab
Gempar Bumi dengan hati geram. "Nah ini, kau rebutlah!"
Secepat kilat Gempar Bumi tusukkan senjata itu ke dada
Wiro Sableng. Sinar hitam terasa dingin menyambar dada
sang pendekar.
"Awas orang muda!" seru Pagar Alam dari atas kereta.
"Keris itu mengandung racun jahat!" Diam-diam
laki laki ini merasa cemas. Jika Gempar Bumi sudah mengeluarkan
senjata itu, biasanya lawan tak akan sanggup
bertahan lama Sekali saja tergores kulit, dalam tempo dua
puluh empat jam pasti menemui kematian.
"Terima kasih atas nasihatmu, bapak!" kata Wiro sambit
cepat-cepat berkelit. Ketika kelihatannya serangan Gempar
Bumi hanya mengenai tempat kosong tiba-tiba Keris Si
Penyingkir Jiwa membelok ke iga kanan, hampir-hampir
akan melanda iga meliuk pula ke perut dan tiba-tiba haik
laksana kilat, menusuk ke arah lekuk dagu dekat ujung
leher! Di samping itu angin yang keluar dari Keris Si
Penyingkir Jiwa dinginnya menyembilui tulang-tulang
sumsum, membuat darah Pendekar 212 laksana beku dan
berhenti mengaliri Untuk mencegah agar dirinya tidak
terpengaruh oleh hawa jahat senjata lawan cepat-cepat
Wiro Sableng alirkan hawa panas dari pusarnya ke seluruh
bagian tubuh! Sesudah itu diapun menghadapi serangan
lawan tanpa main-main lagi.
Tiga jurus yang berlalu Wiro tak bisa berbuat apa-apa
selain bertahan dengan gigih. Keris di tangan lawan
laksana curahan hujan dan berubah jadi puluhan
banyaknya. Menusuk, menyambar dan memapak ke pelbagai
bagian tubuh Wiro Sableng. Jurus ke empat dan ke
lima Sampai seterusnya keadaan Wiro semakin buruk.
Bagaimanapun dia berkelebat cepat tapi sia-sia saja! Sinar
hitam senjata lawan laksana Jaring atos yang tak sanggup
ditembusnya!
Pagar Alam yang menyaksikan pertempuran Hu
menjadi pusing karena tak dapat lagi menyaksikan
gerakan-gerakan mereka yang bertempur saking cepatnya!
Mayang sendiri yang lebih tinggi ilmu kepandaiannya
mengedipkan matanya beberapa kali! Diam-diam gadis ini
leletkan lidah melihat hebatnya pertempuran yang
berjalan! Siapakah pemuda berambut gondrong yang
bersedia mengorbankan keselamatan dan Jiwanya itu
untuk menolong dia bersama ayahnya?! Ilmunya tinggi,
tapi apakah sanggup bertahan menghadapi Gempar
Bumi yang ganas dari bertubi-tubi itu? Setahunya tak
satu orang pun yang sanggup menghadapi Gempar
Bumi bila Keris Si Penyingkir Jiwa itu sudah berada dalam
tangannya! Dan melihat kenyataan bagaimana si pemuda
terdesak hebat maka mengeluhlah sang dara.
Pagar Alam sendiri kembali menjadi cemas!
"Saudara! Ambil golok ini sebagai senjatamu!" seru
Mayang sambil melemparkan goloknya yang tadi telah
dirampas oleh Gempar Bumi tapi kemudian oleh Gempar
Bumi dibuang begitu saja ke tanah.
"Terima kasih saudari, aku tak perlu senjata menghadapi
tikus berkumis melintang ini!" jawab Wiro.
"Tapi kau terdesak saudara!! seru Pagar Alam dari
atas kereta.
"Dan pertempuran ini tidak adil!" menyambungi
Mayang. "Dia pakai senjata, kau bertangan kosong!"
Maka meski Wiro tidak mau diberikan senjata namun
sang dara melemparkan juga golok itu kepadanya. Wiro
Sableng mau tak mau segera menyambut senjata itu.
Tapi: "Traang!"
Keris Si Penyingkir Jiwa lebih cepat. Golok yang dilemparkan
mental ke udara dalam keadaan patah dua!
"Sialan!" maki Wiro. Kalau tidak cepat-cepat dia menarik
tangannya pasti senjata lawan menyambar tangan
itu! Sesaat kemudian terjadi lagi pertempuran seru dan
Wiro makin kepepet!
Tiba-tiba Pendekar 212 bersuit nyaring! Tubuhnya
lenyap dalam satu kelebatan yang sukar dilihat mata.
Dengan merobah jurus-jurus ilmu silatnya maka dia mulai
membuka serangan. Dari sela bibirnya terus menerus
melesat suara siulan yang nyaring tak menentu dan
menyakitkan telinga! Permainan silat Gempar Bumi agak
mengendur sedikit akibat pengaruh siulan Pendekar
212. Tapi begitu dia tutup jalan pendengarannya maka
pengaruh yang mengacaukan itupun lenyap dan kembali
dengan gencar laki-laki ini mendesak lawannya!
Di samping memaki habis-habisan Wiro juga mengagumi
keampuhan senjata sakti di tangan lawan. Setiap
serangannya selalu kandas laksana menghadang
tembok kukuh yang tak kelihatan! Tubuh lawan seperti
terbungkus oleh satu kekuatan yang tidak nampak! Dan
Pendekar 212 dalam keadaan kepepet itu mulai pikirpikir
untuk keluarkan Kapak Maut Naga Geni 212!
Tapi sebelum maksudnya itu kesampaian tiba-tiba
dia ingat! Bagaimana kalau dia mengeluarkan jurusjurus
silat yang diajarkan Tua Gila kepadanya?! Ah,
benar-benar tolol sekali dia! Mengapa tidak dari tadi dia
mengeluarkan "Ilmu Silat Orang Gila" dan sekaligus untuk
menjajaki sampai di mana kehebatan ilmu silat yang
diajarkan oleh Tua Gila itu?!
Pendekar 212 membentak nyaring. Tubuhnya lenyap.
Gempar bumi mengiringi gerakan lawan itu dengan
tawa mengejek. "Keluarkan seluruh ilmu kepandaianmu!
Dalam tiga jurus di muka nyawamu tak bisa diselamatkan
lagi tikus busuk!" Dan sebelum Wiro bergerak dia telah
menyerang lebih dulu dengan satu tusukan yang ganas
cepat!
Wiro Sableng gerakan kedua kakinya dalam gerakan
yang aneh dan tak teratur kelihatannya. Tubuhnya diliukkan
ke samping laksana batang padi dihembus angin sedang
kedua tangan bergerak ke kiri ke kanan juga dalam
gerakan yang tak teratur! Tapi justru gerakan yang acakacakan
ini berhasil melewatkan tusukan senjata lawan!
Dengan gemas Gempar Bumi kirimkan lagi satu serangan
yang lebih cepat dan lebih ganas! Suara keris menderu.
Sinar hitam berkiblat! Wiro mencak-mencak kian ke mari!
Wuut! Ujung keris di tangan Gempar Bumi menderu ke
muka pemuda itu dan kelihatannya dalam kejap itu juga
akan menghunjam di wajahnya!
Pagar Alam mengeluarkan seruan tertahan.
Mayang menutup wajahnya, tak berani menyaksikan
bagaimana keris itu akan menancap di muka pemuda yang
diharapkan bakal menolong dirinya!
Tapi aneh!
Sedetik lagi ujung senjata Gempar Bumi akan menemui
sasarannya, dalam satu gerakan tak menentu kelihatan
kepala Pendekar 212 seperti disentakkan oleh satu tenaga
besar ke belakang. Dan ini membuat tusukan keris Gempar
Bumi hanya menghantam tempat kosong!
Gempar Bumi kertakkan rahang. Segera dia lipat
gandakan tenaga dalam serta keluarkan seluruh tipu-tipu
serangan ilmu silatnya! Wiro bergerak cepat. Jingkrak kiri
lompat kanan. Mundur terhuyung-huyung dan maju laksana
babi celeng! Tangan dan kaki menyambar tiada menentu
dan tiada terduga! Bagaimanapun Gempar Bomi percepat
serangan dan keluarkan segala jurus yang terlihay dari ilmu
silatnya, tetap saja dia tak sanggup mendesak lawan
seperti yang sudah-sudah. Beberapa kali dia menusuk
dengan seluruh tenaga tapi Cuma menghantam tempat
kosong hingga tubuhnya tersaruk ke muka dan beberapa
kali hampir membuatnya kena dihantam kaki dan tangan
tawan!
Diam-diam sambil mundur Gempar Bumi perhatikan
ilmu silat aneh yang dimainkan si pemuda.
"Buuk!"
Gempar Bumi tertatih-tatih sampai sembilan langkah ke
belakang diusapnya dadanya yang kena dipukul lawan
dengan tangan kiri dan pada sela bibirnya kelihatan darah
kental berlelehan! Gempar Bumi seka darah itu dengan
ujung lengan baju. Nafasnya sesak, cepat-cepat diaturnya
jalan darah dan pernafasan. Kedua matanya menyorot
ganas.
“Tikus busuk! Kalau aku tidak salah lihat kau telah
memainkan jurus-jurus silat orang gila. Apakah kau
muridnya Tua Gila!"
"Kau tak ada hak bertanya, monyet berkumis!"
jawab Wiro Sableng!"
"Keparat! kau dengarlah! Hari ini kuampuni jiwamu!
Tapi jika kau berani muncul lagi di depan hidungku jangan
harap ada ampunan yang kedua kalinya!"
Wiro tertawa mengejek.
Gempar Bumi berpaling pada Pagar Alam dan berkata:
"Pada tanggal tiga bulan mendatang kudengar kau
akan meresmikan berdirinya perguruan Kejora! Hari itu
aku akan datang Untuk mengambil anakmu! Dan jangan
harap belas kasihan dariku kalau kau berani berlaku
seperti yang sudah-sudah! Niscaya kau akan mampus
berdarah!"
"Manusia anjing tidak bermaki! Apakah hajaran yang
kau terima hari ini tidak membuat kau insyaf?!' hardik
Pagar Alam.
Gempar Bumi tidak menyahuti hardikan itu tapi berpaling
pada Wiro Sableng dan berkata: "Apa yang kuterima
hari ini kelak akan kubayar berikut bunganya dalam waktu
singkat! Sekarang katakan kau punya nama agar tidak
susah aku mencarimu!"
"Mau tahu namaku? Baiklah. Ini...' Tiba-tiba Wiro
Sableng hantamkan tangan kanannya ke muka.
Karena tiada menduga. Gempar Bumi tak sempat
berkelit Tapi anehnya pukulan jarak jauh lawan itu tidak
mencelakakannya sekalipun dirasakannya angin itu menyambar
dadanya. Tapi sewaktu dia memandang ke
dadanya terkejutlah laki-laki ini. Pada dada kiri baju
hitamnya terpampang tiga buah angka. Angka : 212!
Gempar Bumi tidak tahu apa artinya tiga deretan
angka tersebut. Namun kepandaian untuk membuat angkaangka
seperti itu dalam jarak jauh demikian rupa bukan
kepandaian sembarangen. Nyali Gempar Bumi menciut
lumer. Tanpa banyak bicara lagi dia segera berkelebat
meninggalkan tempat itu!
Begitu Gempar Bumi lenyap maka Mayang segera
menjura di hadapan Wiro Sableng dan mengucapkan terima
kasih atas pertolongannya. Wiro senyum-senyum malu
kemudian menganggukkan kepala pada Pagar Alam.
"Orang muda," kata Pagar Alam, "Pertolonganmu
sangat besar terhadap kami ayah dan anak! Kami mengucapkan
terima kasih. Boleh aku tahu nama dan dari
mana kau datang?"
"Namaku Wiro. Aku datang dari Pulau Jawa."
"Ah... ternyata kau orang perantauan. Pantas permainan
silatmu hebat! Tapi melihat kau tadi mengeluarkan ilmu
silat orang gila aku jadi heran. Setahuku pencinta ilmu silat
itu adalah seorang tua aneh yang diam di satu pulau di
sebelah barat Pulau Andalas ini, jadi bukan dari Pulau
Jawa."
Wiro Sableng menuturkan riwayat perjalanannya
secara singkat.
Pagar Alam angguk-anggukkan kepala.
"Kau beruntung, Wiro. Tak sembarang orang diberi
anugerah ilmu kepandaian seperti itu oleh Tua Gila si
orang aneh. Bahkan jarang sekali dia memperlihatkan
diri, dicaripun sukar!"
Wiro Sableng memandang ke kaki Pagar Alam yang
terebus air mendidih sewaktu mengadakan pertunjukan
mencari uang di pasar tadi. Lalu dikeluarkannya sebutir
pil dan diberikannya pada laki-laki itu.
"Telanlah, mungkin bisa menolong lukamu itu."
Pagar Alam menerima pil itu, menelitinya sebentar
lalu menelannya tanpa ragu-ragu. Setengah menit
kemudian rasa sakit pada kedua kakinya lenyap sama
sekali, meskipun keadaan kedua kaki itu diluarnya tidak
ada perubahan apa-apa.
"Terima kasih Wiro," kata Pagar Alam sementara
Mayang mengangkat adiknya yang mulai siuman ke atas
kereta. Malin si Kusir bendi juga sudah sadarkan diri dan
duduk menjelepok di tanah sambil mengurut-urut tulang
iganya yang patah dan merintih kesakitan. Wiro memeriksa
keadaan kusir bendi ini, mengurut dadanya di beberapa
bagian lalu memberikan sebutir pil. Kalau saja dia dulu
sudah mempelajari ilmu pengobatan pada Kiai Bangkalan
pastilah dalam waktu yang singkat dia sanggup mengobati
penderitaan Pagar Alam dan si kusir bendi.
'Kalau aku boleh tanya, urusan apakah yang telah
membuatmu sampai menginjakkan kaki di Pulau Andalas
ini?" tanya Pagar Alam.
"Hanya sekedar ingin berkelana saja," jawab Wiro tak
mau menerangkan maksud perjalanannya. Tapi kemudian
dia ingat tanpa mencari keterangan dan penduduk
setempat tak mungkin perjalanannya mencari pembunuh
Kiai Bangkalan akan mudah dilakukan. Maka bertanyalah
Pendekar 212: "Aku berniat pergi ke bukit Tambun Tulang.
Mungkin kau bisa memberi petunjuk jalan mana yang musti
kutempuh agar bisa lekas sampai disitu?!"
Pagar Alam, Mayang dan si kusir bendi sama-sama
terkejut.
"Kau mau pergi ke Tambun Tulang, Wiro...?"
"Ya. Menurut si Tua Gila, orang yang tengah kucari
mungkin berada di situ..." tanpa disadari oleh Wiro walau
tadi dia menyembunyikan maksud perjalanannya tapi
kini diungkapkannya sendiri.
"Siapakah orang yang kau cari itu?" tanya Pagar
Alam.
"Aku sendiri tak tahu siapa orangnya. Tapi dia telah
membunuh seseorang dan mencuri sebuah kitab penting!"
"Tambun Tulang adalah bukit maut bagi penduduk
sekitar sini," kata Malin.
Dan Pagar Alam menyambungi: "Tak ada seorangpun
yang berani berada dekat-dekat ke bukit itu. Bukit Tambun
Tulang dan daerah sekitarnya di bawah kekuasaan Datuk
Sipatoka. Seorang manusia bermuka setan berhati iblis!
Sejak usia belasan tahun dia telah menebar kejahatan dan
membunuh ratusan manusia tanpa dosa! Setiap manusia
yang jadi korbannya atau anak-anak buahnya dikumpulkan
di satu tempat hingga lambat laun, bertahun-tahun
kemudian tempat itu telah menjadi sebuah bukit putih yang
terdiri dari timbunan tulang belulang manusia!"
“Tua Gila ada menerangkan hal itu padaku," ujar Wiro.
"Dan manusia yang kau hajar tadi adalah tangan kanan
pembantu utama Datuk Sipatoka. Di samping dia Datuk
Sipatoka masih mempunyai beberapa pembantu berkepandaian
tinggi, memiliki beberapa puluh anak buah
yang kerja mereka bukan lain daripada merampok dan
memeras penduduk, melarikan perempuan-perempuan
desa tak perduli apakah istri orang, apalagi anak-anak
gadis! Kemudian dari itu Datuk Sipatoka memelihara
pula puluhan ekor harimau yang taat dan tunduk pada
segala perintahnya! Beberapa tokoh dunia persilatan
pernah turun tangan dan datang ke sana. Sampai saat ini
mereka tidak kembali. Kabar beritapun tidak diketahui.
Apalagi kalau bukan meregang nyawa di bukit Tambun
Tulang? Dua buah partai silat belum tiga bulan yang lalu,
secara serempak menyerbu ke Tambun Tulang. Hasilnya?
Ratusan manusia mati percuma di sana! Kau saksikan
sendiri kehebatan keparat bernama Gempar Bumi itu! Dan
Datuk Sipatoka mungkin sepuluh kali dari itu tinggi
ilmunya! Kejahatan Datuk Sipatoka dan orang-orangnya
sudah lewat batas, tak bisa dibiarkan lebih lama lagi. Tapi
siapa manusianya yang sanggup menghadapi dia dan anakanak
buah serta harimau-harimau peliharaannya itu?!
Kehidupan penduduk sekitar sini selalu dicekam rasa
ketakutan setiap hari!"
Wiro Sableng menghela nafas dalam. Kalau kejahatan di
atas dunia sudah demikian besarnya, mengapa tokoh
utama seperti Tua Gila tidak mau turun tangan atau
mungkin pernah tapi tidak membawa hasil?
Tengah Wiro berpikir-pikir begitu Pagar Alam berkata:
"Kurasa memang ada kemungkinan bahwa Datuk
Sipatoka pembunuh dan pencuri yang kau maksudkan.
Dan sesudah kau tahu siapa dia, apakah kau masih hendak
meneruskan niat pergi ke Tambun Tulang?".
Wiro Sableng garuk-garuk kepalanya.
"Sekali pergi pantang bagiku untuk kembali pulang."
Pagar Alam mengagumi keberanian pemuda ini.
"Kami hendak meneruskan perjalanan. Kuharap kau
sudi ikut sama-sama dan mampir di rumahku. Kita bisa
bicara banyak hal dan siapa tahu aku dapat membantumu
dalam usahamu pergi ke Tambun Tulang."
Wiro menimbang sebentar. Kemudian dia ingat akan
ucapan Gempar Bumi sebelum pergi tadi yaitu bahwa
laki-laki itu akan kembali pada tanggal tiga bulan di muka
pada hari peresmian berdirinya Perguruan Kejora. Maka
diapun menerima permintaan Pagar Alam lalu naik ke
atas bendi. Karena Maljn masih sakit, terpaksa Wiro
yang pegang tali kekang kuda penarik bendi. Seumur
hidupnya baru kafi itulah Pendekar 212 menjadi kusir
bendi!
Ketika hari menjelang pelang, Wiro minta diri pada
Pagar Alam dan keluarganya untuk meneruskan perjalanan.
Sebenarnya Pagar Alam ingin menahan pemuda
ini sampai tanggal tiga bulan di muka yaitu pada hari dia
meresmikan berdirinya Perguruan Kejora yang
dipimpinnya. Namun sebagai seorang laki-laki berhati
jantan yang tidak ingin memaksakan diri untuk
mengandalkan orang lain, Pagar Alam membatalkan
niatnya itu.
Pendekar 212 pun meneruskan perjalanan. Belum
lagi seratusan meter dia meninggalkan rumah Pagar
Alam, disadarinya bahwa dia tidak sendirian. Telinganya
yang tajam telah sejak lama mendengar suara orang
mengikutinya dengan sembunyi-sembunyi. Karena khawatir
orang itu adalah Gempar Bumi yang berniat hendak
membokongnya maka Wiro pun berhenti dan memutar
tubuh seraya berseru: "Manusia tukang kuntit, tak usah
sembunyi! Segera perlihatkan tampangmu!"
Suara Pendekar 212 bergema di seanfero rimba belantara.
Tapi tak satu orang pun yang muncul! Wiro jadi
penasaran. Sekali meneliti saja dia sudah tahu di mana si
penguntit berada yaitu di belakang sebatang pohon jati
yang besarnya tiga pemeluk tangan.
"Ayo lekas keluar! Kalau tidak jangan menyesali"
Tetap saja orang yang sembunyi di balik pohon tidak
mau keluar.
Tanpa menunggu lebih lama Wiro segera hantam-
kan tangan kanannya ke pohon jati itu. Satu gelombana
angin besar menderu laksana topan"
"Kraak!"
Batang jati yang besarnya tiga pelukan tangan manusia
itu patah lalu tumbang dengan mengeluarkan suara
dahsyat ribut! Dan pada kejap patahnya pohon itu sesosok
tubuh melompat sebat!
"Ah... kau!" seru Wiro ketika dia melihat siapa
adanya orang itu. "Untung saja kau tidak kena celaka»"
Nyatanya dia bukan lain dari Mayang, anak gadis
Pagar Alam.
"Kenapa kau ikuti aku?!" tanya Wiro.
Paras sang dara memerah jengah.
"Aku tidak mengikutimu, saudara Wiro " kata Mayang.
"Lalu?!" tanya Wiro dan dia tahu kalau si gadis berdusta
“Aku ingin balas dendam pada si keparat Gempar Bumi!"
Wiro angguk-anggukkan kepala macam orang tua.
"Kau memang seorang gadis berhati jantan! Kupuji
keberanianmu! Tapi kau pergi dalam keadaan ayahmu
masih sakit begitu rupa...?"
"Ibu bisa merawat ayah sendirian. Lagi pula lukanya
tidak berat..." , '
"Soalnya bukan adanya ibumu atau luka ayahmu
yang tidak berat itu. Tapi apa kau lupa bahwa walau bagaimanapun
ilmu kepandaianmu tak sebanding dengan
Gempar Bumi? Sekali kau mencarinya bukankah itu sama
saja dengan sengaja mengantarkan diri?! Apalagi se:
minggu dimuka ayahmu akan meresmikan Perguruan
Kejora! Kau tentu sangat dibutuhkannya...!"
"Tapi... tapi...."
Wiro tertawa dan melangkah ke hadapan gadis itu
"Kembalilah pulang...."
"Tapi apakah... apakah kau tidak akan kembali lagi...
maksudku tidak akan mampir lagi ke rumah?"
Wiro kembali tertawa.
"Tentu aku akan mampir lagi," sahut Wiro. Dia maklum
akan perasaan gadis ini. Dan gadis yang diamuk perasaan
seperti Mayang bukan baru sekali ini ditemui oleh Pendekar
212. Soalnya apakah dia bersedia melayani dan
menurutkan kata hatinya. Diam-diam Wiro Sableng ingat
pada Permani. Mayang tidak kalah kecantikannya dengan
Permani, dan juga telah banyak Pendekar 212 menemui
gadis-gadis cantik tapi entah mengapa dia tak bisa
melupakan Permani!
"Aku berjanji akan kembali," kata Wiro meyakinkan
Mayang. Tapi dara itu tak beranjak dari hadapannya.
Wiro mengeluh dalam hati. Kalau lama-lama berdiri berhadap-
hadapan seperti ini bisa celaka pikirnya. Ditepuknya
bahu Mayang seraya berkata: "Pulanglah. Di lain hari
aku akan mampir menyambangimu." Habis berkala begitu
Wiro berkelebat dan lenyap dari hadapan Mayang.
Sang dara hela nafas panjang. Gemuruh hatinya kini berubah
menjadi satu kekecewaan, namun juga satu harapan
Mulutnya terkatup rapat-rapat sehingga kedua
rahangnya menonjol dan pelipisnya menggembung.
Sepasang matanya memandang menyorot tak berkedip
ke bawah bukit kecil, ke arah sebuah kampung
yang kini hanya tinggal musnahannya saja berupa reruntuhan
rumah-rumah yang telah jadi debu! Jelas dilihatnya
mayat-mayat yang bergelimpangan di sana sini,
mayat-mayat manusia dan binatang-binatang yang mati
tertambus hidup-hidup di dalam api! Dan yang paling
menusuk matanya ialah mayat anak-anak yang menemui
kematian mereka secara mengenaskan dalam pelukan
ibu mereka!
Tak ada lagi tanda-tanda kehidupan dalam landasan
kemusnahan itu! Kemusnahan yang telah dilakukan oleh
manusia-manusia jahat tanpa rasa belas kasihan sama
sekali!
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng
ingat akan kampung-kampung yang dimusnahkan Dewi
Siluman di Pulau Madura tempo hari. Dan kemusnahan
kampung yang hari ini disaksikannya tidak ada beda,
malah lebih membuat luapan amarah menggejolak,
darahnya laksana api disiram dengan minyak!
"Siapakah manusia-manusia keparat yang membuat
kebiadaban begini rupa?!" tanya Wiro Sableng
padadirinya sendiri. Untuk menjawab pertanyaan itu, pemuda
ini segera menuruni bukit dan memasuki kampung
yang telah musnah itu. Penyelidikannya tak membawa '
hasil apa-apa. Dan hati kemanusiaannya memaksa dia
untuk menggali beberapa buah lubang lalu mengubur-
kan mayat-mayat yang bergeletakan di sana sini. Rata-
rata semua menemui kematian akibat tusukan atau
bacokan senjata tajam!
Wiro melanjutkan perjalanan sewaktu matahari ter-
gelincir ke Barat. Kalau daerah sekitar situ berada di ba-
wah kekuasaan Datuk Sipatoka, pastilah yang berbuat
ganas itu Datuk Sipatoka atau anak-anak buahnya! Dan
ini mendorong Wiro Sableng untuk mempercepat per-
jalanannya Menjelang senja dia berhenti di sebuah anak
sungai dangkal berair jernih. Wiro membuka pakaian dan
langsung masuk ke dalam sungai. Betapa sejuknya air
sungai itu. Tengah dia asyik-asyik mandi mendadak se-
pasang telinganya mendengar suara hiruk pikuk pekik
manusia banyak sekali di kejauhan! Ketika dia meman-
dang ke arah datangnya suara itu maka tampaklah langit
di arah itu kemerahan-merahan!
"Kebakaran," pikir Wiro. Disudahinya mandinya lalu
naik ke darat dan berpakaian dengan cepat. Sesaat ke-
mudian dia sudah berlari sekencang angin ke jurusan
langit malam yang merah menyala!
Ketika Pendekar 212 sampai ke tempat kejadian Hu,
yang dilihatnya bukan cuma kebakaran! Beberapa orang
berpakaian hitam bertempur melawan penduduk kam-
pung. Perempuan dan anak-anak berpekikkan dan lari
menyelamatkan diri. Kira-kira setengah lusin mayat te-
lah bergelimpangan di tanah! Wiro segera maklum apa
yang terjadi. Kebakaran itu adalah kebakaran yang dise-
ngaja dan pelakunya adalah manusia-manusia be r sera-
gam hitam. Mereka bukan saja membakar rumah-rumah
penduduk dan membunuh sewenang-wenang tetapi
juga merampok! Dan ketika Wiro memandang berkeliling,
dari dalam sebuah rumah yang telah setengahnya
dimakan api kelihatan seorang laki-laki berpakaian hi-
tam tengah menyeret seorang perempuan muda yang
meronta dan menjerit-jerit!
Mendidihlah amarah Pendekar 212!
"Keparat betul!" bentak Wiro. Dia melompat dan
menghantam dengan tinju kanan!
Laki-lakt berpakian hitam yang tengah menyeret
perempuan muda tiada menyangka akan mendapat
serangan begitu rupa! Karenanya dia tak sanggup meng-
elak, sama sekali! Tubuhnya mencelat! Pekiknya setinggi
tangit! Begitu jatuh di tanah dia tak berkutik lagi sebab.
kepalanya yang kena hantam rengkah bermandikan
darah dan air otak!
Wiro menyerbu ke tengah-tengah manusia-manusia
berseragam pakaian hitam lainnya yang tengah menempur
habis-habisan penduduk yang coba mempertahankan hak
dan harta serta nyawa dan keselamatan pribadi serta
keluarga mereka! Dua orang tergelimpang dihantam
tendangan dan tinju kirinya. Yang lima orang lainnya
terkejut!
"Bedebah! Siapa kau?!" teriak salah seorang dari!
mereka.
Begitu habis berteriak orang ini melihat sesuatu
menyambar di hadapannya.
"Awas!" teriak kawan-kawannya.
Tapi orang itu tak keburu berkelit ataupun menangkis.
Yang dilihatnya berkelebat ialah pukulan tangan
kanan Wiro Sableng yang melayang tepat-tepat ke
keningnya!
"Praak!"
Orang itu menjerit!
Keningnya pecah! Nyawanya lepas!
Bukan saja empat kawannya menjadi kaget tapi juga
tergetar hati masing-masing! Setelah memberi tanda serempak
mereka menyerbu! Pendekar 212 Wiro Sableng
diserang dari empat penjuru!
"Setan-setan kesasar! Keganasan kalian cukup
sampai hari ini! Makan ini!"
Wiro kirimkan dua pukulan dua tendangan!
"Wutt... wutt... wutt... wutt!" Keempat serangannya hanya
mengenai tempat kosong! Wiro terkejut! "Bangsat, apakah
mereka ini punya ilmu melenyapkan diri?!" maki Wiro dan
memandang berkeliling! Dalam pada itulah empat angin
pukulan tahu-tahu melanda ke arahnya dengan ganas!
Pendekar 212 menggereng macam harimau lapar!
Kedua tangannya kiri kanan menghantam berkeliling!
Dua gelombang angin pukulan yang dahsyat membadai
berputar! Dua orang pengeroyok terpekik! Tubuh mereka
berpelantingan. Satu menghantam pohon, pinggangnya
patah, nyawanya lepas! Yang satu lagi begitu jatuh di tanah
coba berdiri tapi terus muntah darah dan kojor di situ juga!
Dua orang lainnya seputih kertas pucat paras mereka. Yang
satu tanpa pikir panjang segera ambil langkah seribu.
Kawannya melompat ke balik sebatang pohon dan
keluarkan satu suitan nyaringi
"Monyet hitam! Tempat larimu adalah ke akhirat!"
teriak Wiro seraya hantamkan tangan kanannya ke arah
laki-laki yang ambil langkah seribu!
Belum lagi angin pukulan Wiro sampai orang itu
telah memekik macam dihadang setan! Kemudian
pekiknya lenyap dan tubuhnya mencelat beberapa tombak.
Terguling di tanah tanpa nyawa lagi!
Wiro Sableng segera pula hendak kirimkan pukulan
maut ke arah laki-laki yang bersembunyi di balik pohon.
Sekaligus dia hendak hantam pohon dan orangnya! Tapi
baru tangan kanan diangkat, tahu-tahu empat bayangan
hitam melompat di hadapannya dan serentak mengurungnya.
Wiro memandang berkeliling dengan cepat. Keempat
manusia berpakaian dan berdestar serba hitam itu
rata-rata berbadan tegap dan bertampang ganas. Keempatnya
memelihara kumis melintang. Dan pada dada
pakaian masing-masing terpampang gambar kepala harimau
warna kuningi Wiro teringat pada .manusia bernama
Gempar Bumi, pembantu utama Datuk Sipatoka.
Ada perbedaan gambar harimau yang terpampang di
dada pakaian keempat orang ini dengan yang dilihatnya
pada dada pakaian yang dikenakan Gampar Bumi. Perbedaannya
ialah pada besar kecilnya. Gambar kepala
harimau di pakaian Gempar Bumi besar sedang pada keempat
manusia ini agak kecil! Ini mungkin berarti bahwa
keempatnya adalah pembantu-pembantu Datuk Sipatoka
juga tapi dari tingkat yang lebih rendah dari Gempar
Bumi!
''Pemuda keparat! Melihat tampangmu nyata kau bu-kan
penduduk sini! Lekas katakan siapa kau?!" membentak
salah seorang dari empat manusia berkumis melintang.
Wiro mendengus.
"Kau tak layak bertanya! Lebih bagus kau tanyakan
bagaimana caranya cepat-cepat pergi ke neraka!" Dan
habis berkata begitu Wiro pukulkan tangan kanannya da-
lam jurus serangan Kunyuk Melempar Buah yang di-
perbawa dua perlima tenaga dalamnya!
Yang diserang terkejut melihat datangnya angin ke-
ras ke arahnya dan dengan serta merta pukulkan pula
tangan kanannya ke depan memapasi serangan lawan!
Dalam pada itu ketiga kawannya tidak tinggal diam.
Serentak ketiganya menyerbu Pendekar 212 dari tiga
jurusan! Seorang diantaranya mencengkeram dengan
kedua tangan dari belakang!
Sekali melihat bagaimana pukulan kunyuk melem-
par buahnya sanggup dipapasi lawan dan melihat pula
gerakan tiga orang lainnya dalam melancarkan serangan
itu Wiro segera maklum bahwa keempatnya berkepan-
. daian tinggi yang tak bisa dianggap remeh! Kalau dinilai
masing-masing setiap dua manusia yang mengeroyok-
nya itu sebanding dengan kepandaian Gempar Bumi. De-
ngan kata lain saat itu dia menghadapi dua. lawan ber-
kepandaian setinggi Gempar Bumi.
Pertempuran hebat berkecamuk!
Wiro andalkan ilmu meringankan tubuhnya untuk
mengelit serangan-serangan lawan yang sangat ganas
dan bertubi-tubi. Tubuhnya merupakan bayangan-bayang
putih yang coba didesak oleh keempat manusia
berpakaian hitam-hitam itu! Karena telah pernah bertem-
pur melawan Gempar Bumi maka sedikit banyaknya
Wiro mengerti, gerakan-gerakan lawan! Dan ini banyak
menolongnya Meski pada empat jurus pertamanya dia
kena didesak namun jurus-jurus selanjutnya dia mulai
berada di atas angin. Serangan-serangannya membuat
keempat pengeroyok mundur terus-terusan dan dalam
jurus ke delapan salah seorang dari mereka terjungkal
ke luar kalangan pertempuran dengan tulang dada dan
beberapa tulang iga ringsek dilanda tendangan kaki kanan
Wiro Sableng! Nafasnya sesak, mulutnya megap-megap.
Dari kerongkongannya terdengar suara seperti
orang tercekik dan; sesaat kemudian tubuhnya tak ber-
gerak lagi!
Kematian seorang kawan mereka membuat tiga manusia
baju hitam lainnya menjadi tergetar. Apalagi sesudah dalam
jurus-jurus selanjutnya mereka dipaksa bertahan matimatian
dalam desakan hebat serangan berantai Pendekar
212!
Salah seorang berseru memberi tanda. Wiro menyangka
mereka hendak melarikan diri maka dia siapkan
pukulan jarak jauh untuk melabrak ketiganya bila mereka
benar-benar hendak kabur! Tapi dugaannya meleset!
Ketiga anak buah Datuk Sipatoka itu dalam gerakan
yang aneh yaitu lompatan-lompatan macam katak menyerbunya
dari tiga jurusan! Wiro pukulan kedua tangannya
berkeliling! Tiga lawan gerakkan kedua kaki dan dalam
keadaan tubuh melayang di udara mereka membuat
satu lompatan lagi, begitu-Wiro hendak menghantam ke
atas, ketiganya tahu-tahu sudah melesat ke bawah dan
entah kapan mereka menggerakkan tangan mereka tahutahu
tiga bilah keris hitam menderu ke arahnya! Satu menusuk
ke kepala, yang dua lainnya membabat dari dua
jurusan yang berlawanan!
Wiro terkesiap kaget melihat serangan yang hebat
ini! Dengan cepat segera dia keluarkan jurus pertahanan
yang terlihay dari "Ilmu Silat Orang Gila" yaitu yang dinamakan
jurUs "Orang Gila Melenggang ke Awan!"
Kedua tangannya dikembangkan ke atas sedang kedua
kakinya menjejak ke tanah mengandalkan tenaga
dalam dan ilmu meringankan tubuh! Laksana panah le-
pas dari busurnya, tubuh Wiro Sableng melesat meleng- ,
gang lenggok ke atas; dua kembangan tangan yang mendatangkan
angin bukan saja sanggup menangkis tusukan
keris yang datang dari atas tapi sekaligus membuat
lawan terpelanting laksana daun kering dihembus angin!
Meskipun tubuhnya selamat namun tak urung pakaiannya
masih sempat dirobek oleh ujung keris salah
seorang lawan yang menyerang dari samping!
"Edan!" maki Wiro. Segera dia siapkan jurus serangan
Kunyuk Melempar Buah yang mengandalkan sete- ,
ngah bagian tenaga dalamnya!
Sementara itu salah seorang dari lawan-lawannya
yang bermata awas berseru: "Kawan-kawan! Kulihat
bangsat Ini mengeluarkan Jurus ilmu Silat Orang Gila!
Pastilah dia muridnya Si Tua Gila! Ingat bahwa Datuk kita
punya dendam kesumat terhadap Tua Gila pada empat
puluh tabun yang lalu?! Kalau kita musnahkan muridnya
ini pasti kita mendapat pahala besar dari Datuk! Mari!"
Serentak dengan itu dan diikuti oleh kedua kawannya
maka menyeranglah dia! Tapi kali ini ketiganya dibikin
terkejut. Karena begitu mereka bergerak Wiro hantamkan
tangan kanannya ke depan! Dua orang berseru
keras dan melompat ke samping! Yang seorang lagi terlambat
untuk selamatkan diri. Kedua tangannya ditelakkan
ke muka dada laksana seorang yang berusaha menahan
tindihan benda berat yang tak kelihatan di depan
dadanyal Wiroputar sedikit telapak tangannya! Laki-laki
di depan sana menjerit keras! Tubuhnya mental dan ketika
menggeletak di tanah kelihatan bagaimana seluruh
tubuh laki-laki ini terutama dari bagian dada ke atas hancur
memar laksana buah pepaya dibantingkan ke batu!
Pucat pasilah wajah dua anak buah Datuk Sipatoka
lainnya! Mereka saling memberi isyarat. Lalu mengeruk
satu. pakaian masing-masing dan sedetik kemudian
enam puluh batang jarum hitam yang mengandung bisa
jahat beterbangan ke arah Pendekar 212! Jarum-jarum
ini bentuknya sama dengan senjata rahasia milik Gempar
Bumi. .Wiro gerakkan tangan kanannya! Sebagian
dari jarum-jarum itu mental yang sebagian lagi berbalik
ke arah pemiliknya! Salah seorang dari mereka tiada
menduga hal ini hingga terlambat untuk selamatkan diri!
"Akhhh...." Jerit maut ke luar dari mulutnya. Belasan
jarum menembus tubuh dan jantungnya. Nyawanya lepas
saat itu juga! Yang seorang lagi masih untung! Begitu
lolos dari bahaya maut segera putar tubuh untuk am-
bil langkah seribu! Tapi perbuatannya ini sia-sia saja karena
lebih cepat dari itu satu totokan telah menyambar
punggungnya, membuat dirinya tegak kaku kejap itu
juga!
"Monyet hitam, sekarang kau akan jadi penunjuk
Jalanku! Kau musti antarkan aku ke sarang majikanmu
yang bernama Datuk Sipatoka Itu!"
Mendadak terdengar jerHan perempuan yang disusul
oleh teriakan seorang laki-laki. "Tolong! Anakku...
anakku!"
Wiro berpaling cepat! Masih sempat dilihatnya sesosok
bayangan hitam memboyong lari seorang gadis
dan lenyap dikegelapan malam!
Wiro kerenyitkan kening, gigit bibir. Hatinya memaki.
Dia berpaling pada laki-laki. di hadapannya dan
berkata: "Monyet hitam! Keadaan memaksaku membuat
nasibmu lebih baik dari kambrat-kambratmu yang lain!
Kau kulepaskan hidup-hidup! Tapi jangan lupa sampaikan
pesanku pada Datukmu bahwa disatu hari dalam
waktu yang singkat aku akan membuat perhitungan dengan
dia! Bila dia menanyakan siapa aku, ini kutuliskan
namaku di keningmu!" Kemudian dengan ujung jarinya
Wiro menggurat angka 212 di kuIH kening laki-laki itu!
Lalu tanpa tunggu lebih lama dia berkelebat ke jurusan
lenyapnya laki-laki yang memboyong gadis tadi!
Namun satu teriakan memanggil membuat dia hentikan
lari!
“Wiro!"
Wiro Sableng membalik dengan cepat. Terkejutlah
dia! Yang berseru memanggil namanya bukan lain
daripada Pagar Alam. Laki-laki ini berdiri terhuyung-
huyung dengan sebatang pedang pendek menancap
di dadanya! Wiro melompat dan dengan cepat membopong
tubuh laki-laki itu ke langkan sebuah rumah.
Darah membasahi pakaian hitam Pagar Alam dan menodai
pakaian Wiro sendiri!
Melihat kepada keadaannya tak mungkin tertolong
lagi. Nafas Pagar Alam tinggal satu-satu. Parasnya pucat
tanpa darah. Sedang kedua matanya mulai mengabur.
"Bagaimana kau bisa sampai di sini, bapak??" tanya
Wiro. Kemudian pendekar ini mengutuki dirinya sendiri.
Dalam keadaan begitu masakan dia ajukan pertanyaan
demikian rupa.
"Wiro, tolonglah selamatkan anakku.... Mayang dilarikan
oleh.... Gempar Bu... mi...."
"Bedebah itu lagi!" desis Wiro dengan geraham-geraham
bergemeletukan!
"Kej... kejar dia, Wiro...."
"Tapi kau sendiri, pak...."
Pagar Alam kumpulkan sisa-sisa tenaganya yang ada
untuk dapat membuka mulut dan mengeluarkan suara.
"Diriku tak... usah kau pikirkan nak. Tak ada harapan....
Yang perlu Mayang. Nasib dan... dan dirinya kuserahkan
padamu. Kuharap kalian...."'
Pagar Alam tak dapat meneruskan kata-katanya. Kepalanya
terkulai. Kedua matanya terbalik dan nafasnya
lepas meninggalkan tubuh. Perlahan-lahan Wiro membaringkan
jenazah Pagar Alam di langkan rumah. Dipandanginya
tubuh tanpa nafas itu beberapa ketika. "Nasib
dan dirinya kuserahkan padamu. Kuharap kalian...."
Meski Pagar Alam tak sempat menyelesaikan ucapannya,
tapi Wiro tahu apa kelanjutan kata-kata yang hendak
disampaikan laki-laki itu. Tanpa menunggu lebih lama
pemuda ini segera meninggalkan tempat itu dengan cepat,
lenyap di jurusan perginya manusia yang telah
melarikan Mayang!
Hampir satu jam lamanya Wiro melakukan pengejaran.
Tapi sia-sia belaka. Di malam gelap begitu rupa mana
mungkin mencari dan mengejar seseorang yang tak diketahui
ke mana perginya! Akhirnya di satu pesawangan
yang gelap gulita Wiro menghentikan larinya. Di sekitarnya
hanya suara jangkrik yang kedengaran, yang sekali-sekali
ditimpali oleh suara ketekung kodok. Lapat-lapat
terdengar pula suara burung hantu mengerikan sementara
angin malam bertiup dingin mencucuk sampai ke
tulang-tulang sumsum.
Wiro Sableng garuk-garuk kepala, menghela nafas
kesal. Ke-mana dia harus meneruskan pengejaran? Jika
menunggu sampai siang pasti Mayang sudah tertimpa
celaka dan tak ada artinya menyelamatkan dara itu!
Mungkin Gempar Bumi melarikan Mayang langsung ke
Tambun Tulang? Ini berarti dia musti lekas-lekas melakukan
pengejaran ke sana. Dan sekaligus untuk membuat
perhitungan dengan Datuk Sipatoka. Tapi bagaimana
kalau Gempar Bumi tidak membawa gadis itu ke
sana? Dan merusak kehormatan Mayang di tengah jalan?!
Pendekar 212 banting-banting kaki karena gemas!
Gemas karena tak bisa berbuat apa-apa, sedangkan dia
tahu gadis itu pasti akan mendapat celaka malam ini
juga! Dirusak kehormatannya oleh Gempar Bumi! Pan
apakah lagi yang lebih berharga bagi seorang gadis
kalau bukan kehormatannya?!
Wiro Sableng memandang ke langit di atasnya yang
hitam gelap. Tak ada bulan, tak ada satu bintang pun
yang kelihatan. Dan tubuh pemuda ini bergetar bila dia
membayangkan apa yang bakal dilakukan oleh Gempar'
Bumi terhadap Mayang. Atau apakah kebejatan itu telah
dilakukan oleh Gempar Bumi?!
"Kalau betul-betul Hu dilakukannya, akari kupatahkan
batang lehernya! Akan ku patah k ani" kata Wiro dengan
hati menggeram! Dihantamkan tinjunya dan "Brak!"
sebatang pohon yang tak punya dosa apa-apa patah
tumbang ke bumi!
Di malam sunyi dan gelap itu sesosok tubuh berlari
laksana angin kencangnya. Di bahu kanannya terpanggul
seorang dara berpakaian hitam dalam keadaan tak
berdaya. Dara ini bukan lain Mayang. Dan laki-laki yang
tengah memboyongnya lari itu adalah Gempar Bumi!
Beberapa jam berlari, menjelang tengah malam baru
dia berhenti hanya sekedar untuk beristirahat kemudian
dia lari lagi hingga akhirnya memasuki sebuah lembah
yang dialiri sebatang anak sungai. Sepanjang anak sungai
ini penuh dengan pohon tembakau. Di salah satu
bagian tepinya kelihatan sebuah pondok. Setengah dari
dasar pondok ini berada di tebing sungai, setengahnya
lagi di atas sungai, ditopang oleh dua buah tiang yang
terbuat dari kayu yang tahan air. Gempar Bumi membawa
Mayang ke pondok ini. Dua puluh tombak dia akan
mencapai pondok, pintu pondok tiba-tiba terbuka. Dan
diterangi oleh sinar pelita yang ada di dalam pondok,
kelihatan sesosok tubuh berpakaian hitam berdiri di ambang
pintu dengan rangkapkan kedua tangan di muka
dada. Ketika melihat orang yang datang dengan membawa
sesosok tubuh pada bahunya, laki-laki ini kerenyitkan
kening.
"Gempar Bumi, siapakah yang kau bawa ini?!"
orang itu bertanya begitu Gempar Bumi sampai di
hadapannya.
Gempar Bumi menyeringai.
"Sati! Malam ini biarlah aku yang menghuni pondokmu!"
Ketika mengetahui yang dipanggul Gempar Bumi
adalah tubuh seorang dara berparas jelita, laki-laki bernama
Sati menelan ludahnya.
''Dari mana kau dapat, Gempar Bumi?" tanya Sati
dan matanya meneliti tubuh dan paras Mayang penuh arti.
"Semprul! Dari mana aku dapat bukan urusanmu!
Lekas pergi!"
Mata Satj tidak berpindah dari paras Mayang. Perintah
Gempar Bumi tidak diperdulikannya malah dia melangkah
lebih dekat kemudian membisikkan sesuatu ke
telinga Gempar B,umi,
Marahlah Gempar Bumi mendengar bisikan Sati.
"Kalau kau tak lekas berlalu dari hadapanku, kupatahkan
batang lehermu!"
Sati menjadi takut. Dengan langkah berat akhirnya
ditinggalkannya tempat itu.
Gempar Bumi masuk ke dalam pondok yang berlantai
papan. Sebagian dari lantai ditutup dengan tikar pandan.
Mayang dibaringkannya di atas tikar. Setelah menutup pintu
dan memeriksa isi pondok. Gempar Bumi duduk di
hadapan Mayang lalu membuka jalan suara gadis ini.
Begitu jalan suaranya dibuka maka mendampratlah
Mayang.
"Manusia keparat! Lepaskan totokan ku...!"
"Ah, kau masih saja bersikap galak," kata Gempar
Bumi.
"Bedebah! Lepaskan totokan ku!"
"Kalau kau masih keras kepala terpaksa kutotok
jalan suaramu kembali!" mengancam Gempar Bumi dan
diulurkannya tangan kanannya.
"Jangan sentuh!" teriak Mayang.
Gempar Bumi ganda tertawa Dibelainya pipi gadis itu.
Mayang memaki habis-habisan sampai suaranya serak.
"Dengar Mayang, kalau kau mau bersikap lunak aku
akan kawini kati secara baik-baik, tapi...'
"Siapa sudi kawin dengan manusia anjing macammu!"
potong Mayang.
"Tapi kalau kau berkeras kepala macam ini jangan
menyesal akan kuperlakukan Secara kasar!"
"Manusia anjing, lebih bagus kau bunuh aku siangsiang!
Saat ini juga...."
"Eh, apakah kau tidak takut mati?!"
"Lebih baik mati daripada jadi korban kebejatanmu!"
Gempar Bumi tertawa mengekeh.
"Mati muda adalah mati yang paling rugi! Kalau kau
inginkan mati biarlah nanti terserah pada putusan Tuhan!
Yang penting kau harus hidup dulu bersama-samaku.... Kau
akan merasakan betapa indahnya hidup ini nanti. Betapa
nikmatnya... betapa...."
"Tutup mulutmu bedebah! Bila kau menyentuh tubuhku
lalu membiarkan aku hidup, niscaya sampai kelautan api
pun akan kucari kau! Akan kupenggal batang lehermu!"
Gempar Bumi tertawa gelak-gelak.
"Kurasa nanti itu kau mencariku bukan untuk membunuh
tapi untuk mengajak kembali menikmati segala
keindahan hidup itu! Ha... ha... ha... ha!"
"Keparat! Kalau aku betul-betul panjang umur akan
kupancung lehermu! Akan kucincang seluruh tubuhmu
sampai lumat!"
"Ilmu silatmu ilmu silat kampungan!" ejek Gempar
Bumi: "Menghadapiku beberapa jurus saja sudah tak sanggup,
bagaimana mungkin kau hendak mencincangku?!"
"Kalau tidak aku ada orang lain yang akan melenyapkanmu
dari muka bumi ini!"
"Aha... siapa kira-kira orangnya?!" tanya Gempar
Bumi sambil puntir-puntir ujung kumisnya yang tebal
melintang.
"Guruku!"
"Gurumu?!" Gempar Bumi tertawa membabak. "Perempuan
tua renta yang bernama Inyak Nini itu? Kepan-
daiannya cuma lima enam kali saja lebih tinggi dari kau!
Dalam sepuluh jurus, mungkin kurang, pasti sudah jadi
mayat dia kalau berani berhadapan denganku!"
Mayang mendengus.
"Kalaupun guruku kalah masih banyak orang-orang.
sakti berilmu tinggi yang sewaktu-waktu sanggup membunuhmu!
Juga melabrak majikanmu yang bernama
Datuk Sipatoka itu!"
"Begitu? Aku ingin tahu siapa saja orang-orang
sakti itu?!" ujar Gempar Bumi.
"Di antaranya pemuda berambut gondrong yang
mempecundangimu tempo hari!" sahut Mayang.
Berubahlah paras Gempar Bumi. Dia memang tak
pernah melupakan pemuda itu. Selama menjadi pembantu
utama Datuk Sipatoka yang ditakuti di delapan penjuru
angin Pulau Andalas belum pernah dia menghadapi
lawan yang setangguh itu, bahkan memaksa dia untuk
mengundurkan diri dengan muka tebal karena malu.
"Ah, kalau cuma bangsat muda itu siapa takutkan
dia? Tempo hari aku sengaja menghentikan pertempuran
karena ada urusan yang lebih penting! Kalau diteruskan
niscaya tidak kuampunkan jiwanya...."
"Justru pemuda itulah yang masih memberi kelonggaran
padamu untuk ambil langkah seribu!"
Gempar Bumi menggeram dalam hati. Tiba-tiba tangannya
diulurkan kembali dan kali ini dengan cepat menyelusup
ke balik baju hitam yang dikenakan Mayang!
Gadis ini berteriak dan memaki! Sebaliknya dengan seringai
nafsu yang mengembang kempiskan cuping hidungnya,
jari-jari tangan Gempar Bumi menggila di atas
dada sang dara!
Bagaimana Mayang dan ayahnya sampai di kampung
yang tengah dimusnahkan anak-anak buah Datuk
Sipatoka itu? Dan sampai Gempar Bumi berhasil melaksanakan
niatnya melarikan si gadis?
Seperti telah diceritakan sebelumnya. Pagar Alam
hendak meresmikan berdirinya satu perguruan yang dinamakannya
Perguruan Kejora, Tapi karena adanya
maksud Gempar Bumi untuk datang pada hari peresmian
itu dan mengadakan kekacauan serta terutama sekali
hendak melarikan Mayang, mau tak mau Pagar Alam
mengundurkan peresmian berdirinya Perguruan Kejora.
Dia harus mencari seorang yang dapat diandalkan yang
sanggup menghadapi Gempar Bumi dan kawan-kawannya.
Karena itu sesudah luka pada kedua kakinya sem-
buh bersama Mayang laki-laki ini dengan mengendarai
dua ekor kuda berangkat ke Danau Maninjau, tempat
kediaman Inyak Ninik, guru Mayang.
Di tengah jalan mereka berhenti dan menginap di sebuah
kampung. Justru pada malam itu pula anak-anak
buah Datuk Sipatoka di bawah pimpinan Gempar Bumi
mendatangi kampung itu, merampok dan membakar
serta melarikan gadis-gadis dan istri penduduk kam
pung! Gempar Bumi tidak menduga kalau di kampung itu
terdapat pula Mayang dan Pagar Alam di tengah-tengah
penduduk. Tentu saja ini sangat menggembirakan Gempar
Bumi. Gadis itu berada di depan matanya kini, tak perlu dia
menunggu berlama-lama! Ketika dia hendak menyergap
Mayang mendadak didengarnya suara suitan nyaring di
sebelah Barat kampung! Gempar Bumi kaget, demikian
juga empat anak buahnya! Suitan itu adalah tanda bahaya!
Bersama keempat orang itu Gempar Bumi cepat menuju ke
Barat kampung. Mayang bisa diringkusnya nanti. Itu soal
mudah. Dia ingin tahu bahaya apakah yang tengah dihadapi
anak-anak buahnya di bagian Barat sana! Dan sewaktu dia
sampai di bagian Barat kampung, berubahlah parasnya.
Untung saja malam itu gelap hingga keempat anak buahnya
tak dapat melihat perobahan parasnya itu!
Seorang pemuda berpakaian putih, berambut gondrong
tengah mengamuk dengan hebat. Dan pemuda ini bukan
lain pemuda yang telah mempecundanginya tempo hari!
Meski dia membawa anak-anak buah yang berkepandaian
tinggi namun untuk menghadapi Wiro Sableng saat itu
Gempar Bumi tidak mempunyai nyali! Dilain hal kalau dia
melibatkan diri menempur si pemuda, mungkin tak akan
kesampaian lagi sekali ini niatnya untuk melarikan Mayang.
Maka tanpa tunggu lebih lama Gempar Bumi segera
perintahkan keempat anak buahnya untuk menyerang
Wiro Sableng.
"Bunuh bangsat itu!" demikian dia memerintah! Dan
dari tempat gelap dia memperhatikan jalannya pertempuran.
Dan bukan main terkejutnya Gempar Bumi ketika
dalam tempo yang singkat Wiro berhasil mempereteli
anak-anak buahnya satu demi satu! Padahal keempat
anak buahnya itu berkepandaian hanya dua tingkat saja
di bawah kepandaiannya! Nyali Gempar Bumijadi tambah
mencair! Ketika anak buahnya yang ketiga jatuh
menjadi korban Wiro Sableng tidak tunggu lebih lama
saat itu juga Gempar Bumi segera tinggalkan tempat itu.
Mayang dan ayahnya ditemuinya tengah bertempur
melawan beberapa anak buahnya dari tingkatan yang
lebih rendah. Akan Pagar Alam, begitu melihat kemunculan
Gempar Bumi, tersiraplah darahnya! Dia tahu apa
artinya ini, maka segera saja dengan sebilah pedang
pendek laki-laki ini melompat ke hadapan Gempar Bumi
dan menyerangnya dengan satu tebasan yang dahsyat!
Walau bagaimanapun Gempar Bumi bukan tandingan
Pagar Alam, meski dia bersenjata golok dan lawan
bertangan kosong namun Pagar Alam dalam dua jurus
saja sudah kena didesak oleh Gempar Bumi. Melihat
ayahnya terdesak. Mayang segera memberikan bantuan!
Tetapi saja pertempuran tidak berjalan seimbang. Gempar
Bumi berhasil merampas pedang di tangan Pagar
Alam dan dengan senjata itu dia mendesak kedua beranak!
Dalam satu gebrakan yang hebat Gempar Bumi berhasil
menyelundupkan pedangnya dan menancap dengan
tepat di dada Pagar Alam. Sesaat kemudian Mayang
berhasil ditotoknya hingga tak bisa bersuara tak
bisa bergerak. Dengan memboyong Mayang. Gempar
Bumi kemudian meninggalkan tempat itu. Pagar Alam
dalam keadaan tak berdaya dan bergumul dengan maut
hanya bisa berteriak minta tolong! Dan teriakannya ini
terdengar oleh Pendekar 212 Wiro Sableng yang kemudian
segera melakukan pengejaran....
Darah di tubuh Gempar Bumi laksana air mendidih
bergejolak. Tangannya menggerayang di sekujur tubuh
Mayang yang tak bisa berbuat suatu apa selain berteriak
dan menangis.
Sementara itu Sati yang disuruh meninggalkan pondoknya
berlari di kegelapan malam tanpa tujuan. Ingatannya
masih tertuju pada gadis itu. Tak dapat dilupakannya
parasnya yang jelita, kulitnya yang mulus kuning
langsat dan potongan tubuhnya yang montok padati
Ingatan kepada Mayang membuat larinya kadang-kadang
tertegun-tegun. Hatinya mendorong-dorong agar kembali
ke pondok itu. Siapa tahu Gempar Bumi berubah
haluan dan berbaik hati mau memberikan sedikit bagian
kepadanya! Kalaupun tak dapat bagian mengintip pun
jadilah. Dan semakin besar rasa yang mendorong-dorong
di hati Satt, Akhirnya laki-laki ini memutar tubuhnya, dan
kembali lari menyusuri jalan yang sebelumnya telah ditempuhnya.
Kembali ke pondok di tepi sungai itu!
Ketika sampai di pondok itu segera Sati mencari sebuah
lobang tempat mengintip dengan hati-hati sekali.
Sekujur tubuhnya menggigil, lututnya goyah, darahnya
memanas dan seperti menyungsang mengalirnya ketika
dari lobang di dinding pondok dia menyaksikan pemandangan
yang terpampang di depan matanya, di bawah
penerangan pelita.
Gadis itu terhampar di atas tikar, menangis serak.
Sebagian tubuhnya tak kelihatan, tertutup oleh tubuh
Gempar Bumi yang mandi keringat! Dan keduanya tanpa
selembar pakaianpunl Berkali-kali Sati meneguk ludahnya.
Seperti hendak diterjangnya saja dinding pondok di
hadapannya dan menerobos masuk ke dalam, menggulung
tubuh gadis itu.
"Ah, tentu dia sudah tidak gadis lagi!" desis Sati.
"Keparat betul si Gempar Bumi ini!"
Mendadak Gempar Bumi menghentikan segala gerak
yang dibuatnya laki membalik dengan cepat Sepasang
matanya memandang liar berkeliling dan tiba-tiba tangan
kanannya dipukulkan ke dinding pondok sebelah kanan.
"Braakl"
Dinding itu berlobang besar.
Di luar pondok seseorang terdengar berteriak: "Keterlaluan
kau Gempar Bumi! Kawan sendiri diserang!"
"Sati keparat! Kau berani kembali dan mengintip?
Kau akan terima hukuman berat dariku!" teriak Gempar
Bumi marah sekali. Dengan cepat dia mengenakan pakaian
hitamnya lalu melompat ke pintu. Namun sebelum
pintu itu sempat dibukanya, di atasnya terdengar suara
sesuatu yang ambruk dan ketika Gempar Bumi memandang
ke atap pondok, sesosok tubuh melayang turun
dan satu sinar putih berkiblat melanda ke arahnya!
Terkejut Gempar Bumi bukan alang kepalangl
Dihadapannya berdiri seorang perempuan tua renta
berpakaian putih. Tubuhnya sangat bongkok sedang
di tangan kanannya tergenggam sebilah pedang yang
terbuat dari perak dan berkilauan ditimpa sinar pelita.
Begitu melihat perempuan ini, Mayang berseru:
"Guru!"
Si perempuan tua lemparkan sebuah mantel untuk
menutupi tubuh Mayang.
Mendengar seruan Mayang tadi Gempar Bumi maklum
kini bahwa perempuan tua di hadapannya bukan lain
Inyak Nini, guru gadis yang barusan saja dirusak kehormatannya!
Nama Inyak Nini sudah sering didengarnya,
tapi baru kali ini dia berhadapan. Tak bisa dia menduga
sampai di mana kehebatan perempuan ini walau sebelumnya
di hadapan Mayang dia telah menganggap
Inyak Nini seorang lawan enteng yang bisa dirobohkannya
di bawah sepuluh jurus!
"Manusia bejat!" suara Inyak Nini bergelar.
"Kau harus bayar dengan kau punya jiwa atas perbuatan
yang kau telah lakukan terhadap muridku!"
Gempar Bumi tertawa sedingin angin malam.
"Apa kau masih belum tahu berhadapan dengan
siapa, nenek-nenek bongkok?!"
Inyak Nini meludah ke lantai. Ludahnya merah karena
susur yang senantiasa menyumpal di mulutnya.
"Nama Gempar Bumi terlalu sering kudengar! Terlalu
memuakkan untuk didengar! Dan malam ini aku akan
menumpas segala kemuakan itu!"
Tanpa banyak cakap lagi, Inyak Nini melompat ke
muka. Pedang perak di tangan kanannya berkiblat.
Angin tebasan menderu! Gempar Bumi mengelak dengan
sebat lalu selipkan satu serangan balasan, tapi
senjata lawan membalik ganas membuat dia melompat
mundur dan memasang kuda-kuda baru! Ternyata Inyak
Nini bukan lawan yang bisa dibuat main-main.
Tiba-tiba sesosok bayangan hitam muncul di am-
bang pintu.
"Gempar Bumi, biaraku yang hadapi setan tua ini!"
kata orang yang di ambang pintu. Dia bukan lain daripada
Sati.
"Sati keparat!" bentak Gempar Bumi- "Kau tetap di
tempatmu dan awas kalau berani lari! Kau akan terima
hukuman dariku!"
Menciut hati Sati. Maksudnya hendak menghadapi
Inyak Nini adalah sebagai penebus kesalahannya. Ternyata
Gempar Bumi tidak mau ambil perduli dan tetap
akan menjatuhkan hukuman terhadapnya. Dia berpikirpikir
untuk Jari tapi itu tentu membuat Gempar Bumi akan
bertambah-tambah kemarahannya! Karenanya Sati berdiri
di ambang pintu itu dengan hati yang tidak enak dan
serba salah!,
Pondok itu tidak seberapa besar karenanya tanpa
senjata agak sukar juga bagi Gempar Bumi menghadapi
amukan Inyak Nini. Pedang perak bersiuran kian kemari,
memapas dan membacok, sedang tusukan-tusukan ganas
meluncur berulang kali! Namun mata Gempar Bumi
yang tajam segera melihat kelemahan-kelemahan jurus
ilmu pedang yang dimainkan oleh lawannya. Segera dia
menggempur tempat-tempat pertahanan yang lemah ini
hingga pertempuran berjalan berimbang beberapa lamanya!
"Tua renta sialan! Makan ini!" teriak Gempar Bumi.
Tangannya mengetuk saku, sedelik kemudian puluhan
jarum mendengung laksana tawon, menyambar ke arah
Inyak Nini! Inyak Nini terkejut! Serta merta dia putar per
dangnya. Belasan jarum hitam mental dan luruh ke lantai.
Tapi beberapa di antaranya tak sanggup dipapasinya
dengan pedang, dan terus menembus dagingnya!
Inyak Nini menggerung macam serigala dan menyerbu
dengan dahsyat! Dia sudah tahu keganasan racun
yang terendam di jarum hitam itu. Meski dia telah kerahkan
tenaga dalamnya untuk menutup beberapa jalan
darah yang penting agar racun jahat itu tidak merambas
ke jantungnya namun tetap saja rangsangan jarum bermembobolkan
jalan darah, terus mengalir menuju
jantung! Inyak Nini sadar bahaya besar yang mengidap
dalam dirinya. Dalam tempo dua puluh empat jam jika
tidak terdapat pertolongan pasti jiwanya melayang!
Gempar Bg#i tertawa sewaktu mengetahui senjata
rahasianya berbasil menemui sasaran di beberapa bagian
tubuh lawan.
"Perempuan tua! Lebih baik kau bunuh diri sebelum
racun jarum itu menghancurkan kau punya jantung!"
"Manusia dajal kau musti menyertaiku ke akhirat!"
teriak Inyak Nini lalu menggembor dan menyerang
dengan dahsyat.
"Braak!"
Sambaran pedang Inyak Nini mengenai tempat kosong
dan menghantam dinding pondok hingga hancur
bobol! Gempar- Bumi pergunakan kesempatan ini untuk
menyerang dari samping! Tapi "Buuk!" Tahu-tahu tendangan
kaki kanan Inyak Nini bersarang di bahunya! Tubuhnya
terhuyung-huyung beberapa langkah dan bahunya
sakit bukan main!
"Perempuan bedebah!" maki Gempar Bumi. Mulutnya
komat kamit, tubuhnya membungkuk hampir sebungkuk
Inyak Nini sedang kedua tangan terkembang kemuka
dengan sepuluh jari-jari menekuk!
Inyak Nini maklum kalau lawan hendak keluarkan jurus
ilmu silat yang hebat. Maka tidak menunggu lebih
lama dia mendahului menyerang dengan pedang di tangan!
Dalam detik itu pula Gempar Bumi keluarkan suara
keras macam harimau meraung dan tubuhnya berkelebat
ke depan! Gerakan kedua tangannya asing seka»
bagi Inyak Nini, suara seperti harimau meraung yang ke
luar dari mulut Gempar Bumi membuat perempuan tua
itu terkesiap dan bergidik!
Kemudian terdengarlah pekik perempuan tua itu!
Dan menyusul pula pekik Mayang yang melihat
paras gurunya berlumuran darah mengerikan!
Inyak Nini terhuyung-huyung sampai lima langkah
ke belakang. Kulit mukanya terkelupas dalam lima guratan
yang dahsyat, parasnya berselomotan darah sedang
pedang perak di tangan kanannya sudah berpindah ke
dalam tangan kanan Gempar Bumi! Sungguh dahsyat
jurus "Mencakar Kepala Ular Naga, Merampas Busur Pemanah",
yang telah dilancarkan Gempar Bumi tadi.
Jurus itu adalah salah satu jurus terhebat dari "Ilmu Silat
Harimau".
"Apakah masih belum mau bunuh diri?!" ejek Gempar
Bumi.
Inyak Nini tidak menjawab. Lututnya menekuk dan
tubuhnya perlahan-lahan turun ke bawah macam orang
hendak roboh. Tapi mendadak diiringi satu lengkingan
dahsyat perempuan ini melompat ke muka, hantamkan
kedua tinju kiri kanan dan lancarkan dua tendangan su-
sul menyusul! Ini adalah satu serangan percuma saja.
Rasa marah, dendam kebencian yang bertumpuk di hati
Inyak Nini membuat dia lupa memperhitungkan bahwa
lawannya tidak lagi bertangan kosong saat itu, tapi
menggenggam pedang perak miliknya sendiri!
Sekali Gempar Bumi memutar pedang, maka terdengarlah
raungan Inyak Nini. Kedua lengannya terbabat
putus, salah satu kakinya luka parah!
Mayang menjerit lalu menangis tersedu-sedu!
Inyak Nini terhampar di lantai pondok. Tubuhnya
berkelojotan beberapa detik kemudian diam tak berkutik
lagi
Gempar Bumi melangkah cepat-cepat ke hadapan
tubuh Mayang dan memanggul gadis yang telah hilang
keperawanannya itu.
"Bunuh aku! Bunuh aku keparat!"
"Kau terlalu banyak rewel!" hardik Gempar Bumi
dan menotok jalan darah di leher Mayang hingga Mayang
di samping, kaku tak bisa bergerak kini juga tak dapat keluarkan
suara!
Di ambang pintu Gempar Bumi hentikan langkahnya
dan memandang dengan sorot mata melotot pada Sati
yang berdiri dengan paras pucat.
"Kesalahanmu terlalu besar Sati...!"
Sati menjatuhkan dirinya dan menangis macam
anak kecil. "Harap kau sudi mengampuni aku. Gempar
Bumi," pintanya.
"Aku ampuni jiwamu! Tapi lekas korek salah satu
matamu yang suka mengintip itu! Lekas!"
"Gempar Bumi!" Sati menggerung dan bersujud.
"Keparat! Lekas korek matamu," bentak Gempar
Bumi. "Atau aku sendiri yang akan mengorek keduaduanya
sekaligus?!"
Sati maklum tak ada lagi keringanan baginya. Daripada
hilang dua mata atau hilang jiwa lebih baik dia
cepat-cepat mengorek salah satu matanya! Dengan jarijari
tangan kanan Sati kemudian menusuk mata kirinya.
"Craas!"
Biji mata itu mencelat ke luar bersama busaian darah.
Sati terduduk di ambang pintu; merintih-rintih menahan
sakit yang tiada taranya!
"Itu lebih bagus bagimu daripada mampus!" kata
Gempar Bumi pula. Lalu dengan tubuh Mayang di bahunya
dia segera hendak tinggalkan tempat itu. Namun
langkahnya terhenti. Kedua kakinya laksana dipakukan
ke tanah! Di Timur pondok terdengar suara orang membentak.
"Manusia jahanam! Berani bergerak satu langkah
saja kupecahkan batok kepalamu!"
Waktu suara teriakan orang di malam buta itu belum
habis gemanya ketika tahu-tahu sesosok tubuh sudah
berdiri tujuh langkah di hadapan Gempar Bumi!
Paras Gempar Bumi mendadak sontak berubah pucat
putih laksana kain kafan! Mayang dengan susah
payah coba putar mata memandang ke muka! Satu
harapan muncul di hatinya sewaktu melihat bahwa yang
datang itu benarlah orang yang diduganya. Kalau saja
mulutnya sanggup bersuara pastilah dia akan berseru
memanggil nama orang itu!
"Turunkan gadis itu...! Cepat!"
"Bangsat! Dia milikku! Kalau kau inginkan dia silahkan
ambil sendiri!" jawab Gempar Bumi. Lalu tak ayal
lagi segera dia cabut Keris "Si Penyingkir Jiwa".
"Dajal bermuka manusia, kali ini jangan harap ada
ampun bagimu!" Orang ini hantamkan tangan kanannya
ke arah kaki Gempar Bumi. Satu gumpalan angin yang
bertenaga tiga perempat tenaga dalam menyambarde-
ngan cepat! Gempar Bumi buru-buru melompat. Teng-
kuknya terasa dingin ketika memandang ke bawah dan
melihat bekas angin pukulan lawan! Tanah dan pasir ber-
muncratan. Sebuah lobang besar kelihatan di tanah! Itu-
lah akibat pukulan "Kunyuk Melempar Buah" yang telah
dilepaskan oleh si pendatang tadi yang bukan lain Pen-
dekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng adanya!
Menghadapi lawan tangguh berkepandaian tinggi
dengan memanggul tubuh Mayang tentu saja sangat ber-
bahaya bagi Gempar Bumi. Maka sebelam Wiro kembali
lancarkan serangan. Gempar Bumi sudah meletakkan
tubuh Mayang di tanah.
Sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang hebat!
Kalau dalam pertempuran pertama dulu kelihatannya agak
seimbang itu adalah karena Wiro masih memberi hati
terhadap Gempar Bumi. Tapi hati ini tak ada lagi segala
macam belas kasihan di hati Pendekar 212 Wiro Sableng.
Melihat tubuh Mayang yang hanya tertutup sehelai mantel
dia sudah tahu apa yang dilakukan Gempar Bumi terhadap
gadis itu!
Sebenarnya, di satu tempat pada malam itu Wiro sudah
berniat menghentikan pengejarannya terhadap Gempar
Bumi. Sementara dia mencari tempat yang baik untuk tidur
tapi lapat-lapat didengarnya suara teriakan, suara
pekik raungan. Suara itu didengarnya sampai berulang
kali dan dari arah yang sama! Penuh curiga, Wiro lak-
sana terbang segera lari ke jurusan sumber suara. Dia
berada beberapa puluh tombak, di satu pedataran tinggi
sewaktu di ambang pintu sebuah pondok yang diterangi
oleh pelita dilihatnya berdiri seorang laki-laki berpakaian
hitam, memanggul sesosok tubuh! Meski dalam jarak sejauh
itu Wiro tak dapat melihat jelas tampang manusia itu
namun dia yakin, orang ini pastilah Gempar Bumi!
Keris hitam di tangan Gempar Bumi laksana puluhan
buah banyaknya. Serangannya mencurah seperti hujan
deras! Tak jarang sekaligus dia mengirimkan beberapa
buah tusukan dalam satu jurus serangan! Betapapun
hebatnya Gempar Bumi, namun segala kehebatannya Hu
hanya sepuluh jurus saja sanggup diperlihatkannya. Jurusjurus
berikutnya dia telah kena didesak hebat oleh
permainan silat "Orang Gila" yang mulai dikembangkan
Wiro. Dalam keadaan terdesak Gempar Bumi lepaskan...
senjata rahasianya. Tapi tiada guna Sekali Wiro hantamkan
telapak tangan kirinya ke muka jarum-jarum hitam itu
bermentalan kian ke mari!
"Aku minta tangan kirimu dulu, Gempar bumi!" kata
Wiro. Tubuhnya maju cepat ke muka dalam gerakan yang
terhuyung-huyung. Gerakan ini bagi Gempar Bumi merupakan
suatu gerakan yang sangat mudah untuk diserang!
Segera dia tusukkan Keris Penyingkir Jiwa ke
dada lalu setengah jalan robah menusuk ke kepala! Namun
dalam gerakan yang tak teratur Wiro berhasil mengelit
tusukan itu.
Dan Gempar Bumi memekik keras sewaktu tahutahu
tangan lawan telah mencengkeram lengan kirinya!
Gempar Bumi menusuk lagi dengan kalap. Tapi
tubuhnya terbanting ke kanan dan "Kraak!"
"Suara "kraak" itu disusul dengan suara pekikan setinggi
langit dari mulut Gempar Bumi! Lengan kirinya sebatang
bahu tanggal, daging dan urat-urat berbusaian!
Darah memancur! Laki-laki ini menjerit-jerit kesakitan!
"Berteriaklah memanggil majikanmu Datuk Sipatoka!"
ejek Wiro. Tiga jari tangan kirinya menyusup ke
depan.
"Kraak!"
Untuk kedua kalinya terdengar lagi pekik Gempar
Bumi. Dua buah tulang iganya yang sebelah kanan
patah!
"Kau akan mampus dengan menderita lebih dulu,
Gempar Bumi keparat! Kau akan terima imbalan atas
dosa-dosa kejimu!" Kembali dengan mengeluarkan
jurus-jurus silat Orang Gila yang dipelajarinya dari Tua
Gila, Wiro tusukkan lagi dua jari tangan kanannya.
"Craas!"
, Gempar Bumi melolong.
Biji matanya yang sebelah kanan berbusaian keluar.
Tubuhnya terhuyung nanar.
"Sati! Bantu aku!" teriak Gempar Bumi.
Tapi Sati sudah sejak lama terhampar di muka pintu
pondok dalam keadaan pingsan!
"Kenapa tidak minta bantuan pada setan-setan
penghuni sekitar tempat ini?! Bukankah kau manusia turunan
iblis juga hah?!" bentak Wiro dan melangkah mendekati
Gempar Bumi.
Gempar Bumi mundur terus. Tiba-tiba kakinya menginjak
sesuatu dan tak ani pun lagi tubuhnya tergelimpang
jatuh punggung menimpa sesosok tubuh. Muianya disangkanya,
tubuh yang terhimpit badannya itu adalah tubuh
Sati tapi ketika ditolehnya ternyata tubuh Mayang.
Satu pikiran terlintas di kepala Gempar Bumi. Meski
bagaimanapun dia tak ada harapan untuk hidup!
"Pemuda keparat! Kau inginkan perempuan ini!
Ambillah!" teriak Gempar Bumi dan serentak dengan itu dihunjamkannya
Keris Si Penyingkir Jiwa ke dada Mayang!
Laksana orang kemasukan setan Wiro Sableng meraung!
Seantero bergetar! Sinar putih melesat menyambar
ke arah Gempar Bumi! Laki-laki ini coba membuang
diri ke samping untuk menghindarkan Pukulan Sinar Matahari
itu tapi sia-sia saja! Sebagian dari tubuhnya kena
tersambar dan hangus hitam! Gempar Bumi menjerit.
Terguling di tanah sampai enam tombak dan mengerang
kesakitan. Meski dalam beberapa kejap mata lagi Gempar
Bumi akan segera menghembuskan nafas penghabisan
namun Wiro masih belum puas. Dia melompat
ke muka, mencengkeram rambut dan dada Gempar
Bumi. Terdengar suara patahnya tulang leher manusia
terkutuk itu! Tamatlah riwayat kedurjanaan Gempar
Bumi!
Wiro Sableng lari menghampiri Mayang. Dipangkunya
gadis ini. Darah telah membasahi dada yang tiada
tertutup apa-apa. Wiro tak mem perduIikan darah yang
membasahi pula pakaiannya.
"Mayang..." bisiknya.
"Mayang," panggil Wiro lebih keras. Diusapnya kening
dan rambut perempuan itu. Sepasang mata Mayang
membuka sedikit. Yang kelihatan lebih banyak putihnya
daripada hitamnya.
"Wi... ro...." Mata yang sudah mengabur itu masih
sanggup juga mengenali wajah di depannya. "Sakit sekali
rasa... nya...."
"Kau... kau akan kuobati. Kau akan sembuh," kata
Pendekar 212 tersendat-sendat karena dia tahu katakatanya
itu tak bakal menjadi kenyataan.
Mayang juga tahu ajalnya akan sampai. Seulas
senyum muncul di bibirnya. Dan pada kejap matanya ditutupkan,
nafasnya berhenti. Malaekat maut telah mengambil
nyawanya. Dia mati dengan senyum masih membayang
di bibirnya yang mungil dan agak membuka sedikit.
Wiro tak tahu entah sudah berapa lama dia merangkuli
tubuh yang tidak bernafas dan mulai mendingin itu.
Dia baru sadar ketika di ufuk Timur kelihatan sinar terang.
Ternyata fajar telah menyingsing. Dipandanginya
lagi wajah Mayang dikeheningan pagi yang segar. Perlahan-
lahan ditundukkannya kepalanya dan diciumnya
bibir yang membuka itu dengan segala rasa kasih dan
mesra. Kemudian diangkatnya tubuh Mayang, dibawanya
ke pondok. Di pintu pondok tergelimpang tubuh Sati
yang masih dalam keadaan pingsan. Wiro gerakkan kaki
kanannya. Tubuh Sati mencelat mental, dadanya remuk.
Dan kalau tadi tubuhnya tak bergerak karena pingsan
maka kali ini tubuh itu tak berkutik lagi tanpa nafas!
Di dalam pondok Wiro menemui mayat seorang perempuan
tua: Dia tak tahu siapa perempuan tua ini adanya
tapi sepintas lalu saja Wiro sudah maklum bahwa perempuan
tua itu seorang yang berilmu tinggi dan dari golongan
putih. Karenanya sesudah menggali kubur untuk
Mayang, digalinya lagi sebuah kubur lain untuk perempuan
tua itu. Dan bila sang surya muncul menerangi jagad
raya maka di muka pondok di tepi sungai itu
kelihatanlah dua buah kuburan saling berdampingan....
Matahari berada di titik tertingginya tanda saat itu tengah
hari tepat. Angin dari barat bertiup keras, menggoyang dan
melambai-lambaikan segala daun-daun pepohonan hingga
menimbulkan suara gemerisik yang keras. Pendekar 212
Wiro Sableng berdiri di satu pedataran tinggi. Tak d i perdu I
ikannya keterjkan sinar matahari. Tak diacuhkannya butirbutir
keringat yang turun mendekati alis matanya yang
tebal. Juga tak di perdulikannya hembusan angin yang
keras. Seperti tak terdengar di telinganya suara gemerisik
daun-daun pepohonan. .
Sepasang mata dan perhatian Pendekar 212 tertuju
lurus-lurus ke muka. Jauh di hadapannya menjulang se-
buah bukit putih. Oi sebelah Timur kaki bukit putih tam-
pak sebuah bangunan besar yang juga berwarna putih,
dikelilingi oleh pagar tinggi putih. Wiro memandang lagi
ke bukit putih itu. Dia tahu bukit itu kalau didekati bukan
lain dari tumpukan tulang belulang dan tengkorak manusia
yang jadi korban Datuk Sipatoka dan anak buahnya! Berapa
ribukah manusia yang telah menjadi korban keganasan
itu?! Berapa ribukah tulang belulang dan tengkorak
manusia ditumpuk demikian rupa hingga kemudian
menjadi sebuah bukit yang mengerikan? Bukit Tambun
Tulang?!
Wiro memperhatikan baik-baik rumah besar dan sekitarnya.
Rumah besar ini beratap seperti tanduk kerbau.
Pada masing-masing ujung terdapat sebuah tangga sedang
di bagian samping terdapat lagi empat buah tangga
yang menghubungkan tanah dengan pintu rumah besar.
Yang membuat Wiro Sableng merasa aneh ialah karena
matanya tidak melihat seorang manusia pun baik di
dalam atau di luar pagar putih yang tinggi itu! Kenapa
suasana begini tenangnya di tempat yang dikabarkan
paling mengerikan dan membawa maut?! Atau mungkin
itu bukan bukit Tambun Tulang yang di hadapannya?!
Wiro tak mau membuang waktu lebih lama untuk
tenggelam dalam Segala macam pikiran begitu rupa. Diperbaikinya
letak Kapak Maut Naga Geni 212 yang tersisip
di pingang di balik baju putihnya. Kemudian diambilnya
buntalan yaag terletak dekat kakinya dan sekali berkelebat
dia sudah melompat sejauh delapan tombak, terus
lari laksana tiupan angia menuruni lereng pedataran
tinggi.
Ketika dia sampai ke pagar putih itu suasana masih
tenang-tenang saja seperti sediakala. Dan waktu memandang
ke muka terkejutlah Wiro. Ternyata pagar putih
itu terbuat dari susunan tulang belulang dan tengkorak
manusia! Wiro tekaakaa telapak tangan kirinya ke pagar
tulang belulang dan «jeodareng. Astaga! Pagar itu kokoh
luar biasa! Wiro lipat gandakan tenaga dalamnya!
Tetap saja pagar itu tak bergerak apalagi bobol!
Wiro memandang berkeliling lalu mendongak ke
atas. Menurut taksirannya pagar itu setinggi dua puluh
tombak lebih. Bagian atasnya rata oleh susunan tengkorak
kepala manusia. Wiro melompat ke cabang sebuah
pohon besar. Dia melompat-lompat di atas cabang
itu beberapa kali untuk menambah daya lenting cabang
lalu dengah satu gerakan yang lebih keras maka tubuhnya
terlempar melesat ke atas susunan tengkorak. Setelah
meneliti beberapa saat lamanya baru Wiro melayang
turun ke halaman dalam
Begitu kakinya menginjak tanah kembali dia meneliti
keadaan sekitarnya. Rasa ngeri menyelinap di hati
pendekar ini sewaktu mengetahui bahwa rumah besar
yang terletak tiga puluh tombak di hadapannya ternyata
dari tiang-tiang sampai ke atapnya terbuat dari tulang
belulang dan tengkorak manusia!
Belum lagi Pendekar 212 sempat menindas rasa
ngeri ini mendadak semua pintu dan jendela-jendela rumah
besar terpentang lebar! Terdengar suara mengaum
dahsyat laksana halilintar! Tanah yang dipijak Wiro Sableng
bergetar hebat! Sekejap kemudian dari pintu-pintu
dan jendela-jendela rumah besar berserabutan ke luar
puluhan ekor harimau besar, mengaum memperlihatkan
taringnya yang besar runcing lalu serempak menyerbu
ke arah Wiro Sableng!
Wiro sadar kalau dia lelah masuk ke dalam perangkap
kematian! Segera dia songsong serangan harimau
itu sekaligus! dengan dua pukulan "Kunyuk Melempar
Buah!" Belasan harimau terdorong dan terpelanting tapi
sesaat kemudian dengan serempak mereka telah me-
nyerang kembali! Dan sewaktu sekilas Wiro memandang
berkeliling kejutnya bukan olah-olah! Seluruh halaman
itu telah penuh dengan harimau! Dia merasa laksana berada
di tengah lautan harimau! Dan kesemua binatang itu
sama-sama menyerbu, bersirebut Cepat untuk merobek
atau menerkam tubuhnya!
Melihat gelagat maut ini Wiro segera cabut Kapak
Naga Geni 212. Kapak di tangan kanan dan Pukulan
Sinar Matahari siap di tangan kiri maka Wiro Sableng
mulai bergerak menghadapi puluhan harimau!
Melihat kilauan dan angin deras ganas yang keluar
dari Kapak Naga Geni 212, binatang-binatang itu tampak
tertegun dan bersurut mundur. Tapi cuma beberapa ketika
saja. Sesaat kemudian mereka sudah menggerung
dan menyerbu kembali. Wiro kiblatkan Kapak Naga Geni
212 dan hantamkan tangan kiri! Lima ekor harimau mengaum
dahsyat dan rebah bermandikan darah kena disambar
Kapak Naga Geni 212. Kira-kira selusin lainnya
mati hangus dilanda Pukulan Sinar Matahari! Jika dia
menghadapi seorang manusia mungkin dia sudah bertempur
seratus jurus lebih! Puluhan ekor harimau telah
dttewaskannya! Namun yang masih tinggal menyerang
lebih ganas lagi laksana kemasukan roh gaib karena
melihat genangan darah kawan-kawan mereka!
Wiro putar terus Kapak Naga Geni 212 dan tangan
kirinya tiada henti memukul ke depan atau ke belakang.
Akhirnya lima belas ekor harimau yang masih hidup
yang menjadi ngeri melihat amukan pemuda ini bersurut
mundur. Setelah sama-sama menggerung kesemuanya
melompat masuk ke dalam rumah besar dan di saat itu
pula semua jendela serta pintu tertutup kembali! Melihat
ini Wiro segera tahu bahwa seseorang telah menggerakkan
alat rahasia untuk membuka dan menutup pintu!
Tapi di mana orangnya sembunyi dia tidak tahu. Dan
agaknya Wiro tidak memperdulikan lagi hal itu. Tubuhnya
terasa letih! Keringat membasahi pakaiannya. Tulang-
tulangnya laksana bertanggalan dari persendian.
Kejurusan mana saja dia memandang hanya bangkaibangkai
harimau yang kelihatan. Dan suasana yang diliputi
kesunyian itu membuat Wiro benar-benar jadi bergidik!
Keletihan membuat dia duduk terhenyak di tanah.
Sambil mengatur jalan nafas dan darah serta mengembalikan
tenaganya kedua matanya senantiasa berlaku
awas. Entah perangkap apa lagi yang bakal meng-
hadangnya!
Bila dirasakannya kekuatannya sudah putih maka
Wiro segera menyelidiki keadaan rumah besar tempat
sarang harimau-harimau itu. Tak kelihatan tanda-tanda
adanya manusia di situ tapi Wiro yakin bahwa setiap
gerak pasti tengah diawasi orang dari tempat yang tersembunyi!
Sementara itu kedua kakinya telah kotor oleh
genangan darah harimau dan tanah yang sudah menjadi
lumpur akibat darah binatang-binatang itu!
Wiro Sableng akhirnya hentikan penyelidikan. Dia
mendongak ke atas, dengan kerahkan tenaga dalam dia
berteriak:
"Datuk Sipatoka! Beginikah caranya kau menyambut
tamu yang datang untuk menyelesaikan urusan? Harap
ke luar perlihatkan dirimu...!"
Baru saja Wiro berteriak begitu tiba-tiba dirasakannya
tanah berlumpur yang dipijaknya bergetar. Kedua kakinya
laksana disedot! Wiro melompat ke salah sebuah tangga
rumah besar yang terbuat dari tulang! Kejutnya bukan alang
kepalang. Halaman di mana bergelimpangan puluhan
harimau itu kelihatan mencekung memanjang dari Utara ke
Selatan dan pada pusatnya membentuk sebuah lobang
besar. Telinganya menangkap suara berkereketan. Astaga
rumah besar di mana dia berada sedikit demi sedikit
amblas sedang bangkai-bangkai harimau bergelindingan ke
pusat cekungan.
"Gendeng betul!" maki Wiro. Cepat-cepat dia melompat
ke atas atap rumah yang berbentuk tanduk ker bau dan dari
sini melompat lagi ke puncak pagar tengkorak! Sewaktu dia
sampai di atas puncak pagar da memandang ke bawah,
seperti mimpi dia rasanya. Rumah besar dan bangkaibangkai
harimaa lenyap! Yang kelihatan kini ialah sebuah
halaman rata yang tertutup rumput hijau! Wiro menggosok
matanya Digigitnya bibirnya. Terasa sakit. Dia tidak
bermimpi! Tapi bagaimana keanehan ini bisa terjadi?!
Dalam selubungan rasa heran dan terkejut itu tiba-tiba
dia melihat sebuah pintu di kaki pagar sebelah Timur. Tadi
sama sekali tidak dilihatnya pintu itu, kini kenapa tahu-tahu
sudah terpampang begitu rupa! Lagi-lagi, keanehan yang
tak bisa dimengerti oleh Wiro. Dan mendadak pintu itu
terbuka. Wira cepat raba Kapak Naga Geni 212-nya.
Ampun! Yang muncal bukan bahaya yang dikhawatirkannya
tapi dua orang gadis jelita berpakaian kuning
bergemerlapan ditimpa sinar matahari. Keduanya
melangkah di halaman berumput dan berhenti cepat di
tengah-tengah. Mereka mendongak ke arah ujung pagar
tempat Wiro berdirj dengan bantalan di tangan kiri lalu
salah seorang di antaranya berseru.
'Tamu berpakaian putih-putih silahkan turun!"
"Kalian siapa?!" tanya Wiro.
"Kami adalah pesuruh-pesuruh Datuk Sipatoka!"
"Kalau begitu katakah padanya bahwa aku hendak
bertemu dengan dia."
'Turunlah! Kami antarkan kau padanya!"
Wiro berpikir sejenak. Seruan dara jelita itu kerasnya
bukan main, menggetarkan pagar tulang belulang di mana
dia berada. Bukan mastahil dengan mengandalkan kedua
dara berbaju kuning ini musuh hendak memasang
perangkap baru baginya!
"Suruh saja Datuk Sipatoka datang ke sini!" ujar Wiro.
Jelas kelihatan pembahan pada wajah kedua dara
berpakaian kuning.
"Nyalimu besar sekali! Tapi mengapa disuruh turun
untuk diantar menghadap Batak Sipatoka kau tak
mempunyai keberanian sama sekali?!"
"Sialan! Kalau aku tak punya keberanian masakan mau
datang kemari?! Lekas panggil Datukmu! Katakan aku
membawa oleh-oleh bagus untuknya!"
Kedua dara berpakaian kuning kerutkan kening. Yang
seorang, yang sejak tadi berdiam diri saja tiba-tiba buka
mulut keluarkan suara:
"Sekali kau bisa datang ke sini jangan kira sanggup
ke luar hidup-hidup!"
Wiro Sableng tertawa. "Setiap ada datang musti ada
pergi! Setiap ada masuk musti ada keluar!"
Si dara baju kuning mendengus.
"Apa matamu buta, tidak melihat keadaan sekitarmu?!"
Wiro tersentak dan memandang berkeliling. Tak ada
hal-hal yang mencurigakan yang dilihatnya. Tapi hidungnya
mencium hawa aneh yang membuat sendi-sendi di sekujur
tubuhnya menjadi linu kesemutan dan jantungnya bergetar.
Ditelitinya lagi keadaan sekelilingnya. Dan kali ini
terkejutlah dia! Sekeliling pagar tinggi itu terselimut
semacam asap tipis yang tak akan kelihatan bila tidak
diperlihatkan sungguh-sungguh. Asap tipis aneh inilah yang
mengeluarkan hawa yang tercium oleh Wiro.
Di bawahnya terdengar suara bergelak sang dara baju
kuning.
"Sekali kau berani melompat coba menerobos Asap
Seribu Tulang itu, kau akan lumpuh cacat seumur hidup!
Lekas turuni"
Wiro tahu bahwa ucapan itu bukan sekedar untuk
menakut-nakutinya. Dia telah rasakan sendiri kehebatan
asap itu. Pemandangannya agak berkunang-kunang sedang
debaran jantungnya bertambah keras! Heran, padahal
dia telah digembleng demikian rupa hingga kebal
terhadap segala macam racun tapi mengapa asap seribu
tulang itu masih sanggup mempengaruhinya?!
Dengan kertakkan rahang Wiro Sableng melompat
turun. Untuk beberapa detik lamanya dia saling pandang
memandang dengan kedua dara baju kuning. Dan dalam
hatinya Wiro berkata: "Buset, gadis-gadis begini cantik
jadi pesuruh Datuk Sipatoka! Geblek betul!" Agaknya kedua
gadis pun lelah terpesona melihat kegagahan tampang
Pendekar 212. Namun yang seorang segera membentak:
"Lekas ikut kami!"
"Awas! Kalau kalian menjebakku, kalian akan mampus
percuma!" peringatkan Wiro.
Kedua gadis tak berkata apa-apa dan melangkah
menuju pintu di sebelah Umur, Wiro mengikuti di belakang
penuh waspada. Tangan kanannya senantiasa
siap dekat hulu Kapak Naga Geni 212 untuk menjaga segala
kemungkinan yang ada! Mereka memasuki pintu di
sebelah Timur pagar tulang belulang. Begitu masuk begitu
pintu tertutup dengan sendirinya. Wiro melipat gandakan
kewaspadaannya. Sepuluh langkah meninggalkan
pintu terdapat tangga tulang yang menurun ke bawah,
disusul oleh sebuah lorong sepanjang dua puluh
tombak. Lorong itu kemudian bercabang dua. Kedua
dara baju kuning membelok ke kiri. Wiro mengikuti.
Tengkuknya terasa dingin sewaktu memasuki lorong ini.
Lorong ini baik bagian lantai maupun atas serta samping
dilapisi dengan tulang-tulang manusia, dihias dengan
beberapa tengkorak kepala yang dibuat sedemikian rupa
hingga seperti bunga!
Lewat sepeminum teh Wiro merasa tambah tidak
enak.
"Ini ke mana?!" tanyanya.
"Jangan banyak tanya! Ikut sajalah!" sentak dara
baju kuning paling muka.
Tak lama kemudian lorong Hu sampai juga ke ujungnya.
Sebuah pintu gerbang kelihatan di depan, dikawal oleh dua
orang dara berbaju kuning dan dua ekor harimau yang luar
biasa besarnya, jauh lebih besar dari harimau-harimau yang
telah dihadapi Wiro sebelumnya! Ketika Wiro memandang
ke bagian atas pintu gerbang tulang belulang ilu, di situ
terdapat rentetan huruf-huruf yang terbuat dari tulangtulang
iga manusia yang berbunyi : ISTANA SIPATOKA.
Pintu gerbang Hu diberi hiasa gaba-gaba untaian
tulang-tulang manusia. Kedua gadis menyibakkan gabagaba
ini laju memberi jalan pada Wiro Sableng.
Pendekar 212 tak segera masuk. Dia memandang ke
dalam dengan mata menyelidik dan terkesiap. Di hadapan
pintu gerbang itu terhampar sebuah halaman berumput
yang dihias arca-arca besar yang terbuat dari tulang
belulang! Di seberang halaman berumput kelihatan bagian
depan sebuah bangunan yang sangat indah yang atapnya
berbentuk tanduk kerbau. Seluruh bangunan terbuat dari
tulang putih, diukir-ukir. Meskipun indah tapi keindahan itu
dibayangi kengerian bagi Pendekar 212.
"Ayo masuk!" seru dara baju kuning.
Wiro menggigit bibir. Meski hatinya bimbang untuk
masuk tapi sudah terlambat untuk kembali. Dengan kuatkan
hati besarkan nyali tapi juga penuh waspada Pendekar
212 memasuki pintu gerbang Istana Sipatoka.
Sampai di hadapan tangga gedung besar dari tulang
belulang kedua gadis baju kuning hentikan langkahnya.
'Terus masuk ke ruang tengah. Datuk Sipatoka telah
menanti kedatanganmu!" kata salah seorang dari daradara
baju kuning.
"Kalian sendiri mau ke mana?"
"Apa urusanmu?!"
Wiro memaki dalam hati. Sepasang matanya meneliti
suasana sebentar lalu menaiki tangga. Dilewatinya
ruangan muka dan sesaat kemudian dia sudah berada di
satu ruangan tengah yang amat luas. Kira-kira dua puluh
orang kelihatan duduk di ujung dalam ruangan, di atas
kursi-kursi yang terbuat dari tulang-tulang kaki, tulang iga
dan tulang punggung manusia! Semuanya berpakaian
hitam, hanya seorang yang berpakaian lain dari yang lain.
Orang yang berpakaian lain dari yang lain ini duduk
di deretan terdepan sebelah tengah. Tubuhnya cebol sekali,
demikian cebolnya hingga kedua kakinya tidak
mencapai lantai ruangan! Tidak berpadanan dengan tubuhnya
yang cebol itu, kepalanya amat besar sekali, demikian
juga telinganya. Rambutnya panjang menjulai
bahu, kumis tebal melintang dan janggut macam janggut
kambing! Sepasang matanya yang merah menyorot tajam,
keseluruhan air muka manusia ini membayangkan
kebengisan!
Inikah Datuk Sipatoka? Pikir Wiro. Kalau betul maka
melesetlah dugaannya. Sebelumnya dia menduga manusia
bernama Datuk Sipatoka itu bertubuh tinggi kekar,
tapi nyatanya cebol begitu rupa.
Di samping potongan tubuh dan raut wajahnya yang
bengis itu ada beberapa hal yang menjadi perhatian Wiro
Sableng. Yang pertama ialah pakaian manusia cebol ini.
Dia mengenakan jubah pendek macam rok bertangan
panjang yang terbuat dari kulit harimau, kuning berbelang
hitam. Di seluruh pakaiannya ini bergantungan puluhan
keris-keris emas berhulu gading, tanpa sarung dan
panjangnya kira-kira tiga perempat jengkal! Itulah hal
kedua yang menarik perhatian Wiro. Hal ketiga ialah
kedua tangan manusia ini yang berwarna hitam legam
tanda dia memiliki semacam ilmu pukulan yang hebat
dan mengandung racun jahat!
Wiro berdiri di tengah ruangan besar itu, sejauh dua puluh
tombak dari deretan kursi terdepan. Suasana sesunyi di
pekuburan. Tak ada yang bergerak, tak ada yang buka
suara. Hanya pandangan-pandangan mata yang saling
bentrokan dengan pandangan mata Wiro Sableng! Ketika
hampir setengah peminum teh suasana masih sunyi juga,
Wiro akhirnya berkata:
"Apakah aku berhadapan dengan Datuk Sipatoka
dari Tambun Tulang?!"
Si tubuh cebol kepala besar memandang lekat-lekat
pada Wiro lalu tengadahkan kepala dan tertawa gelakgelak!
Suara tertawanya demikian dahsyat hingga menggetarkan
sekujur tubuh Wiro Sableng dan menyendatnyendat
jalan darahnya. Buntalan di tangan kirinya kalau
saja tidak dipegangnya erat-erat pastilah akan terlepas!
Wiro kaget bukan main! Cepat-cepat dia kuasai jalan
darah dan kerahkan tenaga dalam untuk menolak
gempuran suara tawa yang dahsyat itu.
"Istana Sipatoka di bawah bukit Tambun Tulang!
Siapa datang jangan harap bisa pulang!" si cebol kepala
besar tiba-tiba keluarkan suara. Kata demi kata yang diucapkannya
itu laksana genta yang memukul jalan pendengaran
Wiro Sableng hingga kembali pendekar ini merasa
tergetar sekujur tubuhnya. Cepat-cepat pula Wiro
lipat gandakan tenaga dalamnya kembali.
Dan di hadapan sana Datuk Sipatoka kembali buka
suara. Ucapan-ucapannya laksana bait-bait pantun.
"Delapan puluh lima harimau pengawal Istana Sipatoka
telah musnah! Halaman luar banjir darah! Entah apa
pangkal sebabnya. Hingga tamu tak dikenal berbuat
demikian rupa?!"
Wiro kerenyitkan kening mendengar ucapan-ucapan
berpantun ini. Setelah merenung sejenak maka dia pun
menjawab dengan ucapan berpantun pula!
"Jauh berjalan menyeberangi samudera. Mengarung
maut mengadu jiwa. Kalau tidak ada pangkal sebabnya.
Masakan mau berbuat sedemikian rupa?"
Semua orang kelihatan saling berpandangan sedang
Datuk Sipatoka sendiri naikkan sepasang alis matanya.
Dan saat itu Wiro berkata pula:
"Delapan puluh lima harimau mati percuma! Pemiliknya
bertanya berpura-pura. Kenapa tamu tak dikenal berbuat
begitu rupa? Padahal dia yang memulai silang sengketa?!"
Datuk Sipatoka berbatuk-batuk lalu menjawab:
"Silang sengketa apa gerangan adanya! Berhadapan pun
baru hari ini! Kalau sudah bosan hidup katakan saja!
Mengapa datang sengaja mencari mati?!"
Wiro tertawa mengekeh.
"Datuk Sipatoka! Aku muak bicara berpantun-pantun
macam orang main sandiwara tapi untuk mengusut urusan
yang telah kau buat di Pulau Madura!"
"Urusan apa, hai orang gila?!" tanya Datuk Sipatoka yang
saat itu masih merah mukanya karena ucapan Wiro tadi.
"Di Pulau Madura kau telah membunuh seorang bernama
Kiai Bangkalan dan mencuri sebuah kitab miliknya!"
Paras Datuk Sipatoka berubah. Lalu dia tertawa
gelak-gelak untuk melenyapkan perubahan paras itu!
"Jangan bicara tak karuan di sini! Apa kau punya
bukti atas tuduhanmu itu?!"
"Dua buah keris yang menancap di mata Kiai Bangkalan
sama dengan keris-keris yang bergelantungan
dipakaianmu!" sahut Wiro Sableng.
"Ocehanmu bagus sekali!" tukas Datuk Sipatoka.
Wiro menyeringai.
"Kita akan lihat aku yang mengoceh atau kau yang
berkicau macam burung kehilangan sarang!" Habis berkata
begitu Wiro keruk saku bajunya dengan tangan kanan
dan melemparkan sebuah benda ke hadapan kaki
Datuk Sipatoka. Benda itu adalah robekan kulit harimau
yang ditemui Wiro dipertapaannya Kiai Bangkalan di
Pulau Madura tempo hari.
"Itu adalah robekan pakaianmu yang kutemui di
tempat Kiai Bangkalan! Apakah kau masih mau mungkir?
Terlalu pengecut seorang sepertimu mencoba untuk
mungkir!"
Air muka Datuk Sipatoka membesi.
"Katakan siapa namamu dan apa sangkut pautnya
dengan Kiai Bangkalan?!"
"Namaku telah kusampaikan beberapa hari yang lalu
lewat seorang anak buahmu," sahut Wiro seraya
memandang berkeliling lalu menunjuk pada seorang lakilaki
yang di keningnya tertera tiga buah angka 212. Lakilaki
inilah yang memiliki pondok di tepi sungai yang telah
dipergunakan Gempar Bumi untuk memperkosa Mayang."
Datuk Sipatoka tidak palingkan kepala. Dia memang
telah mendapat laporan dari anak buahnya itu tapi tidak
menyangka kalau inilah pemudanya yang telah "mengukir"
tiga buah huruf itu di kening anak buahnya!
"Dan tentang sangkut pautnya dengan Kiai Bangkalan,
bukan urusanmu untuk menanyakan!"
"Pemuda nyalimu setinggi gunung! Kau toh tidak
mempunyai tiga kepala enam tangan?! Mungkin hendak
mengandalkan ilmu silat dan kesaktian? Jauh-jauh datang
ke mari hanya untuk mencari mati!"
Wiro tertawa dingin.
Ini membuat Datuk Sipatoka menjadi naik darah. Dia
memandang berkeliling. Namun sebelum dia memerintah
anak buahnya untuk turun tangan Wiro Sableng memotong:
"Datang jauh-jauh aku tidak bertangan kosong, Datuk.
Sengaja aku membawa oleh-oleh untukmu!"
Setelah berkata begitu Wiro lemparkan buntalan yang
sejak tadi dipegangnya di tangan kiri.
"Apa ini?!".sentak Datuk Sipatoka.
"Silahkan buka sendiri!" jawab Wiro seenaknya.
Meski hatinya teramat geram namun Datuk Sipatoka
berikan isyarat pada seorang anak buahnya. Anak buahnya
ini segera berdiri dari kursi, melangkah dan membungkuk
membuka ikatan buntalan yang terletak dihadapan kaki
Datuk Sipatoka.
Begitu buntalan terbuka maka gemparlah seisi ruangan!
Yang terbungkus dalam buntalan itu ternyata adalah
kepala manusia! Matanya sebelah kanan hanya merupakan
rongga besar yang tergenang darah beku dan serabutan
urat-urat. Seluruh muka berselimutkan darah yang
mengering! Meski kepala itu sudah demikian rusak
dan busuk namun tak ada satu orang pun di ruangan tersebut
yang tak mengenalinya! Kepala itu adalah kepala
Gempar Bumi! Pembantu utama Datuk Sipatoka!
Datuk Sipatoka dikungkung pelbagai macam rasa.
Marah, heran, dan entah apa lagi! Mungkin juga dirinya
dirayapi rasa ketakutan! Gempar Bumi adalah pembantu
utamanya yang berkepandaian sangat tinggi di antara
anak buahnya! Tapi tokh dia mati demikian rupa! Dan
siapa lagi kalau bukan pemuda di hadapannya itu yang
telah membunuh Gempar Bumi!
"Bedebah bernama 212! Tak ada jalan lain! Kematianmu
terpaksa kupercepat!" Datuk Sipatoka memandang
berkeliling lalu memerintah dengan suara menggeledek:
"Semua yang ada di sini serbu bedebah itu! Hancur
lumatkan tubuhnya hingga jadi debu!"
Maka dua puluh orang laki-laki berseragam hitam
berlompatan dari kursi masing-masing. Enam orang di
antaranya adalah pembantu-pembantu kelas satu dengan
gambar kepala harimau kuning besar di dada pakaiannya.
Selebihnya pembantu-pembantu biasa tetapi
yang tingkat kepandaiannya tak bisa dianggap sepele!
Ketika menyerbu pembantu-pembantu biasa dan
pembantu-pembantu kelas dua langsung mencabut keris.
Pembantu-pembantu kelas satu hanya mengandalkan
tangan kosong!
Melihat serbuan yang laksana air bah ini Wiro
Sableng bersuit nyaring dan cabut Kapak Naga Geni 212
sedang tangan kiri sudah memutih laksana perak oleh aji
Pukulan Sinar Matahari!
Begitu tawan menyerbu Wiro segera bergerak.
Terdengar suara pekikan! Dua orang pembantu kelas satu
terhuyung-huyung, muntah darah dan rubuh! Tiga orang
pembantu kelas dua terduduk di lantai dan rebah tak
berkutik lagi. Empat orang pembantu-pembantu biasa
mencelat mental dan jatuh bergelimpangan di lantai tanpa
nafas!
Datuk Sipatoka kaget luar biasa. Anak-anak buahnya
demikian juga bahkan Pendekar 212 Wiro Sableng ikut
terkejut!
Waktu lawan-lawan menyerbu, Wiro memang sudah
gerakkan kedua tangan tapi sama sekali belum menghantam!
Dirasakannya satu sambaran angin luar biasa
dahsyatnya di atas kepalanya lalu beberapa penyerangnya
roboh!
Datuk Sipatoka keluarkan sebuah lonceng kecil dan
menggoyang-goyang nya beberapa kali. Empat puluh daradara
jelita berseragam kuning muncul dengan pedang di
tangan. Mereka adalah pesuruh-pesuruh istana tapi yang
sekaligus merangkap peliharaan Datuk Sipatoka!
"Lepaskan asap seribu tulang! Tutup semua jalan keluar!"
perinlah Datuk Sipatoka pada dara-dara itu. Begitu perintah
dikatakan begitu keempat puluh gadis itu lenyap dari
pemandangan Wiro Sableng.
Datuk Sipatoka memandang ke langit-langit ruangan di
belakang Wiro lalu membentak: "Orang yang sembunyi di
atas loteng silahkan turun perlihatkan diri!"
Wiro Sableng kerenyitkan kening sewaktu dari atas
loteng terdengar suara tertawa bergelak. Dia rasa-rasa
pernah mendengar tawa macam begitu tapi tak bisa menduga
dengan pasti siapa orangnya!
"Sipatoka, kau belum layak melihat diriku!" kata orang
yang di atas loteng.
Datuk Sipatoka mendelik. Dia berpaling pada keempat
jago kelas satu dan memberi isyarat! Keempat anak
buahnya ini segera melompat ke langit-langit. Tangan
kanan memegang keris sedang tangan kiri menghantam.
Empat larik angin pukulan yang dahsyat menderu ke atas!
Langit-langit yang terbuat dari tulang bobol hancur
berantakan! Tapi bersamaan dengan jatuhnya hancuran
tulang-tulang itu, keempat jago kelas satu itupun terhempas
ke lantai, mengeluh panjang laki muntah darah dan konyol!
Geraham-geraham Datuk Sipatoka bergeme Makan.
Anak-anak buahnya saling pandang dengan muka pucat!
Dan di loteng tepat di atas Kepala Datuk Sipatoka
kembali terdengar suara tertawa bergelak!
"Kurang ajar!" geram Datuk Sipatoka. Tangan kanannya
bergerak mencabut sepuluh keris emas kecH
yang bergantungan di jubah kulit harimaunya! Sekejap
kemudian senjata-senjata Hu laksana kilat melesat ke
loteng di atas kepalanya!
Tapi betapa terkejutnya Datuk Sipatoka. Masih setengah
jalan tahu-tahu laksana ranting-ranting kering dilanda angin
puting beliung ke sepuluh keris itu berpelantingan ke
bawah. Dua buah melesat ke arah Datuk Sipatoka,
selebihnya bermentalan ke arah pembantu-pembantunya
yang duduk di kursi! Sekali mengebut kan jubah kulit
harimaunya maka mentallah kedua keris yang menyerang
Datuk Sipatoka. Tapi tidak demikian dengan pembantupembantunya!
Suara pekik melengking raungan laksana
hendak meruntuhkan langit-langit. Delapan orang terkulai
di kursi masing-masing tanpa bisa bergerak lagi. Mereka
adalah dua orang pembantu kelas satu, empat orang
pembantu kelas dua dan dua orang pembantu biasa! Tubuhtubuh
mereka ditancapi keris kuning milik Datuk mereka
sendiri! Ada yang menancap tepat di ubun-ubun, ada yang
di muka, di dada dan di perut!
Paras Datuk Sipatoka kelam membesi. Mulutnya
berkomat kamit. Janggut dan kumisnya laksana kawat
meranggas karena amarah! Kedua tangannya yang hitam
saling digosok-gosokkan satu sama lain. Sedetik kemudian
dari kedua tangannya itu mengepullah asap hitam yang
berbau busuk!
"Manusia di atas loteng tahukah kau pukulan apa
yang sebentar lagi hendak kulepaskan jika kau tetap
berkeras kepala tidak mau unjukkan diri?!"
Orang di atas loteng tertawa gelak-gelak.
"Dari tempatku ini aku dapat melihat jelas, Sipatoka!
Cuma Ilmu Pukulan Hawa Neraka siapa yang takutkan?
Sayang ilmu itu adalah ilmu kesaktian paling hebat yang
terakhir kau miliki Sayang..." dan orang itu tertawa lagi
gelak-gelak lalu menyambungi: “Tapi jika kau mau mengadakan
perjanjian aku bersedia muncul unjukkan diri!"
"Perjanjian macam mana?!" tanya Datuk Sipatoka
seraya hentikan menggosok-gosok kedua telapak tangannya.
Sampai saat itu dia masih tetap duduk di kursi
kebesarannya!
"Kau bertempur sampai seratus jurus melawan pemuda
pakaian putih rambut gondrong itu...!"
Wiro Sableng tersentak kaget.
"Lalu?!" bentak Datuk Sipatoka.
"Jika pemuda itu menang, kau harus bunuh diri! Sebelum
bunuh diri kau harus pesankan pada anak-anak buahmu,
pada seluruh isi Istana Sipatoka ini untuk memusnahkan
semua bangunan yang ada di sini dan agar mereka semua
kembali ke jalan yang benar!"
"Jika dia yang kalah apa imbalannya?" tanya Datuk
Sipatoka.
"Pertama kau boleh bunuh pemuda itu, juga boleh
tamatkan riwayatku. Kedua buku Seribu Macam Ilmu
Pengobatan yang kini ada padaku silahkan kau miliki
untuk selama-lamanya!"
Berubahlah paras Datuk Sipatoka. Dia tidak terkejut
pada syarat-syarat perjanjian yang dikatakan. Tapi begitu
mengetahui bahwa buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan
berada di tangan orang yang di atas loteng itu
kagetlah dia! Wiro Sableng sendiri terkesiap karena
justru kedatangannya ke Tambun Tulang adalah untuk
mencari buku itu!
"Kurang ajar!" terdengar makian Datuk Sipatoka
menggeledek. "Darimana kau ambil buku itu?!"
"Dari dalam kamarmu tentu!" sahut orang di atas
loteng dan tertawa mengekeh. "Bagaimana?!"
Dalam hati Datuk Sipatoka mengutuk habis-habisan. Jika
orang itu dapat masuk ke dalam Istana Sipatoka dan
mencuri kitab Seribu Macam Ilmu Pengobatan dari dalam
kamarnya, nyatalah kepandaiannya luar biasa sekali dan
dia telah saksikan sendiri tadi! Menurut pandangan Datuk
Sipatoka kalau bertempur melawannya belum tentu dia
bisa dikalahkan oleh orang sakti itu. Tapi untuk
mengalahkan lawan bukan hal yang mudah pula bagi
Datuk Sipatoka. Dan karena menganggap Wiro Sableng
seorang pemuda yang tak perlu begitu ditakutkan maka dia
pun mendongak ke loteng dan berseru:
"Aku terima perjanjianmu!"
"Bagus! Tapi harap kau sampaikan dulu pesanmu
pada seluruh isi istana ini!" sahut orang yang masih bersembunyi
di balik loteng.
"Kentut apa kati kira pemuda tengik itu pasti akan
mengalahkah aku?!" teriak Datuk Sipatoka marah.
"Belum tentu memang! Tapi kalau kau tak bersedia
menerima persyaratan berarti perjanjian balai. Dan terpaksa
buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan kubawa pergi!"
"Kurang ajar!" maki Patuk Sipatoka geram. Tapi dia
kerahkan juga tenaga dalam dan berteriak hingga mengumandang
ke seluruh pelosok Istana Sipatoka.
"Seluruh isi Istana Sipatoka. kalian dengarlah pesan
Datukmu ini! Aku akan bertempur melawan seorang pemuda
tengik yang kesasar datang ke tempat kita! Jika
aku kalah maka kalian harus memusnahkan segala apa
yang ada di sini dan kalian kembali ke dunia luar, ke
dalam jalan yang benar. Sekian!" Datuk Sipatoka memandang
ke atas dan berseru: "Nah orang di atas loteng,
puaskah kati sekarang?!"
"Puas... puasi" sahut orang itu. Sekejap kemudian diiringi
dengan suara tertawa gelak-gelak maka bobollah langitlangit
ruangan dan sesosok tubuh berpakaian putih
berkelebat dan hampir tak dapat disaksikan oleh mata
saking cepatnya tahu-tahu orang ini sudah duduk menjelepok
seenaknya di sudut ruangan! Di pangkuannya ada
sebuah kitab. Seisi ruangan terkejut. Wiro sampai
ternganga dan garuk-garuk kepala:
"Tua Gila-.." desis Pendekar 212 laki cepat-cepat menjura
hormat.
"Ah! Kau masih saja pakai segala macam peradatan
yang membikin muak perutku!" kata orang yang duduk
di sudut ruangan yang memang Tua Gila adanya!
"Hadapi si cebol itu! Kalau nasibmu baik kau menang tapi
kalau tidak kau akan mampus, aku akan konyol!" Sehabis
berkata keras begitu Tua Gila pergunakan ilmu
menyusupkan suara memberi bisikan pada Wiro. "Kapak di
tangan kanan. Pukulan Sinar Matahari di tangan kiri! Sekalikali
jangan pukul bagian tubuhnya! Jika dia pergunakan
Ilmu Pukulan Hawa Neraka, tangkis dengan Pukulan Sinar
Matahari dan hantam dengan Pukulan Dewa Topan
Menggusur Gunung yang kuajarkan padamu!"
"Ayo Sipatoka kau tunggu apa lagi?!" Tua Gila
membentak.
Dan Datuk Sipatoka melompat turun dari kursinya.
Gerakannya seringan kapas! Setelah meneliti Wiro sejenak
dia bertanya: "Maumu dengan tangan kosong atau pakai
senjata?!"
Wiro ingat nasihat Tua Gila. Maka dia pun menjawab:
"Kalau kau punya senjata silahkan dikeluarkan!"
Datuk Sipatoka tertawa sinis dan cabut sebilah keris
hitam yang bercabang tiga! Sinar senjata ini hitam meng-
gidikkan!
"Mulailah!" kata Datuk Sipatoka.
Wiro tertawa. "Kau tuan rumah silahkan mulai lebih
dulu!" Lalu Wiro cabut Kapak Naga Geni 212.
Datuk Sipatoka sunggingkan seringai mengejek. Meski
dia belum bisa mengukur ketinggian ilmu lawannya namun
dia merasa yakin akan membereskan si pemuda di bawah
dua puluh jurus! Tubuhnya dibungkukkan hingga makin
tambah cebol kelihatannya. Dari mulutnya terdengar suara
menggoreng macam suara harimau. Mula-mula perlahan
lalu mendadak sontak keras menggedetek, menggetarkan
seantero ruangan! Baiknya Wiro Sableng sudah kerahkan
tiga perempat dari tenaga dalamnya hingga suara bentakan
dahsyat itu tidak mempengaruhinya!
Tiba-tiba tubuh Datuk Sipatoka berkelebat lenyap! Tahutahu
keris hitam bercabang tiga sudah berkelebat hanya
tinggal satu jengkal dari muka Wiro Sableng!
Wiro terkejut lekas-lekas melompat ke samping. Meski
tangan kirinya mempunyai kesempatan leluasa menjotos
tubuh lawan tapi karena ingat akan ucapan Tua Gila tadi
maka hal itu tidak dilakukannya!
Hampir keris bercabang tiga itu lewat di sampingnya
tiba-tiba dengan sebal Datuk Sipatoka menusuk ke perut
sedang tangan kiri lepaskan satu pukulan yang hebat!
Wiro geser kaki kanan. Sambit miringkan badan Kapak
Naga Geni 212 dibabatkan ke bawah! Meski senjatanya
adalah senjata mustika sakti namun melihat Kapak lawan
yang agaknya bukan sembarang senjata pula maka Datuk
Sipatoka tak berani ambil keputusan untuk adu senjata!
Tarik pulang tangan kanan Datuk Sipatoka lipat gandakan
pukulan tangan kirinya hingga angin pukulan yang ke luar
laksana topan prahara! Di lain pihak Wiropun sudah
menangkis dengan pukulan Kunyuk Melempar Buah yang
mengandalkan seluruh bagian tenaga dalamnya!
Terdengar suara seperti letusan sewaktu kedua angin
pukulan itu saling beradu dengan segala kehebatannya.
Istana Sipatoka bergetar. Wiro Sableng terhuyung-huyung
sampai tujuh langkah. Datuk Sipatoka jika tidak lekas-lekas
pergunakan ilmu mengentengi tubuhnya, meski dia tak
sempat terhuyung ke belakang namun mungkin akan
terhenyak jatuh duduk di lantai tulang!
Terkejutlah manusia cebol ini. Tidak disangkanya tenaga
dalam lawan begitu hebat, lebih tinggi sekitar satu dua
tingkat dari tenaga dalamnya sendiri! Dan diam-diam dia
mulai menyangsikan apakah dia akan sanggup
mengalahkan pemuda itu di bawah dua puluh jurus
sebagaimana yang dipastikan semula!
Jurus kedua dibuka kembali oleh Datuk Sipatoka dengan
serangan yang lebih ganas dari pertama tadi. Dia meraung
macam harimau ketika serangannya yang sekali ini pun
berhasil dielakkan lawan. Jurus ketiga, Datuk Sipatoka
keluarkan ilmu silat yang pating diandaikannya yaitu ilmu
Silat Harimau! Wiro telah pernah menghadapi ilmu Silat
Harimau yang dimainkan Gempar Bumi. Waktu itu kalau dia
tidak mengeluarkan ilmu Silat Orang Gila yang diajarkan
Tua Gila pastilah dia kena dicelakai. Dan kini Datuk
Sipatoka memainkan Ilmu Silat Harimau yang jurusjurusnya
aneh berbahaya dan lima kali lebih hebat dari yang
dimainkan Gempar Bumi!
Dan dari mulut Pendekar 212 Wiro Sableng keluar suara
suitan keras yang disusul dengan siulan tinggi tak menentu
luar biasa Wiro mulai keluarkah jurus-jurus pertahanan dari
ilmu Silat Orang Gila! Dalam tempo yang singkat lima belas
jurus sudah berlalu. Datuk Sipatoka merutuk dalam hati
dan perhebat serangannya!
Tiba-tiba mengiang suara halus laksana suara nyamuk di
telinga Wiro Sableng.
"Goblok! Mengapa cuma bertahan? Apa tidak mampu
menyerang?!" Itulah dampratan yang dilontarkan Tua Gila
yang duduk enak-enak di sudut ruangan.
Wiro juga sadar. Meski dia bisa bertahan tapi kalau tak
membalas serangan tawan lama-lama dirinya bisa
dicelakai juga. Dia pegang hulu Kapak Naga Geni 212 di
tangan kanan lebih erat. Lalu memasuki jurus ke enam
belas untuk pertama kalinya dia menyerang dengan
mempergunakan Jurus Kepala Naga Menyusup Awan.
Kapak Naga Geni 212 mendengus laksana suara ribuan
tawon. Sinar pulih berkiblat. Kepala kapak menderu ke
bawah lalu laksana seekor naga yang memunculkan
kepalanya dari dalam lautan sen jala itu melesat ke arah
batang leher Datuk Sipatoka!
Sang Datuk sengaja tidak berkelit. Keris cabang tiga
ditusukkannya ke depan, ke arah bawah ketiak tawan
karena dia berkeyakinan bahwa tusukan senjatanya akan
lebih cepat menemui sasarannya daripada senjata lawan!
Pendekar 212 tidak bodoh. Dia sudah memperhitungkan
kerugian posisinya bila dia meneruskan serangannya.
Karenanya dengan cepat Wiro geser kedua kaki dan
berkelit. Begitu berkelit begitu dia susul dengan jurus
serangan baru yang dinamakan Kincir Padi Memutari Kapak
Naga Geni 212 mengaung dahsyat dan berkiblat dalam
bentuk putaran yang sangat kecil!
Datuk Sipatoka berseru keras dan tundukkan kepala
untuk menghindarkan diri dari sambaran senjata lawan.
Tapi sedetik kemudian mata kapak telah menyambar ke
bahu kirinya! Sang Datuk melompat ke kanan dan dia
memaki keras sewaktu sesaat kemudian senjata lawan
telah memapas ke pinggul terus ke arah kedua kakinya!
Satu-satunya jalan untuk mengelakkan serangan yang
berputar itu ialah melompat ke luar dari kalangan pertempuran.
Meskipun ini akan memberi pandangan pada
orang-orangnya bahwa dia mulai kewalahan menghadapi si
pemuda berambut gondrong tapi Datuk Sipatoka terpaksa
melompat ke luar dari kalangan pertempuran. Bila dia
sudah lepas dari serangan yang berputar itu dia akan
segera balas menyerang. Tapi kejutnya bukan alang
kepalang karena ketika baru saja dia keluar dari kalangan
pertempuran tahu-tahu senjata lawan memburu dalam
jarak yang sangat dekat dan sangat cepat. Mengelak pasti
kasip! Tiada jalan lain daripada menangkis. Datuk Sipatoka
palangkan keris mustikanya
'Traang!"
Bunga api memercik.
Datuk Sipatoka tersurut tiga langkah. Salah satu cabang
kerisnya patah dan mental! Tangannya tergelar hebat! Wiro
sendiri merasakan tangan kanannya yang memegang
gagang Kapak Naga Geni 212 menjadi pedal sakti. Dia
tidak perduli, malah dengan mempergunakan tiga
perempat tenaga dalamnya dia lepaskan Pukulan Sinar
Matahari!
Beberapa orang anak buah Datuk Sipatoka menyingkir
seketika melihat selarik sinar pulih yang silau dan luar biasa
panasnya menderu di depan mereka!
Meski dalam keadaan kepepet, Datuk Sipatoka tidak
kehilangan akal! Serta merta dia jatuhkan diri sama rata
dengan lantai dan berbarengan dengan itu tangan kirinya
cabut sepuluh keris-keris emas yang; bergantungan di
pakaiannya lalu dilemparkan ke muka!
Pukulan Sinar Matahari menyambar ke atas tubuh
Datuk Sipatoka. Keris emas melesat di bawah sinar pukulan
yang dilepaskan Wiro lalu menyambar dengan ganas ke
arah sepuluh bagian tubuh Pendekar 212.
Wiro Sableng kiblatkan Kapak Naga Geni 212 dalam
Jurus Tameng Sakti Menerpa Hujan.
"Trang... trang... trang!"
Suara itu terdengar berturut-turut sampai sepuluh kali.
Dan ke sepuluh senjata mustika yang dilemparkan
Datuk Sipatoka mental patah tersambar Kapak Naga
Geni 212! Oikejap yang hampir bersamaan Pukulan Sinar
Matahari yang tak berhasil menerpa tubuh Datuk Sipa-
toka terus melanda dinding Istana Sipatoka. Dinding
yang terbuat dari tulang yang kokoh itu bobol berkeping-
keping. Atap istana turun ke bawah hampir runtuh!
"Kurang ajar!" rutuk Datuk Sipatoka seraya melompat
bangun. Seluruh ilmu simpanannya telah dikeluarkannya.
Mereka telah bertempur hampir enam puluh jurus dan
ternyala dia tak sanggup menumbangkan lawannya malah
nyawanya hampir saja dilalap mentah-mentah!
"Kematianmu dalam saat ini juga, keparat!" desis
Datuk Sipatoka. Kerisnya dimasukkan ke balik pinggang.
Kedua tandannya yang hitam digosok-gosokkan satu sama
lain. Sedetik kemudian asap hitam mengepul dari kedua
tangan itu. Asap hitam yang berbau busuknya bangkai
manusia! Wiro tutup indera penciumannya. Sesuai dengan
ucapan Datuk Sipatoka. Kapak Naga Geni 212 dimasukkan
kembali ke dalam pakaiannya. Pukulan Sinar Matahari
disiapkan di tangan kiri sedang telapak tangan kanan
sudah terisi aji pukulan "Dewa Topan Menggusur Gunung".
Kepulan asap hitam yang busuk luar biasa itu semakin
banyak memenuhi ruangan. Anak-anak buah Datuk
Sipatoka yang ada di tempat itu sudah sejak tadi
menyingkir karena mereka maklum akan kedahsyatan
Pukulan Hawa Neraka yang hendak dilepaskan pemimpin
mereka. Kalaupun lawan tak sampai mati oleh pukulan itu
tapi tubuhnya akan berbau busuk seumur hidup!
"Orang muda, sekalipun kau punya seribu macam ilmu
kesaktian, jangan harap kali ini kau bisa larikan diri dari
liang neraka!"
"Wiro berdiri dengan siap saja. Meski kewaspadaan
penuh tapi suara siulan tak teratur dari sela bibirnya
sampai saat itu masih mengumandang, membuat Datuk
Sipaloka merasa dirinya dianggap sepi saja!
Suasana sehening di pekuburan sewaktu perlahanlahan
Datuk Sipatoka angkat kedua tangannya ke atasi
Kemudian suara menggeledek keluar dari mulutnya. Serentak
dengan itu kedua tangan dipukulkan ke muka, dua
larik sinar hitam pekat yang busuk, menggidikkan menyambar
ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng!
Sewaktu Datuk Sipatoka memukul ke depan, Wiro
juga telah memukulkan tangan kirinya ke muka. Sinar
putih menyilaukan melesat ke depan, sekaligus memapasi
dua sinar hitam. Terdengar letupan yang dahsyat!
Masing-masing pihak tersurut lima langkah ke belakang.
Sinar putih dan sinar hitam masih kelihatan di udara karena
kedua orang yang bertempur masih belum turunkan
tangan masing-masing. Tiga sinar itu laksana tiga ekor
naga yang berpalun-paiun, berkelahi dan saling gempur
dengan dahsyat! Masing-masing sudah keluarkan keringat
dingin dan urat-uraft leher menegang biru!
Wiro membentak dam dorongkan lagi tangan kirinya.
Tubuh Datuk Sipatoka tergontai-gontai. Wiro membentak
lagi sampai beberapa kali. Datuk Sipatoka laksana ditekan
dinding baja. Dia mundur terus menerus dan bertahan
dengan sekuat tenaga. Ketika untuk ke lima kalinya Wiro
membentak lagi dan dorongkan kembali tangan kirinya
Datuk Sipatoka tak sanggup bertahan lebih lama. Tubuhnya
terhampar jatuh duduk di lantai. Ilmu Pukulan Hawa
Nerakanya buyar dan lenyap sedang Pukulan Sinar Matahari
Wiro terus menyerampang salah satu kakinya! Datuk
Sipaloka meraung terguling-guling. Wiro tidak memberi hati.
Tangan kanan didorongkan kini. Dan satu gelombang angin
yang luar biasa hebatnya menyapu tubuh Datuk Sipatoka
membuat tubuh itu terguling-guling di halaman berumput
Istana Sipatoka. Tangan dan kaki tanggal dari
persendiannya sedang kepala hancur memar! Itulah
kehebatan ilmu Pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung
yang telah dilepaskan Wiro Sableng tadi!
Suasana yang hening menggidikkan itu dirobek oleh
suara tertawa Tua Gila. Orang tua ini berdiri dari duduknya
dan berkata: "Pertempuran hebat! Luar biasa sekali untuk
disaksikan!" Kemudian Tua Gila memandang berkeliling
dan berseru: "Empat puluh perempuan-perempuan muda
yang ada di luar Istana harap segeramasuk!"
Sesaat kemudian ke empat puluh, pesuruh Datuk
Sipatoka yang terdiri dari perempuan-perempuan muda
belia itu masuk ke dalam, istana. Melihat kolega-kolega
mereka yang ada di dalam istana, yaitu sisa-sisa pembantu
Datuk Sipatoka pada berlutut di lantai maka ke empat
puluh perempuan-perempuan ini pun berlutut pula di
hadapan Tua Gila dan Wiro Sableng.
"Berdiri semua!" bentak Tua Gila.
Serempak semua orang itu berdiri.
“Kalian semua sudah dengar pesan perjanjian Datuk
keparat itu, . ?
Semua orang mengiyakan.
"Begitu kami pergi, kalian segera memusnahkan
istana..bejat ini. Hancurkan semua yang ada rata dengan
tanah..Lalu tinggalkan tempat ini dan pergi ke mana kalian
rnau asal saja menempuh jalan kehidupan yang benar!
Kalau kelak kutemui atau kudengar ada di antara kalian.
Yang coba-coba untuk kembali jadi orang jahat atau
memperhamba diri pada orang jahat, pasti tak ada
ampunan bagi kalian!"
Tua Gila berpaling pada Pendekar 212 dan
menyodorkan buku Seribu Macam Ilmu Pengobatan, yang
kulitnya sudah robek.
"Ambillah. Kau rupanya memang berjodoh dengan kitab
ini,..”
Wiro menerima kitab itu lalu menjura sambil berkata
"Banyak terima kasih atas segala, bantuan mu, Tua Gila?'
Kemudian ketika dia angkat kepalanya ternyata si orang
tua sudah lenyap dari hadapannya! Hanya kumadang suara
tertawapya yang terdenga di kejauhan! Wiro Sableng, hela
nafas dalam dan garuk-garuk kepala.

TAMAT

Kisah selanjutnya

RAJA RENCONG DARI UTARA